"Kelihatannya aku memang tangguh, padahal sangat rapuh." Agatha tersenyum seolah tahu apa yang dipikirkan Jayden. "Lagi pula orang mana yang tidak pernah mengeluh dan merasa takdirnya tidak adil hanya karena hidup dengan serba kekurangan?" Agatha menggeleng. "Jelas Tidak ada."Jayden terdiam dan mendengarkan. Tiba-tiba entah kenapa perasannya ikut sakit mendengar penjelasan itu. Ia seakan-akan tidak terima gadis di sebelahnya itu harus merasakan kerasnya kehidupan. Seandainya jayden bertemu Agatha lebih awal, ia tidak akan membuatnya merasakan penderitaan yang dalam."Orang lain terkadang ingin menjadi kuat sepertiiku. Padahal mereka tidak tahu Kalau bisa meminta, aku malah ingin menjadi gadis yang lemah, tapi hidup berkecukupan dan tinggal bersama keluarga yang bahagia."Jayden menyentuh lembut bahu Agatha, matanya penuh kehangatan. "Agatha, setiap langkah yang kamu ambil, setiap cerita yang kamu bawa, semuanya membuatmu menjadi wanita yang luar biasa. Kamu tidak sendirian. Kita bis
Mereka berdua saling pandang, merasakan kekuatan dalam hubungan mereka yang semakin kokoh di tengah cobaan hidup.Jayden tersenyum geli melihat respon Agatha. "Aku khawatir kamu mungkin merasa terlalu berat mendengar ceritaku, tapi ternyata kamu sangat peduli. Terima kasih, Agatha."Agatha tersenyum. "Tentu saja, Jayden. Kita di sini untuk saling mendukung, bukan? Meskipun kita punya masa lalu yang rumit, kita bisa membuat masa depan yang lebih baik bersama."Jayden mengangguk setuju. "Betul. Dan aku beruntung memiliki seseorang sebaik kamu di sisiku. Bersama-sama, kita bisa mengatasi segala hal."Dalam senyuman hangat, mereka melanjutkan obrolan, merencanakan hari-hari yang akan datang, dan menemukan kenyamanan dalam kehadiran satu sama lain. Hubungan mereka terus berkembang, menjadi tanda kekuatan dan dukungan dalam menghadapi segala liku kehidupan.Agatha membatin lega, merasa memiliki kesempatan untuk terus menyukai Jayden. "Akhirnya, mungkin ini saatnya untuk benar-benar membuka h
Jayden menatap Agatha dengan penuh kehangatan. "Agatha, ini luar biasa. Aku senang kau mulai mengingat. Kita bisa mencari tahu lebih banyak lagi tentang masa lalumu bersama-sama."Dengan perasaan campur aduk, Agatha dan Jayden memutuskan untuk menjelajahi kenangan yang tersembunyi. Proses penyembuhan dan pemulihan ingatan Agatha menjadi perjalanan baru bagi mereka berdua, yang membuat hubungan mereka semakin erat.Dengan senyuman, Agatha berkata, "Aku berterima kasih padamu, Jayden. Siapa sangka, mencari tahu tentang masa lalu bisa membawa kebahagiaan seperti ini."Mereka berdua melanjutkan hari mereka dengan rasa syukur dan semangat baru untuk menjalani perjalanan yang tak terduga ini bersama-sama.Saat Agatha menceritakan bahwa ia pernah mengalami kecelakaan dan hilang ingatan, Jayden terkejut. Matanya mencerminkan campuran antara kebingungan dan kepedulian."Agatha, mengapa kamu tidak pernah memberitahuku tentang ini sebelumnya?" tanya Jayden dengan nada khawatir.Agatha menghela n
"Camilan? Cokelat?" Jayden mengamati setiap gerak gerik Agatha."Cokelat?" Agatha berpikir sebentar, tapi kemudian menggeleng. "Tapi sekarang kita sedang belanja kebutuhan, Jay. Cokelat bisa aku beli kapan-kapan.""Cokelat buat camilan kamu waktu datang bulan juga termasuk kebutuhan. Biasanya saat itu kamu suka makan yang manis-manis supaya mood kamu stabil, kan? Dari pada beli dadakan bukannya lebih baik menyediakan stok lebih awal."Langkah Agatha reflek berhenti. "Ah, benar juga. Kenapa kamu bisa kepikiran ide cemerlang itu, ya? Padahal aku baru ingat bulan ini aku belum dapat."Jayden tersenyum kecil. "Kamu harus mencatat tanggalnya setiap bulan supaya bisa bersiap-siap.""Astaga, kamu jadi peka begini, ya, Jay." Agatha menahan senyum, lalu berhenti di depan rak cokelat batang yang beraneka merk dan rasa. "Mau cokelat juga?""Boleh."Agatha mulai mengamati setiap cokelat yang ada di depannya itu. "Kamu mau rasa apa? Original? Green tea? Stroberi?" Jayden terkekeh pelan. "Apa saja
