Selamat membaca.Seketika hatiku hancur saat melihatnya, seakan pergi meninggalkanku begitu jauh. Seakan-akan kami tidak akan pernah bisa bertemu. Aku salah, Baginda ternyata adalah orang yang kuat—dia itu hampir sama seperti aku, hanya butuh kepercayaan. "Aku tidak percaya pada air mata yang akan jatuh karena kamu Baginda, hati yang terluka dan selalu tersakiti…aku pikir, aku tidak akan menangisimu dan aku pikir, aku akan menertawakan kejatuhanmu.""Tapi nyatanya kamu menangis untukku."Baginda berjalan di sampingku, menggandeng tanganku. Membuat jejak di atas tanah, namun kali ini jejak itu menjadi abadi."Iya. Aku menangis. Baginda senang?""Senang.""Kenapa senang? Katanya tidak suka melihat air mataku?"Dia hanya tersenyum singkat, tak membalas apa yang aku tanyakan dan jawabannya pasti tidak akan dia sebutkan. Tapi tidak apa-apa. Aku bisa membaca pikirannya, dan dia tahu akan hal itu. Sebelum ia mengungkapkan cerita panjang, yang selalu ingin ku dengar…iya, aku ingin dengar. Ka
Selamat membaca.Tidak pernah terpikirkan olehku, kalau suatu hari nanti. Aku akan terbang ke langit yang begitu tinggi, dengan seorang pria luar biasa perkasa, dengan sayap dan senyuman seindah bulan. Menembus awan, berciuman dengannya dan menikmati setiap irama yang Dia ciptakan dengan sayang.Aku membalas karena rasanya begitu nikmat, begitu ajaib dan penuh dengan Mantra pemikat—rasanya ingin selalu dia sentuh, dia belai, dia cintai sedalam-dalamnya. Hanya untuk aku. Dan kalau Baginda mau aku, aku tidak akan ragu lagi. Karena dia memilihku, aku juga akan memilihnya.Dan jika suatu hari nanti. Baginda memilih meninggalkan dan melepaskanku, aku tidak akan pernah setuju. Dan lebih baik mati, daripada tidak bersama dengan Dia—aku tahu, pikiranku sudah terlalu jauh. Tapi aku berkata begitu karena ketidakmampuanku hidup tanpa dirinya."Aku mencintai raja dari Utara. Yang katanya kejam dan tidak punya hati, yang memiliki mata setajam pisau dan mulut seperti belukar yang menyakiti, tetapi
Selamat membaca.Senang rasanya saat Baginda tidak marah padaku, tidak menghukum Nike karena ingin memutus hubungan yang dimulai dengan rantai dan kegelapan. Satu yang membuatku bingung, adalah mengapa Nike berkata kalau saat ini dia juga gagal? Tetapi dia tersenyum saat mengatakan itu dan aku tidak ingin mencari tahu lagi.Biarlah waktu yang membongkar semuanya.***Emabell, Emabell, Emabell. Rasanya namaku disebut beberapa kali, nada penuh rasa cemas itu terus terngiang berulang-ulang pada telingaku. Tidak menunggu, tetapi sangat unik untuk di dengar.Mengalah. Aku akhirnya membuka mataku, mencari kesadaran. Ketenangan saat menatap mata yang pertama kali menatap ke arahku, Baginda. "Lama menunggu?" tanyaku dengan suara lemah, mataku juga masih terbuka dengan sempurna. Tubuhku masih lemah. "Maaf ya.""Makanlah."Ia menyuapiku perlahan-lahan, tapi aku tidak melihat Nike makan atau minum. Dia hanya membuang wajahnya dariku. Dan itu membuatku tersinggung. "Nike itu manusia, dia juga bu
Selamat membaca."Emabell ayo!"Seruan Nike membuat aku sadar, kalau aliran merah yang ku lihat mengalir dari mataku nyatanya hanyalah ilusi. Aku ingin tertawa. Aku kelelahan, tetapi kakiku terus melangkah diantara butiran salju. Bersama Nike—saling melempar kebahagiaan, mungkin inilah yang aku inginkan. Bermain bola salju dengan orang paling berharga. Jadi mengingat bayangan akan masa depan yang tidak diperlihatkan dengan jelas, aku melihat momen berharga itu. Menyedihkan, tapi aku ingin terus mengingat semuanya itu. Tetap tinggal dalam hatiku."Jangan jauh-jauh Nike!""Ayo kejar aku Abell!" Serunya. Dan ya, aku mengejarnya. Dengan canda dan tawa, dunia seakan hanya milik kami berdua.Dan aku benar-benar bahagia untuk hari ini, aku senang melihat Nike tersenyum lepas meski ada Baginda yang mengasihi. Sampai…dia tertidur di pundak ku, dan aku tidur menyandar tumpukan salju yang memisahkan aku dan Baginda.Nike sempat bercerita denganku. Katanya,"Emabell. Tempat yang kita tuju berikut
