Selamat membaca.Memakan jiwa, membunuh penderitanya secara perlahan. Iya, jika keinginan hidupku tidak ada. Ck! Merepotkan juga. Tapi tunggu, aku ingin sedikit beristirahat. Semoga keinginanku ini, tak membuat Baginda marah saat aku tersadar nantinya.***Siapa sangka, keinginanku untuk beristirahat selama sejam saja. Menghabiskan enam bulan di dunia nyata. Dan saat mataku mulai terbuka, kaki dan tanganku terikat mawar yang merambat tetapi tak melukai tubuhku. Gunanya ini untuk apa? Tanyaku membatin, sesaat setelah menghirup aroma wangi dari bunga yang menutupi tubuh telanjangku. Seperti obat yang dapat menyembuhkan setiap jaringan-jaringan tubuhku yang seakan membeku karena tertidur cukup lama.Aku malah tersenyum. "Aneh!" ucap singkat. Sesaat sebelum mataku kembali tenggelam dalam kegelapan.***"Emabell?!"Suara itu. Kafkan? Bukan! Lalu siapa? Membuka mataku perlahan kembali. Aku melihat Nike yang sedang menatapku dengan alis mengerut. Matanya terbuka, berbinar ketika aku membala
Selamat membaca.Bagaimana bisa seorang pria dengan wajah tegas bermata merah yang seakan kuat dan tak terkalahkan ini, memiliki hati dan mata yang tidak bisa berbohong. Akan perasaannya sendiri, seperti hati manusia yang memiliki perasaan emosional luar biasa saat menghadapi situasi yang berada di luar kendalinya."Maafkan saya!"Dia berlutut! Sontak aku juga berlutut di depannya. "Kenapa berlutut?" bingungku. Panik, dan tak biasa dengan perlakukan seperti ini. Aku menoleh ke arah Baginda dengan alis yang mengerut namun. Di-dimana mereka semua—pikirku bertanya-tanya saat tak melihat ada satupun orang di belakangku saat ini."Emabell. Maafkan saya, karena saya. Kau kehilangan orang yang paling berharga dalam hidupmu?" Dia meraih kedua tanganku dengan air mata yang terus menetes tak henti-hentinya—jujur, itu tak cocok untuk struktur wajah yang terlihat seperti seorang penjahat. Dan pengkhianat. "Emabell!""Wow! Wow! Wow! Sakana tenanglah, aku baik-baik saja dan dia juga begitu. Sekaran
Selamat membaca.Atas pertanyaan yang dilontarkan Sakana secara sengaja. Membuat aku harus tidur siang ditemani Baginda di sampingku—padahal aku sedang tidak ingin tidur lagi. Niatnya baik, katanya agar aku bisa semakin pilih. Tapi tanganku diikat seperti tahanan, bersama dengan tangannya menggunakan dasi."Kalau kau bergerak. Aku akan menghukummu Emabell!"Mendengar itu aku hanya menelan saliva kasar, menatap ke arah langit-langit dalam posisi terlentang sedang ia tidur memiring menghadapku. Menutup matanya, tetapi aku bisa melihat seringai yang diciptakan pada sudut bibirnya itu.Mengangkat satu tangan kiriku yang terlepas, mencoba membuka dasi yang mengikat pada tanganku dan tangan Baginda dengan keringat dingin di siang hari yang membuat tubuhku terasa panas. Seolah sedang bersembunyi dan berhadapan dengan maut, yang jika salah sedikit maka aku sudah berubah menjadi daging cincang saat ini. 'sial' di tengah-tengah usaha aku berhenti, aku menyerah tetapi tiba-tiba saja.Brang!Tass
Selamat membaca.Ah. Aku pikir, aku bisa menahan semuanya kali ini atau juga tidak. ***Tubuhku seakan pasrah ketika Baginda menggendongku ala bridal membawaku ke arah kamar lain. Kamar pribadi miliknya, yang tentu saja suasananya sangat berbeda dengan kamarku yang sedang dalam perbaikan saat ini."Baginda?!"Aku gugup, ketika ia menurunkanku pelan ke atas ranjang berwarna gelap secara perlahan-lahan, tanpa menjawab. Baginda menarik setiap helai pakaian yang membalut tubuh depanku perlahan—ini adalah hal biasa, tetapi saat tangannya itu tak sengaja menyentuh kulitku, rasanya jadi sangat berbeda.Tepat saat ia hendak melepas tali yang menutupi dadaku, aku menahan tangannya. Menggelengkan kepalaku tak siap, tetapi Baginda malah mendorong pelan bahuku hingga mengambil posisi berbaring. "Aku mohon Baginda!""Bukankah, ini adalah giliranmu, Emabell?" tanyanya sembari menatap wajahku dengan tatapan yang masih sulit untuk ku artikan. "Balaslah budimu, pada orang yang telah memberimu makan?"
