Alis Agatha menaut kesal sambil menoleh dengan sinis. Meski wajahnya mendadak memanas dan nyaris memerah. Belum lagi Jayden sekarang terkekeh geli seolah menganggap ucapannya itu bukan apa-apa.
"Jangan bermain-main denganku. Apa maksud ucapanmu barusan? Kamu ingin aku mengasuh Anna atau dirimu?"Jayden meredam tawa kecilnya, lalu sekilas melirik Agatha. "Aku bercanda. Tentu saja aku menawarimu untuk menjadi pengasuh Anna."Agatha mengernyitkan dahi. Tak mengerti alasan apa yang membuat pria itu tiba-tiba memberikannya pekerjaan. "Kenapa? Kita bahkan baru pertama kali bertemu, itu pun juga tidak sengaja. Tapi kenapa kamu seolah sudah mempercayakan Anna kepadaku?"Jayden mengangkat bahu. "Karena aku tidak yakin bisa menemukan perempuan lain yang menyukai Anna dengan tulus. Ini juga pertama kalinya Anna bisa akrab dengan orang asing.""Kamu yakin? Ah, maksudnya, dilihat dari penampilan, bukankah sangat mustahil jika tidak ada perempuan di sekitarmu?" Agatha menyipitkan mata penuh selidik. Jayden sangat tampan, jadi mana mungkin tidak bisa mencari perempuan lain di luar sana.Jayden mengangguk tenang. Tak menyangkal kebenaran itu. "Banyak.""Lalu?""Tapi Anna tidak menyukai mereka. Aku tidak mau berhubungan dengan perempuan yang tidak Anna suka. Jadi saat melihatmu dengannya akrab, aku senang." Jayden menarik kedua sudut bibir. "Sebab kebahagiaan Anna adalah kebahagiaanku juga."Agatha terdiam. Sejauh ini ia belum pernah menyukai lawan jenis. Kebanyakan pria yang mendekatinya rata-rata di bawah standar tipe yang ia cari. Jadi, Agatha ragu apakah perasaannya sekarang ini pertanda bahwa ia menyukai Jayden pasca melihat senyumannya.Agatha mengembuskan napas berat. Ia bisa melihat ketulusan dari permintaan Jayden. "Aku sebenarnya tidak berniat menolak, tapi aku mahasiswi yang sangat sibuk. Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali bisa tidur dengan nyenyak. Lagi pula aku juga sudah bekerja."Jayden sudah siap membalas, tapi terpaksa menelan lagi jawabannya saat Anna terlihat berlari kecil ke arahnya. Anna membawa dua tangkai bunga dengan warna biru dan merah muda."Papa. Ini bunga untukmu. Biru, seperti warna kesukaanmu." Anna berdiri di depan Jayden sambil menyodorkan setangkai bunga berwarna biru.Jayden menerimanya dengan senang hati. "Terima kasih, Anna. Tapi yang merah muda itu untuk siapa? Bukannya kamu suka warna ungu?""Karena ini cantik, aku ingin memberikannya pada Tante Agatha." Anna beralih ke depan Agatha dan memberikan bunga padanya dengan senyum lebar.Jayden tertegun. Lain halnya dengan Agatha yang terkejut karena merah muda sebenarnya warna yang tidak ia suka. Namun melihat binar mata Anna, Agatha tidak tega untuk berkata sejujurnya."Wah, kamu baik sekali, Anna. Terima kasih. Aku tidak bisa menolaknya." Agatha akhirnya mengambil bunga itu lalu mengusap kepala Anna sambil tersenyum."Sama-sama, Tante. Apa tante suka?"Agatha meneguk ludahnya perlahan. Tetapi mengangguk-angguk dan menarik pipi Anna disertai kekehan kecil. "Tentu saja. Sepertinya kamu sangat pandai dalam pilih memilih, ya.""M–makasih, Tante."Anna menundukkan kepala malu-malu. Membuat Agatha merasa bersalah sekaligus gemas. Sudah banyak anak kecil yang ia temui, tapi baru Anna yang memiliki wajah imut dengan pahatan nyaris sempurna.Sementara Jayden hampir tidak sadar sudah menatap Agatha selama beberapa detik. Ia spontan mengerjap dan buru-buru memeriksa jam di pergelangan tangan sebelum ketahuan mencuri pandang."Anna, kita harus kembali. Waktumu bermain sudah cukup," celetuk Jayden lalu berdiri."Yahh, kenapa cepat sekali?" Anna memajukan bibir.Agatha baru kemudian berdiri. Untungnya Jayden mengingatkan sehingga ia tidak lupa jika harus bekerja. "Papa kamu benar. Bermain di luar terlalu lama tidak baik. Lihat langitnya, sepertinya