Sisil tertawa terbahak-bahak melihat penampilan sahabatnya. “Mau ngurut di mana, Neng.” Sisil tertawa sambil memegangi perutnya melihat Andin memakai kaca mata hitam. “Lo pake kacamata siapa sih?” lanjutnya sambil terkekeh.
“Itu kacamata si mamang,” sahut Bi Icih sambil menahan tawa.
“Terus gimana?” Andin membuka kacamata itu, lalu ditaruhnya di meja dapur. “Gue juga laper.”
“Lah itu Bibi lagi masak!” sahut Sisil sambil menunjuk Bi Icih yang sedang menggoreng ikan. “Emangnya lo nggak nyium aroma ikan goreng?”
“Idung gue mampet. Nggak bisa nyium apa-apa,” jawab Andin sambil memencet hidungnya.
“Jangan deket-deket gue, sana jauhan! Jaga jarak sepuluh meter.” Sisil beringsut menjauhi Andin.
“Dua meter bego!” umpat Andin pada sahabatnya. “
Andin merasa bersalah pada sang suami setelah mendengar penjelasan dari sahabatnya. Ia sadar kalau dirinya keterlaluan, tapi ia juga tidak bisa menerima pengkhianatan suaminya.“Terus gue harus gimana?” tanya Andin pada sahabatnya.“Lo dengerin dulu penjelasan Bang Ar. Setelah lo lihat buktinya, terserah lo mau pisah atau rujuk. Gue akan selalu mendukung lo,” kata Sisil mencoba membujuk sahabatnya agar mau mendengar dulu penjelasan dari suaminya.Andin menganggukkan kepalanya. “Gue pikirin dulu deh.” Andin bangun dari duduknya. Ia berjalan menuju teras belakang.Sisil pun mengejar sahabatnya. “Din, lo mau lihat Nancy sama Joy, nggak?” Sisil berusaha menyenangkan hati Andin, agar sahabatnya itu tidak kepikiran terus dengan masalahnya.“Mau,”sahut Andin dengan sumringah. “Tapi, gue nggak mau pulang ke rumah itu.&rdqu
“Ogah!” Andin melempar ponsel Sisil ke sembarang tempat. Untung saja Sisil dengan cepat menangkapnya.“Nggak ada terima kasihnya lo!” sergah Sisil. “Ini banda gue satu-satunya.” Sisil mengelus-elus ponselnya dengan lembut.“Bodo amat!” Andin bangun dari duduknya, lalu pergi meninggalkan Sisil yang sedang mengomel sambil mengusap-usap banda satu-satunya.“Mami!” Andin terkejut saat masuk ke dalam rumah ternyata Mami dan papinya sudah ada di ruang tamu. Jarak rumah Kakek Dani tidak terlalu jauh dari rumah Mama Marisa yang ada di Bandung.“Mami kok tahu, aku di sini?” tanya Andin sambil menyalami tantenya yang ia panggil dengan sebutan Mami.“Tadi Al nelpon Mami, katanya kamu di sini. Dari kemarin dia nyariin kamu,” jawab sang Mami. “Sisil mana? Kata Al dia di sini juga.” Mami Tyas
“Mang!” panggil Mami Tyas pada Mang Ace.“Iya, Bu,” sahut Mang Ace sambil melangkah menghampi Mami Tyas.“Mang, tolong bawain koperku ke kamar ya!” titah Mami Tyas. Kemudian ia bangun dari duduknya. “Mami mau nyamperin Sisil dulu ya.” Mami Tyas pergi meninggalkan Andin dan suaminya.“Dek! Dengerin Papi! Setiap ada masalah, dibicarakan dulu baik-baik jangan kabur-kaburan kayak gini. Kalian tuh bukan sedang pacaran, tapi kalian udah menikah,” kata Papi Rizky. “Jangan gampang mengucap kata cerai, itu nggak baik. Walaupun tidak dilarang oleh agama, tapi Allah membencinya.”“Iya, Pi. Adek akan berusaha memperbaiki diri,” jawabnya.“Kalau memang benar Haidar berselingkuh. Papi yang akan mengurus perceraian kamu,” kata Papi Rizky dengan tegas.“Papi! Tadi katanya ja
Andin tidak bisa memejamkan matanya. Semakin ia paksa untuk terpejam, semakin ia gelisah.“Lo kenapa sih? Kayak cacing kepanasan, nggak bisa diem banget deh,” protes Sisil yang terganggu dengan sahabatnya itu yang selalu bergerak ke sana ke mari.“Gue nggak bisa tidur,” jawab Andin, lalu ia bangun dan duduk bersila. “Kita ngobrol aja yuk!” Andin membuka selimut Sisil yang menutupi seluruh tubuhnya.“Dingin banget, Din.” Sisil kembali merebut selimut yang ditarik Andin. Lalu kembali menyelimuti tubuhnya. “Gue ngantuk ah,” ucapnya.“Ntar gue bikinin susu jahe deh biar lo anget.” Andin memberikan penawaran pada sahabatnya agar mau menemaninya bergadang.Sisil bangun dan terduduk menghadap sahabatnya itu. “Sama mie rebus juga ya, dingin-dingin begini enak tuh makan mie.” Sisil tersenyum licik sambil m
