Agatha memijit pelipisnya yang berdenyut, tugas dari kampus sudah banyak, tapi ia harus memikirkan cara untuk mencari uang dalam waktu dekat. Gajinya bekerja paruh waktu di kafe tidak mungkin cukup untuk membeli ponsel berlogo apel itu.
Agatha berjalan lesu ke taman dekat kampus setelah kelas selesai. Mencari kursi yang kosong, mendaratkan tubuhnya di sana sendirian. Menatap apapun yang ada di depan dengan pikiran berantakan."Haruskah aku meminjam uang ke bank?" gumam Agatha. "Tapi pasti bunganya juga besar."Agatha mendecak pelan. "Apakah aku memang harus menjadi wanita rendahan seperti kata Kak Grace? Menjual tubuhku ke pria kaya lalu mendapatkan segepok uang dalam satu malam."Agatha tertawa kecut, terdengar lebih mirip menertawai dirinya sendiri. "Itu sungguh keputusan yang gila."Agatha kemudian terdiam. Masih tersisa dua jam sebelum waktunya ke kafe. Namun rasa semangatnya seolah ditelan bumi. Agatha lelah, ingin menyerah, ingin menangis, tapi matanya terlanjur kering tak bisa mengeluarkan air mata. Agatha terlalu lama, berpura-pura kuat hidup sebatang kara."Ibu, ayah, aku harus bagaimana? Aku tidak bisa hidup tanpa kalian. Kenapa harus secepat ini kalian pergi?" Agatha menunduk, menutup wajah dengan kedua tangan.Di sisi lain setelah menjemput Anna dari sekolah, Jayden ke taman karena putrinya mengotot ingin melihat air mancur. Jayden tidak bisa menolak karena itu janjinya tiga hari yang lalu. Tetapi langkah Jayden mendadak berhenti saat matanya menangkap Agatha yang duduk sendirian di sana."Papa kenapa?" Anna menoleh dengan kernyitan di dahi.Jayden yang tersadar, segera menggeleng. "Anna, kamu tidak mau ke teman yang lain? Sepertinya di sini tidak cukup menarik."Anna menautkan alisnya kesal. "Tidak mau, Pa. Kata teman-temanku air mancur di taman ini yang paling bagus."Jayden sudah menduga jawaban itu. Sebenarnya ia hanya tidak ingin menganggu Agatha karena sepertinya gadis itu membutuhkan ketenangan. Jika Anna melihat Agatha, pasti putrinya itu akan mengajaknya bermain."Papa! Lihat ke sana! Itu Tante Agatha, kan?" Anna menunjuk ke arah Agatha disertai tatapan yang berbinar.Ah, baru saja Jayden mengkhawatirkan akan hal itu. Tetapi sepertinya ia memang harus menggunakan cara lain lagi untuk membujuk Anna.Jayden menjajarkan tubuhnya dengan sang putri. "Kamu ingin menemuinya? Jangan. Tante Agatha sedang ingin sendirian.""Papa tahu dari mana? Papa pasti berbohong, ya?""Hei, coba perhatikan baik-baik. Bukankah Tante Agatha terlihat sedang bersedih? Itu berarti kita tidak boleh mengganggunya. Biarkan dia menenangkan diri," bujuk Jayden berbicara dengan lembut, memegang kedua bahu Anna dan menatap hangat.Anna terdiam. Jayden mengulas senyum lega. Sayangnya saat ia mengira Anna akan menganggukkan kepala, gadis kecil itu justru melepaskan diri dan berbalik badan lalu kabur. Jayden melotot, baru saja hendak menyusul tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya. Jayden tersentak."Biarkan saja, Bos. Anna tidak pernah sebahagia ini sebelumnya."Jayden menoleh. Reyhan sudah berdiri di sebelahnya. Mendengar ucapan itu, Jayden mengurungkan niatnya untuk ikut berlari. Ia mengembuskan napas panjang."Kenapa Anna menyukai