Selamat membaca.Meringkuk, memeluknya yang berdaya. Pria dengan segala kekuasaan dan darah ini menghancurkan hatiku—saat dia kuat dan saat lemah pun…kamu selalu mematahkan semangatku. Hiksss…jadi, "jadi ku mohon. Jangan pergi Baginda!" Karena aku belum siap kehilangan.Hatiku hancur. Lagi. Bahkan ribuan air mata, juga ada batasnya. Mengapa aku selalu merasa spesial karena air mataku tak pernah habis. Tak pernah berhenti mengalir, normalkah diriku? Atau, kejamnya dunia ini padaku?!Gelap.Aku seperti mati rasa. "Emabell!" Zurra meletakan tangannya pada bahuku yang bergetar dengan hebatnya, memeluk Baginda yang tak membalasku dengan sangat eratnya—lagian, kenapa Baginda masih tak ingin bangun juga sih? Aku hanya…hanya putus asa.Hiksss…."EMABELL, SADARLAH! DAN TOLONG BAGINDAMU ITU…." Sirrius menginginkan semangat tapi aku memberi mereka kesedihan—aku selalu tahu, kalau marahnya mereka adalah warna biru dalam batin mereka, diselimuti kelamnya warna langit saat menahan kegelapan yang h
Selamat membaca.Seketika hatiku hancur saat melihatnya, seakan pergi meninggalkanku begitu jauh. Seakan-akan kami tidak akan pernah bisa bertemu. Aku salah, Baginda ternyata adalah orang yang kuat—dia itu hampir sama seperti aku, hanya butuh kepercayaan. "Aku tidak percaya pada air mata yang akan jatuh karena kamu Baginda, hati yang terluka dan selalu tersakiti…aku pikir, aku tidak akan menangisimu dan aku pikir, aku akan menertawakan kejatuhanmu.""Tapi nyatanya kamu menangis untukku."Baginda berjalan di sampingku, menggandeng tanganku. Membuat jejak di atas tanah, namun kali ini jejak itu menjadi abadi."Iya. Aku menangis. Baginda senang?""Senang.""Kenapa senang? Katanya tidak suka melihat air mataku?"Dia hanya tersenyum singkat, tak membalas apa yang aku tanyakan dan jawabannya pasti tidak akan dia sebutkan. Tapi tidak apa-apa. Aku bisa membaca pikirannya, dan dia tahu akan hal itu. Sebelum ia mengungkapkan cerita panjang, yang selalu ingin ku dengar…iya, aku ingin dengar. Ka
Selamat membaca.Tidak pernah terpikirkan olehku, kalau suatu hari nanti. Aku akan terbang ke langit yang begitu tinggi, dengan seorang pria luar biasa perkasa, dengan sayap dan senyuman seindah bulan. Menembus awan, berciuman dengannya dan menikmati setiap irama yang Dia ciptakan dengan sayang.Aku membalas karena rasanya begitu nikmat, begitu ajaib dan penuh dengan Mantra pemikat—rasanya ingin selalu dia sentuh, dia belai, dia cintai sedalam-dalamnya. Hanya untuk aku. Dan kalau Baginda mau aku, aku tidak akan ragu lagi. Karena dia memilihku, aku juga akan memilihnya.Dan jika suatu hari nanti. Baginda memilih meninggalkan dan melepaskanku, aku tidak akan pernah setuju. Dan lebih baik mati, daripada tidak bersama dengan Dia—aku tahu, pikiranku sudah terlalu jauh. Tapi aku berkata begitu karena ketidakmampuanku hidup tanpa dirinya."Aku mencintai raja dari Utara. Yang katanya kejam dan tidak punya hati, yang memiliki mata setajam pisau dan mulut seperti belukar yang menyakiti, tetapi
