Happy Reading.Aku terkejut karena Edanosa tahu kalau aku bisa membaca pikiran mereka. Tetapi aku kecewa saat dia mengatakan hal itu padaku—murung, Baginda tiba-tiba saja menatapku dalam. "Kau suka anak kecil?"Deg! Pertanyaannya itu, membuat wajahku memerah membaca isi pikirannya. Menatap Baginda ragu. "Aku suka apapun yang ku lihat." jawabku sambil tersenyum kecil. "Batu, pohon, bahkan air yang tidak bicara pun, aku menyukainya.""Jadi Emabell akan suka jika melihat anak kecil?""Baginda," ini bukan saatnya membicarakan hal itu. Tapi jika nanti aku punya anak, aku ingin punya dua. Agar mereka bisa saling menjaga nantinya. "Aku mencintaimu Baginda."Hati terobati. "Ah, Kafkan mungkin akan menjadi guru yang hebat." Berpikir lagi. "Almosa dan Nike."Tetapi Baginda tak menjawabku, tatapannya kembali datar fokus menghindari beberapa serangan yang nyasar karena Irlanga saling menyerang satu-sama lainnya—untungnya, Edanosa membantuku dari jauh agar terluka. Meski hanya diam, tapi dia mau
Selamat membaca.Sakana menggunakan kekuatannya untuk menarik tubuhku, melesat keluar dari kemarahan Zurra yang mengejar kami sama seperti seorang ayah yang baru saja mendengar anaknya melakukan kesalahan.Sehari telah berlalu. Tak ada yang membicarakan masalah perdamaian denganku, mereka tidak menyerah, hanya saja mereka mencoba untuk mengatur suasana hatiku yang berantakan sejak Kafkan kembali menghilang dari dunia ini—meski tak sesedih dulu, hatiku terluka.Mataku masih berair, dan isi kepalaku seakan tenggelam dalam hujan dan air mata yang coba ku tahan meski kak Tara akan datang dan memarahiku karena menahan air mata—tapi aku tak pernah takut akan hal itu."Baginda!" Aku kembali berlindung di belakang Baginda yang baru saja sampai dari pertempuran, bersama dengan Sirrius dan juga Sakana—mereka ikut-ikut saja. Tapi saat aku meraih tangan Baginda. 'lengket' sadar, kalau tangan yang sedang ku gandeng itu dipenuhi oleh darah hitam.DEG!Darah ini. Mengingatkanku pada Kafkan—aku mula
Selamat membaca.Aku tidak percaya kalau aku akan menghindari Baginda, sampai seperti ini. Bahkan alis mereka mengerut bingung, tetapi Baginda tak ingin mengatakan apapun pada mereka dan mereka juga takut untuk bertanya pada Baginda.Hari ini Nike belum sadar, jadi Baginda harus turun tangan bersama Sakana, Damor dan Ar ke beberapa wilayah. Dan Zurra harus tinggal, begitu juga dengan Sirrius yang sedang menjagaku—dan dalam kelompok kami, Almosa hanya bisa memperhatikan dari belakang.Aku, masih tidak bisa bicara dengan mereka.Di taman belakang, aku menanam tanaman herbal atas izin dari yang mulia. Dan Sirrius terus mengawasiku bersama dengan Zurra. "Kau yakin ingin terus mengabaikan mereka? Lihatlah Emabell, Almosa terlihat sedih.""Dan aku hancur. Sirrius!" jawabku menatap tanaman dan tanganku yang kotor, kembali sendu dan tenggelam dalam kenangan. Karena seharusnya, Kafkan masih ada disini. Sebelum menatap ke arah Sirrius sembari tersenyum. "Percayalah, aku seperti orang bodoh yang
Selamat membaca.Aku menahan air mata, mencoba menjadi lebih kuat—menjadi sosok seperti yang diinginkan oleh semua orang, meski tubuh ini tetaplah Fana dan darah ini masih lah hangat. Tidak ada kekuatan yang besar selain kemauan. Namun sekarang, di patahkan oleh perintah yang malah membuat isi hatiku dibanjiri oleh sakit hati.Sesak. Tanganku bahkan sampai mencengkram gaun yang digunakan dengan eratnya, mengecup bibir. Menatap ke arah Baginda yang masih diam saja dengan pandangan yang sulit ku mengerti lagi."Kenapa," suaraku parau. "Memintaku menunjukan lukaku?" Hikss…menelan saliva ku susah payah. Rasa sakit hati karena kehilangan, kini tak mampu lagi ku hentikan. Aku… memang ingin menangis dan aku, memang ingin marah pada mereka karena meremehkan apa yang ku lihat.Para tetua menutup mata mereka singkat. Kenapa? Sekarang tak bisa melihat aku menangis?"Kami permisi"Jalan satu-satunya, adalah kabur—kadang, aku iri pada mereka. Karena bisa memilih jalan lain selain menyerang dan ber
