Andin duduk bersebelahan dengan Sisil. Jantungnya terasa berdebar-debar saat mendapat telepon dari suaminya.
“Kok gue jadi ikutan deg-degan gini ya,” kata Sisil sambil memegangi dadanya. “Udah cepetan jawab! Jangan bengong aja!”
Andin pun segera menerima panggilan telepon dari Haidar. Ia sengaja tidak menyapanya karena ingin mendengar suara suaminya terlebih dulu.
“Udah diloud belum? Kok nggak kedengeran apa-apa?” bisik Sisil.
Kemudian terdengar suara barang pecah yang membuat Andin dan Sisil terperanjat karenanya.
Andin dan Sisil saling tatap, dalam hati mereka bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya terjadi.
“Aku nggak mencintaimu, Andin!” teriak Haidar dengan keras. “Aku nggak mencintaimu.” Terdengar teriakan Haidar berkali-kali, lalu tertawa terbahak-bahak setelah mengatakan itu.
Tok tok tok“Adek! Sisil! Udah siang, kalian nggak pada laper?” Mami Tyas mengetuk pintu kamar Andin sambil berteriak memanggil kedua sahabat itu.Mami Tyas turun ke lantai bawah untuk memanggil Mang Ace. “Mang, kunci cadangan kamar Andin di mana?” tanya Mami Tyas pada pelayan rumah itu.“Sebentar, Bu, saya ambilkan.” Mang Ace pun segera mengambil kunci cadangan kamar Andin.“Ada apa sih, Sayang?” Papi Rizky menghampiri istrinya yang membuat kehebohan di siang hari.“Andin sama Sisil belum bangun juga,” jawab sang istri. “Mami takut mereka kenapa-kenapa,” lanjutnya.“Mereka nggak akan kenapa-kenapa, Mi. Andin anak yang kuat, masa cuma patah hati aja sampai bunuh diri.” Papi Rizky memegang pundak sang istri sambil mengusap-usapnya untuk menenangkan.“
Sisil memutari tubuh sahabatnya yang dibalut dres selutut dengan belahan dada yang rendah. “Busyet dah! Belum juga resmi jadi janda, udah tebar pesona aja lo. Jangan genit-genit kalau jadi janda! Diserang emak-emak berdaster baru tahu rasa lo!”Andin tidak mendengarkan ocehan sahabatnya, ia melenggok dengan santai keluar dari kamarnya, Sisil mengekori sahabatnya sambil menggelengkan kepala.“Kalau orang patah hati gitu kali ya? Nyari hati lain buat nyambunginnya,” batin Sisil sambil terkekeh.Andin menapaki tangga satu persatu dengan anggunnya. Ia menghampiri keluarganya yang sedang berkumpul di ruang tamu.“Siang-siang begini bidadari keluarga Pradipta mau ke mana tuh?” tanya Papi Rizky saat melihat keponakannya datang menghampiri.Semua menoleh ke arah Andin mendengar ucapan Papi Rizky. “Adek mau ke mana?” tanya Bunda Ani
“Bunda aku pergi dulu ya,” pamit Andin pada bundanya. Andin bangun dari duduknya lalu menarik tangan Sisil. “Ayo, Sil, kita keluar!”“Kami pergi dulu.” Sisil menoleh ke belakang sambil melambaikan tangannya. Ia berjalan cepat mengimbangi langkah Andin yang terus menarik tangannya.“Din, lepasin tangan gue! Lo kira gue kebo.” Sisil mengempaskan tangan Andin yang memegangi pergelangan tangannya.“Bang, temenin adikmu, ntar dia bikin ulah,” suruh Bunda Anin pada anak laki-lakinya.Aldin menganggukkan kepalanya, lalu mengejar Andin dan Sisil.“Dek, Abang ikut!” teriak Aldin pada adiknya yang sudah berada di teras depan rumah.Andin menoleh pada Aldin. “Abang ngapain sih ngikut-ngikut,” protes Andin pada abangnya. Andin hanya ingin menghabiskan waktu berdua saja dengan sahaba
