Selamat membaca.Untuk kesekian kalinya. Aku kembali membuka mataku, namun.DEG!Mataku melebar saat Baginda sedang memeluk tubuhku yang berada di atas tempat tidur, dan rasa sakit mulai terasa saat sesuatu yang tajam menyayat bagian belakang tubuhku—Sakana sedang mengobatiku dengan bunga kematiannya."Tahanlah!"Ck! Aku bangun di saat yang salah—menuruti, aku menahan nafas juga mengeratkan cengkramanku pada pakaian Baginda yang penuh dengan darahku. Darah merah milik manusia. "Akh…" meringis saat obat masuk dan menyerap racun yang mengalir dan membuat lukaku semakin parah. Rupanya, Sakana berhasil meracik obat itu—kini, aku bisa menerima darah Baginda. Dan aku tidak peduli, apakah pilihanku ini benar atau salah. Apakah aku, akan menyesali hari ini atau malah berterima kasih? Saat pengobatan selesai, tubuhku basah oleh keringat karena menahan sakit. Sakana memberikan perban pada luka di kaki dan tanganku. Tetapi Baginda yang membalut luka pada punggungku, setelah Sakana keluar dari
Selamat membaca.Di kamar!Baginda tiba-tiba saja melemparku ke atas tempat tidur, bahkan menutup pintu dengan kasar. Almosa dan yang lainnya mencoba menahan Baginda agar tak murka, tapi tetap saja tak ada yang bisa membantah ke keputusannya."Baginda. Bukankah kamu yang memintaku untuk marah? Dan melepaskan segala kekesalan dan sakit hatiku saat itu. Sekarang, kenapa kau marah?" tanyaku takut, saat melihat sosok Baginda yang seperti ini.Dan inilah aku tidak punya pilihan apapun saat baju yang melekat padaku lepas dengan sendirinya, dan membuat tubuh polosku terlihat begitu jelas. Menutupi diriku dengan tanganku, nyatanya Baginda malah mendorong dan melepas tangan yang menutupi buah dada dan juga area sensitif. Memaksa masuk ke dalam tubuhku, kami tak ada bedanya sekarang. Dia dengan amarah dan aku dengan sekuat tenaga menahan dadanya. Menahan ngilu yang menghampiri seluruh tubuhku. "Aku minta maaf.""Kau melukai dirimu."Lalu sekarang apa? Dia melukaiku dengan caranya, suaraku mel
Selamat membaca.Lama terdiam. Aku akhirnya mengumpulkan keberanianku untuk menjawabnya, meski aku benci dia kemarin malam. "Aku la-lapar."Diam—Baginda terdiam dalam tatapannya yang menusuk mataku, matanya begitu tajam. Sebelum ia mendekat…bukan—Baginda melewatiku begitu saja. Dia tak mengatakan apapun, dan sontak membuat mataku melebar sedih.Air mata lolos begitu saja, mengalir di pipiku. Aku kecewa tapi aku tahu, kalau Baginda jauh lebih kecewa dariku."Aku kan sudah minta maaf." Menoleh ke arah bahu Baginda. "Kenapa kau tidak mau bicara denganku?"Tap!Tap!Tap!Dia terus berjalan tak ingin mendengarkan keluhan ku, dan itu membuat aku sakit hati. Tapi, aku kan Emabell. "Baginda! Aku ingin pulang ke Clossiana Frigga." Dan benar saja, langkah Baginda berhenti. Dan nyaliku perlahan-lahan ciut. Jadi aku berbalik, untuk kembali ke kamarku saja sembari berkata. "Aku cuma bercanda."Baginda melihatku, tapi aku mencoba untuk tak peduli. Lagian, dari mana datangnya mulut sok berani ini?
