Selamat membaca.Menyenangkan. Itulah yang kugambarkan untuk hari ini, kami tersenyum bersama-sama. Seakan hawa dingin tak membuat kami berhenti. Hosh! Aku tersenyum senang saat nafasku ini ku hembuskan—tetapi mengapa, aku malah kepanasan dan keringat dingin seakan bercucuran tak henti-hentinya.Menatap ke arah matahari yang tertutup rapat oleh awan dingin, mengapa rasanya terasa sangat terik. Aku haus…aku kepanasan."YANG MULIA!" Seseorang memanggil dengan suara lantang, beberapa orang berjubah tiba-tiba saja datang dan langsung membaringkan tubuhku di atas tumpukan salju—para tetua, mereka terlihat cemas saat menatap ke arahku. "Manusia, kau hanya menjadi beban. DARKA!"Baginda datang, mencoba memelukku tetapi aku menolaknya karena tubuhku seakan terbakar saat menyentuh pria itu. "Hosh! A-kau Baginda!" Mengerti, Baginda hanya menahan kepalaku dengan telapak tangannya agar tak kesusahan."Apa yang terjadi pada Emabell?!" tanya Baginda dengan nada ketus nan marah. "JAWAB!"Mereka tert
Selamat membaca.Uh. Aku membuka mataku pelan, dan menempati ruang hangat yang nyaman. Dengan langit-langit kamar yang begitu Familiar. Ini kamarku—menoleh ke arah jendela. Sudah diperbaiki lagi.Tetapi kepalaku berkunang-kunang, jadi aku memutuskan untuk kembali tidur. Setelah bermimpi aneh beberapa saat yang lalu. Tidak benar-benar tidur hanya menutup mata seperti orang sakit dan tak berdaya diatas tempat tidur—tidur membelakangi jendela.Tak lama suara langkah kaki mendekat, diikuti suara pintu yang dibuka kemudian ditutup kembali. Baginda? Tapi mataku rasanya sulit terbuka, aku lelah dan lemah.Hiksss!Hah… suara tangisan siapa? Pikirku lemah, tetap menutup mataku mencoba mengabaikan suara tangisan yang tak biasa. Bukan wanita, tapi suara tangisan seorang pria. Membuka mata, aku melihat ke arah depanku. Sedang duduk lemas sembari menutup satu tangannya pada wajahnya dengan air mata yang mengenang begitu banyak. Lalu ia terisak dalam diam. "Tolong jangan ambil dia dariku…"DEG! Kat
Selamat membaca.Selamat datang dikehidupan nyataku. Sakana membenciku, begitu pula dengan Sirrius dan juga Zurra—hubunganku dan Baginda tak sebaik yang kulihat, tidak ada Bielra, aku tidak punya kemampuan membangkitkan orang mati. Dan Utara begitu kuat dan mengerikan. Ah. Aku kecewa.Sekarang, aku hanya meringkuk dalam kamarku. Memeluk kedua lututku, menahan rasa sakit yang menjalar pada setiap urat nadiku karena aku masih menolak darah Baginda. Ya. Harus ku tolak, sebab aku tidak ingin ada yang berkurang. Di dunia ini.Tok!Tok!Tok!Suara pintu terbuka—menampakan Baginda beserta nampan makanan dan minuman yang terisi penuh oleh lauk dan air. "Lapar?"Aku menatapnya singkat. Sebelum menganggukkan kepalaku sebagai jawaban atas pertanyaannya. Ya. Karena aku benar-benar lapar sekarang. Tetapi saat aku hendak mengambil mangkuk berisi sup itu. Baginda menjauhkannya dariku, duduk disampingku—mengambil posisi menyuapi."Buka mulutmu!"Tak menjawab, aku mengiyakan permintaan yang malah terd
Selamat membaca.Saat matahari mulai terbenam, aku merasa kalau aku harus menghentikan Baginda. Tetapi aku tak bisa melakukan itu karena aku tak mau kehilangan mereka. Sakit."Emabell!"Almosa muncul dari pintu, dengan segelas teh hangat. Aku lantas tersenyum padanya. Menyambutnya dengan segala keberanian yang kumiliki. "Apa Baginda benar-benar pergi?" tanyaku, dan Almosa menganggukan kepalanya sebagai jawaban atas pertanyaanku barusan. Sejenak, aku kembali murung juga senang karena Baginda pergi—tetapi aku masih merindukan nya. Aku ingin bermain salju, duduk bercerita bersama Baginda tetapi jika kulakukan. Kafkan tidak tidak akan ada."Kau sedih?""Em.""Kamu mengalami banyak hal rupanya." Dia duduk disamping kasurku, melipat tangannya menatap ke arah langit yang tampak mengerikan dan bukannya indah ketika matahari baru saja ingin terbenam. "Keberadaanmu mulai dicurigai dan aku tidak ingin kehilangan manusia favoritku!" ujarnya sembari meraih tanganku yang masih penuh dengan luka.Se
Selamat membaca."Ku mohon!" Aku menangis menatapnya. "Lepaskan aku. Ba-baginda!" Aku berjalan mundur, berharap pada pria itu agar tetap diam di tempatnya tak mengapa aku. Tak menahanku.***Tetapi ku dapatkan adalah rasa sakit. Ia menarik rambutku ke belakang dengan kasar. Sampai membuat aku tersungkur di tanah. Hiksss! "Sakit. Jangan sembuhkan!" Mataku membelalak dengan lebarnya saat luka pada kaki dan tanganku mulai membaik dengan sendirinya. "Ba-baginda….""Ku bilang tetap hidup! APAKAH SULIT EMABELL?!" Aku ketakutan. Dia mencekik leherku dengan satu tangannya, sedangkan tangannya yang lain menarik kuat rambutku ke belakang. "KAMU MENCINTAIKU!" tekannya. aku menggelengkan kepalaku sambil tersedu-sedu. Menelan Saliva, menahan sakit, mencoba untuk bernafas saat melihat Baginda sebagai neraka yang hidup. "IYA. KAMU MENCINTAIKU!""Ba-baginda!"Ribuan getaran tak bisa ku jelaskan dari suaraku yang semakin parau. Air mata ini, menghangatkan pipiku. Bibirku gemetar, sulit untuk bicara.
