"Aku nggak bisa diam terus seperti ini sementara orang yang aku cintai sedang bersama dengan orang jahat," gumam Tari sambil meremas-remas jemarinya.
"Aku harus melihat suamiku." Tari membuka kunci pintu ruang kerja sang suami, lalu melongok melihat keadaan sekitar.
Para pengawal Haidar berjaga di depan pintu ruang kerja sang CEO. Tari semakin yakin kalau suaminya dalam bahaya.
"Banyak pengawal di depan pintu, bagaimana caranya aku masuk?" Tari berpikir keras mencari alasan supaya ia bisa masuk ke dalam ruangan bos-nya.
Ia mondar-mandir sambil memijat batang hidungnya, "Kenapa otakku menjadi buntu di saat begini," gumamnya yang belum juga mendapatkan alasan yang kuat supaya ia bisa masuk ke dalam ruangan bos-nya.
Setelah beberapa menit, akhirnya ia mendapatkan cara supaya bisa masuk dengan mulus ke dalam ruangan yang dijaga ketat para pengawal Haidar.
Tari melangkah keluar dari ruang kerja sang suami setelah mendapatkan ide. Ia berjalan cepa
Haidar menunggu Tari di depan ruang IGD dengan gelisah. Ia khawatir terjadi sesuatu yang fatal terhadap sekretarisnya. Jika itu terjadi, ia akan merasa sangat bersalah.Haidar mengalihkan pandangannya pada sosok laki-laki yang berlari ke arahnya. Dia adalah Baron, sang asisten yang datang dengan penampilan yang kacau. Kemeja putih dan tangannya sudah berlumur darah, membuat Haidar berpikir kalau sang asisten telah membunuh orang.“Tuan, bagaimana keadaan istri saya?” tanya Baron dengan napas yang tersengal-sengal karena habis berlari.“Saya belum tahu,” jawab Baron, “Sejak tadi belum ada Dokter yang keluar dari ruangan ini.”Haidar tidak berani bertanya tentang keadaan di kantor, ia tahu kalau sang asisten begitu terpukul dengan musibah yang terjadi pada istrinya.Baron dan Haidar menunggu sambil mondar-mandir dengan gelisah. Kedua laki-laki itu mempunyai pikiran yang sama dan kekhawatiran yang sama pula dengan s
Kini Tari sudah dipindah ke ruang perawatan, tapi sekretaris cantik itu belum sadarkan diri. Ia masih tertidur akibat pengaruh dari obat yang diminumnya."Tuan, terima kasih sudah menolong istri saya," ucap Baron dengan tulus, "Sebaiknya Tuan pulang saja, pakaian Tuan penuh dengan noda darah."Mendengar ucapan Baron, ia jadi teringat dengan nasib Ardi dan temannya.Haidar menegakkan tubuhnya, "Baron, bagaimana keadaan Ardi?" tanya Haidar kepada asistennya."Dia dibawa ke rumah sakit sebelum dibawa ke kantor polisi," jawab Baron, "Maafkan saya, Tuan, saya tidak bisa mengendalikan diri, hingga Tuan Ardi babak belur, kalau pengawal tidak cepat masuk mungkin dia sudah tewas di tangan saya."Baron menundukkan kepalanya, ia merasa bersalah karena telah melukai sepupu bos-nya. Saat itu dia benar-benar kalap kepada laki-laki yang telah melukai istrinya."Saya tidak peduli dengannya," sahut Haidar, "Saya hanya khawatir kalau kamu membunuh
Baron menggenggam jemari tangan sang istri, mengusap-usapnya dengan lembut. "Sayang, maafkan saya, tidak bisa menjagamu," ucapnya . Lalu, mencium tangan istrinya dengan lembut.Baron bangun dan berdiri, saat ia hendak mencium kening sang istri terdengar suara ketukan pintu. Ia berjalan mendekat untuk membukakan pintu."Nak! Kamu kenapa?" Bu Rumi terkejut saat melihat pakaian sang menantu banyak noda darah."Saya tidak apa-apa, Bu," jawab Baron "Mari Bu, Pak, silakan masuk!" Baron mempersilakan mertuanya untuk masuk terlebih dulu, dan mengajaknya untuk duduk di sofa yang ada di ruangan itu. "Silakan duduk!" ucapnya dengan sopan."Ini pakaianmu, Nak, ganti dulu bajumu!" Bu Rumi menyerahkan paperbag berwarna hitam kepada sang menantu sebelum duduk."Terima kasih," ucap Baron sambil menerima paperbag, "Maafkan saya tidak bisa menjaga Tari!" Baron membungkukkan badannya di hadapan sang mertua."Sudahlah, Nak! Kamu jangan menyalahkan diri kamu, in