Selamat membaca.Senang rasanya saat Baginda tidak marah padaku, tidak menghukum Nike karena ingin memutus hubungan yang dimulai dengan rantai dan kegelapan. Satu yang membuatku bingung, adalah mengapa Nike berkata kalau saat ini dia juga gagal? Tetapi dia tersenyum saat mengatakan itu dan aku tidak ingin mencari tahu lagi.Biarlah waktu yang membongkar semuanya.***Emabell, Emabell, Emabell. Rasanya namaku disebut beberapa kali, nada penuh rasa cemas itu terus terngiang berulang-ulang pada telingaku. Tidak menunggu, tetapi sangat unik untuk di dengar.Mengalah. Aku akhirnya membuka mataku, mencari kesadaran. Ketenangan saat menatap mata yang pertama kali menatap ke arahku, Baginda. "Lama menunggu?" tanyaku dengan suara lemah, mataku juga masih terbuka dengan sempurna. Tubuhku masih lemah. "Maaf ya.""Makanlah."Ia menyuapiku perlahan-lahan, tapi aku tidak melihat Nike makan atau minum. Dia hanya membuang wajahnya dariku. Dan itu membuatku tersinggung. "Nike itu manusia, dia juga bu
Selamat membaca."Emabell ayo!"Seruan Nike membuat aku sadar, kalau aliran merah yang ku lihat mengalir dari mataku nyatanya hanyalah ilusi. Aku ingin tertawa. Aku kelelahan, tetapi kakiku terus melangkah diantara butiran salju. Bersama Nike—saling melempar kebahagiaan, mungkin inilah yang aku inginkan. Bermain bola salju dengan orang paling berharga. Jadi mengingat bayangan akan masa depan yang tidak diperlihatkan dengan jelas, aku melihat momen berharga itu. Menyedihkan, tapi aku ingin terus mengingat semuanya itu. Tetap tinggal dalam hatiku."Jangan jauh-jauh Nike!""Ayo kejar aku Abell!" Serunya. Dan ya, aku mengejarnya. Dengan canda dan tawa, dunia seakan hanya milik kami berdua.Dan aku benar-benar bahagia untuk hari ini, aku senang melihat Nike tersenyum lepas meski ada Baginda yang mengasihi. Sampai…dia tertidur di pundak ku, dan aku tidur menyandar tumpukan salju yang memisahkan aku dan Baginda.Nike sempat bercerita denganku. Katanya,"Emabell. Tempat yang kita tuju berikut
Selamat membaca.Kehilangan orang yang selalu mendukung dan menemani setengah dari kehidupan yang telah ku jalani dengan pelangi dan badai. Membuat aku begitu terkejut—aku ingin meraih mimpiku, tapi aku tidak ingin melihat semua yang tertawa bersama denganku perlahan-lahan mulai sirna dan menghilang satu demi satu.Mungkin itu alasan paling kuat, mengapa aku tidak menyukai kehidupan abadi. Melihat orang-orang yang cintai perlahan menghilang, pulang dan bersama-sama menjadi bintang. Dan yang tersisa hanyalah kenangan."Aku ingin menyerah!" ucapku sembari menatap ke arah mata tajam yang terus dilayangkan dengan penuh peringatan padaku. "Yang mulia, mereka benar. Aku tidak bisa berada di sisimu. Aku bukan seorang pemimpin."Air mata jatuh dari satu mataku. "Aku manusia." Dan ya. "Aku gagal."DEG!"Yang mulia," Almosa seolah tahu apa yang dipikirkan oleh Baginda. Yang ingin segera menerkamku saat ini. "Saya mohon!" Almosa berlutut tepat di hadapan Baginda namun Baginda tetap berjalan den
Selamat membaca.Aku memang kembali dengan kekuatan, tetapi itu tidak cukup untuk menghancurkan istana ini. Lemah, gagal—tidak ada yang bisa aku artikan lagi pada hidupku. Seolah semuanya kacau, tetapi tertutupi oleh kata baik-baik saja.Duduk diam memandang abstrak ke arah cermin, dengan ribuan pertanyaan mengapa aku harus bertahan sampai sejauh ini, berada disini? Sampai, dia datang dan membuyarkan lamunanku—aku menatap ke arah tangan Baginda yang sedang menyentuh bahuku. "Aku gagal." Kataku memandang ke arah cermin. Ke arah mata tajam yang begitu lembut menatapku malam ini. "Aku ketakutan.""Mengapa kau takut, bukankah aku bersama denganmu?"Baginda melepas setiap pernak pernik yang menghias kepalaku pelan. Tak ingin menyakitiku. "Kalau pada akhirnya kita tidak bersama bagaimana?" tanyaku yang membuatnya menghentikan aktivitasnya singkat. Menghembuskan nafasnya kasar. Mungkinkah dia marah padaku?!"Tatapannya itu. "Aku tidak suka akhir yang seperti itu."Aku tersenyum mendengar apa
