Selamat membaca.Mengingat. Hatiku tiba-tiba saja menjadi sangat sedih, karena terharu dengan ingatanku saat memandang jauh ke arah pegunungan yang tinggi. "Jangan bilang kau akan menangis lagi Emabell?" tebak Sirrius. Tersenyum dengan hati gembira, menatapnya sambil menggelengkan kepala padanya. Dan itu malah membuat mereka mengembangkan senyuman mereka padaku.Wush….Saat angin menyapa. Kami memulai langkah dengan penjelasan Nike. "Regio, atau kepanjangan wilayah ini adalah umbra Regionis. Yang artinya adalah wilayah bayangan…""Rumah Ar?" Sirrius mengejek Ar dengan tatapan dan senyuman jahilnya. "Coba panggil bangsamu Ar. Bernyanyilah!" Sirrius menyenggol lengan Ar yang hanya menunjukan raut wajah datarnya."Jangan mimpi. Rumahku adalah Utara, lahir dan tumbuh disana. Bukan di tempat aneh ini!" Padahal terlihat seperti surga di mataku.Tertawa kecil. Baginda tiba-tiba saja mengandeng tanganku dengan eratnya, melirik ke arahku singkat. Dan sekarang aku mulai terbiasa dengan sikap b
Selamat membaca.Aku menahan malu selama perjalanan—aku yakin mereka tahu apa yang Baginda lakukan padaku. Sedang Nike terlihat mengerutkan keningnya menatap ke arahku dengan pandangan layaknya seorang detektif yang sedang menyelidiki tersangkanya saat ini."Jangan pandang Emabell seperti itu!" Damor memperingati Nike dengan tatapan tajamnya. Karena merasa aku terganggu oleh tatapan Nike—memang benar sih aku terganggu, tapi aku lebih terganggu lagi dengan tatapan pria di sampingku saat ini."kau tidak ingin kehilangan mataku kan manusia?!"Aku tersenyum kecil. "Baginda.""Em?""Mungkin kekuatanmu bisa digunakan untuk meratakan tempat ini?"Mata Nike melebar. "Benar, karena hanya tempat itu yang tak akan musnah. Tapi, tempat ini seluas satu daratan. Memangnya bisa di ratakan. Lagi pula kita butuh mata yang tajam agar bisa melihat ke arah yang jauh dan cepat." Nike memberi salam. Dia jelas meremehkan Baginda."Lalu apa gunanya kami di sini?"Sakana mengeluarkan semua bunga kematiannya—ke
Selamat membaca.Baginda memberiku kepercayaan dan aku memberinya kepercayaan—terdengar aneh, karena kita yang dulu pernah saling menghajar dengan kata dan waktu kini saling mengejar waktu, mencari bagian terbaik dari setiap moment yang bisa kami dapatkan di dunia ini.Meski nantinya, "Emabell? Apa yang kau lakukan disini?!" Ya. Mereka menatapku dengan tatapan penuh keterkejutan karena harusnya—Bagindalah yang seharusnya turun, karena aku hanyalah manusia. "AKU TANYA EMABELL. JAWABLAH!" Tersadar. Aku tersenyum menatap ke arah Damor yang kembali emosi. "Astaga Emabell, apa kau sudah gila?""Ya. Aku memang sudah seperti ini sejak awal."Memutuskan percaya, artinya Baginda tak akan membuatku berada dalam situasi membenci lagi.***Berikutnya, kami menunggu. Namun sangat lama, tapi apa yang Nike katakan tidak terjadi—aku menggigit kuku cemas. Lalu menatap ke arah Nike yang terlihat baik-baik saja, mencoba masuk ke dalam pikiran terdalamnya.Sakana mengawasiku.DEG! Jantungku seakan berhe
Selamat membaca.Meringkuk, memeluknya yang berdaya. Pria dengan segala kekuasaan dan darah ini menghancurkan hatiku—saat dia kuat dan saat lemah pun…kamu selalu mematahkan semangatku. Hiksss…jadi, "jadi ku mohon. Jangan pergi Baginda!" Karena aku belum siap kehilangan.Hatiku hancur. Lagi. Bahkan ribuan air mata, juga ada batasnya. Mengapa aku selalu merasa spesial karena air mataku tak pernah habis. Tak pernah berhenti mengalir, normalkah diriku? Atau, kejamnya dunia ini padaku?!Gelap.Aku seperti mati rasa. "Emabell!" Zurra meletakan tangannya pada bahuku yang bergetar dengan hebatnya, memeluk Baginda yang tak membalasku dengan sangat eratnya—lagian, kenapa Baginda masih tak ingin bangun juga sih? Aku hanya…hanya putus asa.Hiksss…."EMABELL, SADARLAH! DAN TOLONG BAGINDAMU ITU…." Sirrius menginginkan semangat tapi aku memberi mereka kesedihan—aku selalu tahu, kalau marahnya mereka adalah warna biru dalam batin mereka, diselimuti kelamnya warna langit saat menahan kegelapan yang h