Andin tidak bisa tenang sebelum mendengar suara suaminya. Apalagi ia juga tahu kalau istri Baron jadi korban penusukan itu."Siapkan semuanya, kita ke Jakarta sekarang!" titah Andin pada pengawalnya.Ibu dua anak itu bergegas pulang. "Ra, aku pulang dulu! Masalah ini kita bahas besok!" pamit Andin pada manager Diras Kafe"Siap, Bos," sahut Ira.Andin segera pulang ke rumah untuk meminta izin pada sang bunda. "Bagaimana? Apa kita bisa pulang secepatnya?" tanya Andin pada pengawalnya saat sudah berada di dalam mobil, menuju rumah.Setelah beberapa menit, mobil mewah itu sampai di depan rumah Nenek Marisa. Andin langsung keluar dari mobil dan berjalan cepat masuk ke dalam rumahnya."Bunda, aku balik ke Jakarta ya, titip anak-anak. Mungkin besok pagi aku baru balik lagi ke sini," kata Andin setelah mencium pipi anak-anaknya."Apa yang terjadi? Kenapa kamu terlihat panik seperti itu?" tanya sang bunda yang belum tahu apa-apa."Ada k
Perlahan Tari membuka matanya, ia menoleh pada Andin dan tersenyum. “Mbak,” ucapnya pelan.“Mbak Tari mau minum?” tanya Andin pada istri dari asisten suaminya.Tari menganggukkan kepalanya perlahan, “Iya,” jawabnya.Andin mengambilkan air minum yang ada di atas nakas, lalu membantu Tari minum memakai sedotan.“Terima kasih, Mbak Andin,” ucap Tari sambil tersenyum, “Mbak bukannya ada di Bandung ya?” tanya Tari kepada istri sang bos.“Aku baru sampai,” jawab Andin, “Mbak Tari, maafkan kami ya, gara-gara masalah keluarga Mannaf, Mbak Tari jadi korban,” ucapnya dengan tulus sambil menggenggam jemari tangan Tari.“Harusnya saya yang minta maaf, tidak mengikuti perintah Tuan Haidar. Padahal setiap perintahnya pasti demi kebaikan. Termasuk dijodohkan dengan Tuan Baron. Saat itu saya bersyukur mengikuti perintahnya, Saya janji, mulai saat ini apa pun yang terja
Haidar melihat nama pemanggil yang nampak dari layar ponsel asistennya. Terlihat ada tulisan Nyonya penakluk singa."Siapa Nyonya penakluk singa?" tanya Haidar sambil menempelkan benda pipih itu di telinganya.Baron hanya diam saja, ia tidak menjawab pertanyaan tuannya. 'Kenapa saya bisa lupa tidak mengganti nama kontak Nyonya,' ucap Baron dalam hatinya."Baron, cepat kamu ke sini, Mbak Tari sudah sadar!" titah Andin sekali lagi kepada asistennya."Bee, kamu ada di sini?" tanya Haidar dengan pelan."Kamu ke mana aja? Dari pagi aku telepon nggak pernah dijawab. Kamu lagi ngapain sekarang? Bikin aku jantungan aja!" omel Andin pada istrinya.'Tahu dari mana dia masalah di kantor?' Haidar bertanya-tanya dalam hatinya."Boo, kenapa kamu diam aja? Kamu udah nggak anggap aku sebagai istrimu lagi?" kembali sang istri mengomel. "Kalau saja pengawal Ayah nggak bilang, apa kamu juga akan menyembunyikan semuanya dari aku?"'Aku lupa
"Ada apa, Tuan?" tanya Baron saat mendengar gumaman sang tuan yang kurang jelas."Tidak apa-apa," jawab Baron sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku kemeja.Baron kembali menambah kecepatan laju kendaraannya. Ia ingin cepat-cepat bertemu dengan sang istri."Saya sudah bilang, fokuskan keluargamu, terutama istrimu yang sedang sakit!" omel Haidar kepada asistennya."Saya tadi harus memberikan kesaksian di kantor polisi, lalu saya ke rumah Tuan untuk memberikan laporan," jelas Baron pada tuannya."Hmmm ...." Haidar tidak menjawab apa-apa lagi.Ia sudah sangat bosan memperingatkan asistennya untuk lebih mengutamakan keluarganya dari pada urusan lain. Terlebih lagi istrinya sedang terbaring lemah di ranjang rumah sakit.'Apakah si Baron, belum benar-benar mencintai Tari? Kenapa dia tidak mengkhawatirkan istrinya yang sakit?' Haidar bergelut dengan pemikirannya sendiri, meragukan cinta Baron.Padahal dalam hati Baron ia begitu men
"Sayang, lain kali ikuti perintah Tuan, dan percayalah pada suamimu ini!" kata Baron sambil membelai lembut wajah pucat sang istri. "Tuanlah yang lebih sigap membawamu ke rumah sakit. Jadi, berterima kasihlah padanya!"Tari menatap wajah sang bos sambil menitikkan air mata. "Terima kasih, Tuan," ucapnya sambil menyeka air mata yang membasahi pipinya."Sepertinya kamu harus berterima kasih pada ponselmu," kata Haidar sambil tertawa pelan."Boo ... orang sakit diketawain!" Andin memukul lengan sang suami yang berdiri di sampingnya."Kaget aku, Bee." Haidar menoleh pada sang istri sambil mengelus dada."Lagian kamu, orang sakit diketawain," balas Andin yang kembali memukul suaminya.Haidar mengapit leher sang istri sambil menutup mulut sang istri dengan telapak tangannya supaya wanita cantik itu tidak mengomel lagi."Maksud, Tuan?" Tari merasa bingung dengan apa yang diucapkan tuannya.Baron menarik laci nakas di samping ranjang T