Selamat membaca.Di tempat yang sangat jauh, diantara kerusuhan dan peperangan dunia yang semakin memanas. Orang-orang berpakaian serba merah tampak memadati sebuah lorong gelap dan kelam, menuju ke arah sebuah pintu dengan simbol berukiran Gratarus yang ditulis miring dengan cat emas berkilauan."Yang mulia, Anda sudah kembali?"Tanya seorang pria berpakaian bangsawan tinggi, terlihat gagah namun tubuhnya menunduk memberi hormat pada pria dengan pakaian lebih sederhana darinya yang baru saja memasuki ruangan. Duduk dikursi utama meja rapat, yang diikuti oleh beberapa orang lainnya.Pria berpakaian bangsawan itu tampak melihat ke arah belakang, pintu tempat masuk orang yang baginya sangatlah berkuasa. "Anda, tidak bersama dengan Emabell? Apakah yang mulia, butuh bantuan Gratarus?!" tanyanya dengan alis yang mengakat ke atas—dia adalah Raja Nesabulla Safalis dan para pengikutnya. Menghadap langsung ke arah pria yang dipanggil mereka sebagai yang mulia."Mengapa kau cemas?" Tampak santa
Selamat membaca. Tabir pelindung yang terbentuk di atas dunia Elydra itu mampu menyerap setiap api kemarahan Darka, meski terlambat. Tapi kekuataan itu begitu besar sampai setiap kaki yang berdiri akhirnya tak mampu lagi untuk berdiri—semua mahkluk akhirnya menghormati Emabell, bahkan para tetua yang tersisa menundukan kepalanya.Bukan karena kekuataan lagi. Tapi karena pengorbanan seorang manusia biasa pada dunia yang dengan hebatnya menolaknya sebagai ratu, tapi dengan sangat luar biasanya ia bela dengan mengorbankan nyawanya sendiri."Mungkin agak terlambat, tapi kini kau akan menjadi ratu kami. Satu-satunya ratu kami, Emabell kami."Aku menang. Tapi tunggu, aku kewalahan karena menahan kekuataan Darka. Keringat dingin memenuhi tubuhku, tapi tidak apa-apa. Ini bukan pertama kalinya aku di panggang!WUSH!Lenyap. Ah, rupanya aku juga tumbang. Baginda…tolong aku?!Gelap.***Beberapa hari kemudian, akhirnya aku sadar. Seolah tersadar dari mimpi, atau terbangun di dalam mimpi.Aku me
Selamat membaca.Raja dan Ratu, dan setiap makhluk yang mengisi aula utama Gratarus yang mengag dan indah saling tatap. Mereka kebingungan dengan alis yang mengerut sempurna—bagaimana tidak, pasalnya aku yang sudah seperti kehilangan kendali akan dirinya sendiri tiba-tiba saja menjadi tenang."Kau baik-baik saja Nak?" tanya ayah. Melirik ke arahku yang sedang berjalan menuju altar. "Emabell?""Ya ayah? Aku baik. Sangat baik." ucapku sembari tersenyum. Meski hatiku sangat ragu sekarang—"ternyata benar ya ayah, memilih itu sangat mudah. Yang susah itu, adalah bertahan." Kataku sambil mengumbar senyuman khas seorang Emabell dari Clossiana Frigga.Dan yah. Mata ayahku berbinar, dapat ku rasakan kalau hatinya tergetar atas perkataanku yang sepertinya sangat menyentuh hatinya. "Kau a-akhirnya mengerti Emabell?""Iya.""Ayah bangga padamu."Aku tersenyum. "Ayah akan semakin bangga. Karena kini aku mencintai Dunia Elydra.""Kenapa?" Karena dunia ini mencintai Bagindaku, rajaku, pilihan hatiku
