“Ogah!” Andin melempar ponsel Sisil ke sembarang tempat. Untung saja Sisil dengan cepat menangkapnya.
“Nggak ada terima kasihnya lo!” sergah Sisil. “Ini banda gue satu-satunya.” Sisil mengelus-elus ponselnya dengan lembut.
“Bodo amat!” Andin bangun dari duduknya, lalu pergi meninggalkan Sisil yang sedang mengomel sambil mengusap-usap banda satu-satunya.
“Mami!” Andin terkejut saat masuk ke dalam rumah ternyata Mami dan papinya sudah ada di ruang tamu. Jarak rumah Kakek Dani tidak terlalu jauh dari rumah Mama Marisa yang ada di Bandung.
“Mami kok tahu, aku di sini?” tanya Andin sambil menyalami tantenya yang ia panggil dengan sebutan Mami.
“Tadi Al nelpon Mami, katanya kamu di sini. Dari kemarin dia nyariin kamu,” jawab sang Mami. “Sisil mana? Kata Al dia di sini juga.” Mami Tyas
“Mang!” panggil Mami Tyas pada Mang Ace.“Iya, Bu,” sahut Mang Ace sambil melangkah menghampi Mami Tyas.“Mang, tolong bawain koperku ke kamar ya!” titah Mami Tyas. Kemudian ia bangun dari duduknya. “Mami mau nyamperin Sisil dulu ya.” Mami Tyas pergi meninggalkan Andin dan suaminya.“Dek! Dengerin Papi! Setiap ada masalah, dibicarakan dulu baik-baik jangan kabur-kaburan kayak gini. Kalian tuh bukan sedang pacaran, tapi kalian udah menikah,” kata Papi Rizky. “Jangan gampang mengucap kata cerai, itu nggak baik. Walaupun tidak dilarang oleh agama, tapi Allah membencinya.”“Iya, Pi. Adek akan berusaha memperbaiki diri,” jawabnya.“Kalau memang benar Haidar berselingkuh. Papi yang akan mengurus perceraian kamu,” kata Papi Rizky dengan tegas.“Papi! Tadi katanya ja
Andin tidak bisa memejamkan matanya. Semakin ia paksa untuk terpejam, semakin ia gelisah.“Lo kenapa sih? Kayak cacing kepanasan, nggak bisa diem banget deh,” protes Sisil yang terganggu dengan sahabatnya itu yang selalu bergerak ke sana ke mari.“Gue nggak bisa tidur,” jawab Andin, lalu ia bangun dan duduk bersila. “Kita ngobrol aja yuk!” Andin membuka selimut Sisil yang menutupi seluruh tubuhnya.“Dingin banget, Din.” Sisil kembali merebut selimut yang ditarik Andin. Lalu kembali menyelimuti tubuhnya. “Gue ngantuk ah,” ucapnya.“Ntar gue bikinin susu jahe deh biar lo anget.” Andin memberikan penawaran pada sahabatnya agar mau menemaninya bergadang.Sisil bangun dan terduduk menghadap sahabatnya itu. “Sama mie rebus juga ya, dingin-dingin begini enak tuh makan mie.” Sisil tersenyum licik sambil m
Andin duduk bersebelahan dengan Sisil. Jantungnya terasa berdebar-debar saat mendapat telepon dari suaminya.“Kok gue jadi ikutan deg-degan gini ya,” kata Sisil sambil memegangi dadanya. “Udah cepetan jawab! Jangan bengong aja!”Andin pun segera menerima panggilan telepon dari Haidar. Ia sengaja tidak menyapanya karena ingin mendengar suara suaminya terlebih dulu.“Udah diloudbelum? Kok nggak kedengeran apa-apa?” bisik Sisil.Kemudian terdengar suara barang pecah yang membuat Andin dan Sisil terperanjat karenanya.Andin dan Sisil saling tatap, dalam hati mereka bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya terjadi.“Aku nggak mencintaimu, Andin!” teriak Haidar dengan keras. “Aku nggak mencintaimu.” Terdengar teriakan Haidar berkali-kali, lalu tertawa terbahak-bahak setelah mengatakan itu.
