Selamat membaca.Tiga hari, saat salju mulai turun bersama dengan amarah Baginda yang bercampur menjadi satu. Bahkan daerah yang harusnya tak bersalju, malah kedatangan tamu tak diundang, angin dari Utara bertiup membawa segala murka dan kesedihan Baginda.Aku berhasil melepaskan diri dari Utara, tetapi aku tidak berhasil membuat Killian tetap hidup. Meski berbohong dia bohong, aku sudah mengetahuinya jauh sebelum ia mengatakan yang sebenarnya."Wah, kau sudah gila Emabell!" ucap Nike, sembari menggelengkan kepalanya menatap ke arahku yang diam menatap ke arah pegunungan Utara yang masih sama, dari tempat yang sama. Jembatan yang menghancurkan dunia, beribu-ribu tahun yang lalu."para tetua dari Utara mengecualikan Clossiana Frigga dari kuasa yang mulia Darka dengan syarat kalau mereka tidak akan menyentuhmu. Tapi aku tidak tahu, kalau akan sekacau ini!"Aku tersenyum padanya. "Kau benar-benar gadis yang tidak bisa diatur.""Benarkah?" tanyaku. Nike menganggukan kepalanya sebagai jawa
Selamat membaca."BI…"BYURRR!Aku membulatkan mataku dengan lebarnya saat melihat ekspresi bibi, tersenyum padaku setelah mendorongku? Kenapa? Bukankah tadi bibi bilang mau membantuku?!Aku mencoba untuk mengayunkan kakiku, aku ingin berenang kembali ke permukaan tetapi mengapa? Hatiku mengatakan kalau ini benar, tetapi tidak dengan otakku. 'aku tidak mau kembali lagi ke Utara' pikirku, mencoba mengerjakan kakiku untuk berenang. Sampai….'tidak!' arus dari mana ini? Membawaku melayang-layang dalam air, berputar-putar sampai rasanya paru-paruku kini terisi penuh oleh air dan tenagaku perlahan menghilang—membiarkan tubuh ini terombang-ambing sebelum kegelapan menyapaku.***Beberapa saat kemudian, aku berhasil membuka mataku tetapi aku. Masih berada di dalam air, di atas terumbu karang bernafas! Tetapi tak bisa bicara? Tak bisa berpikir jernih. Seolah ada pelindung di sekitarku yang memberikan oksigen.Dari bawah sini semuanya tampak nyaman, aku bisa melihat matahari yang menyinari lau
Selamat membaca.Sudah lewat seminggu, sejak pertama kali aku datang di kerajaan ini. Irlanga yang membuatku merasa hidup. Orang-orangnya juga ramah dan baik, kebanyakan dari mereka menghabiskan hidup di dalam air. Menjaga agar para hewan laut jahat tak merusak ekosistem bawah laut mereka, dan katanya lagi laut Irlanga melindungi setiap makhluk hidup yang tinggal dan yang jatuh."Jadi air di kerajaan ini hidup?"Aku menyentuh air yang hanya air biasa, tak bergerak dan tak bicara. Duduk di tepian, bersama dengan Edanosa. Satu-satunya teman yang kumiliki di kerajaan ini. "Bagaimana cara membedakannya?!" ucapku bingung karena setiap hulu sungai saling sambung menyambung. Mengerutkan keningku bingung, aku masukkan tanganku ke dalam air. Tapi tak ada yang berbeda. "Aneh!'"Itu namanya keajaiban, muncul di waktu kamu membutuhkan saja guru." Dia menatapku dalam. "Mau berenang? Melihat tumbuhan obat?!""Tidak mau.""Kenapa?""Kalau aku tiba-tiba terbawa arus bagaimana? Masih untung bisa terda