gadis itu?" gumam Jayden seraya menatap Anna yang sekarang sedang bersama Agatha.Reyhan mengangkat bahu. "Mungkin dia mempunyai aura keibuan yang kuat?"Jayden mendengkus tidak setuju. "Anna bahkan tidak menyukai ibu tiriku. Sedangkan gadis itu terlihat masih muda, seharusnya reaksi Anna sama seperti dia melihat karyawati yang bekerja di kantorku.""Benar juga. Anna tidak suka pergi ke kantor Anda karena banyak perempuan yang menggodanya. Tapi dengan gadis itu dia malah sangat antusias.""Apa kamu sudah mencari tahu tentang dia?""Ah, iya." Reyhan mengeluarkan ponselnya untuk membuka catatan yang sudah ia rangkum beberapa jam yang lalu. "Sudah, Bos. Hasilnya sangat menakjubkan."Kepala Jayden tertoleh, alisnya terangkat sebelah. "Apa yang istimewa? Katakan dengan singkat.""Agatha Marvelly, mahasiswi semester akhir yang baru-baru ini menjadi trending topik karena meraih juara satu lomba debat tingkat Internasional. Tapi sebenarnya bukan hanya itu, Bos. Dia bahkan selalu juara berturut-turut setiap mewakili kampusnya. Lomba dalam bidang apapun."Jayden terdiam. Matanya menatap lekat ke arah Agatha yang berdiri beberapa meter darinya. Anna tampak tersenyum lebar di dekat gadis itu, Jayden bahkan lupa kapan terakhir kali Anna bisa tertawa lepas dengannya."Sepertinya aku membutuhkan partner lagi, Rey." Jayden menarik sebelah sudut bibir, lalu berdiri."Partner?" Reyhan memicingkan mata, ikut berdiri juga. "Partner dalam rumah tangga maksud Anda?"Jayden tergelak singkat. Membiarkan Reyhan penasaran, ia melangkahkan kakinya menuju tempat Anna dan Agatha. Reyhan yang tidak paham hanya diam menatap kepergian bosnya. Selang beberapa detik, ia baru menyadari sesuatu. Reyhan lantas mendecak pelan."Papa, sini! Ayo duduk bersama!"Jayden disambut lambaian tangan oleh Anna dengan senyuman ceria. Hatinya tiba-tiba menghangat. Gadis itu sedang duduk menyender pada pohon besar yang di bawahnya terdapat rerumputan hijau. Sekilas tatapan Jayden bertemu dengan mata Agatha yang juga melihatnya mendekat. Jayden segera mendudukkan dirinya ke samping kanan sang putri."Wajah kamu terlihat senang sekali, Anna. Kamu baru saja melakukan apa, heum?" Jayden memandangi Anna heran.Wajah Anna terlihat cerah. "Bermain tebak-tebakan, Pa. Nanti kalau tidak bisa menjawab ada hukumannya."Jayden mengernyit penasaran. "Apa hukumannya?""Ada dua. Menyanyikan lagu atau dicium," jawab Anna penuh antusiasme.Mata Jayden nyaris melotot sebelum akhirnya berdeham pelan. "Hukuman macam apa itu? Gampang sekali.""Tante Agatha sendiri yang bilang, katanya aku tidak boleh mendapat hukuman yang berat."Agatha menarik hidung mungil Anna yang mancung dengan gemas. "Karena Anna spesial.""Heum, apa aku boleh ikut juga?" tanya Jayden usil.Pertanyaan yang membuat napas Agatha hampir tercekat. Ia spontan meneguk ludah susah payah dengan wajah memanas. Sebenarnya apa yang ada di dalam pikiran pria itu?"Papa, kan, tidak bisa bernyanyi. Jangan bilang papa mau dicium sama Tante Agatha?" Anna mengernyitkan mata, bibirnya otomatis mengerucut.Agatha semakin tersentak, buru-buru ia menyahut sebelum pertanyaan aneh keluar lagi. "Ah, maaf sebenarnya game ini hanya untuk anak-anak."Jayden menahan