Selamat membaca.Dalam perjalanan kembali, Baginda menggendongku ala bridal agar nyaman. Sedang Kafkan, Ar, Almosa juga Damor mengikuti dari bawah—Kafkan bahkan tersenyum gembira dalam hatinya, Almosa lega, Damor puas akan hari ini sedangkan Ar…aku tidak mendengar apapun dari pria yang sangat cuek padaku tapi dia sangat perhatian—dan perhatian itulah yang membuat jalanku terasa sulit karena dia terlalu setia pada Baginda.Coba hitung berapa kali ia bicara denganku? Setelah pertama kali kita bertemu.Dalam perjalanan kembali, Baginda mengubah arah barat hingga matahari terbit dan memecah warna pink menjadi langit biru di pagi hari melewati malam yang panjang penuh rasa takut, seolah memulai hari baru yang jauh lebih baik daripada kemarin."Ki-kita mau kemana?""Clossiana, Frigga." Jawaban yang membuat mataku terbuka dengan lebarnya. Tersenyum saat angin kembali menyapu wajahku yang penuh kegembiraan. "Kau senang?""Ba-baginda mengizinkan aku kembali?"Raut wajahnya berubah dingin. "Apa
Selamat membaca."Emabell, ibu ingin mengingatkanmu. Kalau ini tidaklah mudah, kalian tidak melawan kerajaan di dunia ini. Tapi kalian melawan hukum di dunia ini sayang." Ibu mengelus wajahku dengan lembut, dahinya terus mengerut. Matanya penuh kecemasan yang berlebihan seperti seorang ibu pada umumnya. Dia—selalu saja mencemaskanku. "Ibu, tidak ingin kehilanganmu. Karena kamu hidupnya ibu."Aku tersentuh. "Kenapa tidak berikan Emabell adik saja? Ibu tidak akan sendiri, ibu tidak akan memarahi batu lagi." aku mencoba menghibur ibu. Dan ibu tersenyum sembari memukulku kecil. "Aku akan baik-baik saja, karena aku punya Baginda.""Andai kau tidak memiliki rasa penasaran dan impian yang setinggi itu. Mungkin ayah masih bisa bermain denganmu disini, ayah ingin memarahimu karena keluar tanpa izin." Ayah mengelus kepalaku sayang. "Ayah ingin Emabell bertahan sampai akhir, apapun pilihanmu sayangku, putriku."Justru. Kalau bukan karena penyakit ini, mungkin aku tidak akan melihat dunia yang be
Selamat membaca.Hikss!Seseorang menangis, Bahkan air matanya bisa aku rasakan menyentuh pipiku. Isakan itu, begitu pilu. Tetapi siapa yang menangis untukku? "Bagunlah, aku merindukanmu."DEG!Suara itu…milik Ar—Ar yang tidak pernah bicara lebih padaku, Ar yang aneh dan gila. Ar yang berada dipihak Baginda. Ar yang tak pernah peduli dan tidak mau mengerti kalau aku kesusahan selama berada di Utara. Sekarang dia menangis?***Hosh. Aku membuka mataku, menatap dunia yang masih gelap ditutupi oleh kain hitam yang melingkar mataku—menarik, aku akhirnya bisa melihat langit-langit kamarku. Tapi siapa yang menangis? ruangan ini kosong. "Ah. Jadi dimana aku?" Masa depan? Atau kenyataan?Melihat tidak ada Baginda, mungkin aku sudah terbangun di masa depan. Ini hanya penglihatanku saja. Tapi saat menoleh ke arah jendela, aku melihat Baginda. Aku terpaku selama beberapa saat, melihat mata yang tertutup dengan tangan yang saling menyilang. Tidur menyandarkan kepalanya pada kaca jendela.Ini buk
Selamat membaca.Saling bermesraan melepas rindu. Aku malah mendengar suara hati seseorang, bukan hal baik tapi ia melihat kami. Meski hanya bayangan, tapi posisiku dan Baginda sudah dapat di tebaknya. Katanya—aku adalah manusia tidak punya harga diri yang pernah ia temui sejauh ini. Siapa lagi kalau bukan Zurra."Baginda?" Aku menghentikan meski takut, karena aku tidak ingin para tetua masuk dan membuatku benar-benar tidak memiliki harga diri sama seperti yang Zurra pikirkan. "Hm?" Bisiknya tepat di telingaku, yang membuat aku kegelian. Sebelum ia menarik tanganku, menggenggam ya eratnya untuk menemui badai yang sedang menunggu di aula utama. "Namamu?""Emabell. Ah…Abell!" Nike tak memanggilku Abell sejak aku pergi dari Clossiana Frigga, karena Baginda selalu melayangkan tatapan mengerikannya pada mereka. Seolah nama Emabell itu, adalah nama resmi dan mereka tak boleh sembarangan memanggil namaku. "Kenapa?""Boleh ku panggil Abell?"Dia bertanya? Dia benar-benar bertanya, atau inder
