Sama halnya dengan mood Agatha yang sudah hancur dan belajarnya di kampus tidak fokus, Jayden yang menatap layar komputernya itu nyatanya tidak benar-benar bisa berkonsentrasi sebab pikirannya tertuju kepada seseorang."Dia menghadiri seminar di kampusnya, ya? Dasar pencari perhatian." Jayden mengeluarkan decakan kecil setelah melihat informasi yang terdapat di iPad yang dipegangnya."Setelah di bar waktu itu, ternyata dia masih memiliki banyak fans wanita, ya," imbuh Jayden yang kemudian menyerahkan kembali iPad itu kepada Reyhan. Sekretarisnya itu memang ia tugaskan untuk mengawasi gerak-gerik Cakra setiap saat.Reyhan menerima iPad-nya seraya mengangguk, membenarkan ucapan Jayden. "Menurut informasi, Nona Agatha juga berkuliah di kampus itu. Apa Anda baik-baik saja?"Jayden mendelik, seketika mengalihkan pandangan dari layar komputer ke arah Reyhan yang duduk di sofa. "Pertanyaan macam apa itu? Apa sekarang wajahku terlihat tertekan?""Ah, bukan begitu." Reyhan sungguh menyesali mu
"J–jayden? Kenapa kamu di sini?"Agatha yang tengah meringis kesakitan sangat terkejut ketika mengangkat wajah lalu melihat kedatangan Jayden di hadapannya secara mendadak. Apalagi wajah lelaki itu yang terlihat cemas menambah debaran kencang di jantungnya."Apa yang kamu lakukan di sini? Aku dan Anna sudah menunggumu sedari tadi di mobil." Jayden mengambil duduk di sebelah Agatha, melirik gerakan tangan gadis itu yang semula memegang kaki berganti meraih tas yang tergeletak di sisi kirinya. Seolah menutupi sesuatu darinya. Namun, Jayden bahkan sudah tahu apa yang terjadi sejak awal melihatnya tadi. Agatha jelas sedang kesakitan di sana."Anna juga ikut?" Agatha tersentak kecil, membayangkan wajah Anna yang pasti sudah kesal karenanya. Ia pun mengembuskan napas penuh penyesalan. "Ya ampun, aku bahkan tidak tahu kalian sudah sampai," imbuh Agatha pelan. Seketika merutuki kebodohannya yang baru saja mengalami insiden di lantai dua tadi."Kakimu kenapa? Apa yang terjadi denganmu? Siapa
"Aku minta maaf." Agatha menunduk sejenak, bisa dipastikan betapa bingungnya raut wajah Aidan sekarang. Namun, mau bagaimana lagi karena keputusannya sudah bulat, Agatha menghela napas pelan, lalu memberanikan diri mengangkat wajah menatap sang bos. "Sebenarnya aku mau meminta izin untuk keluar dari pekerjaan ini," lanjut Agatha, sepenuhnya menatap Aidan dengan serius. Mata Aidan langsung membelalak, nyaris saja napasnya tercekat. "A–apa? Kamu berbicara apa, sih? Kenapa tiba-tiba?""Sekali lagi aku minta maaf, Mas Aidan. Aku sungguh tidak bisa terus bekerja di sini. Ada alasan kenapa aku harus keluar, tapi aku tidak bisa mengatakannya." Agatha merasa pekerjaannya saat ini lebih baik ia sembunyikan dari siapa pun.Aidan menghela napas gusar, lelahnya bekerja seharian tidak sebanding dengan rasa frustasinya saat ini ketika mendengar pengakuan dari anak buahnya yang paling ia segani. Aidan kemudian menarik kursi di sisi kirinya, duduk di sana untuk menenangkan diri."Apa karena aku ti
"M–maksudnya apa?"Agatha pikir setelah minum rasa gugupnya hilang, ternyata setelah menoleh lalu mendapati Jayden yang sedang tersenyum sangat tipis tapi ia bisa menyadarinya bahwa itu menawan—seketika jantung Agatha berdegup kencang.Jayden tidak sadar Agatha melihat senyumannya, jadi ia tetep tenang. "Dia pasti menahanmu agar tetap bekerja di sana karena dia tidak mau kehilanganmu. Meskipun dia menggunakan kalimat lain yang seolah jika kamu keluar maka kafe dia tidak akan berjalan baik, padahal itu hanya alibinya saja."Agatha terdiam beberapa saat, bukan karena balasan Jayden, melainkan karena ia terpaku menatap wajah lelaki itu meski dari samping. Ia belum pernah merasa sejatuh cinta ini dengan seorang lelaki. Pahatan wajah yang nyaris sempurna itu menjadi alasan kedua Agatha menyukainya, tapi sesuatu yang lain di dalam Jayden yang membuatnya memesona sehingga meluluhkan hatinya tanpa diminta."Tidak, tidak mungkin dia menyukaiku." Agatha segera mengalihkan pandangan ke depan gun
