“Akhirnya aku bisa tiap saat main sama Nia, jadi aku nggak merasa bosen lagi,” gumam Andin sambil mengunci pintu rumahnya.
Tapi, ketika Andin berbalik badan, mobil mewah berwarna hitam mengkilat yang ia tahu itu adalah mobil suaminya masuk ke dalam pekarangan rumah sang kakek.
Andin terkejut dengan kedatangan suaminya, ia tampak gugup ketika hendak membuka pintu rumahnya lagi, anak kuncinya tidak masuk-masuk ke dalam lubang kunci karena tangan Andin gemetaran.
Seketika emosinya kembali memuncak saat melihat sang suami yang sudah turun dari mobil ketika Andin menoleh ke belakang. “Ya Tuhan tolong bantu aku!” Andin belum bisa membuka kunci pintu karena ia tidak fokus. Andin menghirup napas panjang dan mengembuskannya dengan perlahan untuk menenangkan diri, dan akhirnya ia bisa membuka pintu itu. “Terima kasih, Tuhan.
Pintu rumah mewah itu sudah bisa dibuka, Andin dengan ce
“Pergi!” teriak Andin pada suaminya.Andin benar-benar membenci Haidar, hatinya sangat sakit melihat sang suami berjalan dengan wanita lain. Ia begitu kecewa dengan suaminya. Kesalahan lain bisa di maafkan, tapi tidak untuk sebuah pengkhianatan.Andin terus mendorong pintunya dengan kuat sambil menendangi kaki suaminya. “Aku juga kangen, tapi kebencianku melebihi apa pun. Hatiku sakit, sangat sakit,” ucapnya dalam hati.Haidar meringis karena betisnya semakin terjepit. “Aku ada ide,” batin Haidar.“Bee, aku nggak ada apa-apa sama wanita itu. Dia partner bisnisku.” Haidar berusaha menjelaskannya.“Aku nggak percaya! Mana ada maling mau ngaku, penjara penuh kalau semua maling pada ngaku.” Andin mendorong pintu dengan sekuat tenaga agar suaminya kesakitan dan menarik kakinya.“Aw
“Gue juga kangen banget sama lo,” balas Sisil sambil berlari menghampiri Andin.“Gue butuh lo, di saat pengin curhat nggak ada lo di sisi gue,” ucap Andin sambil terisak di dalam pelukan sahabatnya.“Makanya, lain kali kalau kabur ajakin gue, biar lo nggak kesepian.” Sisil semakin erat memeluk sahabatnya itu.Haidar menoleh pada kedua sahabat yang sedang melepas rindu. “Kenapa Sisil yang dipeluk? Suaminya yang sedang kesakitan diabaikan. Ternyata singa betina sangat berbahaya kalau lagi marah,” ucap Haidar dalam hatinya.“Dek, ambilin kotak obat! Suamimu kakinya lecet,” kata Aldin. “Memar juga,” imbuhnya.“Laki-laki kok manja banget, cuma lecet aja sampai teriak-teriak kayak gitu, nggak malu apa sama brewok,” gerutu Andin sambil berjalan untuk mengambil kotak obat yang ada di dapur.
Aldin dan Sisil berlari masuk ke dalam saat mendengar teriakan Andin. Hanya ada Haidar yang masih ada di ruang keluarga. Ia duduk bersandar di kursi sambil memejamkan mata dengan rambut yang acak-acakan. Laki-laki gagah itu terlihat kacau.“Bang Ar, kenapa?” tanya Sisil pada suami sahabatnya. “Kenapa masalah rumah tangga begitu rumit,” gumam Sisil dalam hati.Haidar menegakkan tubuhnya, tatapannya kosong. “Andin mau pisah,” ucapnya lirih.“Apa?!” Aldin dan Sisil terkejut mendengar ucapan Haidar.Haidar bangun dari duduknya. “Ayo kita pulang!” ajak Haidar pada Sisil dan Aldin. Wajahnya dingin tanpa ekspresi.“Aku ingin tetap di sini. Dia butuh aku,” kata Sisil sambil menyeka air matanya. Ia sangat sedih melihat sahabatnya terluka.“Baiklah, besok aku jemput,” sahut Aldin dengan ramah.Sisil menoleh pada laki-laki dingin yang ia cintai dalam diam. Lalu tersen
