Menggertakkan gigi, Jonathan melanjutkan decihannya. "Berkembang pesat? Cih! Sepertinya dia hanya ingin membuktikan betapa bodohnya aku! Dasar anak durhaka!"Dalam kekesalannya, Jonathan melampiaskan frustasinya pada benda-benda di sekitarnya, melempar pena dengan kasar dan memukul meja hingga beberapa dokumen berserakan. Suasana ruang kerjanya terasa panas dan tegang, mencerminkan kekecewaan dan kekesalan yang ia rasakan."Kalau begini jadinya, aku tidak bisa lagi mengawasi gerak-gerik perempuan miskin itu! Sekarang dia pasti sedang bersenang-senang karena rana terbebas olehku!" geram Jonatan kala teringat dengan Agatha yang saat ini pasti sedang hidup damai.Sejak awal, Jonathan sebenarnya ikut campur tangan dalam urusan Jayden karena ingin menjadikannya ahli waris perusahaannya, namun Jayden menolak diatur-atur terutama setelah ia menikah lagi. Tanpa tahu alasannya kenapa ia melakukan itu.Meski Jonathan tahu bahwa Cakra, anak tirinya, tidak memiliki passion di bidang tersebut, ia
Setibanya di ruang rapat, Jayden duduk dan mencoba fokus pada agenda rapat. Namun, beberapa karyawan wanita mencoba duduk di sekitar Jayden dengan harapan bisa menarik perhatiannya. Jayden tetap menahan diri dan hanya memberikan instruksi atau tanggapan yang diperlukan selama rapat.Setelah rapat selesai, Jayden melangkah ke ruangannya dengan harapan bisa bekerja dengan tenang. Namun, begitu masuk ke ruangannya, ada selembar kertas yang tertempel di pintu kaca dengan tulisan 'Pak Jayden, saya membutuhkan tanda tangan Anda'. Jayden hanya mendengkus sekilas melihat kertas pink dengan corak hati itu. Kemudian segera menandatangani dokumen yang dilesakkan di bawahnya tanpa banyak berkomentar.Adegan berulang seperti ini menjadi rutinitas di kantor, dan Jayden tetap mempertahankan sikap dingin dan cueknya, memilih memfokuskan diri pada pekerjaannya."Mereka sangat kurang kasih sayang," kata Jayden dengan decihanm ***Sebuah ketukan lembut terdengar di pintu ruangan Jayden, dan kemudian p
Di tengah-tengah tugas kecil itu, Jayden dan Agatha terlibat dalam percakapan santai, menunjukkan kedekatan yang profesional namun ramah. Karyawan yang sebelumnya mencoba bersaing mulai menyadari bahwa Jayden tidak sepenuhnya terfokus pada mereka.Dengan kecilnya perhatian Jayden pada Agatha, suasana di kantor berubah. Karyawan yang sebelumnya berlomba mendapatkan perhatian bosnya menjadi lebih bersatu, menyadari bahwa persaingan yang berlebihan hanya akan merugikan mereka sendiri. Dengan cerdik, Jayden membuka mata mereka pada pentingnya bekerja sama, bukan bersaing tanpa henti. Dengan langkah-langkah kecil ini, Jayden berharap dapat merubah dinamika di kantornya untuk berkembang lebih baik.Agatha, menyadari keadaan sekitarnya, memberikan dukungan penuh pada inisiatif Jayden. Meskipun dirinya menjadi sorotan, ia memilih untuk menghadapi situasi dengan kepala dingin dan sikap profesional. Keduanya terus bekerja sama dalam berbagai tugas, membuktikan bahwa kerja sama mereka tidak han
