Andin keluar dari kamar untuk menemui mertuanya setelah perutnya sudah baikan.
“Hai, Mi,” sapa Andin pada mertuanya. “Mami gimana kabarnya?” tanya Andin setelah menyalami mertuanya.
“Bunda, ke kamar dulu ya, Dek, mau manggil Ayah kamu.” Bunda Anin sengaja meninggalkan Andin bersama dengan mertuanya agar mereka bisa berbicara lebih leluasa lagi.
“Mami baik, Sayang, tapi suamimu yang nggak baik,” jawab Mami Inggit.
“Aku nggak mau bahas dia dulu, Mi,” sahut Andin. “Maaf,” ucapnya.
“Nggak apa-apa, Sayang,” ucap Mami Inggit sambil tersenyum. “Sini, Nak! Mami kangen.” Mami Inggit merentangkan tangannya sambil menitikkan air mata.”
Andin mendekati mertuanya, lalu memeluknya dengan erat. “Maafin aku udah ngecewain Mami dan Papi,” ucapnya sambil teri
Andin menegakkan tubuhnya saat melihat isi yang ada di amplop itu. Ada beberapa lembar foto suaminya. Foto yang sama dengan yang ia terima waktu itu, hanya saja foto yang ia terima waktu itu sedikit berbeda dengan foto yang ia pegang saat ini.Foto sang suami dengan rekan bisnisnya. Terlihat juga Baron dan dua orang lainnya. “Bukannya waktu itu Pak Baron nggak ikut ke luar kota?” tanya Andin pada Baron karena dia ingat betul kalau Haidar bilang Baron tidak jadi ikut.“Saya memang tidak pergi bersama Tuan waktu itu karena saya harus menyelesaikan kerjaan yang di sini, tapi setelah kerjaan saya selesai, Tuan menyuruh saya menyusulnya karena Tuan ingin kerjaannya cepat selesai segera.Andin terpaku saat melihat foto suaminya yang sedang tertidur di sofa sambil mendekap botol kosong bekas minuman. Di mejanya juga berjejer botol kosong bekas minuman beralkohol. Haidar terlihat sangat memprihatinkan di foto i
Setelah makan malam, Andin mengemasi pakaian. Ia sudah tidak sabar ingin bertemu dengan suaminya dan meminta maaf atas segala kesalahannya terutama meragukan cinta sang suami.“Din, sebaiknya lo telpon suami lo,” suruh Sisil setelah Andin selesai berkemas.Andin segera mengambil ponselnya yang ada di atas nakas untuk menelpon sang suami.“Boo!” panggil Andin saat sambungan telepon itu terhubung.“Jangan panggil aku Boo! Hanya istrku yang boleh memanggil aku dengan sebutan seperti itu,” tegas Haidar. Lalu menutup sambungan teleponnya.“Sil, dia nggak ngenalin suara gue,” kata Andin dengan lirih.“Mungkin dia masih dalam pengaruh Alkohol,” sahut Sisil. “Sekarang kita tidur aja ya, besok lo ‘kan mau pulang,” bujuk Sisil pada sahabatnya.Andin menganggukkan kepala,
“Baron, cepat sedikit, kenapa lama sekali!” Andin sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan suaminya.“Iya, Nona.” Baron kembali menambah kecepatan laju kendaraannya. “Apa orang yang jatuh cinta itu sedikit tidak waras? Seperti Tuan, yang hampir gila hanya karena seminggu ditinggal Nona,” batin Baron sambil melirik nona mudanya yang terlihat gelisah dari spion depan.“Baron, apa kamu lapar? Kenapa bawa mobilnya lambat banget?” tanya Andin pada kaki tangan suaminya.“Tidak, Nona,” jawab Baron dengan sopan. “Ini sudah sangat cepat, Nona,” batin Baron.“Berenti di depan sana, kita sarapan dulu!” titah Andin sambil menunjuk penjual bubur ayam di pinggir jalan.“Astaga! Apa aku juga harus makan bubur itu?” Keringet dingin sudah merembes dari kening Baron
Andin berjalan cepat masuk ke dalam rumah. “Bi, suamiku di mana?” tanya Andin pada Bi Narti.Bi Narti terkejutu melihat nona mudanya pulang. “Sykurlah, Nona udah pulang,” ucap Bi Narti sambil tersenyum bahagia. “Tuan, ada di kamar-”“Makasih, Bi,” sela Andin memotong ucapan Bi Narti. Andin melangkahkan kakinya dengan cepat menuju kamarnya.Sementara di dalam kamar, Mami Inggit sedang membujuk Haidar agar mau makan bubur.“Mi, aku bukan anak kecil, kenapa harus makan makanan seperti ini.” Haidar mendorong sendok berisi bubur yang maminya sodorkan di depan mulutnya.“Kamu harus makan biar cepet sembuh. Badan kamu kekar, tapi sakit-sakitan mulu,” cibir Mami Inggit pada putranya yang sedang terbaring lemah dengan infus di tangannya.Baru dua hari lalu ia sembuh dari sakitnya, sekarang ia suda