Agatha duduk di meja kantin dengan wajah gelisah, lalu akhirnya mengungkapkan pada Aluna, "Sebenarnya, aku bekerja sebagai pengasuh untuk anak CEO, Jayden Byhantara. Kami tinggal bersama di apartemen mewah." Aluna memandang Agatha dengan heran. "Serius? Kenapa kamu tidak memberitahuku sebelumnya?" Agatha menjawab, "Aku khawatir akan merubah hubungan kita, tapi aku tidak bisa menyembunyikannya lebih lama." Aluna menggumam. "Jadi kamu berbohong padaku selama ini?" Wajahnya berubah dari keheranan menjadi kekesalan. "Aku selalu mengira kita berbagi segalanya, Agatha. Mengapa kamu tidak percaya padaku?"Agatha terdiam sejenak, mencoba menjelaskan. "Aku takut kehilanganmu sebagai teman. Jayden ingin menjaga kerahasiaan ini."Aluna meresapi kata-kata Agatha dengan ekspresi ragu. "Ini bukan hanya masalah kerahasiaan, Agatha. Ini tentang kepercayaan. Aku merasa dikecewakan."Agatha melihat mata Aluna dengan penyesalan. "Aluna, aku benar-benar minta maaf. Aku tidak bermaksud menyembunyikan i
"Aku rasa dia memang selalu mengerti tentangmu?" Aluna mengangkat bahunya dnegan alis setengah terangkat.Agatha mendelik saat Aluna tersenyum menggoda. Ia pun berdecak kecil. "Yah, aku harap juga begitu. Meskipun kemungkinannya sangat kecil?""Ya ampun. Sejak kapan Agatha yang aku kenal tidak percaya diri seperti ini? Bukannya sudah jelas bahwa lelaki itu menganggapmu spesial? Kalau tidak, mana mungkin dia mengantar jemputmu setiap hari." Agatha terkekeh geli. "Sepertinya kamu sangat kekekuh ingin aku pergi ke rumahmu, ya.""Tentu saja! Ini pertama kalinya aku mengajakmu ke rumah! Dan sebuah keberuntungan karena ibuku mengizinkan!Agatha tertawa dan mengangguk-angguk. "Baiklah , aku akan mengirim pesan pada Jayden. Berdoalah semoga dia cepat membacanya.""AAMIIN!" balas Aluna kencang, membuat agatga langsung menutup mulutnya dan seketika tertawa renyah melihat Aluna membelalakkan mata.Sedangkan Jayden yang berada di kantor hendak pulang untuk menjemput Anna dan agatga tiba-tiba men
"Permisi, Om. Selamat malam?"Jonatan mengangkat wajahnya dari layar ponsel ketika mendengar suara yang ia kenal itu. Sedetik kemudian sudut bibirnya tertarik ketika melihat seorang gadis cantik berpakaian rapi sedang berdiri di hadapannya dengan senyuman anggun. "Grace, ya? Silakan duduk," suruh Jonathan mempersilahkan. Grace mengangguk sopan dan mendudukkan diri di depan Jonathan. "Sudah tahu, kan, alasan saya memanggil kamu ke sini?" ucap Jonathan setelah meletakkan ponselnya ke meja."Untuk membicarakan sesuatu yang penting?"Jonathan tersenyum. "Saya teman ayah kamu. Lebih tepatnya saya calon mertua kamu, Grace.""Ah, maaf, Om? Apa saya tidak salah mendengar?" Grace terkejut, tapi berusaha menahan raut wajahnya agar tetap tenang di hadapan orang penting ini."Tentu tidak. Kamu memang perempuan yang akan saya jodohkan dengan anak saya."Jantung Grace rasanya sanhat berdebar kencang. Sampai-sampai ia tidak bisa mengeluarkan suara lagi untuk menjawab. Wajah di depannya ini tidak a