Tok tok tok“Adek! Sisil! Udah siang, kalian nggak pada laper?” Mami Tyas mengetuk pintu kamar Andin sambil berteriak memanggil kedua sahabat itu.Mami Tyas turun ke lantai bawah untuk memanggil Mang Ace. “Mang, kunci cadangan kamar Andin di mana?” tanya Mami Tyas pada pelayan rumah itu.“Sebentar, Bu, saya ambilkan.” Mang Ace pun segera mengambil kunci cadangan kamar Andin.“Ada apa sih, Sayang?” Papi Rizky menghampiri istrinya yang membuat kehebohan di siang hari.“Andin sama Sisil belum bangun juga,” jawab sang istri. “Mami takut mereka kenapa-kenapa,” lanjutnya.“Mereka nggak akan kenapa-kenapa, Mi. Andin anak yang kuat, masa cuma patah hati aja sampai bunuh diri.” Papi Rizky memegang pundak sang istri sambil mengusap-usapnya untuk menenangkan.“
Sisil memutari tubuh sahabatnya yang dibalut dres selutut dengan belahan dada yang rendah. “Busyet dah! Belum juga resmi jadi janda, udah tebar pesona aja lo. Jangan genit-genit kalau jadi janda! Diserang emak-emak berdaster baru tahu rasa lo!”Andin tidak mendengarkan ocehan sahabatnya, ia melenggok dengan santai keluar dari kamarnya, Sisil mengekori sahabatnya sambil menggelengkan kepala.“Kalau orang patah hati gitu kali ya? Nyari hati lain buat nyambunginnya,” batin Sisil sambil terkekeh.Andin menapaki tangga satu persatu dengan anggunnya. Ia menghampiri keluarganya yang sedang berkumpul di ruang tamu.“Siang-siang begini bidadari keluarga Pradipta mau ke mana tuh?” tanya Papi Rizky saat melihat keponakannya datang menghampiri.Semua menoleh ke arah Andin mendengar ucapan Papi Rizky. “Adek mau ke mana?” tanya Bunda Ani
“Bunda aku pergi dulu ya,” pamit Andin pada bundanya. Andin bangun dari duduknya lalu menarik tangan Sisil. “Ayo, Sil, kita keluar!”“Kami pergi dulu.” Sisil menoleh ke belakang sambil melambaikan tangannya. Ia berjalan cepat mengimbangi langkah Andin yang terus menarik tangannya.“Din, lepasin tangan gue! Lo kira gue kebo.” Sisil mengempaskan tangan Andin yang memegangi pergelangan tangannya.“Bang, temenin adikmu, ntar dia bikin ulah,” suruh Bunda Anin pada anak laki-lakinya.Aldin menganggukkan kepalanya, lalu mengejar Andin dan Sisil.“Dek, Abang ikut!” teriak Aldin pada adiknya yang sudah berada di teras depan rumah.Andin menoleh pada Aldin. “Abang ngapain sih ngikut-ngikut,” protes Andin pada abangnya. Andin hanya ingin menghabiskan waktu berdua saja dengan sahaba
Saat Baron masuk ke dalam ruang kerja. Ia menemukan sang tuan sedang terbaring di sofa panjang yang ada di ruangan itu. Kakinya yang panjang menjuntai ke bawah, tangannya mendekap botol minuman beralkohol yang sudah kosong.“Sejak kapan Tuan minum minuman seperti ini?” Baron mengambil botol bekas minuman yang sudah kosong itu. Setelah membereskan botol-botol minuman itu, Baron keluar dari ruang kerja tuannya.Ia menghampiri Bi Narti di halaman belakang rumah mewah itu. “Bi, apa Bibi udah menelpon Nyonya besar?” tanya Baron pada Bi Narti.“Sudah Tuan,” jawab Bi Narti. “Tuan dan Nyonya besar sedang menuju ke sini,” lanjutnya.“Baiklah, Bi, saya ke kantor dulu, nanti malam saya ke sini lagi.” Baron pun kembali ke kantor karena ada meeting dengan klien. Ia harus menghandle semua kerjaan bosnya selama sang bos belum bisa masuk kantor.&nbs
“Pi! Kasihan anakmu,” kata Mami Inggit sambil menarik tangan suaminya. “Kita keluar aja.”Mami Inggit dan Papi Mannaf keluar dari kamar anaknya. Mereka menuju ruang keluarga untuk membicarakan masalah anaknya.“Pi, kita harus temui menantu kita,” ajak Mami Inggit pada suaminya. “Mungkin Andin mau mendengarkan kita. Dia anak baik, nggak mungkin ‘kan ngusir kita juga kayak ngusir suaminya.”Papi Mannaf bangun dari duduknya, ia tidak merespons ucapan sang istri.“Pi, dia anakmu, kok kelihatannya Papi nggak peduli gitu sama anak sendiri,” kata Mami Inggit sedikit mengeraskan suaranya.Papi Mannaf menarik tangan istrinya dengan lembut. “Kita ke Bandung sekarang juga!” ajak Papi Mannaf pada istrinya. “Papi baru aja mau ngomong, Mami udah ngegas duluan,” ucap Papi Mannaf sambil terkekeh.