juga mau turun hujan."Anna menatap ke atas, ternyata awan-awan hitam sudah berkumpul. Ia menatap Agatha lagi seraya memikirkan sesuatu. "Kalau begitu, apa tante mau mengantarku sampai ke mobil sambil bergandengan?""Eh, kenapa tidak? Jika kamu yang meminta, aku akan melakukannya," jawab Agatha seraya terkikik kecil. Anna yang sumringah kemudian langsung meraih tangannya."Ayo, Pa!" ajak Anna sudah berjalan lebih dulu meninggalkan Jayden sendirian.Jayden seketika melebarkan mata. "Hei, Anna! Kenapa kamu tidak menggandengku juga?"Anna tidak menghiraukan Jayden. Agatha yang menahan tawa melihat interaksi mereka tak bisa berbuat banyak dan hanya menuruti Anna agar tidak perlu memedulikan Jayden."Apa-apaan itu, dia mengabaikanku?" gerutu Jayden, lalu menyusul mereka sampai ke mobil seorang diri.Anna melihat papanya yang baru tiba dengan tawa geli. "Wajah kesal papa terlihat lucu.""Kamu keterlaluan, Anna."Jayden menghampiri Anna dan langsung menggendongnya. Ia menggelitiki gadis itu tanpa ampun hingga Anna tertawa terpingkal-pingkal."Hentikan, Pa! Hahaha! Hentikan aku geli! Hahaha ....""Rasakan akibatnya, Anna."Anna meronta-ronta, tapi tidak bisa. "Tante Agatha tolong aku, hahaha ...."Agatha geleng-geleng kepala dengan anak bapak itu. Ia ikut tertawa melihat Anna. Keluarga mereka seru kali, pikir Agatha. Sesaat ia ingin terus berada di antara keharmonisan mereka. Sebelum akhirnya teringat sesuatu."Ah, maaf. Sepertinya aku harus pergi sekarang.""Tunggu." Jayden menghentikan aksinya pada Anna sebelum Agatha berbalik. Agatha mengernyit heran."Yeay, tante menyelamatkan aku," pekik Anna. Agatha tersenyum geli dan mengangkat jempol.Jayden menurunkan Anna dan membukakan pintu mobil. "Anna kamu masuklah dulu. Aku ingin berbicara dengan Tante Agatha sebentar.""Bolehkah aku ikut mendengarnya?"Jayden menggeleng tegas. "Ini urusan orang dewasa, kamu tidak akan mengerti.""Papa balas dendam, ya?" Anna mendengkus kecil sambil bersedekap dada."Sana masuk, Anna. Nanti papa belikan kamu es krim kalau menurut." Jayden mendorong bahu Anna agar segera masuk. Meski merenggut kesal, Anna tetap menurut."Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Agatha sambil mengikuti langkah Jayden yang berjalan menjauhi mobil."Di mana tempatmu bekerja?" Jayden berhenti di bawah pohon, kemudian mendadak berbalik menghadap Agatha. Ia bisa menyadari raut gadis itu yang terkejut."Di kafe. Kenapa kamu bertanya?" Agatha mundur selangkah karena terlalu dekat dengan Jayden."Aku akan memberimu gaji 20 juta selama sebulan, tapi berhentilah bekerja di sana," suruh Jayden, tidak ada keraguan sedikit pun dalam ucapannya.Agatha reflek membulatkan mata. Napasnya nyaris tercekat. "T–tunggu sebentar, 20 juta? Jangan bercanda, itu sangat berlebihan. Apa kamu ingin membuang-buang uang?"Jayden menggeleng, menatap Agatha dengan serius. "Tidak masalah jika menyangkut soal Anna. Tolong pikirkan lagi tawaranku tadi. Aku berharap kamu tidak menolaknya."Agatha memang menyukai anak-anak, tapi bukan berarti bisa mengasuhnya. Terlebih Anna berasal dari keluarga kaya, pasti didikan dari keluarga seperti itu jauh lebih sulit, bukan?"Tapi aku tidak yakin bisa memberikan Anna yang terbaik. Menjadi pengasuh anak bukanlah pekerjaan yang mudah," gumam Agatha."Aku membutuhkanmu." Jayden tidak melepaskan pandangannya. "Tidak. Aku sangat membutuhkanmu, Agatha."Agatha telah selesai merapikan semua meja dan kursi. Sembari menyeka peluh, ia duduk di kursi dapur, memperhatikan bosnya yang sedang mengaduk minuman di meja pantry."Mas Aidan, aku ... mau bicara sesuatu," celetuk Agatha ragu."Katakan saja.""Aku sedang butuh uang, bisakah kamu memberikan gajiku lebih awal?" Agatha menggigit bibir bawahnya untuk memikirkan kemungkinan buruk.Aidan Ghifari, pemilik kafe tempat Agatha