Grace tersenyum. "Aku suka tantangan. Kamu akan berubah pikiran suatu hari nanti."Jayden hanya tersenyum sinis tanpa memberikan respons lebih lanjut, sibuk dengan ponselnya seperti sebelumnya. Grace merasa tantangannya baru dimulai, meskipun dalam hatinya masih ada rasa kekecewaan yang sulit diabaikan."Lakukan saja sampai kamu merasa semuanya akan berakhir sia-sia," desis Jayden tanpa melirik dari layar ponselnya.Grace menyipitkan mata. "Apa kamu yakin aku bisa membuatmu merubah pendapat?"Jayden mengangkat bahu acuh tak acuh. "Coba saja jika itu membuatmu bahagia. Tapi jangan terlalu berharap."Grace tertawa, mencoba menyembunyikan ketidakpastiannya. "Kamu belum tahu kemampuanku, Jayden. Aku suka tantangan."Jayden hanya mengangguk setuju, tanpa benar-benar memberikan perhatian pada percakapan tersebut. Dalam diamnya, ia berpikir bahwa ini hanya pertemuan yang akan segera dilupakan, tidak menyadari bahwa mungkin ada kejutan di masa depan.Grace mengepalkan tangannya, lalu meneguk
"Agatha, aku benar-benar menyesal atas semua yang telah kulakukan. Aku ingin memperbaiki kesalahan itu, sungguh," ucap Grace, matanya penuh penyesalan. Agatha yang sejak awal sudah mencoba untuk memaafkan, tersenyum lembut, "Kak Grace, aku percaya bahwa setiap orang bisa berubah. Aku sudah memaafkan kamu, Kak."Mendengar kata-kata itu, mata Grace berkaca-kaca, merasa beban besar terangkat dari pundaknya. "Terima kasih, Agatha. Aku berharap kebahagiaan selalu menyertaimu."Agatha kemudian mendekat dan memeluk Grace. Sementara itu, Grace yang lega sampai menangis, merasa terharu karena Agatha masih begitu baik padanya meskipun semua kesalahannya di masa lalu."Sukses untuk karirmu di luar negeri, ya, Kak Grace. Aku yakin kamu akan menemukan kebahagiaanmu sendiri di sana," ucap Agatha sambil tersenyum.Dengan hati yang lega dan bersih, Grace pun pergi, meninggalkan Agatha yang semakin siap menyongsong hari pernikahannya dengan Jayden. Sebelum itu, tak lupa Grace mengucapkan selamat kepa
"Bagaimana dengan skripsimu? Apa masih perlu direvisi lagi?" tanya Jayden di suatu malam. Lelaki itu duduk di sebelah Agatha yang tengah menatap laptopnya. Agatha pun menoleh, mukanya tampak cemas dan ragu. Hal itu tentu membuat Jayden seketika ikut khawatir. "Hei? Apa ada yang salah lagi? Katakan saja, aku akan membantumu," ucap Jayden sambil memegang kedua pundak Agatha.Beberapa detik raut wajah Agatha berubah cerah, ia tertawa renyah. Seketika membuat Jayden terkesiap. Seketika ia menaikkan alisnya. Merasa telah dikerjai.Agatha tersenyum lebar. "Tidak, Jayden. Aku hanya ingin melihat reaksimu. Skripsiku sudah selesai dan tidak perlu revisi lagi. Aku mendapatkan nilai bagus, dan sekarang semuanya sudah selesai. Tinggal menunggu giliran sidang saja."Jayden melepaskan napas lega. "Astaga, kamu sungguh membuatku khawatir. Tapi sungguh, aku bangga padamu, Agatha. Kamu melakukan dengan sangat baik."Agatha tersenyum lebih lebar lagi. "Terima kasih, Jayden. Ini semua juga berkat duku
Anna yang terlampau bahagia, tanpa sadar mengeluarkan air mata. "Benarkah? Ini sungguh-sungguh hadiah yang paling indah! Terima kasih, Papa! Terima kasih, Tante Agatha!"Anna langsung memeluk keduanya erat, tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Mereka bertiga berpelukan dalam momen yang sarat makna. Kinara dan Oma Sarah yang melihatnya, tak bisa membendung titik air yang keluar dari mata. Mereka ikut bahagia.Jayden tersenyum sambil merangkul Anna dan Agatha. "Kita berdua sangat mencintaimu, Anna. Kita pasti akan menjadi keluarga yang bahagia seterusnya."Di tengah pelukan hangat itu, Kinara mengusap matanya lalu tersenyum sumringah. "Terima kasih, Agatha. Kehadiranmu membawa begitu banyak kebahagiaan pada keluarga ini."Oma Sarah turut menyampaikan rasa terima kasihnya. Ia tersenyum lembut dengan sisa air matanya. "Benar, Anna pasti sangat bahagia memiliki ibu seperti kamu, Agatha."Agatha mengangguk, tersenyum tulus. "Saya juga sangat bahagia bisa menjadi bagian dari keluarga ini.