Saat Baron masuk ke dalam ruang kerja. Ia menemukan sang tuan sedang terbaring di sofa panjang yang ada di ruangan itu. Kakinya yang panjang menjuntai ke bawah, tangannya mendekap botol minuman beralkohol yang sudah kosong.“Sejak kapan Tuan minum minuman seperti ini?” Baron mengambil botol bekas minuman yang sudah kosong itu. Setelah membereskan botol-botol minuman itu, Baron keluar dari ruang kerja tuannya.Ia menghampiri Bi Narti di halaman belakang rumah mewah itu. “Bi, apa Bibi udah menelpon Nyonya besar?” tanya Baron pada Bi Narti.“Sudah Tuan,” jawab Bi Narti. “Tuan dan Nyonya besar sedang menuju ke sini,” lanjutnya.“Baiklah, Bi, saya ke kantor dulu, nanti malam saya ke sini lagi.” Baron pun kembali ke kantor karena ada meeting dengan klien. Ia harus menghandle semua kerjaan bosnya selama sang bos belum bisa masuk kantor.&nbs
“Pi! Kasihan anakmu,” kata Mami Inggit sambil menarik tangan suaminya. “Kita keluar aja.”Mami Inggit dan Papi Mannaf keluar dari kamar anaknya. Mereka menuju ruang keluarga untuk membicarakan masalah anaknya.“Pi, kita harus temui menantu kita,” ajak Mami Inggit pada suaminya. “Mungkin Andin mau mendengarkan kita. Dia anak baik, nggak mungkin ‘kan ngusir kita juga kayak ngusir suaminya.”Papi Mannaf bangun dari duduknya, ia tidak merespons ucapan sang istri.“Pi, dia anakmu, kok kelihatannya Papi nggak peduli gitu sama anak sendiri,” kata Mami Inggit sedikit mengeraskan suaranya.Papi Mannaf menarik tangan istrinya dengan lembut. “Kita ke Bandung sekarang juga!” ajak Papi Mannaf pada istrinya. “Papi baru aja mau ngomong, Mami udah ngegas duluan,” ucap Papi Mannaf sambil terkekeh.
Sesampainya di rumah, Andin langsung masuk ke kamarnya, tanpa mengucapkan salam. Ia melewati keluarganya yang sedang berkumpul di ruang keluarga.Andin dan Sisil menghampiri keluarga Andin terlebih dahulu sebelum menyusul sahabatnya itu ke kamar.“Aku ke kamar dulu ya,” pamit Sisil pada semua yang berkumpul di ruang keluarga.“Adek kenapa, Bang?” tanya Bunda Anin pada anak laki-lakinya.“Kasihan Adek, Bun. Kata Sisil, semalam suaminya nelpon dan bilang kalau dia nggak mencintai Adek,” jelas Aldin pada bundanya. “Abang ke kamar dulu ya, capek banget nih.”Setelah menjelaskan semuanya Aldin bangun sambil meregangkan otot-ototnya, lalu pergi ke kamarnya.Bi Icih menghampiri Bunda Anin di ruang keluarga. “Bu, ada mertuanya Neng Andin di depan,” kata Bi Icih.“Kenapa nggak di su
Sisil keluar dari kamar Andin untuk memanggil keluarga sahabatnya. “Bun, Andin dari tadi di kamar mandi nggak keluar-keluar. Udah aku gedor pintunya, tapi dia nggak keluar juga, nyahut juga nggak. Aku jadi takut, Bun.”Sisil meremas-remas jemarinya. Ia sangat takut kalau sahabatnya melakukan hal yang bodoh.Bunda Anin dan yang lainnya langsung bangun dari duduknya. Mereka semua bergegas masuk ke kamar Andin. Mertuanya juga ikut karena cemas dengan keadaan sang menantu.Sisil dan Bunda Anin mengetuk pintu kamar mandi, tapi tidak juga ada sahutan dari dalam.“Ayah ambil kunci cadangan dulu.”Katika Ayah Rey berbalik badan hendak melangkahkan kakinya. Pintu kamar mandi terbuka.Andin terkejut saat melihat semua keluarganya berdiri di depan kamar mandi. “Kalian ngapain antre di sini? Emangnya kamar mandi di kamar kalian pada rusak?&r
Andin keluar dari kamar untuk menemui mertuanya setelah perutnya sudah baikan.“Hai, Mi,” sapa Andin pada mertuanya. “Mami gimana kabarnya?” tanya Andin setelah menyalami mertuanya.“Bunda, ke kamar dulu ya, Dek, mau manggil Ayah kamu.” Bunda Anin sengaja meninggalkan Andin bersama dengan mertuanya agar mereka bisa berbicara lebih leluasa lagi.“Mami baik, Sayang, tapi suamimu yang nggak baik,” jawab Mami Inggit.“Aku nggak mau bahas dia dulu, Mi,” sahut Andin. “Maaf,” ucapnya.“Nggak apa-apa, Sayang,” ucap Mami Inggit sambil tersenyum. “Sini, Nak! Mami kangen.” Mami Inggit merentangkan tangannya sambil menitikkan air mata.”Andin mendekati mertuanya, lalu memeluknya dengan erat. “Maafin aku udah ngecewain Mami dan Papi,” ucapnya sambil teri