Agatha kembali ke kamar Anna setelah selesai membersihkan seluruh ruangan. Jayden sedang di kamar, Agatha tidak tahu apa yang ia lakukan karena kamar lelaki itu selalu ditutup. Namun ia sadar memang tidak seharusnya ikut campur dan kepo."Ternyata benar, Anna sudah bangun dan langsung mandi." Agatha tersenyum saat mendengar suara shower yang menyala di kamar mandi.Sambil menunggu Anna selesai, ia duduk di sofa dan menatap sekeliling kamar dengan pandangan takjub. "Kamar yang unik, untuk gadis perempuan seperti Anna dekorasi kamar ini lebih cocok bagi anak laki-laki.""Aku pikir Anna menyukai benda-benda lucu seperti boneka beruang atau Barbie, tapi bahkan koleksi di lemarinya adalah robot dengan karakter pahlawan. Mainannya yang tertata rapi juga tidak ada satu pun benda perempuan yang berwarna cerah," pujinya disertai gelengan kecil. "Gambar-gambar yang terpajang di dinding pun kebanyakan karakter pahlawan." Agatha mengakui bahwa Anna itu gadis yang unik."Dia jadi mengingatkan aku
Agatha terenyuh, dadanya mendadak sesak. Ia mendekatkan tubuh Anna, kemudian merengkuhnya, tidak tega melihat raut sedih itu karena misi Agatha ialah membuat Anna bahagia."Jadi dia menderita jantung lemah?" ucap Agatha di dalam hati. Ia memejamkan mata sejenak, mencium pucuk kepala Anna dengan lembut.Beberapa saat Agatha melepaskan pelukannya, menatap Anna dengan senyum, sambil memegang kedua pipinya yang kenyal. "Kalau bagi aku, mau kamu kuat atau lemah, itu tidak masalah, kok. Lagi pula kita tidak harus menjadi kuat setiap waktu, ada saatnya di mana kita juga lemah."Anna terdiam, entah apa yang ada di pikiran gadis itu, tapi Agatha tersenyum sebelum melanjutkan kembali perkataannya. "Menurutku kamu tetap keren, karena jarang sekali anak perempuan yang menyukai kartun pahlawan."Mata Anna seketika mengerjap-ngerjap, terkejut, tapi hanya selang beberapa detik matanya pun berbinar dan tersenyum lebar. Anna sangat senang karena ada seseorang yang merespon kesukaannya dengan pujian."
Selesai kelas pagi, Agatha sengaja tidak ke kantin. Inginnya tidur sebentar sambil menunggu jam ke dua siang nanti. Gara-gara tadi malam begadang, sekarang rasa kantuknya sudah menyerang lagi. "Agatha, cepat lihat ini! Ada lelaki yang meminta nomormu! Katanya dia ingin mengajakmu berkenalan."Sayangnya pekikan dengan nada girang itu terpaksa membuat mata Agatha terbuka kembali. Kepalanya yang semula ia letakkan ke meja mau tidak mau harus mendongak karena Aluna menarik-narik lengannya.Agatha mengumpat gemas di dalam hati, tapi dengan malas menjawab perkataan Aluna karena tak urung sedikit penasaran juga. "Kamu dapat nomornya dari mana?""Kemarin dia mendatangiku sendiri." Aluna menggeser kursi di sebelahnya lebih dekat dengan bangku Agatha. "Kenapa tidak mengajakku berkenalan secara langsung? Dan malah menghubungimu?" Agatha mengernyitkan dahi, metode pendekatan yang membosankan, pikirnya. Aluna mengangkat bahu, tapi memiliki tebakan yang pasti benar. "Mungkin dia tidak pede? Kamu
Tidak berselang lama, mobil Jayden akhirnya berhenti di depan sebuah gedung yang menjulang tinggi. Agatha yang pertama kali melihat perusahaan dari jarak sedekat ini jelas terkagum-kagum. "Aku tidak akan lama, kalian ingin menunggu di sini saja?" tanya Jayden saat akan membuka pintu mobil. "Papa! Aku ingin ke taman di sana!" Anna tiba-tiba menyahut sambil menunjuk ke arah taman yang berada tidak jauh dari gedung. Agatha turut mengikuti arah pandang gadis itu. Seketika rasa kagumnya bertambah lagi karena tidak mengira di sekitar perusahaan ada taman cukup luas dan terlihat asri.Jayden pun mengangguk tenang. "Baiklah, jangan berkeliaran jauh, tetap bersama Tante Agatha. Mengerti?""Mengerti!" pekik Anna semangat. Jayden tersenyum kecil, lalu keluar mobil disusul Agatha, kemudian Anna yang rupanya membuka pintu sendiri. Jayden tersenyum lagi melihat kemandirian anaknya yang tidak biasa itu, setelah berpesan pada agatha untuk menjaga Anna, ia bergegas masuk karena seseorang sudah men