"Sadarlah, Cakra! Kamu tidak bisa selalu mendapatkan apa yang kamu mau! Kamu juga tidak bisa memaksa perasaan seseorang untuk menyukaimu!" bentak Kinara tanpa ampun. Meski air mata turun dari kelopaknya, ia tetap menampilkan wajah yang penuh amarah."Jangan sekali-kali kamu merendahkan seseorang yang ada di bawahmu!" Kinara kemudian melepaskan cekalannya pada dagu Cakra dan mengembuskan napas panjang."Pergi ke kamarmu dan pikirkan perbuatan bejatmu itu! Sampai sebelum papamu pulang, kamu jangan berharap bisa keluar dari sana! Renungi kesalahan yang telah kamu perbuat sampai kamu benar-benar sadar bahwa perbuatanmu sudah sangat memalukan keluarga kita!""Kamu telah membuat ibu kecewa, Cakra!" teriak Kinara untuk yang terakhir kali sebelum menutup pintu kamar Cakra dengan kasar hingga menimbulkan suara sangat keras.Cakra tetap diam, menanggung setiap amarah dan makian yang dilontarkan oleh Kinara. Wajahnya terlihat tanpa ekspresi, namun matanya mengandung rasa penyesalan yang dalam. M
Agatha menatap kagum. "Ini ..... Ini sangat indah, Jayden. Apakah ini bagian dari hadiah untuk Anna?"Jayden menggeleng sambil tersenyum. "Ini untuk kamu, dan kita berdua yang akan menikmati momen ini bersama.""S–sungguh?"Jayden mengangguk. Agatha terpana, tak menyangka Jayden merencanakan sesuatu seindah ini. Setelah Jayden menggandeng Agatha keluar mobil, mereka duduk bersama di tepi danau, menyaksikan gemerlap lentera-lentera kecil yang mengapung di permukaan air. Suasana menjadi semakin hangat di bawah sinar rembulan.Jayden menatap Agatha dari samping. "Aku harap kita bisa menjadikan malam ini sebagai kenangan indah bersama."Agatha menoleh, tersenyum bahagia, merasa terharu dengan kejutan yang dilakukan Jayden. Malam itu, di tepi danau yang tenang, Jayden dan Agatha merasakan suasana romantis yang tak terlupakan.Tak lama Jayden mengambil kotak kecil di kantongnya. Ia merasa berdebar-debar. "Agatha, sebenarnya ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu."Agatha menatap Jayden den
"Terima kasih sudah menemukanku. Sekarang aku baik-baik saja, Jayden."Agatha tersenyum hampir menangis, rasanya terharu saat seseorang yang mencemaskan dirinya sampai seperti ini. Ia tidak menyangka apalagi orang itu adalah Jayden Byhantara."Apa kamu terluka? Lelaki bejat itu telah melakukan apa terhadapmu?" Jayden melepaskan pelukannya dan memegang kedua pundak Agatha. Menatapnya ke dalam matanya. Penuh kecemasan dan kekhawatiran yang membara.Agatha menatap mata Jayden yang penuh perhatian dan belum pernah ia lihat sebelumnya. Suara dari orang-orang di belakang Jayden yang bergegas masuk mengalun samar, tapi fokus Agatha hanya sepenuhnya tertuju pada pria yang ada di depannya ini.Agatha tersenyum senyum tipis dan lembut. "Tidak, Jayden. Aku tidak terluka. Berkat keahlianku, aku bisa mengatasi situasinya. Dia juga belum sempat melakukan sesuatu yang bejat terhadapku."Jayden menghela napas lega. Diusapnya kepala Agatha. "Aku sungguh khawatir. Jangan pernah lagi menyusahkan dirimu
