"Kamu memang benar. Tapi kali ini kita tidak bisa menolak, Anna. Sudah satu bulan kita tidak pulang, oma sangat merindukanmu." Meskipun akan sulit, Jayden tetap membujuk Anna dengan lembut. Ia tahu betul mengapa Anna bersikeras tidak ingin pulang ke rumah utama. Alasannya sudah jelas karena Anna kerap diperlakukan kurang baik di sana. Termasuk yang paling tidak suka ialah papanya, Jonathan. "Aku juga merindukan dia, tapi aku tidak ingin bertemu wanita jelek dan pria jahat itu, Pa. Aku tidak menyukai mereka!" jawab Anna dengan suara keras. Ia menautkan alisnya dan menggeleng kuat.Jayden tidak bisa menampik kebenaran itu. Namun besok malam ia tidak bisa menolak meskipun dirinya malas untuk pulang. Ancaman dari papanya yang ia terima kemarin malam masih membuatnya tidak bisa berkutik. Jika bukan demi Anna yang akan dibawa ke panti asuhan jika besok ia tidak datang, Jayden juga tidak sudi bertemu pria itu."Kamu masih dendam dengan mereka?" Jayden membuka suara lagi setelah terdiam seje
"Kemarin-kemarin dia tampak lebih hangat, bahkan juga melempar senyum. Hari ini dia sedikit aneh." Jayden teringat hari-hari sebelumnya di mana sering melihat Agatha salah tingkah jika berada di dekatnya."Dia seperti sengaja mengabaikanku," imbuhnya lagi, beberapa saat kemudian pintu lift terbuka. Jayden melangkah keluar.Sampai di luar apartemen, mobil hitam yang terlihat mewah serta elegan itu sudah menyambutnya. Seseorang keluar dari sana dan membukakan pintu untuknya. Namun bukannya langsung masuk, tapi Jayden mendadak terdiam di sana dan menoleh pada sekretarisnya."Ada yang ketinggalan, Bos?" tanya Reyhan dengan kernyitan di dahi."Apa sikap seseorang bisa berubah dalam sehari? Atau bahkan selang beberapa jam? Misalnya yang semula ceria mendadak cuek?"Reyhan yang ditanyai seperti itu jelas bingung, antara jawabannya, juga pertanyaan itu sendiri. Tidak mungkin seseorang yang dimaksud bosnya itu ialah Anna, karena setiap ayah pasti sudah paham perilaku anaknya setiap hari. Maka s
Agatha menatap pantulan dirinya di dalam cermin. Rambutnya digerai seperti biasa dengan make up tipis. Hoodie kebesaran berwarna cokelat susu, celana hitam panjang yang longgar, serta tas kecil yang tersampir di bahu. Malam ini ia akan pergi ke rumah Jayden dengan penampilan simpel. Tidak peduli bagaimana tanggapan keluarga bosnya itu, Agatha hanya berharap pakaiannya sudah terlihat sopan di mata mereka. Karena tujuannya hanya satu, menemani Anna sekaligus menjalankan tugas sebagai pengasuhnya. Agatha mengembuskan napas, baru kemarin ia bertemu dengan ayah Jayden, malam ini justru pergi ke rumahnya. Entah bagaimana nasibnya nanti saat di sana, Agatha berdoa semoga tidak terjadi hal buruk yang tidak terduga. "Wah, tante cantik sekali." Anna tiba-tiba ikut berdiri di sebelah Agatha."Kamu juga. Malahan kamu lebih cantik dan manis, sedangkan penampilanku ini tampak membosankan," puji Agatha balik. Ia akui Anna memanglah gadis tercantik yang pernah ia temui. Karena sudah jelas gen yang
"Sesekali menjadi anak berbakti tidak masalah, bukan?"Jonathan mendelik singkat, kemudian tertawa renyah. "Anak berbakti, ya? Heum, boleh juga. Jadi, apa sesekali aku juga harus menganggapmu sebagai seorang putra?"Jayden mendecih, tanpa perlu repot menjawab ia berjalan melewati Jonathan untuk menuju ke meja makan. Agatha yang dari tadi diam di belakang Jayden meneguk ludahnya susah payah saat Jonathan sekarang menatapnya dengan muka datar. "M–maaf, saya—""Hai, kalian terlihat cocok. Seperti pasangan ibu dan anak. Sama-sama tidak berharga di mata saya," potong Jonathan tiba-tiba. Ia lalu terkekeh. "Ah, tapi jangan dibawa perasaan, ya. Silakan nikmati saja makan malam hari ini. Jangan sungkan-sungkan."Jonathan tersenyum manis pada Agatha dan Anna sebelum berbalik badan meninggalkan mereka. Seketika itu rahang Agatha mengeras kuat, tangan kirinya mengepal erat. Tidak ia sangka pria itu sungguh gila."Tante lihat, kan? Inilah alasannya kenapa aku malas datang ke sini," celetuk Anna