Selamat membaca.Aku menunggu. Tetapi pria itu tak kunjung datang, aku marah karena dia tidak menepati janjinya. Meski hanya seorang manusia biasa, Edanosa begitu menghornatiku. Dan tak pernah sekalipun ia bermain dengan pikiran kotor akan diriku. Dia tak ingin memanfaatkanku, dia hanya ingin berteman denganku—dan itu adalah hal yang membuat aku bertanya-tanya, tentang bagaimana orang-orang memandangnya. Di pasar. Meski seorang pangeran, Edanosa tak mendapatkan sapaan. Semua orang hanya membukukan badan mereka hormat. Tapi aku tak melihat rasa takut? ***Di penginapan. "Aku akan pergi ke istana, mungkin dia menungguku disana." Aku berbicara pada ibu penginapan yang terlihat cemas. Pasalnya, hari sudah malam dan keluar tanpa seorangpun. "Tenang saja, aku tahu dunia ini berbahaya. Bagi orang sepertiku, tetapi aku masih mempercayai keajaiban Irlanga lebih dari apapun. Sama seperti di dasar laut, di darat pun Irlanga akan melindungi siapapun yang membutuhkan pertolongan."Ibu itu tiba-t
Selamat membaca.Tidak ada pilihan. "Maaf Baginda!" ucapku sembari mengerutkan keningku ke atas menatapnya dengan mata yang berbinar, menahan air mata yang sebentar lagi akan jatuh bersama dengan perang yang akan pecah karenaku. "Aku tidak bisa kembali ke Utara!" Sambungku."Kalau begitu kapan?""Eh?" Aku menggelengkan kepalaku ringan, alisku masih saling bertautan. Menatap mata Baginda dalam-dalam. "A-aku tak punya waktu untuk memikirkan hal itu!" jawabku jujur karena waktu mulai habis, dan aku masih tidak tahu kapan aku akan meninggal dan dimana tubuhku akan dimakamkan nantinya.Ini tidak akan berhasil. Aku mengenal Baginda, dia selalu punya cara untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Tapi sekarang bukan waktunya untuk mengalah, aku harus kuat.Tangannya turun ke bawah. Dan tepat saat itu juga, beberapa orang dengan pakaian serba putih masuk yang semakin lama, semakin banyak. Mereka mengepung setiap tempat, dari sini. Aku bisa mencium aroma darah. Tetapi dari ekspresi pangeran yang
Selamat membaca.Wush!Angin berhembus menerpaku, membuat suraiku beterbangan kemana-mana begitu juga dengan jubah yang Baginda pakai. Dari sini sorot mata tajam yang sedang menatap ke arahku tampak bersinar—aku melihat kesedihan."Bibi benar, aku tidak pernah bisa mencintai diriku sendiri." Karena aku masih menginginkan kedamaian. "Tapi aku tidak bisa percaya." Aku hanya tidak ingin masa depan yang kulihat terulang. Hah." Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku, bahkan sulit untuk berlari sekarang. Karena aku mencoba menghancurkan impianku."Emabell, apakah kamu, bisa mempercayai Utara? Aku bisa memberikan apapun yang kamu inginkan. Meski dunia ini menentangnya." Dia berbicara lembut. "Maka sama seperti aku memilihmu, kamu juga harus memilihku.""Aku manusia. Ini terlarang Baginda!" Aku, aku hanya takut. Tiba-tiba saja sebuah tangan mendarat pada pungungku. Terkejut, aku membuka mataku lebar menatap Baginda yang kini sudah berada di depanku. Menghapus setiap tetes air mata yang ja
Selamat membaca.Dalam perjalanan kembali, Baginda menggendongku ala bridal agar nyaman. Sedang Kafkan, Ar, Almosa juga Damor mengikuti dari bawah—Kafkan bahkan tersenyum gembira dalam hatinya, Almosa lega, Damor puas akan hari ini sedangkan Ar…aku tidak mendengar apapun dari pria yang sangat cuek padaku tapi dia sangat perhatian—dan perhatian itulah yang membuat jalanku terasa sulit karena dia terlalu setia pada Baginda.Coba hitung berapa kali ia bicara denganku? Setelah pertama kali kita bertemu.Dalam perjalanan kembali, Baginda mengubah arah barat hingga matahari terbit dan memecah warna pink menjadi langit biru di pagi hari melewati malam yang panjang penuh rasa takut, seolah memulai hari baru yang jauh lebih baik daripada kemarin."Ki-kita mau kemana?""Clossiana, Frigga." Jawaban yang membuat mataku terbuka dengan lebarnya. Tersenyum saat angin kembali menyapu wajahku yang penuh kegembiraan. "Kau senang?""Ba-baginda mengizinkan aku kembali?"Raut wajahnya berubah dingin. "Apa