Andin membelai dengan lembut pipi suaminya, tapi sang suami menepisnya tanpa membuka mata.“Aku nggak mau makan bubur,” sahutnya dengan mata yang masih terpejam.Andin menaruh mangkuk bubur di atas nakas. Kemudian ia membisikkan kata cinta di telinga suaminya. “Boo, aku mencintaimu.”Haidar mengerjapkan matanya sebentar, lalu memejamkannya lagi. Ia belum sadar kalau yang ia lihat seperti bayangan sang istri, itu memang benar istrinya yang selalu ia rindukan.Haidar kembali membuka mata, menyipitkan mata untuk memperjelas penglihatannya.Andin tersenyum manis pada suaminya. “Aku mencintaimu, Suamiku.”Haidar langsung bangun dan terduduk. Ia mengucek matanya berkali-kali. “Apa aku masih berhalusinasi?” ucapnya pelan. Lalu ia menyentuh wajah cantik sang istri dengan ragu-ragu. “Bee, apa ini kamu?” tanya
Aku suka kamu cemburu, tapi aku nggak suka kalau kamu pergi ninggalin aku, apalagi sampai ingin pisah denganku,” sahut Haidar sambil menatap manik mata sang istri.“Tapi, aku nggak mau kamu minum minuman beralkohol lagi, kalau itu terjadi aku nggak akan memaafkanmu. Aku nggak mau tidur bareng kamu lagi.” Andin menjauhkan wajah sang suami dengan telapak tangannya. “Kamu masih bau minuman,” kata Andin sambil mengipas-ngipas tangannya di depan hidung.“Aku nggak minum minuman kayak gitu. Kalau soda, aku sering minum,” elak Haidar.“Lalu ini siapa?” Andin menyodorkan selembar foto Haiadar yang terbaring di sofa sambil memeluk botol bekas minuman.Haidar menerima foto itu. “Ini pasti kerjaan Baron,” gumamnya dalam hati.Tok tok tokBaron mengetuk pintu kamar tuannya yang sedikit terbuka unt
“Kamu ngapain masih di sini? Keluar sana!” titah Haidar pada Baron.“Baik, Tuan. Saya permisi,” ucap Baron sambil menundukkan kepalanya.“Terima kasih, Baron. Lain kali kita makan bubur lagi ya.” Andin sengaja membuat panas hati suaminya.“Bee!” ucap Haidar dengan geram.“Apa sih?” Andin memutar bola matanya dengan malas. Lalu kembali menatap Baron yang berjalan dengan gagah ke luar dari kamar tuannya.“Jangan lihatin dia terus!” Haidar menangkup wajah istrinya.“Dia lebih enak dipandang,” jawab Andin sambil menahan senyumnya.“Apa aku udah nggak menarik hatimu lagi.” Haidar melepas tangannya dari wajah sang istri, lalu merebahkan tubuhnya. Kemudian memejamkan mata, ia tidak suka istrinya memandang laki-laki lain dengan penuh minat.&nbs
Andin dan Haidar terlelap dalam tidurnya. Pasangan suami istri itu baru merasakan kembali tidur yang begitu nyenyak setelah lebih dari satu minggu bergelut dengan perasaan masing-masing. Kini keduanya telah bersatu kembali.Cinta mereka semakin kuat setelah mampu melewati cobaan pertama dalam rumah tangganya. Saling percaya adalah kunci dari segalanya. Menyatukan pasangan dengan dua hati yang berbeda tidaklah mudah.Saling menerima dan saling melengkapi kekurangan dan kelebihan pasangan akan jauh lebih indah menjalani kehidupan berumah tangga karena tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini.“Sayang, bangun, Nak!” Mami Inggit membangunkan menantunya sambil mengusap-usap bahu sang menantu.Mami Inggit terpaksa membangunkan Andin karena jam sudah menunjukkan pukul dua siang hari. Menantu dan anaknya sudah melewati jam makan siang.“Mungkin sel