Selamat membaca.Kehilangan orang yang selalu mendukung dan menemani setengah dari kehidupan yang telah ku jalani dengan pelangi dan badai. Membuat aku begitu terkejut—aku ingin meraih mimpiku, tapi aku tidak ingin melihat semua yang tertawa bersama denganku perlahan-lahan mulai sirna dan menghilang satu demi satu.Mungkin itu alasan paling kuat, mengapa aku tidak menyukai kehidupan abadi. Melihat orang-orang yang cintai perlahan menghilang, pulang dan bersama-sama menjadi bintang. Dan yang tersisa hanyalah kenangan."Aku ingin menyerah!" ucapku sembari menatap ke arah mata tajam yang terus dilayangkan dengan penuh peringatan padaku. "Yang mulia, mereka benar. Aku tidak bisa berada di sisimu. Aku bukan seorang pemimpin."Air mata jatuh dari satu mataku. "Aku manusia." Dan ya. "Aku gagal."DEG!"Yang mulia," Almosa seolah tahu apa yang dipikirkan oleh Baginda. Yang ingin segera menerkamku saat ini. "Saya mohon!" Almosa berlutut tepat di hadapan Baginda namun Baginda tetap berjalan den
Selamat membaca.Aku memang kembali dengan kekuatan, tetapi itu tidak cukup untuk menghancurkan istana ini. Lemah, gagal—tidak ada yang bisa aku artikan lagi pada hidupku. Seolah semuanya kacau, tetapi tertutupi oleh kata baik-baik saja.Duduk diam memandang abstrak ke arah cermin, dengan ribuan pertanyaan mengapa aku harus bertahan sampai sejauh ini, berada disini? Sampai, dia datang dan membuyarkan lamunanku—aku menatap ke arah tangan Baginda yang sedang menyentuh bahuku. "Aku gagal." Kataku memandang ke arah cermin. Ke arah mata tajam yang begitu lembut menatapku malam ini. "Aku ketakutan.""Mengapa kau takut, bukankah aku bersama denganmu?"Baginda melepas setiap pernak pernik yang menghias kepalaku pelan. Tak ingin menyakitiku. "Kalau pada akhirnya kita tidak bersama bagaimana?" tanyaku yang membuatnya menghentikan aktivitasnya singkat. Menghembuskan nafasnya kasar. Mungkinkah dia marah padaku?!"Tatapannya itu. "Aku tidak suka akhir yang seperti itu."Aku tersenyum mendengar apa
Selamat membaca.Di tempat yang sangat jauh, diantara kerusuhan dan peperangan dunia yang semakin memanas. Orang-orang berpakaian serba merah tampak memadati sebuah lorong gelap dan kelam, menuju ke arah sebuah pintu dengan simbol berukiran Gratarus yang ditulis miring dengan cat emas berkilauan."Yang mulia, Anda sudah kembali?"Tanya seorang pria berpakaian bangsawan tinggi, terlihat gagah namun tubuhnya menunduk memberi hormat pada pria dengan pakaian lebih sederhana darinya yang baru saja memasuki ruangan. Duduk dikursi utama meja rapat, yang diikuti oleh beberapa orang lainnya.Pria berpakaian bangsawan itu tampak melihat ke arah belakang, pintu tempat masuk orang yang baginya sangatlah berkuasa. "Anda, tidak bersama dengan Emabell? Apakah yang mulia, butuh bantuan Gratarus?!" tanyanya dengan alis yang mengakat ke atas—dia adalah Raja Nesabulla Safalis dan para pengikutnya. Menghadap langsung ke arah pria yang dipanggil mereka sebagai yang mulia."Mengapa kau cemas?" Tampak santa
Selamat membaca.BOAM!!!Suara ledakan terdengar sangat dekat, sampai membuat aku sampai tersentak kaget. "Dimulai!" Baginda menggandeng tanganku, terbang ke luar. Ke atas istana hitam. Dan menyaksikan sendiri pemberontakan yang sedang mengepung istana hitam—dari sini aku bisa melihat kekompakan untuk melawan sang raja yang membelok dari hukum aturan dunia.Mengecap bibirku. Dengan mata yang berkaca-kaca, antara sedih dan senang. Apalagi saat melihat seluruh Clossiana Frigga ada diantara banyaknya makhluk abadi. Yang sedang menatapku dengan tatapan kasihan."KEMBALIKAN EMABELL KAMI!""Tidak bisa."Baginda tiba-tiba saja menarikku semakin dekat. "Dia milikku!" ujar Baginda sembari menatap begis ke arah ayahku yang terlihat marah karena merasa kalau aku dikekang dan dicuci otak oleh Baginda. "Dan yang telah menjadi milikku tidak akan pernah keluar dari Utara.""Sombong sekali Anda!" Beberapa pria berpakaian serba biru masuk yang lainnya berpakaian serba hitam. Dan semua orang membukakan