Selamat membaca.Gunung Utara. Pertama kalinya, aku diizinkan menyentuh salju gunung utara dengan tangan terbungkus sarung tangan tebal menjaga agar aku tak kedinginan. Melukis bahkan membuat boneka salju seperti yang ada dalam buku. Tentunya ditemani Baginda yang sedang duduk di atas bukit, mengawasiku dari jauh. Wush!Menoleh. Aku bisa melihat berapa menawannya pria dengan balutan pakaian kerajaan berwarna hitam itu. Meski pakaiannya normal, aku tidak melihat gangguan udara dingin yang membuat ia gemetaran. Bahkan bibirku saja sudah membiru karena udara dingin yang hanya sekedar lewat saja.Puas menatapnya. Pandanganku kembali ke arah salju, yang telah berbentuk hati dengan sempurna. Lalu membawanya berlari seperti anak kecil, dengan imajinasi pada kedua telapak tangannya ke arah Baginda.Sekalian menceritakan sesuatu yang tak bisa ku ceritakan padanya, karena alasan sesungguhnya ia membawaku ke tempat ini berduaan saja—bahkan Bielra pun tak boleh ikut, semua karena ia ingin aku ju
Selamat membaca.Menyenangkan. Itulah yang kugambarkan untuk hari ini, kami tersenyum bersama-sama. Seakan hawa dingin tak membuat kami berhenti. Hosh! Aku tersenyum senang saat nafasku ini ku hembuskan—tetapi mengapa, aku malah kepanasan dan keringat dingin seakan bercucuran tak henti-hentinya.Menatap ke arah matahari yang tertutup rapat oleh awan dingin, mengapa rasanya terasa sangat terik. Aku haus…aku kepanasan."YANG MULIA!" Seseorang memanggil dengan suara lantang, beberapa orang berjubah tiba-tiba saja datang dan langsung membaringkan tubuhku di atas tumpukan salju—para tetua, mereka terlihat cemas saat menatap ke arahku. "Manusia, kau hanya menjadi beban. DARKA!"Baginda datang, mencoba memelukku tetapi aku menolaknya karena tubuhku seakan terbakar saat menyentuh pria itu. "Hosh! A-kau Baginda!" Mengerti, Baginda hanya menahan kepalaku dengan telapak tangannya agar tak kesusahan."Apa yang terjadi pada Emabell?!" tanya Baginda dengan nada ketus nan marah. "JAWAB!"Mereka tert
Selamat membaca.Uh. Aku membuka mataku pelan, dan menempati ruang hangat yang nyaman. Dengan langit-langit kamar yang begitu Familiar. Ini kamarku—menoleh ke arah jendela. Sudah diperbaiki lagi.Tetapi kepalaku berkunang-kunang, jadi aku memutuskan untuk kembali tidur. Setelah bermimpi aneh beberapa saat yang lalu. Tidak benar-benar tidur hanya menutup mata seperti orang sakit dan tak berdaya diatas tempat tidur—tidur membelakangi jendela.Tak lama suara langkah kaki mendekat, diikuti suara pintu yang dibuka kemudian ditutup kembali. Baginda? Tapi mataku rasanya sulit terbuka, aku lelah dan lemah.Hiksss!Hah… suara tangisan siapa? Pikirku lemah, tetap menutup mataku mencoba mengabaikan suara tangisan yang tak biasa. Bukan wanita, tapi suara tangisan seorang pria. Membuka mata, aku melihat ke arah depanku. Sedang duduk lemas sembari menutup satu tangannya pada wajahnya dengan air mata yang mengenang begitu banyak. Lalu ia terisak dalam diam. "Tolong jangan ambil dia dariku…"DEG! Kat
Selamat membaca.Selamat datang dikehidupan nyataku. Sakana membenciku, begitu pula dengan Sirrius dan juga Zurra—hubunganku dan Baginda tak sebaik yang kulihat, tidak ada Bielra, aku tidak punya kemampuan membangkitkan orang mati. Dan Utara begitu kuat dan mengerikan. Ah. Aku kecewa.Sekarang, aku hanya meringkuk dalam kamarku. Memeluk kedua lututku, menahan rasa sakit yang menjalar pada setiap urat nadiku karena aku masih menolak darah Baginda. Ya. Harus ku tolak, sebab aku tidak ingin ada yang berkurang. Di dunia ini.Tok!Tok!Tok!Suara pintu terbuka—menampakan Baginda beserta nampan makanan dan minuman yang terisi penuh oleh lauk dan air. "Lapar?"Aku menatapnya singkat. Sebelum menganggukkan kepalaku sebagai jawaban atas pertanyaannya. Ya. Karena aku benar-benar lapar sekarang. Tetapi saat aku hendak mengambil mangkuk berisi sup itu. Baginda menjauhkannya dariku, duduk disampingku—mengambil posisi menyuapi."Buka mulutmu!"Tak menjawab, aku mengiyakan permintaan yang malah terd