Selamat membaca."Emabell, ibu ingin mengingatkanmu. Kalau ini tidaklah mudah, kalian tidak melawan kerajaan di dunia ini. Tapi kalian melawan hukum di dunia ini sayang." Ibu mengelus wajahku dengan lembut, dahinya terus mengerut. Matanya penuh kecemasan yang berlebihan seperti seorang ibu pada umumnya. Dia—selalu saja mencemaskanku. "Ibu, tidak ingin kehilanganmu. Karena kamu hidupnya ibu."Aku tersentuh. "Kenapa tidak berikan Emabell adik saja? Ibu tidak akan sendiri, ibu tidak akan memarahi batu lagi." aku mencoba menghibur ibu. Dan ibu tersenyum sembari memukulku kecil. "Aku akan baik-baik saja, karena aku punya Baginda.""Andai kau tidak memiliki rasa penasaran dan impian yang setinggi itu. Mungkin ayah masih bisa bermain denganmu disini, ayah ingin memarahimu karena keluar tanpa izin." Ayah mengelus kepalaku sayang. "Ayah ingin Emabell bertahan sampai akhir, apapun pilihanmu sayangku, putriku."Justru. Kalau bukan karena penyakit ini, mungkin aku tidak akan melihat dunia yang be
Selamat membaca. Tabir pelindung yang terbentuk di atas dunia Elydra itu mampu menyerap setiap api kemarahan Darka, meski terlambat. Tapi kekuataan itu begitu besar sampai setiap kaki yang berdiri akhirnya tak mampu lagi untuk berdiri—semua mahkluk akhirnya menghormati Emabell, bahkan para tetua yang tersisa menundukan kepalanya.Bukan karena kekuataan lagi. Tapi karena pengorbanan seorang manusia biasa pada dunia yang dengan hebatnya menolaknya sebagai ratu, tapi dengan sangat luar biasanya ia bela dengan mengorbankan nyawanya sendiri."Mungkin agak terlambat, tapi kini kau akan menjadi ratu kami. Satu-satunya ratu kami, Emabell kami."Aku menang. Tapi tunggu, aku kewalahan karena menahan kekuataan Darka. Keringat dingin memenuhi tubuhku, tapi tidak apa-apa. Ini bukan pertama kalinya aku di panggang!WUSH!Lenyap. Ah, rupanya aku juga tumbang. Baginda…tolong aku?!Gelap.***Beberapa hari kemudian, akhirnya aku sadar. Seolah tersadar dari mimpi, atau terbangun di dalam mimpi.Aku me
Selamat membaca.Raja dan Ratu, dan setiap makhluk yang mengisi aula utama Gratarus yang mengag dan indah saling tatap. Mereka kebingungan dengan alis yang mengerut sempurna—bagaimana tidak, pasalnya aku yang sudah seperti kehilangan kendali akan dirinya sendiri tiba-tiba saja menjadi tenang."Kau baik-baik saja Nak?" tanya ayah. Melirik ke arahku yang sedang berjalan menuju altar. "Emabell?""Ya ayah? Aku baik. Sangat baik." ucapku sembari tersenyum. Meski hatiku sangat ragu sekarang—"ternyata benar ya ayah, memilih itu sangat mudah. Yang susah itu, adalah bertahan." Kataku sambil mengumbar senyuman khas seorang Emabell dari Clossiana Frigga.Dan yah. Mata ayahku berbinar, dapat ku rasakan kalau hatinya tergetar atas perkataanku yang sepertinya sangat menyentuh hatinya. "Kau a-akhirnya mengerti Emabell?""Iya.""Ayah bangga padamu."Aku tersenyum. "Ayah akan semakin bangga. Karena kini aku mencintai Dunia Elydra.""Kenapa?" Karena dunia ini mencintai Bagindaku, rajaku, pilihan hatiku