Selamat membaca.Mengingat. Malam itu—aku tidak menyangka, kalau ia akan mengakhirinya dengan kata-kata sederhana yang terdengar begitu indah di telingaku. 'terima kasih' ucap Baginda sembari mengecup setiap tempat yang ia sentuh dengan lembut."Kenapa kau tersenyum simpul terus sedari tadi?" tanya Sirius. Rupanya, ia memperhatikanku sedari tadi.Di taman belakang, aku menanam beberapa herbal baru yang diberikan Sakana sebagai permintaan maaf karena telah mengganggu kemarin. Sekarang, Baginda membiarkanku hanya diawasi oleh satu orang dan itu pun harus Sirrius—mengapa dari sekian banyaknya orang kepercayaan. Haruslah SIRRIUS yang memiliki kepribadian hampir sama seperti dia yang masih kurindukan sampai saat ini."Malah mengkhayal. Dasar aneh!" ucapnya sedikit kasar.Aku tersenyum mengejek padanya. "Suka-sukaku. Otak, otakku hu!" Ku lihat sebelah mata pria itu berkedut kesal. "Lagi pula tidak ada yang bicara denganmu.""Lancang!""Bodoh amat.""Mau ku iris-iris kau menjadi daging cinca
Selamat berpikir. BOAM!Bagunan di atasku runtuh! "Baginda?!" Panggilku, cemas dan juga takut—bumi seakan bergerak, membuat langkah dan keseimbangan seakan sulit untukku miliki. CK! Sepertinya terjadi sesuatu diluar istana."Emabell!" Dia muncul, dan aku langsung memeluknya dengan erat dan ia pun membalasku tak kalah erat. Melingkarkan tangannya pada pinggangku, sebelum membawaku terbang. keluar dari daerah istana yang sedang diserang. Ia membawaku ke lantai lima. "Pakailah apa yang ada!" ucapnya padaku. Mengangguk, aku membuka lemari yang dipenuhi dengan pakaian kesatria wanita dan pria serta pakaian pelayan. SREKKK!Baginda!BANG! Ia menutup jendela kamar, sesaat setelah sebuah kekuatan berbentuk bola dengan aura hitam menyambarnya bersama dengan pedang dan busur. Aku harus bergantung padanya. "Iya. Jika itu Emabellmu, tapi sekarang. Aku adalah Emabell dari Clossiana Frigga!" ucapku pasti, sebelum mengambil pakaian pelayan karena dirasa cukup nyaman. Bersama dengan busur—aku hany
Selamat membaca.Gunung Utara. Pertama kalinya, aku diizinkan menyentuh salju gunung utara dengan tangan terbungkus sarung tangan tebal menjaga agar aku tak kedinginan. Melukis bahkan membuat boneka salju seperti yang ada dalam buku. Tentunya ditemani Baginda yang sedang duduk di atas bukit, mengawasiku dari jauh. Wush!Menoleh. Aku bisa melihat berapa menawannya pria dengan balutan pakaian kerajaan berwarna hitam itu. Meski pakaiannya normal, aku tidak melihat gangguan udara dingin yang membuat ia gemetaran. Bahkan bibirku saja sudah membiru karena udara dingin yang hanya sekedar lewat saja.Puas menatapnya. Pandanganku kembali ke arah salju, yang telah berbentuk hati dengan sempurna. Lalu membawanya berlari seperti anak kecil, dengan imajinasi pada kedua telapak tangannya ke arah Baginda.Sekalian menceritakan sesuatu yang tak bisa ku ceritakan padanya, karena alasan sesungguhnya ia membawaku ke tempat ini berduaan saja—bahkan Bielra pun tak boleh ikut, semua karena ia ingin aku ju
Selamat membaca.Menyenangkan. Itulah yang kugambarkan untuk hari ini, kami tersenyum bersama-sama. Seakan hawa dingin tak membuat kami berhenti. Hosh! Aku tersenyum senang saat nafasku ini ku hembuskan—tetapi mengapa, aku malah kepanasan dan keringat dingin seakan bercucuran tak henti-hentinya.Menatap ke arah matahari yang tertutup rapat oleh awan dingin, mengapa rasanya terasa sangat terik. Aku haus…aku kepanasan."YANG MULIA!" Seseorang memanggil dengan suara lantang, beberapa orang berjubah tiba-tiba saja datang dan langsung membaringkan tubuhku di atas tumpukan salju—para tetua, mereka terlihat cemas saat menatap ke arahku. "Manusia, kau hanya menjadi beban. DARKA!"Baginda datang, mencoba memelukku tetapi aku menolaknya karena tubuhku seakan terbakar saat menyentuh pria itu. "Hosh! A-kau Baginda!" Mengerti, Baginda hanya menahan kepalaku dengan telapak tangannya agar tak kesusahan."Apa yang terjadi pada Emabell?!" tanya Baginda dengan nada ketus nan marah. "JAWAB!"Mereka tert