Selamat membaca.Untuk kesekian kalinya. Aku kembali membuka mataku, namun.DEG!Mataku melebar saat Baginda sedang memeluk tubuhku yang berada di atas tempat tidur, dan rasa sakit mulai terasa saat sesuatu yang tajam menyayat bagian belakang tubuhku—Sakana sedang mengobatiku dengan bunga kematiannya."Tahanlah!"Ck! Aku bangun di saat yang salah—menuruti, aku menahan nafas juga mengeratkan cengkramanku pada pakaian Baginda yang penuh dengan darahku. Darah merah milik manusia. "Akh…" meringis saat obat masuk dan menyerap racun yang mengalir dan membuat lukaku semakin parah. Rupanya, Sakana berhasil meracik obat itu—kini, aku bisa menerima darah Baginda. Dan aku tidak peduli, apakah pilihanku ini benar atau salah. Apakah aku, akan menyesali hari ini atau malah berterima kasih? Saat pengobatan selesai, tubuhku basah oleh keringat karena menahan sakit. Sakana memberikan perban pada luka di kaki dan tanganku. Tetapi Baginda yang membalut luka pada punggungku, setelah Sakana keluar dari
Selamat membaca.Di kamar!Baginda tiba-tiba saja melemparku ke atas tempat tidur, bahkan menutup pintu dengan kasar. Almosa dan yang lainnya mencoba menahan Baginda agar tak murka, tapi tetap saja tak ada yang bisa membantah ke keputusannya."Baginda. Bukankah kamu yang memintaku untuk marah? Dan melepaskan segala kekesalan dan sakit hatiku saat itu. Sekarang, kenapa kau marah?" tanyaku takut, saat melihat sosok Baginda yang seperti ini.Dan inilah aku tidak punya pilihan apapun saat baju yang melekat padaku lepas dengan sendirinya, dan membuat tubuh polosku terlihat begitu jelas. Menutupi diriku dengan tanganku, nyatanya Baginda malah mendorong dan melepas tangan yang menutupi buah dada dan juga area sensitif. Memaksa masuk ke dalam tubuhku, kami tak ada bedanya sekarang. Dia dengan amarah dan aku dengan sekuat tenaga menahan dadanya. Menahan ngilu yang menghampiri seluruh tubuhku. "Aku minta maaf.""Kau melukai dirimu."Lalu sekarang apa? Dia melukaiku dengan caranya, suaraku mel
Selamat membaca.Lama terdiam. Aku akhirnya mengumpulkan keberanianku untuk menjawabnya, meski aku benci dia kemarin malam. "Aku la-lapar."Diam—Baginda terdiam dalam tatapannya yang menusuk mataku, matanya begitu tajam. Sebelum ia mendekat…bukan—Baginda melewatiku begitu saja. Dia tak mengatakan apapun, dan sontak membuat mataku melebar sedih.Air mata lolos begitu saja, mengalir di pipiku. Aku kecewa tapi aku tahu, kalau Baginda jauh lebih kecewa dariku."Aku kan sudah minta maaf." Menoleh ke arah bahu Baginda. "Kenapa kau tidak mau bicara denganku?"Tap!Tap!Tap!Dia terus berjalan tak ingin mendengarkan keluhan ku, dan itu membuat aku sakit hati. Tapi, aku kan Emabell. "Baginda! Aku ingin pulang ke Clossiana Frigga." Dan benar saja, langkah Baginda berhenti. Dan nyaliku perlahan-lahan ciut. Jadi aku berbalik, untuk kembali ke kamarku saja sembari berkata. "Aku cuma bercanda."Baginda melihatku, tapi aku mencoba untuk tak peduli. Lagian, dari mana datangnya mulut sok berani ini?
Selamat membaca.Esok harinya, saat matahari belum terbit. Dan orang-orang sibuk berperang dan menyelamatkan diri dengan bersembunyi. Istana hitam, Utara. Beberapa orang telah siap dengan jubah dan segala keperluan perjalanan—meski belum pasti portalnya ada di kereta tua itu. Tapi firasatku mengatakan iya."Aku tidak menyangka kalau Anda, yang mulia, akan membawa 99% orang kepercayaanmu untuk perjalananmu kali ini."Para tetua berbicara sambil menatap ke arah Nike yang terus menempel padaku, dia terlihat tidak senang dengan strategi yang dibuat oleh Nike—Almosa harus tinggal bersama para tetua, karena harus menyamar sebagai Baginda. Hal itu dibutuhkan agar tak ada seorangpun yang curiga.Sedangkan Ar harus ikut, karena kekuatan bayangannya. Akan membuat Baginda mengawasi berbagai wilayah dari tempat yang jauh, dan tidak tidak akan terputus. Koneksinya dengan Almosa nantinya—bayangan Ar, akan menjelma sebagai para pilar yang ikut bersama dengan kami.Ya. Semua akan pergi. Kecuali Almos