bekerja itu memutar tubuh. "Kamu ingat, kan, ini bukan pertama kalinya? Sekarang ada masalah apa lagi?"Benar, bukan? Agatha sudah bisa menebak jawaban itu. Aidan bahkan sampai hafal bahwa keadaannya sedang tidak beres saat ia meminta gaji di awal bulan."Aku tidak bisa mengatakannya." Agatha menatap lantai putih di bawah.Aidan menghela napas panjang. "Kamu tahu kafe di seberang jalan, kan? Baru pertama kali buka sudah sangat ramai. Aku tidak yakin kafe ini banyak pengunjungnya lagi."Agatha mengangkat kepala, segelas kopi disodorkan oleh Aidan. Ia menerimanya dengan s
Jayden menggandeng tangan Anna sembari menekan tombol lift kemudian masuk. Mereka menuju lantai bawah secara VIP. Jayden sedang bertelepon dengan seseorang menggunakan headset bluetooth di telinga kanannya."Ya, aku akan ke sana setelah ini."Jayden mengakhiri percakapan disusul helaan napas panjang. Akhir-akhir ini kondisi perusahaannya sangat sibuk, sehingga tak jarang Jayden harus pergi ke kantor tanpa kenal waktu. Pintu lift pun terbuka, Anna langsung berlari menuju pintu keluar. Jayden menatap punggung mungil itu, hatinya sesak karena ia tidak memiliki banyak waktu luang untuk bermain dengan putrinya. Menjadi ayah sekaligus ibu untuk Anna nyatanya tidak semudah yang dulu ia bayangkan. Jayden tidak mengira Anna sulit berinteraksi dengan orang lain, sehingga sejak kecil lebih sering diurus oleh neneknya. Jangankan menyewa baby sitter, dengan ibu tirinya saja Anna cuek. Entah apa alasan yang pasti, tapi Anna menjadi lebih dingin semenjak mendapat pukulan fisik dari seorang wanita
Dengan mata berkaca-kaca, Anna langsung berlari menerobos kerumunan orang-orang yang mengelilingi Agatha. Jayden menatap tajam ke arah mobil pelaku yang sudah melaju kencang. Tangannya terkepal kuat, nomor plat mobil itu terlihat tidak asing."Tunggu saja, aku akan memberimu pelajaran," batin Jayden. Otot rahangnya mengeras menahan emosi."Papa! Ayo kita ikut ke rumah sakit! Aku ingin melihat Tante Agatha! Aku takut! Dia berdarah, Pa!"Jayden nyaris terperanjat saat Anna tiba-tiba muncul sambil menggoyangkan lengannya. Ia tertegun, mata putrinya itu sudah berderai air mata. Jayden segera menggendong Anna lalu mengusap jejak air matanya. "Pa, Tante Agatha pasti sedang kesakitan. Kita harus memberinya semangat," ujar Anna dengan sendu dan lirih. Jayden terenyuh melihat ekspresi yang jarang Anna perlihatkan itu. "Kamu serius ingin ke sana sekarang juga?"Anna mengangguk-angguk yakin dengan mata penuh harap. Jayden terdiam. Di dalam hatinya paling dalam, ia juga ingin melihat kondisi Aga
Agatha tidak menyangka dalam sehari ini bisa bertemu dengan Jayden dan Anna. Pasca insiden di bar itu, Agatha merasa takdirnya sedikit berbeda. Setelah bertahun-tahun hidup sendirian, baru kali ini Agatha dijenguk oleh seseorang selain sahabatnya. Bahkan Aluna pun tidak bisa berlama-lama menemaninya karena hubungan mereka tidak disukai oleh mama Aluna. Namun saat ini, seorang gadis kecil bersama ayahnya, dengan tiba-tiba malah mengkhawatirkan kondisinya."Tante Agatha pasti kesakitan. Tapi kenapa tante tidak menangis?" Celetukan Anna itu membuat lamunan Agatha terbuyar. "Ah, iya. Karena tubuh aku kuat, Anna. Segini, sih, tidak seberapa sakitnya."Berhubung Anna sangat menyukai orang yang kuat, ia tidak bisa menyembunyikan binar matanya. "Wah, hebat! Aku juga ingin menjadi kuat seperti tante. Tidak gampang menangis dan merasa sakit."Agatha menggeleng dan tersenyum geli. Dari sekian banyak anak kecil yang ia temui, baru Anna yang memujinya seperti itu. "Sebenarnya aku tidak sekuat it