"Bye, Aluna. Jangan sampai telat masuk, nanti—“ Brak! Jantung Agatha rasanya nyaris terlepas waktu suara benturan benda yang keras itu masuk ke telinganya dengan menyakitkan. Agatha yang baru saja menyeberang jalan, reflek mematikan sambungan ponsel dan cepat-cepat membalikkan badan. “Ya ampun! Astaga!” Begitu tahu apa yang terjadi tepat di depannya, Agatha memekik keras dan langsung menutup mulutnya. “A–apa ini?” Suara Agatha hampir tertelan di tenggorokan saat mendapati insiden kecelakaan terjadi tepat di hadapannya. Kalau saja ia tidak menyeberang dengan cepat, apakah yang tertabrak truk itu adalah dirinya dan bukan mobil mewah yang kini terlihat hancur itu? Tunggu, tapi sepertinya Agatha mengenali pemilik mobil tersebut. “Tidak, tidak. Pasti Tidak mungkin.” Jantung Agatha tiba-tiba berdebar. Perlahan kakinya melangkah menghampiri kerumunan. Berharap dugaannya tentang pemilik mobil itu salah besar. Dengan ponsel yang ia genggam erat-erat di tangannya, Agatha tiba di depan seo
Jayden, yang awalnya sibuk dengan urusannya di kantor, segera merespons, "Halo, Agatha. Ada apa? Kenapa suaramu terdengar cemas?"Dengan suara yang mencoba tetap stabil, Agatha memberitahu Jayden tentang kecelakaan yang menimpa Jonathan dan kebutuhan darahnya untuk operasi mendesak. Meskipun ia berusaha keras untuk tidak menunjukkan ketakutannya, getaran di dalam suaranya mengungkapkan kekhawatiran yang mendalam."Jayden, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan," ucap Agatha, mencoba menahan tangisnya. "Pria itu mengalami kecelakaan, dia membutuhkan darah, dan aku sudah mendonorkan sebagian darahku. Tapi aku masih takut ...."Jayden di seberang sana terkejut nyaris ponselnya terjatuh. Rahangnya mengeras dengan tatapan tajam, ia segera memotong kata-kata Agatha, "Jangan khawatir, Agatha. Aku akan segera ke rumah sakit. Pasti semuanya baik-baik saja."Dengan sedikit kelegaan, Agatha mengucapkan terima kasih, "Terima kasih, Jayden.""Kita akan hadapi ini bersama-sama," jawab Jayden denga
"T–tolong aku .... Tolong ....” Ucapan yang tenggelam di dalam hati, Jonathan tidak bisa mengeluarkan suaranya.Namun ia bisa melihat seorang perempuan yang menatapnya khawatir, tapi hanya beberapa saat sebelum semuanya menjadi gelap. Saat itu juga Jonathan tersadar dari komanya. Jonathan membuka mata dengan jantung berdebar-debar. “A–aku belum mati?” ujar Jonathan di dalam hati. Ia menoleh, melihat Kinara yang tertidur dengan merebahkan kepalanya di tepi brankar. "Kinara?” panggil Jonathan pelan, nyaris berbisik. Ia perlahan menyentuh tangan Kinara yang berada di atas perutnya. “Heum?” Kinara mengerjapkann mata, sedetik kemudian setelah nyawanya terkumpul, ia reflek membelalakkan mata. “K–kamu sudah sadar?” Kinara seketika berdiri dan air matanya jatuh saat itu juga. Melihat Jonathan sang suami yang sudah membuka mata dengan anggukan kepala disertai senyum yang selama ini dirindukannya. “Aku menunggumu.” Isak tangis Kinara pecah, ia menghamburkan dirinya untuk memeluk Jonathan.
