“Pi! Kasihan anakmu,” kata Mami Inggit sambil menarik tangan suaminya. “Kita keluar aja.”
Mami Inggit dan Papi Mannaf keluar dari kamar anaknya. Mereka menuju ruang keluarga untuk membicarakan masalah anaknya.
“Pi, kita harus temui menantu kita,” ajak Mami Inggit pada suaminya. “Mungkin Andin mau mendengarkan kita. Dia anak baik, nggak mungkin ‘kan ngusir kita juga kayak ngusir suaminya.”
Papi Mannaf bangun dari duduknya, ia tidak merespons ucapan sang istri.
“Pi, dia anakmu, kok kelihatannya Papi nggak peduli gitu sama anak sendiri,” kata Mami Inggit sedikit mengeraskan suaranya.
Papi Mannaf menarik tangan istrinya dengan lembut. “Kita ke Bandung sekarang juga!” ajak Papi Mannaf pada istrinya. “Papi baru aja mau ngomong, Mami udah ngegas duluan,” ucap Papi Mannaf sambil terkekeh.
Sesampainya di rumah, Andin langsung masuk ke kamarnya, tanpa mengucapkan salam. Ia melewati keluarganya yang sedang berkumpul di ruang keluarga.Andin dan Sisil menghampiri keluarga Andin terlebih dahulu sebelum menyusul sahabatnya itu ke kamar.“Aku ke kamar dulu ya,” pamit Sisil pada semua yang berkumpul di ruang keluarga.“Adek kenapa, Bang?” tanya Bunda Anin pada anak laki-lakinya.“Kasihan Adek, Bun. Kata Sisil, semalam suaminya nelpon dan bilang kalau dia nggak mencintai Adek,” jelas Aldin pada bundanya. “Abang ke kamar dulu ya, capek banget nih.”Setelah menjelaskan semuanya Aldin bangun sambil meregangkan otot-ototnya, lalu pergi ke kamarnya.Bi Icih menghampiri Bunda Anin di ruang keluarga. “Bu, ada mertuanya Neng Andin di depan,” kata Bi Icih.“Kenapa nggak di su
Sisil keluar dari kamar Andin untuk memanggil keluarga sahabatnya. “Bun, Andin dari tadi di kamar mandi nggak keluar-keluar. Udah aku gedor pintunya, tapi dia nggak keluar juga, nyahut juga nggak. Aku jadi takut, Bun.”Sisil meremas-remas jemarinya. Ia sangat takut kalau sahabatnya melakukan hal yang bodoh.Bunda Anin dan yang lainnya langsung bangun dari duduknya. Mereka semua bergegas masuk ke kamar Andin. Mertuanya juga ikut karena cemas dengan keadaan sang menantu.Sisil dan Bunda Anin mengetuk pintu kamar mandi, tapi tidak juga ada sahutan dari dalam.“Ayah ambil kunci cadangan dulu.”Katika Ayah Rey berbalik badan hendak melangkahkan kakinya. Pintu kamar mandi terbuka.Andin terkejut saat melihat semua keluarganya berdiri di depan kamar mandi. “Kalian ngapain antre di sini? Emangnya kamar mandi di kamar kalian pada rusak?&r
Andin keluar dari kamar untuk menemui mertuanya setelah perutnya sudah baikan.“Hai, Mi,” sapa Andin pada mertuanya. “Mami gimana kabarnya?” tanya Andin setelah menyalami mertuanya.“Bunda, ke kamar dulu ya, Dek, mau manggil Ayah kamu.” Bunda Anin sengaja meninggalkan Andin bersama dengan mertuanya agar mereka bisa berbicara lebih leluasa lagi.“Mami baik, Sayang, tapi suamimu yang nggak baik,” jawab Mami Inggit.“Aku nggak mau bahas dia dulu, Mi,” sahut Andin. “Maaf,” ucapnya.“Nggak apa-apa, Sayang,” ucap Mami Inggit sambil tersenyum. “Sini, Nak! Mami kangen.” Mami Inggit merentangkan tangannya sambil menitikkan air mata.”Andin mendekati mertuanya, lalu memeluknya dengan erat. “Maafin aku udah ngecewain Mami dan Papi,” ucapnya sambil teri
