Selamat membaca.Sakana menatap ke arahku dengan tatapan tak suka. Sebelum ia melanjutkan laporannya tentang Nike. "Kami mengirimnya dengan kereta, tetapi sayangnya Utara tidak lagi aman. Dan aku tidak memiliki cukup kekuatan untuk melindunginya!" ucapnya penuh penekanan menatap ke arahku tajam sebelum beralih menatap ke arah Baginda sembari tersenyum.Kata-katanya memang memiliki niat baik, tetapi tersembunyi kebencian yang begitu besar di dalamnya—yang harusnya, Utara ditakuti, dan harusnya Sakana tidak memiliki kewajiban untuk mengawal manusia dari Clossiana Frigga.***Beberapa saat kemudian, penyelidikan berhasil. Dan Zurra menemukan cela pada pelindung yang diciptakan di sekitar istana. "Katakan!" titah Baginda pada Zurra.Patuh ia menjawab. "Ada kemungkinan ini adalah perbuatan kerajaan Gratarus yang menyimpan dendam!" ujarnya.Sebelum Damor menimpali. "Tetapi Gratarus sedang dalam pengawasan. Dan kami tidak melihat ada pergerakan apapun." Dia berpikir. "Bagaimana kalau ini ada
Selamat membaca.Aku membuat pilihan. Dunia ini memaksaku untuk memilih, tapi aku harusnya juga tahu kalau dari setiap pilihan yang kuambil ada penyesalan di dalamnya—mencoba memperbaiki, menjadi lebih kuat, tapi aku selalu saja takut. Takut pada sesuatu yang coba ku bentuk, aku pikir akan ada keajaiban di tanganku tapi—tangan ini hanya hangat, tubuh ini hanya rentan terhadap luka, dan hati ini masih milikku. Emabell dari Clossiana Frigga, manusia yang mencoba untuk menentang hukum dunia Elydra.Menatap ke arah langit malam yang tak mampu membuatku tertidur. Sesekali juga, ada gempa yang membuat tanaman dan lampu gantung dalam kamar bergoyang—yab, bagaimana aku bisa tidur bersama suara dentuman perang yang terus menyala-nyala di berbagai tempat."Aku mencoba mengembalikan masa lalu kelam yang penuh Tragedy."Baginda muncul tepat di belakangku, memelukku dari belakang. Menghembuskan nafasnya kasar di bahuku, menatap tajam ke arah depan. Tak menghiraukan apa yang baru saja aku katakan.
Selamat membaca.Esok harinya, aku kembali terbangun dari tidurku yang nyenyak tanpa sehelai pakaian pun melingkar pada tubuhku. Tapi aku tak marah pada Baginda, aku hanya sedikit malu—lalu tanpa rasa lelah, ia menggendongku ke kamar mandi. Karena seperti biasanya, aku tidak memiliki hak di dalam kamar mandi. Katanya, itu tugasnya. Tapi kataku, itu berlebihan.***Aula utama, aku kesal karena pakaian yang ada dalam lemariku masih tak berubah warna.padahal, aku ingin memakai pakaian berwarna cerah bukan warna semerah darah, yang berpadu dengan warna segelap malam—aku sudah seperti nyonya-nyonya bertarung yang dalam buku. Ini bukan gayaku."Akan ku berikan pakaian lain, setelah semua ini berakhir. Emabell."Ucapannya membuat aku tenang, entah mengapa kedua senyuman dari sudut bibirku merekah begitu saja. Sebelum masuk ke aula utama, sambil menarik nafasku dalam lalu menghembuskan nafas berat. "Baik. Aku pasti bisa."Dan yap. Mode dingin dan menakutkan Baginda kembali memenuhi dirinya,
Selamat membaca.Tak punya pilihan. Kami harus melewati kerajaan Irlanga yang sedang kacau, mereka saling serang. Raja Desadan Sider, melawan kelompok pemberontak yang dibuat oleh putranya sendiri.Bola-bola energi yang memiliki kekuatan cukup besar, terus bercahaya. Meluncur dari berbagai tempat, indah. Tetapi berbahaya—aku mengerutkan kening ku merasa kasihan pada mereka yang mengejar kami sembari memohon untuk menghentikan semua ini."Yang mulia…bunuh manusia itu!"Ya. Meskipun mereka melihatku sebagai kehancuran—tapi saat melirik ke arah Baginda, pria itu hanya menampilkan wajah tak pedulinya. Menelusuri setiap daerah yang penuh dengan kekacauan tanpa melibatkan perasaan."Maafkan aku," ucapku pilu."Jangan meminta maaf. Aku tidak menyukainya, jika bukan untukku!" dia terlihat tak suka, tapi hatiku sangat hancur saat melihat dunia yang diam dan baik-baik saja, kini penuh dengan konflik. Dalam diam, aku meneteskan air mataku. Sembari menutup mataku singkat, dan detik berikutnya, ak
Selamat membaca."Baginda!" panggilku parau—dia yang tak menjawabku, malah membuat dadaku terasa sesak. Aku mencoba untuk bangkit dari tidurku, ingin memastikan agar Baginda bai-baik saja. Aku cemas karena dia tak menjawabku. "Ba-baginda?" tubuhku masih lemah, tapi aku tetap memaksa untuk tetap berdiri.Tiba-tiba saja Baginda menoleh ke arahku, saat kaki lemah ini berhasil menginjak lantai kayu yang terasa begitu dingin. Mataku membelalak dengan lebarnya, saat melihat pria itu berderai air mata. Tetapi detik berikutnya, aku tersenyum ikut meneteskan air mataku pilu.Dia menyambarku dengan pelukan hangatnya, sampai-sampai kakiku tak menginjak lantai lagi karena pelukannya itu. "Kamu sangat berarti untukku Emabell. Jangan sakit lagi, aku tidak akan sanggup menunggu." Tersenyum aku membalas pelukan eratnya itu dengan pelukan lemahku. "Jangan mencintai langit." Tentu saja—itu sebabnya, saat aku merindukan langit. Dan ingin berada di sisi sang pencipta. Aku akan selalu mengingat hari ini.