Setelah pembicaraan yang penuh basa-basi itu akhirnya berakhir, Agatha bisa mengembuskan napas lega. Semuanya mulai makan dengan tenang tanpa suara. Agatha sesekali melirik Anna untuk memastikan gadis itu memerlukan sesuatu. Sejujurnya ia juga heran sebab Anna tampak lebih pendiam dari pada saat di apartemen."Bagaimana? Apa makanannya sesuai selera kamu?" Jonathan menyeletuk tiba-tiba. Jayden sudah bisa menebak dengan jalan pikiran papanya.Agatha yang fokus makan, seketika menoleh karena menyadari tatapan Jonathan tertuju padanya. Sajian ikan salmon, kerang mentah serta perasaan lemon yang baru saja ia makan seolah sudah direncanakan khusus dengan pertanyaan yang Jonathan berikan."Saya tidak terlalu suka, tapi bukan berarti rasanya tidak enak, justru menakjubkan." Agatha menjawab netral, pasti pria itu akan mulai menyindir."Ah, begitu, ya. Memang, sih, tidak semua orang bisa menyukai menu makanan itu. Tapi seharusnya kamu langsung suka karena ikan itu diimpor dari luar negeri dan
Tawa Jonathan mengalun renyah. Mengabaikan ucapan Jayden, ia berdiri depan di depan anaknya. “Jadi, dari mana kamu memungut perempuan cantik tapi kampungan itu?” “Jaga bicara Anda.” Otot-otot di tangan Jayden mengerat seiring tatapan Jonathan semakin meremehkan. “Rupanya demi anak haram itu kamu sampai membawa perempuan di jalanan, ya. Apa jadinya anak itu saat dewasa nanti? Yah, aku sebenarnya juga tidak peduli, sih, mau seperti apa nasibnya di masa depan,” kekeh Jonathan. Dalam amarah yang sudah meledak, tanpa sopan santun Jayden meraih kerah pria di hadapannya itu. Mata Jayden menatap tajam. Rahang mengeras dengan mulut yang sudah dipenuhi umpatan kejam. “Jangan ikut campur urusan saya, Tuan Jonathan yang terhormat. Anda tidak berhak melontarkan perkataan kejam kepada siapa yang berhubungan dengan saya.” “Oh, ya? Saya ini orang tua kamu kalau kamu lupa. Dasar anak durhaka.” Jonathan mendengkus tanpa melakukan perlawanan. Jayden semakin mengeratkan tangannya. “Apa Anda lupa? S
Anna telah berganti baju mengenakan dress mini berwarna abu-abu muda dengan motif kupu-kupu kecil di bagian bawah. Saat ini ia sedang bercerita tentang hal seru yang ia alami selama di sekolah kepada Oma Sarah. Sementara Agatha dan Kinara duduk di sofa yang tidak jauh dari sebelah ranjang sambil menatap mereka. “Anna, mau ikut tante meminta maaf tidak? Soal di meja makan tadi, sepertinya Om Jonathan sangat marah,” celetuk Kinara di sela pembicaraan mereka. Nada bicaranya lembut dan tatapan hangat. Anna yang asyik berbincang seketika terdiam. Wajahnya mendadak muram lalu menunduk. Kinara yang menyadari kesalahan ucapannya, buru-buru menjelaskan lagi perkataannya. Gadis itu pasti sudah salah paham terhadap maksudnya. “Maksud tante tidak seperti yang kamu pikirkan, Anna. Tante hanya tidak mau kamu mendapat amukan lagi dari Om Jonathan. Akan lebih baik jika kamu meminta maaf agar hatinya melembut dan bisa memahami kesalahan kamu.” Anna masih diam. Malah semakin menunduk dan memegang j
Sudah satu bulan lebih Agatha tinggal di apartemen bersama Jayden dan Anna. Selama itu pula ia tidak berhenti bersyukur karena bisa berada di titik yang tidak ia duga. Meski dengan segala cobaan, Agatha tetap berterima kasih kepada Tuhan dan orang tuanya di atas sana yang selalu mendoakan dirinya.Skripsi yang belum selesai, revisi berulang kali sampai mendapatkan hasil yang terbaik, membersihkan apartemen, merawat Anna dan menjaganya, memasak sampai mencuci, semua ia lakukan dengan giat. Nyaris seperti menjadi ibu rumah tangga.Agatha tersenyum tipis, laptop di depannya menampilkan beberapa rangkaian kata yang membuatnya pusing. Tapi itu belum seberapa karena ada yang lebih membuat kepikiran sampai membuat kepala pening.“Aku sudah bersikap cuek padanya, tapi rasanya aku tidak tenang. Semakin aku bersikap dingin, semakin besar pula rasa bersalahku. Dia begitu baik, tapi respon yang aku berikan malah sebaliknya.” Agatha mengembuskan napas setelah gumaman itu ia ucapkan karena merutuk