Andin tidak bisa tenang sebelum mendengar suara suaminya. Apalagi ia juga tahu kalau istri Baron jadi korban penusukan itu.
"Siapkan semuanya, kita ke Jakarta sekarang!" titah Andin pada pengawalnya.
Ibu dua anak itu bergegas pulang. "Ra, aku pulang dulu! Masalah ini kita bahas besok!" pamit Andin pada manager Diras Kafe
"Siap, Bos," sahut Ira.
Andin segera pulang ke rumah untuk meminta izin pada sang bunda. "Bagaimana? Apa kita bisa pulang secepatnya?" tanya Andin pada pengawalnya saat sudah berada di dalam mobil, menuju rumah.
Setelah beberapa menit, mobil mewah itu sampai di depan rumah Nenek Marisa. Andin langsung keluar dari mobil dan berjalan cepat masuk ke dalam rumahnya.
"Bunda, aku balik ke Jakarta ya, titip anak-anak. Mungkin besok pagi aku baru balik lagi ke sini," kata Andin setelah mencium pipi anak-anaknya.
"Apa yang terjadi? Kenapa kamu terlihat panik seperti itu?" tanya sang bunda yang belum tahu apa-apa.
"Ada k
Perlahan Tari membuka matanya, ia menoleh pada Andin dan tersenyum. “Mbak,” ucapnya pelan.“Mbak Tari mau minum?” tanya Andin pada istri dari asisten suaminya.Tari menganggukkan kepalanya perlahan, “Iya,” jawabnya.Andin mengambilkan air minum yang ada di atas nakas, lalu membantu Tari minum memakai sedotan.“Terima kasih, Mbak Andin,” ucap Tari sambil tersenyum, “Mbak bukannya ada di Bandung ya?” tanya Tari kepada istri sang bos.“Aku baru sampai,” jawab Andin, “Mbak Tari, maafkan kami ya, gara-gara masalah keluarga Mannaf, Mbak Tari jadi korban,” ucapnya dengan tulus sambil menggenggam jemari tangan Tari.“Harusnya saya yang minta maaf, tidak mengikuti perintah Tuan Haidar. Padahal setiap perintahnya pasti demi kebaikan. Termasuk dijodohkan dengan Tuan Baron. Saat itu saya bersyukur mengikuti perintahnya, Saya janji, mulai saat ini apa pun yang terja
Haidar melihat nama pemanggil yang nampak dari layar ponsel asistennya. Terlihat ada tulisan Nyonya penakluk singa."Siapa Nyonya penakluk singa?" tanya Haidar sambil menempelkan benda pipih itu di telinganya.Baron hanya diam saja, ia tidak menjawab pertanyaan tuannya. 'Kenapa saya bisa lupa tidak mengganti nama kontak Nyonya,' ucap Baron dalam hatinya."Baron, cepat kamu ke sini, Mbak Tari sudah sadar!" titah Andin sekali lagi kepada asistennya."Bee, kamu ada di sini?" tanya Haidar dengan pelan."Kamu ke mana aja? Dari pagi aku telepon nggak pernah dijawab. Kamu lagi ngapain sekarang? Bikin aku jantungan aja!" omel Andin pada istrinya.'Tahu dari mana dia masalah di kantor?' Haidar bertanya-tanya dalam hatinya."Boo, kenapa kamu diam aja? Kamu udah nggak anggap aku sebagai istrimu lagi?" kembali sang istri mengomel. "Kalau saja pengawal Ayah nggak bilang, apa kamu juga akan menyembunyikan semuanya dari aku?"'Aku lupa
"Ada apa, Tuan?" tanya Baron saat mendengar gumaman sang tuan yang kurang jelas."Tidak apa-apa," jawab Baron sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku kemeja.Baron kembali menambah kecepatan laju kendaraannya. Ia ingin cepat-cepat bertemu dengan sang istri."Saya sudah bilang, fokuskan keluargamu, terutama istrimu yang sedang sakit!" omel Haidar kepada asistennya."Saya tadi harus memberikan kesaksian di kantor polisi, lalu saya ke rumah Tuan untuk memberikan laporan," jelas Baron pada tuannya."Hmmm ...." Haidar tidak menjawab apa-apa lagi.Ia sudah sangat bosan memperingatkan asistennya untuk lebih mengutamakan keluarganya dari pada urusan lain. Terlebih lagi istrinya sedang terbaring lemah di ranjang rumah sakit.'Apakah si Baron, belum benar-benar mencintai Tari? Kenapa dia tidak mengkhawatirkan istrinya yang sakit?' Haidar bergelut dengan pemikirannya sendiri, meragukan cinta Baron.Padahal dalam hati Baron ia begitu men
"Sayang, lain kali ikuti perintah Tuan, dan percayalah pada suamimu ini!" kata Baron sambil membelai lembut wajah pucat sang istri. "Tuanlah yang lebih sigap membawamu ke rumah sakit. Jadi, berterima kasihlah padanya!"Tari menatap wajah sang bos sambil menitikkan air mata. "Terima kasih, Tuan," ucapnya sambil menyeka air mata yang membasahi pipinya."Sepertinya kamu harus berterima kasih pada ponselmu," kata Haidar sambil tertawa pelan."Boo ... orang sakit diketawain!" Andin memukul lengan sang suami yang berdiri di sampingnya."Kaget aku, Bee." Haidar menoleh pada sang istri sambil mengelus dada."Lagian kamu, orang sakit diketawain," balas Andin yang kembali memukul suaminya.Haidar mengapit leher sang istri sambil menutup mulut sang istri dengan telapak tangannya supaya wanita cantik itu tidak mengomel lagi."Maksud, Tuan?" Tari merasa bingung dengan apa yang diucapkan tuannya.Baron menarik laci nakas di samping ranjang T