senyum dan mengangguk paham. Kemudian ketika melihat beberapa bunga cantik serta papan kayu yang bertuliskan bahwa bunga itu bisa dipetik, Jayden tiba-tiba terpikirkan sesuatu."Anna, maukah kamu memetikkan bunga untuk papa? Sebagai gantinya karena aku tidak bisa bermain denganmu," pinta Jayden memohon.Meski merenggut kesal. Anna tidak menolak. Ia berdiri setelah menepuk-nepuk roknya. Pasca Anna pergi, suasana di antara Agatha dan Jayden menjadi canggung. Agatha mati-matian menahan gugup. Padahal biasanya ia cenderung cuek dan tidak berminat dengan pria, tapi saat ini Agatha heran mengapa dirinya merasakan sesuatu yang berbeda."Aku Jayden. Panggil saja sesukamu, Jay, atau Ayden," celetuk Jayden menatap Agatha seraya menyodorkan tangan, tidak menyiakan kesempatan. Ia pikir ini awal yang tepat untuk kehidupan Anna ke depannya.Agatha menoleh, meski ragu ia membalas uluran tangan Jayden. "Baiklah. Salam kenal, Jay."Jayden menarik kembali tangannya dan mengalihkan pandangan, degup jantungnya entah kenapa mendadak berdebar. "Kamu menyukai anak kecil?"Senyum Agatha langsung terbit. Anggukan kepala ia berikan setelahnya. "Mereka sangat lucu. Aku senang melihat mereka tertawa.""Apa kamu mau menjadi seorang pengasuh?" tawar Jayden tanpa menoleh. Pandangannya lurus melihat Anna yang sedang memilih-milih bunga.Agatha mengernyit, perlahan ia menoleh. "Pengasuh untuk Anna?"Jayden mengangguk, tapi kemudian menyeringai tipis. "Kalau kamu ingin mengasuhku juga, aku tidak bisa menolaknya."Rona merah seketika tercipta di wajah Agatha, ia menoleh tajam. "Hei?"Alis Agatha menaut kesal sambil menoleh dengan sinis. Meski wajahnya mendadak memanas dan nyaris memerah. Belum lagi Jayden sekarang terkekeh geli seolah menganggap ucapannya itu bukan apa-apa."Jangan bermain-main denganku. Apa maksud ucapanmu barusan? Kamu ingin aku mengasuh Anna atau dirimu?"Jayden meredam tawa kecilnya, lalu sekilas melirik Agatha. "Aku bercanda. Tentu saja aku menawarimu untuk menjadi pengasuh Anna."Agatha mengernyitkan dahi. Tak mengerti alasan apa yang membuat pria itu tiba-tiba memberikannya pekerjaan. "Kenapa? Kita bahkan baru pertama kali bertemu, itu pun juga tidak sengaja. Tapi kenapa kamu seolah sudah mempercayakan Anna kepadaku?"Jayden mengangkat bahu. "Karena aku tidak yakin bisa menemukan perempuan lain yang menyukai Anna dengan tulus. Ini juga pertama kalinya Anna bisa akrab dengan orang asing.""Kamu yakin? Ah, maksudnya, dilihat dari penampilan, bukankah sangat mustahil jika tidak ada perempuan di sekitarmu?" Agatha menyipitkan mata penuh selidik
Agatha telah selesai merapikan semua meja dan kursi. Sembari menyeka peluh, ia duduk di kursi dapur, memperhatikan bosnya yang sedang mengaduk minuman di meja pantry."Mas Aidan, aku ... mau bicara sesuatu," celetuk Agatha ragu."Katakan saja.""Aku sedang butuh uang, bisakah kamu memberikan gajiku lebih awal?" Agatha menggigit bibir bawahnya untuk memikirkan kemungkinan buruk.Aidan Ghifari, pemilik kafe tempat Agatha bekerja itu memutar tubuh. "Kamu ingat, kan, ini bukan pertama kalinya? Sekarang ada masalah apa lagi?"Benar, bukan? Agatha sudah bisa menebak jawaban itu. Aidan bahkan sampai hafal bahwa keadaannya sedang tidak beres saat ia meminta gaji di awal bulan."Aku tidak bisa mengatakannya." Agatha menatap lantai putih di bawah.Aidan menghela napas panjang. "Kamu tahu kafe di seberang jalan, kan? Baru pertama kali buka sudah sangat ramai. Aku tidak yakin kafe ini banyak pengunjungnya lagi."Agatha mengangkat kepala, segelas kopi disodorkan oleh Aidan. Ia menerimanya dengan s