"Terima kasih, Agatha. Aku berjanji mulai sekarang tidak akan lagi ikut campur dalam urusan hidupmu,” ucap Jonathan dengan tekad baru. Ia akan mengubur perasaan bencinya pada Agatha dulu. "Kamu bisa hidup dengan pilihan yang kamu ambil. Dengan siapa yang ada di sampingmu, dan tujuan yang membuatmu terus maju."Agatha pun terkejut, nyaris tidak bisa berkata-kata sampai Jonathan terkekeh kecil. Ia mengedipkan mata berkali-kali, betapa perasannya saat ink tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Sungguh, ia tidak menyangka hari ini akan tiba secepat ini."Apa ini benar-benar nyata? Pria ini akhirnya mau bertobat?" batin Agatha tak percaya. Namun ia hanya mengangguk pelan dengan senyum tipis sebagai jawaban. Meski kejahatan Jonathan masih belum bisa terlupakan, ia berusaha mempercayai permintaan maafnya.Seiring kata-kata itu terucap, suasana dalam ruangan menjadi hangat. Jonathan, dengan seluruh kerendahhatiannya, tahu bahwa ia berutang banyak pada Agatha. Dan meskipun masih ada perjalan
Rumah Jonathan kini tampak penuh kehangatan. Jonathan yang kini berubah, lebih banyak tersenyum dan berusaha terlibat aktif dalam kehidupan keluarganya. Jayden, yang sebelumnya cuek, kini mulai membuka hatinya pada perubahan ayahnya. Agatha dengan sabar terus mendukung proses penyembuhan hubungan di antara mereka.Agatha dengan penuh kelembutan, membantu Anna untuk melewati ketakutannya terhadap Jonathan. Jonatan yang merasa menyesal atas sikapnya yang dulu, berusaha keras untuk memperbaiki hubungan dengan cucunya itu.Sementara itu, Cakra yang belum pulang dari luar negeri tidak mengetahui perubahan yang terjadi di keluarganya. Selama beberapa hari, kebahagiaan tampak kembali di rumah Byhantara. Dalam suasana yang penuh kebahagiaan di rumah Jonathan, Agatha melihat momen yang sempurna untuk memperkuat hubungan antara Jonathan dan Anna. Sebuah adegan manis menunjukkan Anna yang mulai bermain dengan Jonathan di halaman belakang rumah.Anna dengan senang hati menggandeng tangan Jonatha
"Agatha, aku benar-benar menyesal atas semua yang telah kulakukan. Aku ingin memperbaiki kesalahan itu, sungguh," ucap Grace, matanya penuh penyesalan. Agatha yang sejak awal sudah mencoba untuk memaafkan, tersenyum lembut, "Kak Grace, aku percaya bahwa setiap orang bisa berubah. Aku sudah memaafkan kamu, Kak."Mendengar kata-kata itu, mata Grace berkaca-kaca, merasa beban besar terangkat dari pundaknya. "Terima kasih, Agatha. Aku berharap kebahagiaan selalu menyertaimu."Agatha kemudian mendekat dan memeluk Grace. Sementara itu, Grace yang lega sampai menangis, merasa terharu karena Agatha masih begitu baik padanya meskipun semua kesalahannya di masa lalu."Sukses untuk karirmu di luar negeri, ya, Kak Grace. Aku yakin kamu akan menemukan kebahagiaanmu sendiri di sana," ucap Agatha sambil tersenyum.Dengan hati yang lega dan bersih, Grace pun pergi, meninggalkan Agatha yang semakin siap menyongsong hari pernikahannya dengan Jayden. Sebelum itu, tak lupa Grace mengucapkan selamat kepa
"Bagaimana dengan skripsimu? Apa masih perlu direvisi lagi?" tanya Jayden di suatu malam. Lelaki itu duduk di sebelah Agatha yang tengah menatap laptopnya. Agatha pun menoleh, mukanya tampak cemas dan ragu. Hal itu tentu membuat Jayden seketika ikut khawatir. "Hei? Apa ada yang salah lagi? Katakan saja, aku akan membantumu," ucap Jayden sambil memegang kedua pundak Agatha.Beberapa detik raut wajah Agatha berubah cerah, ia tertawa renyah. Seketika membuat Jayden terkesiap. Seketika ia menaikkan alisnya. Merasa telah dikerjai.Agatha tersenyum lebar. "Tidak, Jayden. Aku hanya ingin melihat reaksimu. Skripsiku sudah selesai dan tidak perlu revisi lagi. Aku mendapatkan nilai bagus, dan sekarang semuanya sudah selesai. Tinggal menunggu giliran sidang saja."Jayden melepaskan napas lega. "Astaga, kamu sungguh membuatku khawatir. Tapi sungguh, aku bangga padamu, Agatha. Kamu melakukan dengan sangat baik."Agatha tersenyum lebih lebar lagi. "Terima kasih, Jayden. Ini semua juga berkat duku
Anna yang terlampau bahagia, tanpa sadar mengeluarkan air mata. "Benarkah? Ini sungguh-sungguh hadiah yang paling indah! Terima kasih, Papa! Terima kasih, Tante Agatha!"Anna langsung memeluk keduanya erat, tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Mereka bertiga berpelukan dalam momen yang sarat makna. Kinara dan Oma Sarah yang melihatnya, tak bisa membendung titik air yang keluar dari mata. Mereka ikut bahagia.Jayden tersenyum sambil merangkul Anna dan Agatha. "Kita berdua sangat mencintaimu, Anna. Kita pasti akan menjadi keluarga yang bahagia seterusnya."Di tengah pelukan hangat itu, Kinara mengusap matanya lalu tersenyum sumringah. "Terima kasih, Agatha. Kehadiranmu membawa begitu banyak kebahagiaan pada keluarga ini."Oma Sarah turut menyampaikan rasa terima kasihnya. Ia tersenyum lembut dengan sisa air matanya. "Benar, Anna pasti sangat bahagia memiliki ibu seperti kamu, Agatha."Agatha mengangguk, tersenyum tulus. "Saya juga sangat bahagia bisa menjadi bagian dari keluarga ini.