Terima kasih untuk kakak-kakak cantik dan kakak-kakak ganteng yang sudah mendukung novel saya ini. Tak terasa ternyata Haidar sudah menemani kalian selama setahun. Ceritanya memang belum selesai, masih ada kelanjutannya. Bagaimana kehidupan rumah tangga Gara dan Jennie setelah mamanya tahu, dan apakah mereka bisa mempertahankan pernikahannya di saat orang-orang yang membencinya berusaha untuk memisahkan mereka. Kisah si CEO bucin akan dilanjut di buku baru ya, khusus Gara dan Jennie. Novel ini sudah terlalu panjang, takut kalian mual lihat bab yang udah ratusan, hehehe .... Pemenang GA akan diumumkan di sosmed saya, i*, efbe, w*, kalau barangnya sudah datang, wkwwkk. Silakan follow i* @nyi.ratu_gesrek, atau bisa gabung di grup w*. Penilaian akan berlangsung sampai barang datang. Terima kasih banyak kakak-kakak sekalian. Mohon maaf jika cerita saya kurang memuaskan dan membuat kakak-kakak sekalian jengkel. Saya akan terus berusaha m
“Dia istri saya, kamu telah menghin orang yang saya cintai.”Jennie menatap suaminya sambil tersenyum. Ia senang mendengar Gara mengakui perasaannya di depan orang lain.“Maafkan saya, Tuan. Saya tidak tahu kalau Jennie … maksudnya saya tidak tahu kalau Nona Jennie istri anda.”Sekretaris cantik terus memohon minta ampun sambil berlinang air mata, namun Gara sudah terlanjur sakit hati.“Kalau dia bukan istri saya, apa kamu berhak menghina sesama kaummu seperti itu?”“Maafkan saya, Tuan, tolong jangan pecat saya!”“Saya tidak mau mempekerjakan orang-orang berhati busuk sepertimu.”“Sayang, berilah dia kesempatan sekali lagi, mungkin kalau aku ada di posisi dia, aku akan lebih parah dari itu.”Jennie merasa bersalah kepada sekretaris suaminya karena dirinyalah, wanita itu dipecat.“Saya tahu. Tapi, saya tidak suka melihat orang yang telah
“Hati-hati, Bos!”“Saya sudah jatuh, Biggie!" kesal Gara.“Ya udah ayo bangun!” Jennie membantu Gara yang tersungkur karena terkejut melihatnya masih bekerja sebagai office girl di kantornya sendiri.“Kenapa kamu ada di sini?” tanya Gara setelah bangun dan berdiri.“Aku kan masih kerja di sini, Bos,” jawab Jennie sambil tersenyum.“Tidak perlu kerja lagi, kamu tunggu saya pulang kerja saja di rumah!”“Aku bosan di rumah terus.”“Kamu bisa jalan-jalan atau belanja bersama Anisa atau Mommy. Kamu cari kegiatan lain, tapi jangan bekerja di sini!”“Kenapa? Kamu malu kalau sampai orang lain tahu kalau istri dari CEO Mannaf Group ternyata hanya seorang office girl?”“Bukan itu maksudnya. Saya hanya tidak ingin kamu kerja lagi. Kamu istirahat saja ya, biar saya yang mencari uang untuk kamu.”“Kontr
"Bukan apa-apa," jawab Jennie sambil berjalan keluar dari kamar."Biggie, saya yakin ada yang kamu sembunyikan.""Nggak ada. Besok kamu udah mulai kerja lagi, pasti pulangnya malam dan capek 'kan? Mana mungkin kita bisa bercanda seperti tadi lagi.""Saya akan meluangkan banyak waktu untukmu. Kamu tenang saja, kali ini saya tidak akan pulang malam."Jennie menghentikan langkah kakinya, lalu berbalik menghadap Gara."Jangan kayak gitu. Lakukanlah kegiatanmu seperti sebelumnya. Aku nggak mau menjadi pengganggumu, lagian kita 'kan bisa menghabiskan waktu seharian di akhir pekan."Gara tersenyum menanggapi ucapan istrinya. "Saya bersyukur mempunyai istri sepertimu."Pria yang memakai kaus berwarna putih dengan dipadukan celana panjang berwarna krem menggenggam tangan istrinya, lalu melanjutkan langkahnya menuju ruang makan.Mereka makan sambil suap-suapan yang membuat seisi rumah itu berbahagia melihat Tuan dan nona mudanya be
Jennie juga melakukan hal yang sama seperti suaminya. “Aku juga mencintaimu.”Kedua pasangan pengantin baru itu sedang berbahagia. Mereka menghabiskan waktu di dalam kamar dengan bermain kertas gunting batu. Yang kalah akan menuruti perintah yang menang.“Kamu kalah suamiku,” kata Jennie sambil tertawa.“Apa yang harus saya lakukan?”“Buatkan aku jus jeruk!” titah Jennie.“Baiklah, saya akan melakuknanya.”“Tapi haus kamu yang membutanya, jangan menyuruh Bibi.”“Iya ….” Gara turun dari tempat tidur, lalu pergi ke dapur untuk membuatkan minuman sang istri.“Kapan lagi memerintah CEO,” kata Jennie sambil tertawa setelah suaminya keluar dari kamar. “Belum tentu aku bisa bersamanya terus,” lanjutnya dengan pelan. “Aku takut Mama tahu pernikahan ini?”Beberapa menit kemudian sang suami masuk den