Selamat membaca.Aku membuka mataku perlahan, rasanya tubuhku remuk saya mencoba untuk bangun dari tempat tidur dan pakaian tidak nyaman apa ini?"Gaun pengantin?" tanyaku pada diriku sendiri saat mengangkat sehelai kain berwarna hitam. "Benar gaun pengantin!"Tap!Tap!Tap!Suara langkah kaki mendekat bersama dengan suara pintu yang terbuka, dan untuk mengetahui apa yang sedang terjadi. Aku kembali menutup mataku—ranjangku bergerak sedikit, seolah ada yang naik diatas tempat tidur.Tiba-tiba saja, perutku terasa sangat berat seakan-akan ada beban yang sengaja diletakan diatas perutku. Tetap diam. Hembusan nafas seseorang begitu terasa di leherku. Aku pun menebak-nebak ini mungkin saja Ar, tetapi Ar tidak akan melakukan hal rendahan seperti itu. Jadi pilihan berikutnya adalah, "Baginda?" ucapku sembari membuka mata perlahan-lahan, tersenyum saat tahu beban berat yang berada di atas perutku, ternyata adalah tangan Baginda sendiri."Para tetua itu, aku ingin meleyapkan mereka."DEG! per
Selamat membaca.Tangan lembut seseorang mengelus wajahku, membuat aku akhirnya mau membuka mataku dan ya. Itu tangan Baginda. "Selamat," ucapanku berhenti saat melihat matahari yang bersinar sangat tinggi. "Selamat siang Baginda." ucapku sembari tersenyum ramah pada Baginda yang sedang menyisir rambutku.Pakaian ini, ia juga yang memakaikannya. Pasti kesusahan memandikan manusia yang tidak ingin bangun dari tidurnya, tapi Baginda tidak begitu—sekarang aku tahu siapa yang sebenarnya sabar di antara kami berdua.Cup!Ia mengecup bibirku singkat. "Selamat siang juga Emabell." Menatapku dalam. "Tidurlah lagi, aku masih bisa menunggu.""Tidak usah, aku sudah membaik."***Setelah membersihkan kamar, aku menyusul Baginda yang pastinya sudah menungguku di aula utama. Dan saat berjalan di lorong, aku tidak pernah merasa seberani ini. Kali ini juga aku tidak tersesat, karena jalan ku tuju sudah hafal dengan sangat baik. Anehnya juga, seluruh pakaianku semuanya berwarna gelap—aku bertanya pada
Selamat membaca.Sakana menatap ke arahku dengan tatapan tak suka. Sebelum ia melanjutkan laporannya tentang Nike. "Kami mengirimnya dengan kereta, tetapi sayangnya Utara tidak lagi aman. Dan aku tidak memiliki cukup kekuatan untuk melindunginya!" ucapnya penuh penekanan menatap ke arahku tajam sebelum beralih menatap ke arah Baginda sembari tersenyum.Kata-katanya memang memiliki niat baik, tetapi tersembunyi kebencian yang begitu besar di dalamnya—yang harusnya, Utara ditakuti, dan harusnya Sakana tidak memiliki kewajiban untuk mengawal manusia dari Clossiana Frigga.***Beberapa saat kemudian, penyelidikan berhasil. Dan Zurra menemukan cela pada pelindung yang diciptakan di sekitar istana. "Katakan!" titah Baginda pada Zurra.Patuh ia menjawab. "Ada kemungkinan ini adalah perbuatan kerajaan Gratarus yang menyimpan dendam!" ujarnya.Sebelum Damor menimpali. "Tetapi Gratarus sedang dalam pengawasan. Dan kami tidak melihat ada pergerakan apapun." Dia berpikir. "Bagaimana kalau ini ada
Selamat membaca.Aku membuat pilihan. Dunia ini memaksaku untuk memilih, tapi aku harusnya juga tahu kalau dari setiap pilihan yang kuambil ada penyesalan di dalamnya—mencoba memperbaiki, menjadi lebih kuat, tapi aku selalu saja takut. Takut pada sesuatu yang coba ku bentuk, aku pikir akan ada keajaiban di tanganku tapi—tangan ini hanya hangat, tubuh ini hanya rentan terhadap luka, dan hati ini masih milikku. Emabell dari Clossiana Frigga, manusia yang mencoba untuk menentang hukum dunia Elydra.Menatap ke arah langit malam yang tak mampu membuatku tertidur. Sesekali juga, ada gempa yang membuat tanaman dan lampu gantung dalam kamar bergoyang—yab, bagaimana aku bisa tidur bersama suara dentuman perang yang terus menyala-nyala di berbagai tempat."Aku mencoba mengembalikan masa lalu kelam yang penuh Tragedy."Baginda muncul tepat di belakangku, memelukku dari belakang. Menghembuskan nafasnya kasar di bahuku, menatap tajam ke arah depan. Tak menghiraukan apa yang baru saja aku katakan.