"Sadarlah, Cakra! Kamu tidak bisa selalu mendapatkan apa yang kamu mau! Kamu juga tidak bisa memaksa perasaan seseorang untuk menyukaimu!" bentak Kinara tanpa ampun. Meski air mata turun dari kelopaknya, ia tetap menampilkan wajah yang penuh amarah."Jangan sekali-kali kamu merendahkan seseorang yang ada di bawahmu!" Kinara kemudian melepaskan cekalannya pada dagu Cakra dan mengembuskan napas panjang."Pergi ke kamarmu dan pikirkan perbuatan bejatmu itu! Sampai sebelum papamu pulang, kamu jangan berharap bisa keluar dari sana! Renungi kesalahan yang telah kamu perbuat sampai kamu benar-benar sadar bahwa perbuatanmu sudah sangat memalukan keluarga kita!""Kamu telah membuat ibu kecewa, Cakra!" teriak Kinara untuk yang terakhir kali sebelum menutup pintu kamar Cakra dengan kasar hingga menimbulkan suara sangat keras.Cakra tetap diam, menanggung setiap amarah dan makian yang dilontarkan oleh Kinara. Wajahnya terlihat tanpa ekspresi, namun matanya mengandung rasa penyesalan yang dalam. M
Agatha menatap kagum. "Ini ..... Ini sangat indah, Jayden. Apakah ini bagian dari hadiah untuk Anna?"Jayden menggeleng sambil tersenyum. "Ini untuk kamu, dan kita berdua yang akan menikmati momen ini bersama.""S–sungguh?"Jayden mengangguk. Agatha terpana, tak menyangka Jayden merencanakan sesuatu seindah ini. Setelah Jayden menggandeng Agatha keluar mobil, mereka duduk bersama di tepi danau, menyaksikan gemerlap lentera-lentera kecil yang mengapung di permukaan air. Suasana menjadi semakin hangat di bawah sinar rembulan.Jayden menatap Agatha dari samping. "Aku harap kita bisa menjadikan malam ini sebagai kenangan indah bersama."Agatha menoleh, tersenyum bahagia, merasa terharu dengan kejutan yang dilakukan Jayden. Malam itu, di tepi danau yang tenang, Jayden dan Agatha merasakan suasana romantis yang tak terlupakan.Tak lama Jayden mengambil kotak kecil di kantongnya. Ia merasa berdebar-debar. "Agatha, sebenarnya ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu."Agatha menatap Jayden den
"Terima kasih sudah menemukanku. Sekarang aku baik-baik saja, Jayden."Agatha tersenyum hampir menangis, rasanya terharu saat seseorang yang mencemaskan dirinya sampai seperti ini. Ia tidak menyangka apalagi orang itu adalah Jayden Byhantara."Apa kamu terluka? Lelaki bejat itu telah melakukan apa terhadapmu?" Jayden melepaskan pelukannya dan memegang kedua pundak Agatha. Menatapnya ke dalam matanya. Penuh kecemasan dan kekhawatiran yang membara.Agatha menatap mata Jayden yang penuh perhatian dan belum pernah ia lihat sebelumnya. Suara dari orang-orang di belakang Jayden yang bergegas masuk mengalun samar, tapi fokus Agatha hanya sepenuhnya tertuju pada pria yang ada di depannya ini.Agatha tersenyum senyum tipis dan lembut. "Tidak, Jayden. Aku tidak terluka. Berkat keahlianku, aku bisa mengatasi situasinya. Dia juga belum sempat melakukan sesuatu yang bejat terhadapku."Jayden menghela napas lega. Diusapnya kepala Agatha. "Aku sungguh khawatir. Jangan pernah lagi menyusahkan dirimu