Andin menegakkan tubuhnya saat melihat isi yang ada di amplop itu. Ada beberapa lembar foto suaminya. Foto yang sama dengan yang ia terima waktu itu, hanya saja foto yang ia terima waktu itu sedikit berbeda dengan foto yang ia pegang saat ini.Foto sang suami dengan rekan bisnisnya. Terlihat juga Baron dan dua orang lainnya. “Bukannya waktu itu Pak Baron nggak ikut ke luar kota?” tanya Andin pada Baron karena dia ingat betul kalau Haidar bilang Baron tidak jadi ikut.“Saya memang tidak pergi bersama Tuan waktu itu karena saya harus menyelesaikan kerjaan yang di sini, tapi setelah kerjaan saya selesai, Tuan menyuruh saya menyusulnya karena Tuan ingin kerjaannya cepat selesai segera.Andin terpaku saat melihat foto suaminya yang sedang tertidur di sofa sambil mendekap botol kosong bekas minuman. Di mejanya juga berjejer botol kosong bekas minuman beralkohol. Haidar terlihat sangat memprihatinkan di foto i
Setelah makan malam, Andin mengemasi pakaian. Ia sudah tidak sabar ingin bertemu dengan suaminya dan meminta maaf atas segala kesalahannya terutama meragukan cinta sang suami.“Din, sebaiknya lo telpon suami lo,” suruh Sisil setelah Andin selesai berkemas.Andin segera mengambil ponselnya yang ada di atas nakas untuk menelpon sang suami.“Boo!” panggil Andin saat sambungan telepon itu terhubung.“Jangan panggil aku Boo! Hanya istrku yang boleh memanggil aku dengan sebutan seperti itu,” tegas Haidar. Lalu menutup sambungan teleponnya.“Sil, dia nggak ngenalin suara gue,” kata Andin dengan lirih.“Mungkin dia masih dalam pengaruh Alkohol,” sahut Sisil. “Sekarang kita tidur aja ya, besok lo ‘kan mau pulang,” bujuk Sisil pada sahabatnya.Andin menganggukkan kepala,
“Baron, cepat sedikit, kenapa lama sekali!” Andin sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan suaminya.“Iya, Nona.” Baron kembali menambah kecepatan laju kendaraannya. “Apa orang yang jatuh cinta itu sedikit tidak waras? Seperti Tuan, yang hampir gila hanya karena seminggu ditinggal Nona,” batin Baron sambil melirik nona mudanya yang terlihat gelisah dari spion depan.“Baron, apa kamu lapar? Kenapa bawa mobilnya lambat banget?” tanya Andin pada kaki tangan suaminya.“Tidak, Nona,” jawab Baron dengan sopan. “Ini sudah sangat cepat, Nona,” batin Baron.“Berenti di depan sana, kita sarapan dulu!” titah Andin sambil menunjuk penjual bubur ayam di pinggir jalan.“Astaga! Apa aku juga harus makan bubur itu?” Keringet dingin sudah merembes dari kening Baron
Andin berjalan cepat masuk ke dalam rumah. “Bi, suamiku di mana?” tanya Andin pada Bi Narti.Bi Narti terkejutu melihat nona mudanya pulang. “Sykurlah, Nona udah pulang,” ucap Bi Narti sambil tersenyum bahagia. “Tuan, ada di kamar-”“Makasih, Bi,” sela Andin memotong ucapan Bi Narti. Andin melangkahkan kakinya dengan cepat menuju kamarnya.Sementara di dalam kamar, Mami Inggit sedang membujuk Haidar agar mau makan bubur.“Mi, aku bukan anak kecil, kenapa harus makan makanan seperti ini.” Haidar mendorong sendok berisi bubur yang maminya sodorkan di depan mulutnya.“Kamu harus makan biar cepet sembuh. Badan kamu kekar, tapi sakit-sakitan mulu,” cibir Mami Inggit pada putranya yang sedang terbaring lemah dengan infus di tangannya.Baru dua hari lalu ia sembuh dari sakitnya, sekarang ia suda
Andin membelai dengan lembut pipi suaminya, tapi sang suami menepisnya tanpa membuka mata.“Aku nggak mau makan bubur,” sahutnya dengan mata yang masih terpejam.Andin menaruh mangkuk bubur di atas nakas. Kemudian ia membisikkan kata cinta di telinga suaminya. “Boo, aku mencintaimu.”Haidar mengerjapkan matanya sebentar, lalu memejamkannya lagi. Ia belum sadar kalau yang ia lihat seperti bayangan sang istri, itu memang benar istrinya yang selalu ia rindukan.Haidar kembali membuka mata, menyipitkan mata untuk memperjelas penglihatannya.Andin tersenyum manis pada suaminya. “Aku mencintaimu, Suamiku.”Haidar langsung bangun dan terduduk. Ia mengucek matanya berkali-kali. “Apa aku masih berhalusinasi?” ucapnya pelan. Lalu ia menyentuh wajah cantik sang istri dengan ragu-ragu. “Bee, apa ini kamu?” tanya