Selamat membaca.Saat matahari mulai terbenam, aku merasa kalau aku harus menghentikan Baginda. Tetapi aku tak bisa melakukan itu karena aku tak mau kehilangan mereka. Sakit."Emabell!"Almosa muncul dari pintu, dengan segelas teh hangat. Aku lantas tersenyum padanya. Menyambutnya dengan segala keberanian yang kumiliki. "Apa Baginda benar-benar pergi?" tanyaku, dan Almosa menganggukan kepalanya sebagai jawaban atas pertanyaanku barusan. Sejenak, aku kembali murung juga senang karena Baginda pergi—tetapi aku masih merindukan nya. Aku ingin bermain salju, duduk bercerita bersama Baginda tetapi jika kulakukan. Kafkan tidak tidak akan ada."Kau sedih?""Em.""Kamu mengalami banyak hal rupanya." Dia duduk disamping kasurku, melipat tangannya menatap ke arah langit yang tampak mengerikan dan bukannya indah ketika matahari baru saja ingin terbenam. "Keberadaanmu mulai dicurigai dan aku tidak ingin kehilangan manusia favoritku!" ujarnya sembari meraih tanganku yang masih penuh dengan luka.Se
Selamat membaca."Ku mohon!" Aku menangis menatapnya. "Lepaskan aku. Ba-baginda!" Aku berjalan mundur, berharap pada pria itu agar tetap diam di tempatnya tak mengapa aku. Tak menahanku.***Tetapi ku dapatkan adalah rasa sakit. Ia menarik rambutku ke belakang dengan kasar. Sampai membuat aku tersungkur di tanah. Hiksss! "Sakit. Jangan sembuhkan!" Mataku membelalak dengan lebarnya saat luka pada kaki dan tanganku mulai membaik dengan sendirinya. "Ba-baginda….""Ku bilang tetap hidup! APAKAH SULIT EMABELL?!" Aku ketakutan. Dia mencekik leherku dengan satu tangannya, sedangkan tangannya yang lain menarik kuat rambutku ke belakang. "KAMU MENCINTAIKU!" tekannya. aku menggelengkan kepalaku sambil tersedu-sedu. Menelan Saliva, menahan sakit, mencoba untuk bernafas saat melihat Baginda sebagai neraka yang hidup. "IYA. KAMU MENCINTAIKU!""Ba-baginda!"Ribuan getaran tak bisa ku jelaskan dari suaraku yang semakin parau. Air mata ini, menghangatkan pipiku. Bibirku gemetar, sulit untuk bicara.
Selamat membaca.Remuk.Aku menangis di tepi kasur sembari memeluk kedua lututku, menatap melemas ke arah jendela yang membawa sinar matahari masuk ke dalam. Menembus beberapa bagian tubuhku samar-samar. Dengan Dress indah pilihannya."Tak ingin kehilanganku, tetapi menyakitiku."Tangan kekarnya mengelus wajahku yang tutupi helai rambut dengan lembut, menatapku dengan tatapan merasa bersalah—tetapi terus mengekangku dengan statusnya. Serta menolak pilihanku. Aku tidak sembuh, aku semakin sakit. Begitu pula dengan dunia ini!"Kamu menginginkan kedamaian, tetapi menentangku!" balas Baginda dengan nadanya yang lembut, seolah tak peduli pada tubuhku yang dibuatnya seperti malam yang harus selalu ku ingat. "Lihat, kamu tidak lemah. Jadi berhentilah memperlakukan dirimu lemah Emabell!"Aku marah pada setiap perkataannya yang terdengar seperti sebuah perintah, yang tak boleh ku tolak. Karena akibatnya bisa sangat fatal. "Kamu mengerti Emabell?""Ya. Baginda."Kamu berhasil membuatku tak berd
Selamat membaca.Malam itu, ketika semuanya terasa baik-baik saja. Telah diperbaiki, saling memaafkan dan melindungi dalam diam. Istana tiba-tiba saja diserang oleh pihak tak di kenal.BRAK! Pintu didobrak, dan menampakan Sirrius dengan sabitnya. Menatap ke arahku dengan tatapan tak peduli. "Pergi, selagi memiliki kesempatan?""Kau ingin membunuhku? Sayangnya aku tidak boleh mati ditempat lain!" Tegasku menatapnya dengan tatapan setengah takut, setengah berani—sebab Baginda menyuruhnya melindungiku, tetapi dia malah…tunggu! "Apa ini rencana B yang dimaksud?"Dia tersenyum sinis. "Selamat Anda benar. Tetapi berkatmu, Baginda harus melawan kaumnya sendiri. Bangsa Utara. E.ma.bell!" dia tersenyum sinis padaku. "Lihatlah bagaimana kamu memulai kehancuran!""Sekarang pergilah!"Tetapi jika aku pergi. Maka konsekuensinya Sirrius akan mendekat di penjara bawa tanah atas dasar ketidaksetiaan. Dan aku tidak ingin itu terjadi. Aku tidak suka ini, para tetua itu…ceroboh sekali."APA YANG KAU PIK