Selesai kelas pagi, Agatha sengaja tidak ke kantin. Inginnya tidur sebentar sambil menunggu jam ke dua siang nanti. Gara-gara tadi malam begadang, sekarang rasa kantuknya sudah menyerang lagi. "Agatha, cepat lihat ini! Ada lelaki yang meminta nomormu! Katanya dia ingin mengajakmu berkenalan."Sayangnya pekikan dengan nada girang itu terpaksa membuat mata Agatha terbuka kembali. Kepalanya yang semula ia letakkan ke meja mau tidak mau harus mendongak karena Aluna menarik-narik lengannya.Agatha mengumpat gemas di dalam hati, tapi dengan malas menjawab perkataan Aluna karena tak urung sedikit penasaran juga. "Kamu dapat nomornya dari mana?""Kemarin dia mendatangiku sendiri." Aluna menggeser kursi di sebelahnya lebih dekat dengan bangku Agatha. "Kenapa tidak mengajakku berkenalan secara langsung? Dan malah menghubungimu?" Agatha mengernyitkan dahi, metode pendekatan yang membosankan, pikirnya. Aluna mengangkat bahu, tapi memiliki tebakan yang pasti benar. "Mungkin dia tidak pede? Kamu
Tidak berselang lama, mobil Jayden akhirnya berhenti di depan sebuah gedung yang menjulang tinggi. Agatha yang pertama kali melihat perusahaan dari jarak sedekat ini jelas terkagum-kagum. "Aku tidak akan lama, kalian ingin menunggu di sini saja?" tanya Jayden saat akan membuka pintu mobil. "Papa! Aku ingin ke taman di sana!" Anna tiba-tiba menyahut sambil menunjuk ke arah taman yang berada tidak jauh dari gedung. Agatha turut mengikuti arah pandang gadis itu. Seketika rasa kagumnya bertambah lagi karena tidak mengira di sekitar perusahaan ada taman cukup luas dan terlihat asri.Jayden pun mengangguk tenang. "Baiklah, jangan berkeliaran jauh, tetap bersama Tante Agatha. Mengerti?""Mengerti!" pekik Anna semangat. Jayden tersenyum kecil, lalu keluar mobil disusul Agatha, kemudian Anna yang rupanya membuka pintu sendiri. Jayden tersenyum lagi melihat kemandirian anaknya yang tidak biasa itu, setelah berpesan pada agatha untuk menjaga Anna, ia bergegas masuk karena seseorang sudah men
Sampai di apartemen, Anna langsung berlari ke kamar, Agatha menyusul dengan kekehan geli. Sedangkan Jayden pergi ke dapur untuk minum. Pertemuannya dengan Jonathan memang cukup menguras emosi."Tante! Aku mandi duluan, ya!" pekik Anna saat baru saja menutup pintu kamar mandi. "Siap! Yang bersih, ya! Tidak perlu buru-buru!" "Oke!" Anna menyahut dengan nada ceria.Agatha terkekeh sambil membuka lemari Anna yang letaknya tidak jauh dari toilet. "Mau aku siapin baju apa, nih?""Apa aja asal tante yang pilih!" teriak Anna."Oke, siap, Tuan Putri!" balas Agatha tidak kalah keras, Anna seketika tertawa-tawa di dalam sana. Selesai menyiapkan baju untuk Anna di atas ranjang, Agatha menunggu gadis itu selesai mandi dengan membereskan kamar dan membawa baju-baju kotor ke mesin cuci. Lain halnya dengan Agatha yang sibuk, Jayden sendiri sedang duduk terdiam di meja makan. Segelas air di tangannya masih tersisa setengah. Ia mendadak teringat perkataan Jonathan tadi."Apa papa berpikir kalau Aga
"Memang boleh, ya, terang-terangan begitu?" Agatha hanya mampu mengatakan itu di dalam hati. Dalam sepersekian detik, rona merah terkuras di wajahnya. Agatha tersipu, tapi pura-pura tidak terlihat salting. Matanya tadi nyaris membulat jika saja ia tidak menundukkan kepala. Beruntung air di gelasnya masih tersisa, jadi ia bisa segera meneguknya guna menetralisir wajahnya yang memerah."Kenapa dia enteng sekali saat mengatakannya? Apa dia pikir kalimat itu terdengar seperti kalimat yang biasa saja? Dia tidak tahu jika kalimat itu membuat hatiku berantakan?" batin Agatha yang terus menerus menggerutu sambil mati-matian menahan senyum."Atau dia memang sengaja membuatku merasakan itu? Hah, tidak aku sangka pekerjaan ini membuatku jatuh cinta dengan seorang duda. Lagi pula siapa di dunia ini yang tidak menyukai lelaki seperti dia, kan?" Segelas air yang Agatha teguk langsung ia habiskan. Agatha tidak pernah gugup dan sesenang ini saat berbicara dengan lelaki. Seharusnya ia bisa bersikap