Jayden menggandeng tangan Anna sembari menekan tombol lift kemudian masuk. Mereka menuju lantai bawah secara VIP. Jayden sedang bertelepon dengan seseorang menggunakan headset bluetooth di telinga kanannya."Ya, aku akan ke sana setelah ini."Jayden mengakhiri percakapan disusul helaan napas panjang. Akhir-akhir ini kondisi perusahaannya sangat sibuk, sehingga tak jarang Jayden harus pergi ke kantor tanpa kenal waktu. Pintu lift pun terbuka, Anna langsung berlari menuju pintu keluar. Jayden menatap punggung mungil itu, hatinya sesak karena ia tidak memiliki banyak waktu luang untuk bermain dengan putrinya. Menjadi ayah sekaligus ibu untuk Anna nyatanya tidak semudah yang dulu ia bayangkan. Jayden tidak mengira Anna sulit berinteraksi dengan orang lain, sehingga sejak kecil lebih sering diurus oleh neneknya. Jangankan menyewa baby sitter, dengan ibu tirinya saja Anna cuek. Entah apa alasan yang pasti, tapi Anna menjadi lebih dingin semenjak mendapat pukulan fisik dari seorang wanita
Dengan mata berkaca-kaca, Anna langsung berlari menerobos kerumunan orang-orang yang mengelilingi Agatha. Jayden menatap tajam ke arah mobil pelaku yang sudah melaju kencang. Tangannya terkepal kuat, nomor plat mobil itu terlihat tidak asing."Tunggu saja, aku akan memberimu pelajaran," batin Jayden. Otot rahangnya mengeras menahan emosi."Papa! Ayo kita ikut ke rumah sakit! Aku ingin melihat Tante Agatha! Aku takut! Dia berdarah, Pa!"Jayden nyaris terperanjat saat Anna tiba-tiba muncul sambil menggoyangkan lengannya. Ia tertegun, mata putrinya itu sudah berderai air mata. Jayden segera menggendong Anna lalu mengusap jejak air matanya. "Pa, Tante Agatha pasti sedang kesakitan. Kita harus memberinya semangat," ujar Anna dengan sendu dan lirih. Jayden terenyuh melihat ekspresi yang jarang Anna perlihatkan itu. "Kamu serius ingin ke sana sekarang juga?"Anna mengangguk-angguk yakin dengan mata penuh harap. Jayden terdiam. Di dalam hatinya paling dalam, ia juga ingin melihat kondisi Aga
Agatha tidak menyangka dalam sehari ini bisa bertemu dengan Jayden dan Anna. Pasca insiden di bar itu, Agatha merasa takdirnya sedikit berbeda. Setelah bertahun-tahun hidup sendirian, baru kali ini Agatha dijenguk oleh seseorang selain sahabatnya. Bahkan Aluna pun tidak bisa berlama-lama menemaninya karena hubungan mereka tidak disukai oleh mama Aluna. Namun saat ini, seorang gadis kecil bersama ayahnya, dengan tiba-tiba malah mengkhawatirkan kondisinya."Tante Agatha pasti kesakitan. Tapi kenapa tante tidak menangis?" Celetukan Anna itu membuat lamunan Agatha terbuyar. "Ah, iya. Karena tubuh aku kuat, Anna. Segini, sih, tidak seberapa sakitnya."Berhubung Anna sangat menyukai orang yang kuat, ia tidak bisa menyembunyikan binar matanya. "Wah, hebat! Aku juga ingin menjadi kuat seperti tante. Tidak gampang menangis dan merasa sakit."Agatha menggeleng dan tersenyum geli. Dari sekian banyak anak kecil yang ia temui, baru Anna yang memujinya seperti itu. "Sebenarnya aku tidak sekuat it