"Dasar merepotkan," gumam Agatha sambil berjalan menghampiri Cakra yang masih pingsan.Agatha tanpa permisi mencari kunci di kedua saku celana Cakra. Setelah ketemu, ia menghela napas keras. Sialan sekali karena kuncinya tidak hanya satu. Melainkan gerombolan. Agatha meringis di dalam hati. Sepertinya ia memang harus mengerahkan semua tenaganya hanya untuk keluar dari kamar ini.Agataha mengembuskan napas. Dengan lunglai berjalan menuju pintu lagi dan membukanya dengan mencoba beberapa kunci yang ada di tangannya. Namun setidaknya ia masih beruntung karena kamar itu tidak menggunakan pintu yang menyerupai apartemen di mana mengharuskan memakai kode pin.Nantinya setelah pintu itu terbuka, Agatha berencana akan menelepon Jayden dan mengirim lokasi. Jika tidak ada sinyal, Agatha mempunyai rencana kedua yaitu ia akan mencari tombol kebakaran di sana.Ia bisa langsung kabur dengan berlari sekencang mungkin. Soal jalan pulang, ia akan memikirkan itu di belakang, yang terpenting ia bisa kel
"Hei, kenapa diam saja, Sayang? Coba berteriaklah seperti tadi." Cakra terkekeh sambil bersedekap dada dan menyender pada kursi."Ah, kamu sedang memikirkan jawaban yang tepat, yah?" Cakra mengangguk-angguk. "Bagus, jangan sampai salah pilih, ya, Sayang."Agatha memejamkan mata sejenak, sungguh ia menyesal kenapa tadi sempat tertipu dengan Grace saat di minimarket. Kalau saja ia lebih waspada, mungkin dirinya tidak akan terjebak dengan direktur gila itu."Sial. Apa yang harus aku lakukan?" Agatha menatap ke sekeliling ruangan. Selama beberapa detik, tiba-tiba otaknya memikirkan sesuatu."Kenapa aku baru terpikirkan itu, ya?" Agatha tersenyum miring. "Meskipun belum tentu berhasil, setidaknya rencana ini cukup mudah aku lakukan. Dengan tenaga yang aku punya, aku yakin dia akan tumbang."Agatha memusatkan pikiran pada rencananya. Ia mencoba mengabaikan godaan Cakra yang terus mencoba meruntuhkan ketenangannya. Dengan berusaha menahan emosi, Agatha mulai merencanakan langkah-langkah keci
Dalam kejutan yang tidak disangka, Jayden dan Reyhan tiba-tiba bertemu dengan Grace. Reyhan, yang memiliki rencana cepat, dengan cekatan menarik tangan Grace dan membawanya masuk ke dalam sembarang pintu yang ada di dekat mereka. Jayden tersentak, tapi bergegas mengikuti langkah Reyhan dan segera mengunci pintu ruangan yang tampaknya merupakan sebuah gudang.Di dalam ruangan yang gelap, Grace kaget setengah mati. Reyhan dengan sigap melepas dasinya sebagai penutup mata Grace dan membungkamnya dengan telapak tangan agar tidak berteriak. Karena gelap, Grace tidak dapat melihat wajah Reyhan, sehingga identitasnya tetap disembunyikan.Grace bingung dan cemas. Ia terlambat syok bahwa ada penyususp yang datang. Apalagi ia menjadi tertangkap. Sial. Ia tidak bisa bergerak sedikit pun saat ini. Padahal ia hendak ke tempat Cakra dan Agatha untuk ikut melihat betapa kesusahannya Agatha, tapi menyebalkan sekali karena tiba-tiba ia ikut merasakan seperti ini."Sial! Seharusnya aku lewat jalan lai