Selamat membaca.Seketika hatiku hancur saat melihatnya, seakan pergi meninggalkanku begitu jauh. Seakan-akan kami tidak akan pernah bisa bertemu. Aku salah, Baginda ternyata adalah orang yang kuat—dia itu hampir sama seperti aku, hanya butuh kepercayaan. "Aku tidak percaya pada air mata yang akan jatuh karena kamu Baginda, hati yang terluka dan selalu tersakiti…aku pikir, aku tidak akan menangisimu dan aku pikir, aku akan menertawakan kejatuhanmu.""Tapi nyatanya kamu menangis untukku."Baginda berjalan di sampingku, menggandeng tanganku. Membuat jejak di atas tanah, namun kali ini jejak itu menjadi abadi."Iya. Aku menangis. Baginda senang?""Senang.""Kenapa senang? Katanya tidak suka melihat air mataku?"Dia hanya tersenyum singkat, tak membalas apa yang aku tanyakan dan jawabannya pasti tidak akan dia sebutkan. Tapi tidak apa-apa. Aku bisa membaca pikirannya, dan dia tahu akan hal itu. Sebelum ia mengungkapkan cerita panjang, yang selalu ingin ku dengar…iya, aku ingin dengar. Ka
Selamat membaca.Tidak pernah terpikirkan olehku, kalau suatu hari nanti. Aku akan terbang ke langit yang begitu tinggi, dengan seorang pria luar biasa perkasa, dengan sayap dan senyuman seindah bulan. Menembus awan, berciuman dengannya dan menikmati setiap irama yang Dia ciptakan dengan sayang.Aku membalas karena rasanya begitu nikmat, begitu ajaib dan penuh dengan Mantra pemikat—rasanya ingin selalu dia sentuh, dia belai, dia cintai sedalam-dalamnya. Hanya untuk aku. Dan kalau Baginda mau aku, aku tidak akan ragu lagi. Karena dia memilihku, aku juga akan memilihnya.Dan jika suatu hari nanti. Baginda memilih meninggalkan dan melepaskanku, aku tidak akan pernah setuju. Dan lebih baik mati, daripada tidak bersama dengan Dia—aku tahu, pikiranku sudah terlalu jauh. Tapi aku berkata begitu karena ketidakmampuanku hidup tanpa dirinya."Aku mencintai raja dari Utara. Yang katanya kejam dan tidak punya hati, yang memiliki mata setajam pisau dan mulut seperti belukar yang menyakiti, tetapi
Selamat membaca.Senang rasanya saat Baginda tidak marah padaku, tidak menghukum Nike karena ingin memutus hubungan yang dimulai dengan rantai dan kegelapan. Satu yang membuatku bingung, adalah mengapa Nike berkata kalau saat ini dia juga gagal? Tetapi dia tersenyum saat mengatakan itu dan aku tidak ingin mencari tahu lagi.Biarlah waktu yang membongkar semuanya.***Emabell, Emabell, Emabell. Rasanya namaku disebut beberapa kali, nada penuh rasa cemas itu terus terngiang berulang-ulang pada telingaku. Tidak menunggu, tetapi sangat unik untuk di dengar.Mengalah. Aku akhirnya membuka mataku, mencari kesadaran. Ketenangan saat menatap mata yang pertama kali menatap ke arahku, Baginda. "Lama menunggu?" tanyaku dengan suara lemah, mataku juga masih terbuka dengan sempurna. Tubuhku masih lemah. "Maaf ya.""Makanlah."Ia menyuapiku perlahan-lahan, tapi aku tidak melihat Nike makan atau minum. Dia hanya membuang wajahnya dariku. Dan itu membuatku tersinggung. "Nike itu manusia, dia juga bu
Selamat membaca."Emabell ayo!"Seruan Nike membuat aku sadar, kalau aliran merah yang ku lihat mengalir dari mataku nyatanya hanyalah ilusi. Aku ingin tertawa. Aku kelelahan, tetapi kakiku terus melangkah diantara butiran salju. Bersama Nike—saling melempar kebahagiaan, mungkin inilah yang aku inginkan. Bermain bola salju dengan orang paling berharga. Jadi mengingat bayangan akan masa depan yang tidak diperlihatkan dengan jelas, aku melihat momen berharga itu. Menyedihkan, tapi aku ingin terus mengingat semuanya itu. Tetap tinggal dalam hatiku."Jangan jauh-jauh Nike!""Ayo kejar aku Abell!" Serunya. Dan ya, aku mengejarnya. Dengan canda dan tawa, dunia seakan hanya milik kami berdua.Dan aku benar-benar bahagia untuk hari ini, aku senang melihat Nike tersenyum lepas meski ada Baginda yang mengasihi. Sampai…dia tertidur di pundak ku, dan aku tidur menyandar tumpukan salju yang memisahkan aku dan Baginda.Nike sempat bercerita denganku. Katanya,"Emabell. Tempat yang kita tuju berikut