Gara bangun dan berdiri. "Saya mau pakai baju dulu."Laki-laki tampan itu buru-buru masuk ke dalam kamar mandi.Jennie bangun dan terduduk sambil memerhatikan suaminya. "Katanya mau pakai baju, tapi kenapa malah masuk lagi ke dalam kamar mandi?" gumamnya."Kenapa adik saya bangun hanya karena saya menindihnya?" gumam Gara saat berada di bawah pancuran air. Berharap sang adik tenang dan kembali tertidur. "Kalau Biggie tahu, ini sangat memalukan."Setelah beberapa menit Gara keluar dari kamar mandi dan langsung pergi ke ruang ganti. Laki-laki itu menghampiri istrinya setelah berpakaian."Lehermu tidak apa-apa 'kan?" Gara duduk di samping istrinya . "Maafkan saya ya!"Jennie memiringkan duduknya menghadap sang suami. "Gara, apa kamu sadar saat tadi kamu bilang kalau kamu mencintai saya?"Bukannya menjawab laki-laki tampan itu malah menyentil kening istrinya dengan keras."Sakit, Garangan!" Jennie mengusap-usap keningnya samb
"Apa kamu mencoba menukar keperawananku dengan motor ini?"“Kamu itu istri saya, kenapa kamu berbicara seperti itu kepada suamimu?”Gara tersinggung dengan ucapan istrinya karena dia menyiapkan motor itu setelah resmi menjadi suami Jennie.Ia hanya ingin memfasilitasi istrinya supaya wanita yang telah sah menjadi pendamping hidupnya itu bisa aman berkendara dengan motor barunya karena motor lamanya sudah tidak layak pakai."Bukannya kamu bilang nggak mau melakukannya kalau aku belum siap? Kalau ngomong tuh jangan asal keluar terus dilupain, kayak kentut aja.”Gara menatap istrinya dengan tatapan tajam, lalu pergi meninggalkan wanita itu. Ia kembali ke kamar dan langsung berendam air hangat untuk melemaskan otot-ototnya.“Kenapa saya selalu lupa dengan apa yang saya ucapkan padanya. Saya pasti terlihat seperti laki-laki bodoh yang plin plan,” ucapnya sambil menengadahkan kepalanya dengan tangan bersandar pa
"Bukannya kamu rindu dengan keluargamu," sahut Gara sambil berjalan menghampiri istrinya."Mereka ada di mana?" tanya Jennie tanpa mengalihkan pandangannya pada layar ponsel. Ia tersenyum bahagia saat melihat adik satu-satunya."Di rumah keluarga barunya. Ibu kamu sudah menikah lagi dan mereka hidup bahagia bersama adikmu.""Kenapa Mama nggak bilang sama aku kalau mau menikah? Kenapa Mama melupakanku?"Gara mencengkram dagu istrinya dengan lembut. "Hey, Cantik! Apa kamu memberitahu ibumu kalau kamu sudah menikah dengan saya?""Benar juga," sahutnya. "Tapi, aku punya alasan sendiri kenapa nggak bilang sama Mama." Jennie menepis tangan suaminya."Ibu kamu juga punya alasan sendiri.""Kamu tahu dari mana?""Jangan lupakan siapa suamimu ini?""Maaf, aku lupa soal itu," jawabnya sambil melirik dengan sinis suaminya."Jangan bersedih!" Gara membelai lembut rambut sang istri yang tergerai indah."Kenapa dia
“Ya saya ingin merekam suara kamu,” jawab Gara pelan sambil tersenyum.“Sejak tadi kamu udah denger ‘kan, apa yang aku katakan?” tukas Jennie yang dijawab dengan anggukkan kepala oleh suaminya. “Kamu memang menyebalkan Gara.”Jennie menggelengkan kepala sambil menggeser duduknya membelakangi sang suami. “Kena kutukan apa aku ini? Bisa-bisanya jatuh cinta kepada laki-laki seperti dia. Laki-laki narsis, dingin, angkuh, dan sangat menyebalkan."“Salah saya apa? Saya hanya ingin merekam suara kamu, itu aja. Saya ingin menyimpannya sebagai pengingat kalau saya sedang merindukanmu.”Jennie menoleh pada suaminya, lalu berkata, “Salah kamu apa? Astaga, ini CEO punya otak apa nggak sih? Tensi darahku bisa naik ini." Jennie menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. "Aku harus tetap menjaga kewarasanku," ucapnya sambil mengipasi wajah menggunakan telapak tangan."Biggie, saya ha