Happy Reading.Aku terkejut karena Edanosa tahu kalau aku bisa membaca pikiran mereka. Tetapi aku kecewa saat dia mengatakan hal itu padaku—murung, Baginda tiba-tiba saja menatapku dalam. "Kau suka anak kecil?"Deg! Pertanyaannya itu, membuat wajahku memerah membaca isi pikirannya. Menatap Baginda ragu. "Aku suka apapun yang ku lihat." jawabku sambil tersenyum kecil. "Batu, pohon, bahkan air yang tidak bicara pun, aku menyukainya.""Jadi Emabell akan suka jika melihat anak kecil?""Baginda," ini bukan saatnya membicarakan hal itu. Tapi jika nanti aku punya anak, aku ingin punya dua. Agar mereka bisa saling menjaga nantinya. "Aku mencintaimu Baginda."Hati terobati. "Ah, Kafkan mungkin akan menjadi guru yang hebat." Berpikir lagi. "Almosa dan Nike."Tetapi Baginda tak menjawabku, tatapannya kembali datar fokus menghindari beberapa serangan yang nyasar karena Irlanga saling menyerang satu-sama lainnya—untungnya, Edanosa membantuku dari jauh agar terluka. Meski hanya diam, tapi dia mau
Selamat membaca.Sakana menggunakan kekuatannya untuk menarik tubuhku, melesat keluar dari kemarahan Zurra yang mengejar kami sama seperti seorang ayah yang baru saja mendengar anaknya melakukan kesalahan.Sehari telah berlalu. Tak ada yang membicarakan masalah perdamaian denganku, mereka tidak menyerah, hanya saja mereka mencoba untuk mengatur suasana hatiku yang berantakan sejak Kafkan kembali menghilang dari dunia ini—meski tak sesedih dulu, hatiku terluka.Mataku masih berair, dan isi kepalaku seakan tenggelam dalam hujan dan air mata yang coba ku tahan meski kak Tara akan datang dan memarahiku karena menahan air mata—tapi aku tak pernah takut akan hal itu."Baginda!" Aku kembali berlindung di belakang Baginda yang baru saja sampai dari pertempuran, bersama dengan Sirrius dan juga Sakana—mereka ikut-ikut saja. Tapi saat aku meraih tangan Baginda. 'lengket' sadar, kalau tangan yang sedang ku gandeng itu dipenuhi oleh darah hitam.DEG!Darah ini. Mengingatkanku pada Kafkan—aku mula
Selamat membaca.Aku tidak percaya kalau aku akan menghindari Baginda, sampai seperti ini. Bahkan alis mereka mengerut bingung, tetapi Baginda tak ingin mengatakan apapun pada mereka dan mereka juga takut untuk bertanya pada Baginda.Hari ini Nike belum sadar, jadi Baginda harus turun tangan bersama Sakana, Damor dan Ar ke beberapa wilayah. Dan Zurra harus tinggal, begitu juga dengan Sirrius yang sedang menjagaku—dan dalam kelompok kami, Almosa hanya bisa memperhatikan dari belakang.Aku, masih tidak bisa bicara dengan mereka.Di taman belakang, aku menanam tanaman herbal atas izin dari yang mulia. Dan Sirrius terus mengawasiku bersama dengan Zurra. "Kau yakin ingin terus mengabaikan mereka? Lihatlah Emabell, Almosa terlihat sedih.""Dan aku hancur. Sirrius!" jawabku menatap tanaman dan tanganku yang kotor, kembali sendu dan tenggelam dalam kenangan. Karena seharusnya, Kafkan masih ada disini. Sebelum menatap ke arah Sirrius sembari tersenyum. "Percayalah, aku seperti orang bodoh yang