Selamat membaca.Kau mengurungku. Lalu memintaku untuk melangsungkan upacara pernikahan yang tidak seharusnya terjadi Vardiantura? Baik, lakukan. "Aku akan mengukur waktu!"Mataku berubah warna menjadi keemasan, dan darah keluar dari mataku meski hanya sedikit. Itu karena Sakana mencoba melakukan lelepati denganku yang ternyata berhasil—baginda, hanya menyuruhku untuk menunggu sampai ia datang."Kalau kau tidak bisa bersabar, Baginda bersumpah akan memperkosaku setiap malam dan membunuh kami di depanmu! Jadi jangan lakukan hal gila. Kau mengerti!" tegas Sakana mengingatkan.Mataku membulat sempurna. Dan dengan susah payah aku menelan salivaku, "iya a-aku mengerti." jawabku.Karena semakin pusing. Jadi Sakana memutuskan telepati.Setelahnya, aku menatap ke arah pintu. Tapi percuma, pintu itu dikunci dari depan. 'hah' aku tidak suka di paksa—runtukku dalam hati.***-sementara itu, istana hitam. Utara yang membeku. Terjadi penangkapan besar-besaran di empat wilayah di Utara. Kota Devika
Selamat membaca.Berkat kecurigaan yang sepenuhnya benar. Aku di sidang di hadapan raja Vardiantura, di temani pangeran Edanosa dan Raja Nesessbula sebagai saksi atas kesalahanku."Bagaimana bisa rasa rindu menjadi kesalahan? Rindu itu tidak menyakitiku maka itu bukanlah sebuah kesalahan." Aku membela diriku sendiri. Tidak peduli seberapa hebatnya para ratu serta ibu dan ayahku yang terus memberiku kode agar aku diam saja tak mengatakan apapun—maaf tapi dia bukan Bagindaku, dan aku tidak akan pernah tunduk padanya."Berarti kamu berkomunikasi dengannya." ucapnya dingin."Itu hakku!" "Sejak kapan kamu memiliki hak Emabell?""Dan sejak kapan kau memiliki hak untuk bertanya padaku?" balasku tak ingin kalah. karena aku benar, ini adalah hakku.Edanosa menatapku dengan alis yang mengerut ke atas lagi. Tapi aku tidak bisa diam lagi, aku menatapnya sekali lalu tersenyum padanya seolah mengatakan kalau aku akan baik-baik saja meski hasilnya."Lihat aku!" Titah Vardiantura. Dan aku menatapnya
Selamat membaca.Gartarus. Kerajaan yang yang akan menjadi yang utama setelah Utara, indah, asri dan sangat nyaman namun sedikit mencekam.Orang-orangnya berkulit sawo matang dan hampir dari 99% warganya adalah pengendali tumbuh-tumbuhan. Merekalah yang membuat tumbuhan dapat bergerak, tapi ada juga tumbuh-tumbuhan yang sudah memiliki nyawa sejak lahir.Dedaunan yang jatuh bahkan bisa terbang kembali ke udara seperti ribuan burung-burung.Mereka ramah, dan alami saat tersenyum padaku."Huh! Senang rasanya melihat semua saling bahu membahu dalam mengurus kerajaan. Tamu tak diundang bahkan di sambut dengan baik," Ucapku sambil tersenyum manis menghirup udara segar menyambut hari pernikahanku. "Anehnya hanya Raja Nesessbula yang berbeda." Tambahku."Apa maksud Anda Emabell?!""Kau seperti orang mati, berkulit pucat, dingin dan terlihat seperti bukan berasal dari wilayah ini."Dia tersenyum smirk. "Timur. Tidak selalu tentang warna kulit. Dan lagi, aku adalah keturunan asli kerajaan Grata
Selamat membaca.Akhirnya hari itu tiba juga. Aku dan gaun pengantin di hadapanku, perhiasan bahkan mahkota yang akan ku kenakan terpajang dalam lemari kaca yang begitu mewah.Pernikahanku dan Vardiantura. Mereka berpikir kami akan menjadi 'lawan mencintai lawan' harusnya begitu. Tapi aku sudah mencintai lawanku yang sebenarnya—pria brengsek itu bukan Vardiantura tapi Baginda.Aku tersenyum membayangkan. "Kau tersenyum?" Edanosa muncul di sampingku. "Kau suka gaunnya?""Ya.""Aku mengenal guruku Emabell, dia memiliki dua senyuman. Yang satunya tulus, dan yang satunya lagi tulus dengan rencana.""Hm?" Ku kerutkan keningku pada pangeran Edanosa yang ada di sampingku. Sebelum tersenyum padanya. "Benarkah? Jadi, apa arti senyumanku ini?!" "Tulus dengan rencana." Aku tersenyum senang. "Emabell. Aku mohon!" Dia mengerutkan keningnya padaku. Mengandeng tanganku dengan mata berkaca-kaca."Lepas.""Alasan kau koma, bukan karena kekuataan misterius yang membutakan. Tapi karena…." Aku buru-bu