Selamat membaca.Kau mengurungku. Lalu memintaku untuk melangsungkan upacara pernikahan yang tidak seharusnya terjadi Vardiantura? Baik, lakukan. "Aku akan mengukur waktu!"Mataku berubah warna menjadi keemasan, dan darah keluar dari mataku meski hanya sedikit. Itu karena Sakana mencoba melakukan lelepati denganku yang ternyata berhasil—baginda, hanya menyuruhku untuk menunggu sampai ia datang."Kalau kau tidak bisa bersabar, Baginda bersumpah akan memperkosaku setiap malam dan membunuh kami di depanmu! Jadi jangan lakukan hal gila. Kau mengerti!" tegas Sakana mengingatkan.Mataku membulat sempurna. Dan dengan susah payah aku menelan salivaku, "iya a-aku mengerti." jawabku.Karena semakin pusing. Jadi Sakana memutuskan telepati.Setelahnya, aku menatap ke arah pintu. Tapi percuma, pintu itu dikunci dari depan. 'hah' aku tidak suka di paksa—runtukku dalam hati.***-sementara itu, istana hitam. Utara yang membeku. Terjadi penangkapan besar-besaran di empat wilayah di Utara. Kota Devika
Selamat membaca.Berkat kecurigaan yang sepenuhnya benar. Aku di sidang di hadapan raja Vardiantura, di temani pangeran Edanosa dan Raja Nesessbula sebagai saksi atas kesalahanku."Bagaimana bisa rasa rindu menjadi kesalahan? Rindu itu tidak menyakitiku maka itu bukanlah sebuah kesalahan." Aku membela diriku sendiri. Tidak peduli seberapa hebatnya para ratu serta ibu dan ayahku yang terus memberiku kode agar aku diam saja tak mengatakan apapun—maaf tapi dia bukan Bagindaku, dan aku tidak akan pernah tunduk padanya."Berarti kamu berkomunikasi dengannya." ucapnya dingin."Itu hakku!" "Sejak kapan kamu memiliki hak Emabell?""Dan sejak kapan kau memiliki hak untuk bertanya padaku?" balasku tak ingin kalah. karena aku benar, ini adalah hakku.Edanosa menatapku dengan alis yang mengerut ke atas lagi. Tapi aku tidak bisa diam lagi, aku menatapnya sekali lalu tersenyum padanya seolah mengatakan kalau aku akan baik-baik saja meski hasilnya."Lihat aku!" Titah Vardiantura. Dan aku menatapnya
Selamat membaca.Gartarus. Kerajaan yang yang akan menjadi yang utama setelah Utara, indah, asri dan sangat nyaman namun sedikit mencekam.Orang-orangnya berkulit sawo matang dan hampir dari 99% warganya adalah pengendali tumbuh-tumbuhan. Merekalah yang membuat tumbuhan dapat bergerak, tapi ada juga tumbuh-tumbuhan yang sudah memiliki nyawa sejak lahir.Dedaunan yang jatuh bahkan bisa terbang kembali ke udara seperti ribuan burung-burung.Mereka ramah, dan alami saat tersenyum padaku."Huh! Senang rasanya melihat semua saling bahu membahu dalam mengurus kerajaan. Tamu tak diundang bahkan di sambut dengan baik," Ucapku sambil tersenyum manis menghirup udara segar menyambut hari pernikahanku. "Anehnya hanya Raja Nesessbula yang berbeda." Tambahku."Apa maksud Anda Emabell?!""Kau seperti orang mati, berkulit pucat, dingin dan terlihat seperti bukan berasal dari wilayah ini."Dia tersenyum smirk. "Timur. Tidak selalu tentang warna kulit. Dan lagi, aku adalah keturunan asli kerajaan Grata
Selamat membaca.Akhirnya hari itu tiba juga. Aku dan gaun pengantin di hadapanku, perhiasan bahkan mahkota yang akan ku kenakan terpajang dalam lemari kaca yang begitu mewah.Pernikahanku dan Vardiantura. Mereka berpikir kami akan menjadi 'lawan mencintai lawan' harusnya begitu. Tapi aku sudah mencintai lawanku yang sebenarnya—pria brengsek itu bukan Vardiantura tapi Baginda.Aku tersenyum membayangkan. "Kau tersenyum?" Edanosa muncul di sampingku. "Kau suka gaunnya?""Ya.""Aku mengenal guruku Emabell, dia memiliki dua senyuman. Yang satunya tulus, dan yang satunya lagi tulus dengan rencana.""Hm?" Ku kerutkan keningku pada pangeran Edanosa yang ada di sampingku. Sebelum tersenyum padanya. "Benarkah? Jadi, apa arti senyumanku ini?!" "Tulus dengan rencana." Aku tersenyum senang. "Emabell. Aku mohon!" Dia mengerutkan keningnya padaku. Mengandeng tanganku dengan mata berkaca-kaca."Lepas.""Alasan kau koma, bukan karena kekuataan misterius yang membutakan. Tapi karena…." Aku buru-bu