Agatha terdiam, bergelut dengan pikirannya lagi. Tinggal bersama dengan orang kaya bukanlah tawaran sembarangan. Apalagi Jayden seorang duda. Namun di lain sisi, ini kesempatan emas. Karena saat ini ia memang membutuhkan tempat tinggal, uang untuk biaya kuliah, serta menggantikan ponsel seniornya. "Tawaran aku masih berlaku, Agatha. Belum cukupkah untuk membuatmu yakin? Kamu bisa mendapatkan keuntungan besar. Alasan apa lagi yang akan kamu katakan kali ini?" Pertanyaan jebakan. Agatha tidak bisa menjawabnya dengan penolakan. Terlebih lagi Anna sangat berharap kepadanya. Jika ia tetap menolak, gadis itu pasti akan membencinya. Dan Agatha tidak ingin membuat anak kecil memusuhinya. Bukan hanya Anna, anak-anak lain yang ia temui, pun selalu berusaha ia beri kebahagiaan meski tidak seberapa."Papa menawari apa ke Tante Agatha?" celetuk Anna sambil melihat papanya dengan kernyitan di dahi.Jayden sengaja mengangkat bahu. "Ini rahasia orang dewasa. Kamu tidak akan mengerti dan tidak perlu
"Katakan yang sejujurnya."Agatha sudah mempunyai tebakan, tapi lagi-lagi ia merasa ragu. Jayden di hadapannya tampak tersenyum kecil, entah apa yang ia pikirkan, tapi Agatha sedikit kesal melihatnya."Aku pikir semua orang tahu siapa aku?" Jayden berjalan selangkah lebih dekat. Alisnya terangkat sebelah. "Kamu tidak pura-pura, kan?"Agatha mundur perlahan, punggungnya sudah menabrak pintu. Ia meneguk ludah susah payah. Jantungnya berdebar-debar lagi. "Aku memang tidak tahu. Dan tidak sedang pura-pura."Jayden mengangguk-angguk, ditatapnya wajah Agatha dengan teliti. "Heum, aku memang tidak melihat raut kebohongan di wajahmu. Tapi aku heran, mengapa kamu tidak tahu siapa aku?"Agatha tidak mau menyiakan kesempatan untuk balas menatap wajah Jayden yang rupawan. Meski jantungnya berdetak kencang, ia memberanikan diri. Mungkin jika gadis lain pasti akan langsung mengalihkan pandangan karena gugup setengah mati."Aku sibuk dengan tugas-tugas kuliah, jadi tidak sempat melihat berita terbar
Selama beberapa detik, Jayden terdiam dengan pertanyaan itu. Jika dipikir-pikir, sebenarnya ia sendiri juga heran mengapa bisa menolong Agatha. Padahal biasanya ia cenderung cuek dan tidak peduli terhadap perempuan. Sekalipun seseorang itu sedang dalam masalah.Namun entah kenapa malam itu saat melihat Agatha, Jayden merasakan sesuatu yang berbeda. Terlebih wajah Agatha mengingatkannya dengan seseorang di masa lalu, yaitu teman masa kecilnya yang tidak pernah ia temui lagi pasca insiden waktu itu."Bukannya sesama manusia harus saling tolong menolong?"Alhasil dari sekian banyak jawaban yang bersarang di otak, Jayden memilih mengutarakan yang satu itu. Setidaknya lebih masuk akal dan tidak bermakna khusus yang membuat Agatha berpikir macam-macam.Agatha mengangguk, tapi masih belum mempercayai bahwa itu alasan yang sebenarnya. "Aku tahu, tapi lelaki sepertimu rasanya mencurigakan karena mau menyelamatkan gadis biasa sepertiku.""Justru karena itu," balas Jayden spontan. Alih-alih asal