Terima kasih untuk kakak-kakak cantik dan kakak-kakak ganteng yang sudah mendukung novel saya ini. Tak terasa ternyata Haidar sudah menemani kalian selama setahun. Ceritanya memang belum selesai, masih ada kelanjutannya. Bagaimana kehidupan rumah tangga Gara dan Jennie setelah mamanya tahu, dan apakah mereka bisa mempertahankan pernikahannya di saat orang-orang yang membencinya berusaha untuk memisahkan mereka. Kisah si CEO bucin akan dilanjut di buku baru ya, khusus Gara dan Jennie. Novel ini sudah terlalu panjang, takut kalian mual lihat bab yang udah ratusan, hehehe .... Pemenang GA akan diumumkan di sosmed saya, i*, efbe, w*, kalau barangnya sudah datang, wkwwkk. Silakan follow i* @nyi.ratu_gesrek, atau bisa gabung di grup w*. Penilaian akan berlangsung sampai barang datang. Terima kasih banyak kakak-kakak sekalian. Mohon maaf jika cerita saya kurang memuaskan dan membuat kakak-kakak sekalian jengkel. Saya akan terus berusaha m
“Dia istri saya, kamu telah menghin orang yang saya cintai.”Jennie menatap suaminya sambil tersenyum. Ia senang mendengar Gara mengakui perasaannya di depan orang lain.“Maafkan saya, Tuan. Saya tidak tahu kalau Jennie … maksudnya saya tidak tahu kalau Nona Jennie istri anda.”Sekretaris cantik terus memohon minta ampun sambil berlinang air mata, namun Gara sudah terlanjur sakit hati.“Kalau dia bukan istri saya, apa kamu berhak menghina sesama kaummu seperti itu?”“Maafkan saya, Tuan, tolong jangan pecat saya!”“Saya tidak mau mempekerjakan orang-orang berhati busuk sepertimu.”“Sayang, berilah dia kesempatan sekali lagi, mungkin kalau aku ada di posisi dia, aku akan lebih parah dari itu.”Jennie merasa bersalah kepada sekretaris suaminya karena dirinyalah, wanita itu dipecat.“Saya tahu. Tapi, saya tidak suka melihat orang yang telah
“Hati-hati, Bos!”“Saya sudah jatuh, Biggie!" kesal Gara.“Ya udah ayo bangun!” Jennie membantu Gara yang tersungkur karena terkejut melihatnya masih bekerja sebagai office girl di kantornya sendiri.“Kenapa kamu ada di sini?” tanya Gara setelah bangun dan berdiri.“Aku kan masih kerja di sini, Bos,” jawab Jennie sambil tersenyum.“Tidak perlu kerja lagi, kamu tunggu saya pulang kerja saja di rumah!”“Aku bosan di rumah terus.”“Kamu bisa jalan-jalan atau belanja bersama Anisa atau Mommy. Kamu cari kegiatan lain, tapi jangan bekerja di sini!”“Kenapa? Kamu malu kalau sampai orang lain tahu kalau istri dari CEO Mannaf Group ternyata hanya seorang office girl?”“Bukan itu maksudnya. Saya hanya tidak ingin kamu kerja lagi. Kamu istirahat saja ya, biar saya yang mencari uang untuk kamu.”“Kontr
"Bukan apa-apa," jawab Jennie sambil berjalan keluar dari kamar."Biggie, saya yakin ada yang kamu sembunyikan.""Nggak ada. Besok kamu udah mulai kerja lagi, pasti pulangnya malam dan capek 'kan? Mana mungkin kita bisa bercanda seperti tadi lagi.""Saya akan meluangkan banyak waktu untukmu. Kamu tenang saja, kali ini saya tidak akan pulang malam."Jennie menghentikan langkah kakinya, lalu berbalik menghadap Gara."Jangan kayak gitu. Lakukanlah kegiatanmu seperti sebelumnya. Aku nggak mau menjadi pengganggumu, lagian kita 'kan bisa menghabiskan waktu seharian di akhir pekan."Gara tersenyum menanggapi ucapan istrinya. "Saya bersyukur mempunyai istri sepertimu."Pria yang memakai kaus berwarna putih dengan dipadukan celana panjang berwarna krem menggenggam tangan istrinya, lalu melanjutkan langkahnya menuju ruang makan.Mereka makan sambil suap-suapan yang membuat seisi rumah itu berbahagia melihat Tuan dan nona mudanya be
Jennie juga melakukan hal yang sama seperti suaminya. “Aku juga mencintaimu.”Kedua pasangan pengantin baru itu sedang berbahagia. Mereka menghabiskan waktu di dalam kamar dengan bermain kertas gunting batu. Yang kalah akan menuruti perintah yang menang.“Kamu kalah suamiku,” kata Jennie sambil tertawa.“Apa yang harus saya lakukan?”“Buatkan aku jus jeruk!” titah Jennie.“Baiklah, saya akan melakuknanya.”“Tapi haus kamu yang membutanya, jangan menyuruh Bibi.”“Iya ….” Gara turun dari tempat tidur, lalu pergi ke dapur untuk membuatkan minuman sang istri.“Kapan lagi memerintah CEO,” kata Jennie sambil tertawa setelah suaminya keluar dari kamar. “Belum tentu aku bisa bersamanya terus,” lanjutnya dengan pelan. “Aku takut Mama tahu pernikahan ini?”Beberapa menit kemudian sang suami masuk den