Selamat membaca.Aku tersenyum senang. Lalu menatap ke arah Nesessbula yang ingin menyampaikan informasi ini. "Sekalian, katakan padanya, aku masih menunggu." Terangku yang membuat Sih Vardiantura sialan itu tersenyum sinis."Apa yang kau harapkan?""Sampaikan saja!" Potongku. Tak peduli pada wajah angkuh seakan tak terkalahkan padahal cuma mayat hidup, aku jadi merindukan dia yang ku ciptakan dalam benakku. "Ini perintah!" Deg!"Kau….""Kau ingin aku menjadi ratu, akan ku lakukan sesuai yang kau inginkan. Dan kalian akan hidup!" Tegasku sembari tersenyum sampai mataku tidak lagi terbuka—meski artinya adalah sindiran.Mereka saling tatap. Tersenyum satu sama lainnya. "kau mau menikah denganku?" tanya Vardiantura."Hm." Jawabku sembari terus mengunyah."Kau mau menjadi ratu kami tanpa Baginda tercinta mu itu?""Hm." "Kau ingin memberikanku cinta.""Tentu.""Bagaimana dengan keturunan.""Tidak buruk."Mereka semakin bingung. "Kau masih waras Emabell?""Tidak. Setengah gila. YAH WARASL
Selamat membaca.Aku berjalan seperti orang bodoh diantara dinginnya malam, menikmati luasnya taman yang di bangun hanya untukku. Emabell dari Clossiana Frigga, bahkan nama taman ini adalah namaku. TAMAN EMABELL. Semuanya lengkap, kasih sayang, cinta, perhatian bahkan makanan sudah tersedia. Hanya saja, mengapa? Aku terus menatap ke arah tembok raksasa yang menghalangi duniaku."Baginda?" Sadar kalau ada langkah yang terus mengikutiku sedari tadi—Kubiarkan karena Baginda juga diam saja sedari tadi.Tiba-tiba. Ia memelukku dari belakang. "Tidak dingin?" tanyanya—Bisa kurasakan dengan jelas hembusan nafasnya yang menyentuh leher jenjangku. "Em.""Em?" Ulangnya.Aku tidak bersemangat sampai aku bisa membaca isi pikirannya. "Baginda mereka mengadakan pertemuan dan akhirnya Utara diundang….""Kita tidak akan pergi!""Mereka memilihku sebagai perwakilan." Aku sangat bersemangat sampai lupa akan sesuatu. "Ini…" tak melanjutkan ucapanku, kepalaku malah tertunduk ke bawah. Dan tak kusadari k
Selamat membaca.Ribuan panah amarah penuh penolakan di tengah kedamaian tanpa Utara. Dari orang-orang yang pernah tersenyum padaku—Tetapi Dia, Baginda. Dengan cepat menerjang ribuan anak panah itu seperti meteor yang kembali naik ke atas langit tanpa rasa takut.WUSH!Angin berhembus menerpa ku dengan sangat kuat, membuat surai dan pakaian kami beterbangan ke mana-mana. Tapi mata kami seakan menatap biasa saja ke arah Baginda.Zurra menatapku. "Nah Emabell, kita pulang?" Ia mengulurkan tangannya. Membuat aku tergetar, tersentak kagum. Melihat senyuman mereka yang berdiri di hadapanku, dengan ribuan prajurit Utara yang mendekat. Seolah menjemput kami untuk kembali pulang.Meski hanya kumpulan tengkorak dan mayat hidup. Mengapa rasanya bisa sangat hangat? Kegerian dan ketakutan yang pernah ada, sekarang ada dimana? Dan tekad untuk pulang ke Clossiana Frigga yang membuat banyak sekali rasa sakit. Terbang ke angkasa mana?"Ayo kita pulang." Senyumku sembari meraih tangan Zurra.Namun seb