Kecupan mesra mendarat di kening sang sekretaris cantik. Sungguh ia merasa bersalah karena tidak bisa menahan amarahnya. Itu karena Baron terlalu mencintai sang istri.Kedua pasangan itu seolah-olah menganggap orang lain tidak ada di ruangan itu. Kemesraan yang mereka tampilkan di depan bos dan istrinya membuat sang bos merasa iri.Melihat kemesraan asisten dan sekretarisnya, Haidar jadi ingin melakukan hal yang sama. Berujar kata cinta yang jarang sekali mereka ungkapkan semenjak mempunyai dua orang anak."Bee, aku mencintaimu. Apa kamu juga mencintaiku?" Pertanyaan yang konyol dari seorang suami kepada istrinya yang hampir dua tahun ia nikahi.Andin memutar bola matanya dengan malas. 'Kenapa brondong alot bertanya seperti itu, padahal aku selalu melayaninya dengan baik, apa sikapku selama ini kurang membuktikan kalau aku begitu mencintainya.'"Bee, kenapa kamu hanya diam?""Aku tidak mempunyai jawaban untuk pertanyaanmu!" Andin benar-benar
Haidar menurunkan istrinya di samping mobil mewah yang pintunya sudah dibukakan oleh sang pengawal.Andin pun segera masuk ke dalam mobil, disusul oleh sang suami. Setelah mereka berdua masuk, sang pengawal pun masuk, dan duduk di bangku kemudi.Kendaraan mewah milik keluarga Haidar itu melesat di jalanan membelah malam."Sayang, apa kamu sangat merindukanku?" Haidar menoleh pada sang istri yang duduk sambil menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. "Kenapa kamu kembali ke Jakarta."Istri mana yang tidak merindukan suaminya saat berada jauh dari pandangannya. Selama masih ada cinta di hati, rindu itu akan selalu ada. Selama waktu terus berjalan rindu itu akan semakin berat."Aku pulang karena sangat mengkhawatirkanmu." Andin melirik laki-laki yang duduk miring sambil memandangnya."Apa kamu tidak merindukan laki-laki tampan ini?" tanya Haidar sekali lagi, "Aku akan sangat kecewa jika jawabanmu tidak."Andin terkekeh mende
Rumah mewah itu tampak gelap. Hanya ada lilin sebagai penerang di kiri dan kanan sepanjang jalan yang ditaburi kelopak bunga mawar merah.Haidar menggendong sang istri ala bridal style dan mengayunkan langkahnya melewati jalan yang ditaburi kelopak mawar itu.Andin melingkarkan tangannya di leher sang suami. Pandangannya tidak lepas dari wajah laki-laki yang mempunyai rahang tegas yang ditumbuhi rambut-rambut halus sebagai hiasan di wajahnya.Haidar terus melangkah masuk sampai di balkon kamarnya. Ia menurunkan sang istri di samping meja yang sudah dihiasi dengan taplak meja berwarna putih dan lilin besar di tengah meja itu.Sudah tersedia hidangan makan malam untuk pasangan suami istri itu."Boo, apa semua ini kamu yang melakukannya?" tanya Andin sambil melingkarkan tangannya di leher Haidar.Haidar melingkarkan tangannya di pinggang wanita cantik yang telah melahirkan dua anak untuknya."Tentu saja bukan," jawab Ha
Haidar membuka ritsleting celana Andin, lalu melucutinya hingga terlepas dari kaki bidadari mesumnya. Lidah suaminya menyapu ujung kaki hingga pangkal paha istrinya dengan lembut.Andin meliukkan tubuh montoknya saat kulitnya bersentuhan dengan benda lembut sang suami. Terasa seperti sengatan yang memabukkan saat lidah itu menyapu daerah di antara kedua pahanya walau masih terbungkus segitiga hitam.Haidar merayap di atas tubuh Andin. Tangannya mulai membuka kancing blus berwarna putih itu satu persatu. Kemudian, ia mengangkat tubuh istrinya untuk mempermudahnya melepas baju itu.Tenggorokannya terasa kering, hingga ia kesulitan menelan ludahnya saat melihat tubuh molek sang istri. Padahal ini bukan pertama kalinya ia melihat keindahan tubuh ibu dari anak-anaknya.Tidak ada lagi kesabaran dalam dirinya. Hasratnya sudah menggebu. Gejolak kenikmatan di tubuhnya membuat napas Haidar memburu. Di setiap jengkal tubuh sang istri sudah menjadi candu baginya.&nbs