Gara bangun dan berdiri. "Saya mau pakai baju dulu."Laki-laki tampan itu buru-buru masuk ke dalam kamar mandi.Jennie bangun dan terduduk sambil memerhatikan suaminya. "Katanya mau pakai baju, tapi kenapa malah masuk lagi ke dalam kamar mandi?" gumamnya."Kenapa adik saya bangun hanya karena saya menindihnya?" gumam Gara saat berada di bawah pancuran air. Berharap sang adik tenang dan kembali tertidur. "Kalau Biggie tahu, ini sangat memalukan."Setelah beberapa menit Gara keluar dari kamar mandi dan langsung pergi ke ruang ganti. Laki-laki itu menghampiri istrinya setelah berpakaian."Lehermu tidak apa-apa 'kan?" Gara duduk di samping istrinya . "Maafkan saya ya!"Jennie memiringkan duduknya menghadap sang suami. "Gara, apa kamu sadar saat tadi kamu bilang kalau kamu mencintai saya?"Bukannya menjawab laki-laki tampan itu malah menyentil kening istrinya dengan keras."Sakit, Garangan!" Jennie mengusap-usap keningnya samb
"Apa kamu mencoba menukar keperawananku dengan motor ini?"“Kamu itu istri saya, kenapa kamu berbicara seperti itu kepada suamimu?”Gara tersinggung dengan ucapan istrinya karena dia menyiapkan motor itu setelah resmi menjadi suami Jennie.Ia hanya ingin memfasilitasi istrinya supaya wanita yang telah sah menjadi pendamping hidupnya itu bisa aman berkendara dengan motor barunya karena motor lamanya sudah tidak layak pakai."Bukannya kamu bilang nggak mau melakukannya kalau aku belum siap? Kalau ngomong tuh jangan asal keluar terus dilupain, kayak kentut aja.”Gara menatap istrinya dengan tatapan tajam, lalu pergi meninggalkan wanita itu. Ia kembali ke kamar dan langsung berendam air hangat untuk melemaskan otot-ototnya.“Kenapa saya selalu lupa dengan apa yang saya ucapkan padanya. Saya pasti terlihat seperti laki-laki bodoh yang plin plan,” ucapnya sambil menengadahkan kepalanya dengan tangan bersandar pa
"Bukannya kamu rindu dengan keluargamu," sahut Gara sambil berjalan menghampiri istrinya."Mereka ada di mana?" tanya Jennie tanpa mengalihkan pandangannya pada layar ponsel. Ia tersenyum bahagia saat melihat adik satu-satunya."Di rumah keluarga barunya. Ibu kamu sudah menikah lagi dan mereka hidup bahagia bersama adikmu.""Kenapa Mama nggak bilang sama aku kalau mau menikah? Kenapa Mama melupakanku?"Gara mencengkram dagu istrinya dengan lembut. "Hey, Cantik! Apa kamu memberitahu ibumu kalau kamu sudah menikah dengan saya?""Benar juga," sahutnya. "Tapi, aku punya alasan sendiri kenapa nggak bilang sama Mama." Jennie menepis tangan suaminya."Ibu kamu juga punya alasan sendiri.""Kamu tahu dari mana?""Jangan lupakan siapa suamimu ini?""Maaf, aku lupa soal itu," jawabnya sambil melirik dengan sinis suaminya."Jangan bersedih!" Gara membelai lembut rambut sang istri yang tergerai indah."Kenapa dia
“Ya saya ingin merekam suara kamu,” jawab Gara pelan sambil tersenyum.“Sejak tadi kamu udah denger ‘kan, apa yang aku katakan?” tukas Jennie yang dijawab dengan anggukkan kepala oleh suaminya. “Kamu memang menyebalkan Gara.”Jennie menggelengkan kepala sambil menggeser duduknya membelakangi sang suami. “Kena kutukan apa aku ini? Bisa-bisanya jatuh cinta kepada laki-laki seperti dia. Laki-laki narsis, dingin, angkuh, dan sangat menyebalkan."“Salah saya apa? Saya hanya ingin merekam suara kamu, itu aja. Saya ingin menyimpannya sebagai pengingat kalau saya sedang merindukanmu.”Jennie menoleh pada suaminya, lalu berkata, “Salah kamu apa? Astaga, ini CEO punya otak apa nggak sih? Tensi darahku bisa naik ini." Jennie menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. "Aku harus tetap menjaga kewarasanku," ucapnya sambil mengipasi wajah menggunakan telapak tangan."Biggie, saya ha