Mang Ace dan Bi Icih menghampiri Sisil. “Neng ini temennya Neng Andin ya?” tanya Bi Icih pada gadis mungil yang sedang berdiri di ujung tangga.“Iya, Bi,” jawab Sisil dengan ramah.”Namaku Sisil.” Sisil memperkenalkan diri, walau mang Ace dan Bi Icih belum bertanya padanya.“Neng Sisil datang bareng Den Aldin?” tanya Bi Icih pada gadis mungil yang terlihat sangat cantik walau tanpa riasan.“Iya, Bi. Aku ke sini sama Aldin dan suaminya Andin,” jawab Sisil dengan ramah.“Den Aldin dan suami Neng Andin udah pulang ya, Neng?” tanya Mang Ace sambil celingukan mencari Aldin. Ia mendapat pesan singkat dari Aldin kalau ia akan pulang, Mang Ace dan Bi Icih diminta menemani adiknya.“Udah, Mang,” jawab Sisil. “Mang, kamar Andin yang mana ya?” tanya Sisil pada Mang Ace. Dari tadi Sisil kebingungan
Sisil terkejut melihat penampilan sahabatnya yang berantakan.“Kenapa lo? Kayak lihat setan aja,” sahut Andin sambil merapikan rambutnya.“Lo lebih serem dari pada setan, Din,” balas Sisil sambil terkekeh. “Cuci muka dulu sana! Ntar sore kita nyari gebetan orang Bandung.” Sisil sengaja memancing sahabatnya. Ia ingin tahu bagaimana reaksi Andin.“Gue udah punya laki,” sergah Andin sambil memukul lengan sahabatnya dengan keras.“Sakit bego!” Sisil mengusap-uasp tangannya yang dipukul Andin.“Lagian lo ngajakin gue selingkuh, dosa tahu,” sahut Andin. “Biarin aja tuh si Haidar yang menanggung dosa besar karena udah nyakitin hati gue.”“Lo juga dosa, maki-maki suami sendiri. Di tendangin juga kakinya, digencet juga kaki orang sampai luka,” kata Sisil. “Kata
Sisil tertawa terbahak-bahak melihat penampilan sahabatnya. “Mau ngurut di mana, Neng.” Sisil tertawa sambil memegangi perutnya melihat Andin memakai kaca mata hitam. “Lo pake kacamata siapa sih?” lanjutnya sambil terkekeh.“Itu kacamata si mamang,” sahut Bi Icih sambil menahan tawa.“Terus gimana?” Andin membuka kacamata itu, lalu ditaruhnya di meja dapur. “Gue juga laper.”“Lah itu Bibi lagi masak!” sahut Sisil sambil menunjuk Bi Icih yang sedang menggoreng ikan. “Emangnya lo nggak nyium aroma ikan goreng?”“Idung gue mampet. Nggak bisa nyium apa-apa,” jawab Andin sambil memencet hidungnya.“Jangan deket-deket gue, sana jauhan! Jaga jarak sepuluh meter.” Sisil beringsut menjauhi Andin.“Dua meter bego!” umpat Andin pada sahabatnya. “
Andin merasa bersalah pada sang suami setelah mendengar penjelasan dari sahabatnya. Ia sadar kalau dirinya keterlaluan, tapi ia juga tidak bisa menerima pengkhianatan suaminya.“Terus gue harus gimana?” tanya Andin pada sahabatnya.“Lo dengerin dulu penjelasan Bang Ar. Setelah lo lihat buktinya, terserah lo mau pisah atau rujuk. Gue akan selalu mendukung lo,” kata Sisil mencoba membujuk sahabatnya agar mau mendengar dulu penjelasan dari suaminya.Andin menganggukkan kepalanya. “Gue pikirin dulu deh.” Andin bangun dari duduknya. Ia berjalan menuju teras belakang.Sisil pun mengejar sahabatnya. “Din, lo mau lihat Nancy sama Joy, nggak?” Sisil berusaha menyenangkan hati Andin, agar sahabatnya itu tidak kepikiran terus dengan masalahnya.“Mau,”sahut Andin dengan sumringah. “Tapi, gue nggak mau pulang ke rumah itu.&rdqu
“Ogah!” Andin melempar ponsel Sisil ke sembarang tempat. Untung saja Sisil dengan cepat menangkapnya.“Nggak ada terima kasihnya lo!” sergah Sisil. “Ini banda gue satu-satunya.” Sisil mengelus-elus ponselnya dengan lembut.“Bodo amat!” Andin bangun dari duduknya, lalu pergi meninggalkan Sisil yang sedang mengomel sambil mengusap-usap banda satu-satunya.“Mami!” Andin terkejut saat masuk ke dalam rumah ternyata Mami dan papinya sudah ada di ruang tamu. Jarak rumah Kakek Dani tidak terlalu jauh dari rumah Mama Marisa yang ada di Bandung.“Mami kok tahu, aku di sini?” tanya Andin sambil menyalami tantenya yang ia panggil dengan sebutan Mami.“Tadi Al nelpon Mami, katanya kamu di sini. Dari kemarin dia nyariin kamu,” jawab sang Mami. “Sisil mana? Kata Al dia di sini juga.” Mami Tyas