Selamat membaca.Aku tersenyum senang. Lalu menatap ke arah Nesessbula yang ingin menyampaikan informasi ini. "Sekalian, katakan padanya, aku masih menunggu." Terangku yang membuat Sih Vardiantura sialan itu tersenyum sinis."Apa yang kau harapkan?""Sampaikan saja!" Potongku. Tak peduli pada wajah angkuh seakan tak terkalahkan padahal cuma mayat hidup, aku jadi merindukan dia yang ku ciptakan dalam benakku. "Ini perintah!" Deg!"Kau….""Kau ingin aku menjadi ratu, akan ku lakukan sesuai yang kau inginkan. Dan kalian akan hidup!" Tegasku sembari tersenyum sampai mataku tidak lagi terbuka—meski artinya adalah sindiran.Mereka saling tatap. Tersenyum satu sama lainnya. "kau mau menikah denganku?" tanya Vardiantura."Hm." Jawabku sembari terus mengunyah."Kau mau menjadi ratu kami tanpa Baginda tercinta mu itu?""Hm." "Kau ingin memberikanku cinta.""Tentu.""Bagaimana dengan keturunan.""Tidak buruk."Mereka semakin bingung. "Kau masih waras Emabell?""Tidak. Setengah gila. YAH WARASL
Selamat membaca.Aku berjalan seperti orang bodoh diantara dinginnya malam, menikmati luasnya taman yang di bangun hanya untukku. Emabell dari Clossiana Frigga, bahkan nama taman ini adalah namaku. TAMAN EMABELL. Semuanya lengkap, kasih sayang, cinta, perhatian bahkan makanan sudah tersedia. Hanya saja, mengapa? Aku terus menatap ke arah tembok raksasa yang menghalangi duniaku."Baginda?" Sadar kalau ada langkah yang terus mengikutiku sedari tadi—Kubiarkan karena Baginda juga diam saja sedari tadi.Tiba-tiba. Ia memelukku dari belakang. "Tidak dingin?" tanyanya—Bisa kurasakan dengan jelas hembusan nafasnya yang menyentuh leher jenjangku. "Em.""Em?" Ulangnya.Aku tidak bersemangat sampai aku bisa membaca isi pikirannya. "Baginda mereka mengadakan pertemuan dan akhirnya Utara diundang….""Kita tidak akan pergi!""Mereka memilihku sebagai perwakilan." Aku sangat bersemangat sampai lupa akan sesuatu. "Ini…" tak melanjutkan ucapanku, kepalaku malah tertunduk ke bawah. Dan tak kusadari k
Selamat membaca.Ribuan panah amarah penuh penolakan di tengah kedamaian tanpa Utara. Dari orang-orang yang pernah tersenyum padaku—Tetapi Dia, Baginda. Dengan cepat menerjang ribuan anak panah itu seperti meteor yang kembali naik ke atas langit tanpa rasa takut.WUSH!Angin berhembus menerpa ku dengan sangat kuat, membuat surai dan pakaian kami beterbangan ke mana-mana. Tapi mata kami seakan menatap biasa saja ke arah Baginda.Zurra menatapku. "Nah Emabell, kita pulang?" Ia mengulurkan tangannya. Membuat aku tergetar, tersentak kagum. Melihat senyuman mereka yang berdiri di hadapanku, dengan ribuan prajurit Utara yang mendekat. Seolah menjemput kami untuk kembali pulang.Meski hanya kumpulan tengkorak dan mayat hidup. Mengapa rasanya bisa sangat hangat? Kegerian dan ketakutan yang pernah ada, sekarang ada dimana? Dan tekad untuk pulang ke Clossiana Frigga yang membuat banyak sekali rasa sakit. Terbang ke angkasa mana?"Ayo kita pulang." Senyumku sembari meraih tangan Zurra.Namun seb