Andin duduk bersebelahan dengan Sisil. Jantungnya terasa berdebar-debar saat mendapat telepon dari suaminya.“Kok gue jadi ikutan deg-degan gini ya,” kata Sisil sambil memegangi dadanya. “Udah cepetan jawab! Jangan bengong aja!”Andin pun segera menerima panggilan telepon dari Haidar. Ia sengaja tidak menyapanya karena ingin mendengar suara suaminya terlebih dulu.“Udah diloudbelum? Kok nggak kedengeran apa-apa?” bisik Sisil.Kemudian terdengar suara barang pecah yang membuat Andin dan Sisil terperanjat karenanya.Andin dan Sisil saling tatap, dalam hati mereka bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya terjadi.“Aku nggak mencintaimu, Andin!” teriak Haidar dengan keras. “Aku nggak mencintaimu.” Terdengar teriakan Haidar berkali-kali, lalu tertawa terbahak-bahak setelah mengatakan itu.
Tok tok tok“Adek! Sisil! Udah siang, kalian nggak pada laper?” Mami Tyas mengetuk pintu kamar Andin sambil berteriak memanggil kedua sahabat itu.Mami Tyas turun ke lantai bawah untuk memanggil Mang Ace. “Mang, kunci cadangan kamar Andin di mana?” tanya Mami Tyas pada pelayan rumah itu.“Sebentar, Bu, saya ambilkan.” Mang Ace pun segera mengambil kunci cadangan kamar Andin.“Ada apa sih, Sayang?” Papi Rizky menghampiri istrinya yang membuat kehebohan di siang hari.“Andin sama Sisil belum bangun juga,” jawab sang istri. “Mami takut mereka kenapa-kenapa,” lanjutnya.“Mereka nggak akan kenapa-kenapa, Mi. Andin anak yang kuat, masa cuma patah hati aja sampai bunuh diri.” Papi Rizky memegang pundak sang istri sambil mengusap-usapnya untuk menenangkan.“
Sisil memutari tubuh sahabatnya yang dibalut dres selutut dengan belahan dada yang rendah. “Busyet dah! Belum juga resmi jadi janda, udah tebar pesona aja lo. Jangan genit-genit kalau jadi janda! Diserang emak-emak berdaster baru tahu rasa lo!”Andin tidak mendengarkan ocehan sahabatnya, ia melenggok dengan santai keluar dari kamarnya, Sisil mengekori sahabatnya sambil menggelengkan kepala.“Kalau orang patah hati gitu kali ya? Nyari hati lain buat nyambunginnya,” batin Sisil sambil terkekeh.Andin menapaki tangga satu persatu dengan anggunnya. Ia menghampiri keluarganya yang sedang berkumpul di ruang tamu.“Siang-siang begini bidadari keluarga Pradipta mau ke mana tuh?” tanya Papi Rizky saat melihat keponakannya datang menghampiri.Semua menoleh ke arah Andin mendengar ucapan Papi Rizky. “Adek mau ke mana?” tanya Bunda Ani
“Bunda aku pergi dulu ya,” pamit Andin pada bundanya. Andin bangun dari duduknya lalu menarik tangan Sisil. “Ayo, Sil, kita keluar!”“Kami pergi dulu.” Sisil menoleh ke belakang sambil melambaikan tangannya. Ia berjalan cepat mengimbangi langkah Andin yang terus menarik tangannya.“Din, lepasin tangan gue! Lo kira gue kebo.” Sisil mengempaskan tangan Andin yang memegangi pergelangan tangannya.“Bang, temenin adikmu, ntar dia bikin ulah,” suruh Bunda Anin pada anak laki-lakinya.Aldin menganggukkan kepalanya, lalu mengejar Andin dan Sisil.“Dek, Abang ikut!” teriak Aldin pada adiknya yang sudah berada di teras depan rumah.Andin menoleh pada Aldin. “Abang ngapain sih ngikut-ngikut,” protes Andin pada abangnya. Andin hanya ingin menghabiskan waktu berdua saja dengan sahaba