Selamat membaca.Esok harinya, saat matahari belum terbit. Dan orang-orang sibuk berperang dan menyelamatkan diri dengan bersembunyi. Istana hitam, Utara. Beberapa orang telah siap dengan jubah dan segala keperluan perjalanan—meski belum pasti portalnya ada di kereta tua itu. Tapi firasatku mengatakan iya."Aku tidak menyangka kalau Anda, yang mulia, akan membawa 99% orang kepercayaanmu untuk perjalananmu kali ini."Para tetua berbicara sambil menatap ke arah Nike yang terus menempel padaku, dia terlihat tidak senang dengan strategi yang dibuat oleh Nike—Almosa harus tinggal bersama para tetua, karena harus menyamar sebagai Baginda. Hal itu dibutuhkan agar tak ada seorangpun yang curiga.Sedangkan Ar harus ikut, karena kekuatan bayangannya. Akan membuat Baginda mengawasi berbagai wilayah dari tempat yang jauh, dan tidak tidak akan terputus. Koneksinya dengan Almosa nantinya—bayangan Ar, akan menjelma sebagai para pilar yang ikut bersama dengan kami.Ya. Semua akan pergi. Kecuali Almos
Selamat membaca.Mengingat. Hatiku tiba-tiba saja menjadi sangat sedih, karena terharu dengan ingatanku saat memandang jauh ke arah pegunungan yang tinggi. "Jangan bilang kau akan menangis lagi Emabell?" tebak Sirrius. Tersenyum dengan hati gembira, menatapnya sambil menggelengkan kepala padanya. Dan itu malah membuat mereka mengembangkan senyuman mereka padaku.Wush….Saat angin menyapa. Kami memulai langkah dengan penjelasan Nike. "Regio, atau kepanjangan wilayah ini adalah umbra Regionis. Yang artinya adalah wilayah bayangan…""Rumah Ar?" Sirrius mengejek Ar dengan tatapan dan senyuman jahilnya. "Coba panggil bangsamu Ar. Bernyanyilah!" Sirrius menyenggol lengan Ar yang hanya menunjukan raut wajah datarnya."Jangan mimpi. Rumahku adalah Utara, lahir dan tumbuh disana. Bukan di tempat aneh ini!" Padahal terlihat seperti surga di mataku.Tertawa kecil. Baginda tiba-tiba saja mengandeng tanganku dengan eratnya, melirik ke arahku singkat. Dan sekarang aku mulai terbiasa dengan sikap b
Selamat membaca.Aku menahan malu selama perjalanan—aku yakin mereka tahu apa yang Baginda lakukan padaku. Sedang Nike terlihat mengerutkan keningnya menatap ke arahku dengan pandangan layaknya seorang detektif yang sedang menyelidiki tersangkanya saat ini."Jangan pandang Emabell seperti itu!" Damor memperingati Nike dengan tatapan tajamnya. Karena merasa aku terganggu oleh tatapan Nike—memang benar sih aku terganggu, tapi aku lebih terganggu lagi dengan tatapan pria di sampingku saat ini."kau tidak ingin kehilangan mataku kan manusia?!"Aku tersenyum kecil. "Baginda.""Em?""Mungkin kekuatanmu bisa digunakan untuk meratakan tempat ini?"Mata Nike melebar. "Benar, karena hanya tempat itu yang tak akan musnah. Tapi, tempat ini seluas satu daratan. Memangnya bisa di ratakan. Lagi pula kita butuh mata yang tajam agar bisa melihat ke arah yang jauh dan cepat." Nike memberi salam. Dia jelas meremehkan Baginda."Lalu apa gunanya kami di sini?"Sakana mengeluarkan semua bunga kematiannya—ke
Selamat membaca.Baginda memberiku kepercayaan dan aku memberinya kepercayaan—terdengar aneh, karena kita yang dulu pernah saling menghajar dengan kata dan waktu kini saling mengejar waktu, mencari bagian terbaik dari setiap moment yang bisa kami dapatkan di dunia ini.Meski nantinya, "Emabell? Apa yang kau lakukan disini?!" Ya. Mereka menatapku dengan tatapan penuh keterkejutan karena harusnya—Bagindalah yang seharusnya turun, karena aku hanyalah manusia. "AKU TANYA EMABELL. JAWABLAH!" Tersadar. Aku tersenyum menatap ke arah Damor yang kembali emosi. "Astaga Emabell, apa kau sudah gila?""Ya. Aku memang sudah seperti ini sejak awal."Memutuskan percaya, artinya Baginda tak akan membuatku berada dalam situasi membenci lagi.***Berikutnya, kami menunggu. Namun sangat lama, tapi apa yang Nike katakan tidak terjadi—aku menggigit kuku cemas. Lalu menatap ke arah Nike yang terlihat baik-baik saja, mencoba masuk ke dalam pikiran terdalamnya.Sakana mengawasiku.DEG! Jantungku seakan berhe
Selamat membaca.Meringkuk, memeluknya yang berdaya. Pria dengan segala kekuasaan dan darah ini menghancurkan hatiku—saat dia kuat dan saat lemah pun…kamu selalu mematahkan semangatku. Hiksss…jadi, "jadi ku mohon. Jangan pergi Baginda!" Karena aku belum siap kehilangan.Hatiku hancur. Lagi. Bahkan ribuan air mata, juga ada batasnya. Mengapa aku selalu merasa spesial karena air mataku tak pernah habis. Tak pernah berhenti mengalir, normalkah diriku? Atau, kejamnya dunia ini padaku?!Gelap.Aku seperti mati rasa. "Emabell!" Zurra meletakan tangannya pada bahuku yang bergetar dengan hebatnya, memeluk Baginda yang tak membalasku dengan sangat eratnya—lagian, kenapa Baginda masih tak ingin bangun juga sih? Aku hanya…hanya putus asa.Hiksss…."EMABELL, SADARLAH! DAN TOLONG BAGINDAMU ITU…." Sirrius menginginkan semangat tapi aku memberi mereka kesedihan—aku selalu tahu, kalau marahnya mereka adalah warna biru dalam batin mereka, diselimuti kelamnya warna langit saat menahan kegelapan yang h