"Dasar merepotkan," gumam Agatha sambil berjalan menghampiri Cakra yang masih pingsan.Agatha tanpa permisi mencari kunci di kedua saku celana Cakra. Setelah ketemu, ia menghela napas keras. Sialan sekali karena kuncinya tidak hanya satu. Melainkan gerombolan. Agatha meringis di dalam hati. Sepertinya ia memang harus mengerahkan semua tenaganya hanya untuk keluar dari kamar ini.Agataha mengembuskan napas. Dengan lunglai berjalan menuju pintu lagi dan membukanya dengan mencoba beberapa kunci yang ada di tangannya. Namun setidaknya ia masih beruntung karena kamar itu tidak menggunakan pintu yang menyerupai apartemen di mana mengharuskan memakai kode pin.Nantinya setelah pintu itu terbuka, Agatha berencana akan menelepon Jayden dan mengirim lokasi. Jika tidak ada sinyal, Agatha mempunyai rencana kedua yaitu ia akan mencari tombol kebakaran di sana.Ia bisa langsung kabur dengan berlari sekencang mungkin. Soal jalan pulang, ia akan memikirkan itu di belakang, yang terpenting ia bisa kel
"Hei, kenapa diam saja, Sayang? Coba berteriaklah seperti tadi." Cakra terkekeh sambil bersedekap dada dan menyender pada kursi."Ah, kamu sedang memikirkan jawaban yang tepat, yah?" Cakra mengangguk-angguk. "Bagus, jangan sampai salah pilih, ya, Sayang."Agatha memejamkan mata sejenak, sungguh ia menyesal kenapa tadi sempat tertipu dengan Grace saat di minimarket. Kalau saja ia lebih waspada, mungkin dirinya tidak akan terjebak dengan direktur gila itu."Sial. Apa yang harus aku lakukan?" Agatha menatap ke sekeliling ruangan. Selama beberapa detik, tiba-tiba otaknya memikirkan sesuatu."Kenapa aku baru terpikirkan itu, ya?" Agatha tersenyum miring. "Meskipun belum tentu berhasil, setidaknya rencana ini cukup mudah aku lakukan. Dengan tenaga yang aku punya, aku yakin dia akan tumbang."Agatha memusatkan pikiran pada rencananya. Ia mencoba mengabaikan godaan Cakra yang terus mencoba meruntuhkan ketenangannya. Dengan berusaha menahan emosi, Agatha mulai merencanakan langkah-langkah keci
Dalam kejutan yang tidak disangka, Jayden dan Reyhan tiba-tiba bertemu dengan Grace. Reyhan, yang memiliki rencana cepat, dengan cekatan menarik tangan Grace dan membawanya masuk ke dalam sembarang pintu yang ada di dekat mereka. Jayden tersentak, tapi bergegas mengikuti langkah Reyhan dan segera mengunci pintu ruangan yang tampaknya merupakan sebuah gudang.Di dalam ruangan yang gelap, Grace kaget setengah mati. Reyhan dengan sigap melepas dasinya sebagai penutup mata Grace dan membungkamnya dengan telapak tangan agar tidak berteriak. Karena gelap, Grace tidak dapat melihat wajah Reyhan, sehingga identitasnya tetap disembunyikan.Grace bingung dan cemas. Ia terlambat syok bahwa ada penyususp yang datang. Apalagi ia menjadi tertangkap. Sial. Ia tidak bisa bergerak sedikit pun saat ini. Padahal ia hendak ke tempat Cakra dan Agatha untuk ikut melihat betapa kesusahannya Agatha, tapi menyebalkan sekali karena tiba-tiba ia ikut merasakan seperti ini."Sial! Seharusnya aku lewat jalan lai