Agatha terdiam, bergelut dengan pikirannya lagi. Tinggal bersama dengan orang kaya bukanlah tawaran sembarangan. Apalagi Jayden seorang duda. Namun di lain sisi, ini kesempatan emas. Karena saat ini ia memang membutuhkan tempat tinggal, uang untuk biaya kuliah, serta menggantikan ponsel seniornya. "Tawaran aku masih berlaku, Agatha. Belum cukupkah untuk membuatmu yakin? Kamu bisa mendapatkan keuntungan besar. Alasan apa lagi yang akan kamu katakan kali ini?" Pertanyaan jebakan. Agatha tidak bisa menjawabnya dengan penolakan. Terlebih lagi Anna sangat berharap kepadanya. Jika ia tetap menolak, gadis itu pasti akan membencinya. Dan Agatha tidak ingin membuat anak kecil memusuhinya. Bukan hanya Anna, anak-anak lain yang ia temui, pun selalu berusaha ia beri kebahagiaan meski tidak seberapa."Papa menawari apa ke Tante Agatha?" celetuk Anna sambil melihat papanya dengan kernyitan di dahi.Jayden sengaja mengangkat bahu. "Ini rahasia orang dewasa. Kamu tidak akan mengerti dan tidak perlu
"Katakan yang sejujurnya."Agatha sudah mempunyai tebakan, tapi lagi-lagi ia merasa ragu. Jayden di hadapannya tampak tersenyum kecil, entah apa yang ia pikirkan, tapi Agatha sedikit kesal melihatnya."Aku pikir semua orang tahu siapa aku?" Jayden berjalan selangkah lebih dekat. Alisnya terangkat sebelah. "Kamu tidak pura-pura, kan?"Agatha mundur perlahan, punggungnya sudah menabrak pintu. Ia meneguk ludah susah payah. Jantungnya berdebar-debar lagi. "Aku memang tidak tahu. Dan tidak sedang pura-pura."Jayden mengangguk-angguk, ditatapnya wajah Agatha dengan teliti. "Heum, aku memang tidak melihat raut kebohongan di wajahmu. Tapi aku heran, mengapa kamu tidak tahu siapa aku?"Agatha tidak mau menyiakan kesempatan untuk balas menatap wajah Jayden yang rupawan. Meski jantungnya berdetak kencang, ia memberanikan diri. Mungkin jika gadis lain pasti akan langsung mengalihkan pandangan karena gugup setengah mati."Aku sibuk dengan tugas-tugas kuliah, jadi tidak sempat melihat berita terbar
Selama beberapa detik, Jayden terdiam dengan pertanyaan itu. Jika dipikir-pikir, sebenarnya ia sendiri juga heran mengapa bisa menolong Agatha. Padahal biasanya ia cenderung cuek dan tidak peduli terhadap perempuan. Sekalipun seseorang itu sedang dalam masalah.Namun entah kenapa malam itu saat melihat Agatha, Jayden merasakan sesuatu yang berbeda. Terlebih wajah Agatha mengingatkannya dengan seseorang di masa lalu, yaitu teman masa kecilnya yang tidak pernah ia temui lagi pasca insiden waktu itu."Bukannya sesama manusia harus saling tolong menolong?"Alhasil dari sekian banyak jawaban yang bersarang di otak, Jayden memilih mengutarakan yang satu itu. Setidaknya lebih masuk akal dan tidak bermakna khusus yang membuat Agatha berpikir macam-macam.Agatha mengangguk, tapi masih belum mempercayai bahwa itu alasan yang sebenarnya. "Aku tahu, tapi lelaki sepertimu rasanya mencurigakan karena mau menyelamatkan gadis biasa sepertiku.""Justru karena itu," balas Jayden spontan. Alih-alih asal
Anna yang masih mengenakan baju tidur mengangguk santai sambil fokus melipat selimut. "Iya, Tante. Aku memang setiap hari memasang alarm untuk bangun pagi. Kecuali hari Minggu."Agatha mengulas senyum kagum dengan gadis cantik yang akan diasuhnya itu. Betapa beruntungnya Jayden mempunyai seorang putri yang rajin. Agatha pun turut merapikan selimutnya juga."Wah, kamu keren. Dulu saat aku seusiamu tidak pernah bangun sepagi ini. Malahan waktu pergi ke sekolah aku sering telat sampai langganan dimarahi guru." Agatha terkekeh mengingat masa lalunya yang bandel.Anna yang selesai, giliran membantu Agatha. "Papa yang mengajarkanku untuk bangun pagi. Aku sendiri juga tidak mau terlambat pergi ke sekolah. Soalnya aku mandi dan sarapannya itu lama banget, Tante."Agatha menoleh, lalu mengangguk-angguk paham. Tak ia sangka sifat itu diturunkan dari ayahnya. "Tapi serius, loh. Kamu hebat. Aku beneran kagum."Anna menyembunyikan senyumnya dengan malu. Sebab ini pertama kalinya ia mendapat pujian