Jayden reflek membalikkan badan ketika merasakan sentuhan tangan. Ia menaikkan sebelah alisnya bingung karena melihat Agatha ada di depannya sedang terengah-engah. "Ada apa?""Ini, ponsel kamu." Agatha menyodorkan ponsel bermerek apel. "Syukurlah aku melihatnya."Jayden tertegun, diambilnya ponsel itu dari tangan Agatha, kemudian tersenyum kecil. "Terima kasih. Ternyata aku ceroboh juga.""Sama-sama." Agatha mengangguk, berdehem pelan, lalu tersenyum malu. "Selamat malam."Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan, Agatha berucap lagi, "Dan hati-hati."Jayden terkesiap, tapi kemudian tersenyum geli. Ia pun mengangguk singkat. "Terima kasih."Agatha gugup seketika dan tidak bisa menahan senyumannya ketika Jayden berbalik badan lalu pergi. Ingin rasanya ia melompat-lompat kegirangan saking senangnya mendapat balasan senyuman yang menawan."Berhentilah berdetak kencang, jantung sialan!" batinnya kesal, tapi juga baper tidak tertolong. Sepanjang ia kembali ke apartemen, senyumannya tidak memud
Agatha mendelik tajam dengan alis tertaut kesal. "Aku tidak memberikan nomorku ke sembarang orang."Ia lalu mengerutkan kening. "Lagi pula untuk apa seorang direktur yang diidolakan banyak perempuan meminta nomor ponsel mahasiswinya? Kamu bukan dosen, tentunya kita tidak ada urusan yang penting untuk saling berkirim pesan.""Ada, kok. Bagiku mulai sekarang kamu penting." Cakra memberikan senyum tampannya yang ia yakini Agatha pasti akan terpana.Namun sayang sekali Agatha tidak bisa kagum dengan senyuman lelaki mana pun kecuali senyuman Jayden Byanthara. Yang ada ia memutar bola mata malas, tapi Cakra malah mengartikan bahwa itu respon salah tingkah. Meskipun kesal, Agatha tidak memiliki pilihan lain agar bisa segera pergi dari hadapan lelaki itu. Ia akhirnya menyodorkan telapak tangan. "Oke, mana ponselmu? Biar aku yang mengetik sendiri."Cakra memandanginya, lalu tersenyum geli. "Aku tidak bisa ditipu, loh. Bisa saja kamu memberikanku nomor telepon palsu, kan? "Aku bukan orang sep
"Kalau kamu masih tidak jujur dengan apa yang terjadi, aku tidak bisa membiarkan kamu tinggal di sini. Aku membutuhkan pengasuh yang jujur."Agatha terdiam, tertegun karena respon Jayden lebih tenang dari yang ia kira. Agatha juga terkejut dengan penjelasan itu. Ia pikir dirinya sudah melakukan kesalahan besar sampai harus keluar dari apartemen ini. "Jujur dalam hal apapun itu," lanjut Jayden, kemudian menghela napas, memutuskan duduk di sebelah Agatha. "A–apa? Tidak, aku tidak mau." Agatha menjawab ancaman Jayden tadi, ia tidak ingin dipecat. "Tidak mau berkata jujur?"Agatha menggeleng cepat, bukan itu maksudnya, tapi ia juga belum siap untuk mengatakan yang sebenarnya. "Maaf. Aku benar-benar minta maaf. Tolong jangan usir aku. Anna ... aku tidak ingin melihatnya sedih."Jayden melirik sekilas, Agatha menunduk saat mengatakan itu. Jayden lalu menarik napas dalam, gadis ini berbeda dengan biasanya yang selalu ceria. Jayden tidak mau Agatha dalam kondisi buruk, ia hanya ingin melih
"Hai, gadis miskin?"Agatha menoleh spontan mendengar suara yang tidak asing itu, alisnya terangkat sebelah mendapati Grace berdiri di hadapannya dengan senyum manis. "Selamat pagi," sapa gadis itu lagi. Masih dengan mukanya yang ramah.Agatha mendengkus kecil, pagi-pagi kakak tingkatnya itu sudah membuatnya muak. "Kenapa kamu sengaja menyapaku?""Memang apa salahnya seorang senior menyapa juniornya?" Grace menjawab dengan tenang. "Kamu ingin uangnya sekarang juga?" tanya Agatha mengalihkan topik, kakak tingkatnya ini memang berwajah munafik.Grace pura-pura terkejut, sambil menutup mulutnya. "Ups, aku hampir lupa. Hari ini aku akan mendapatkan hadiah, ya? Aduh, tapi ini masih di luar. Aku malu nanti dilihat banyak orang. Pasti mereka akan iri."Agatha mendelik, respon yang benar-benar menjengkelkan. Tapi ia hanya menghela napas panjang dan berusaha bersabar. "Jadi, kapan dan di mana aku harus memberikannya, Kak?""Eh, kenapa kamu buru-buru sekali?" "Sudah jelas, kan? Aku sudah tid