Selamat membaca.Remuk.Aku menangis di tepi kasur sembari memeluk kedua lututku, menatap melemas ke arah jendela yang membawa sinar matahari masuk ke dalam. Menembus beberapa bagian tubuhku samar-samar. Dengan Dress indah pilihannya."Tak ingin kehilanganku, tetapi menyakitiku."Tangan kekarnya mengelus wajahku yang tutupi helai rambut dengan lembut, menatapku dengan tatapan merasa bersalah—tetapi terus mengekangku dengan statusnya. Serta menolak pilihanku. Aku tidak sembuh, aku semakin sakit. Begitu pula dengan dunia ini!"Kamu menginginkan kedamaian, tetapi menentangku!" balas Baginda dengan nadanya yang lembut, seolah tak peduli pada tubuhku yang dibuatnya seperti malam yang harus selalu ku ingat. "Lihat, kamu tidak lemah. Jadi berhentilah memperlakukan dirimu lemah Emabell!"Aku marah pada setiap perkataannya yang terdengar seperti sebuah perintah, yang tak boleh ku tolak. Karena akibatnya bisa sangat fatal. "Kamu mengerti Emabell?""Ya. Baginda."Kamu berhasil membuatku tak berd
Selamat membaca.Malam itu, ketika semuanya terasa baik-baik saja. Telah diperbaiki, saling memaafkan dan melindungi dalam diam. Istana tiba-tiba saja diserang oleh pihak tak di kenal.BRAK! Pintu didobrak, dan menampakan Sirrius dengan sabitnya. Menatap ke arahku dengan tatapan tak peduli. "Pergi, selagi memiliki kesempatan?""Kau ingin membunuhku? Sayangnya aku tidak boleh mati ditempat lain!" Tegasku menatapnya dengan tatapan setengah takut, setengah berani—sebab Baginda menyuruhnya melindungiku, tetapi dia malah…tunggu! "Apa ini rencana B yang dimaksud?"Dia tersenyum sinis. "Selamat Anda benar. Tetapi berkatmu, Baginda harus melawan kaumnya sendiri. Bangsa Utara. E.ma.bell!" dia tersenyum sinis padaku. "Lihatlah bagaimana kamu memulai kehancuran!""Sekarang pergilah!"Tetapi jika aku pergi. Maka konsekuensinya Sirrius akan mendekat di penjara bawa tanah atas dasar ketidaksetiaan. Dan aku tidak ingin itu terjadi. Aku tidak suka ini, para tetua itu…ceroboh sekali."APA YANG KAU PIK
Selamat membaca.Tiga hari, saat salju mulai turun bersama dengan amarah Baginda yang bercampur menjadi satu. Bahkan daerah yang harusnya tak bersalju, malah kedatangan tamu tak diundang, angin dari Utara bertiup membawa segala murka dan kesedihan Baginda.Aku berhasil melepaskan diri dari Utara, tetapi aku tidak berhasil membuat Killian tetap hidup. Meski berbohong dia bohong, aku sudah mengetahuinya jauh sebelum ia mengatakan yang sebenarnya."Wah, kau sudah gila Emabell!" ucap Nike, sembari menggelengkan kepalanya menatap ke arahku yang diam menatap ke arah pegunungan Utara yang masih sama, dari tempat yang sama. Jembatan yang menghancurkan dunia, beribu-ribu tahun yang lalu."para tetua dari Utara mengecualikan Clossiana Frigga dari kuasa yang mulia Darka dengan syarat kalau mereka tidak akan menyentuhmu. Tapi aku tidak tahu, kalau akan sekacau ini!"Aku tersenyum padanya. "Kau benar-benar gadis yang tidak bisa diatur.""Benarkah?" tanyaku. Nike menganggukan kepalanya sebagai jawa
Selamat membaca. Tabir pelindung yang terbentuk di atas dunia Elydra itu mampu menyerap setiap api kemarahan Darka, meski terlambat. Tapi kekuataan itu begitu besar sampai setiap kaki yang berdiri akhirnya tak mampu lagi untuk berdiri—semua mahkluk akhirnya menghormati Emabell, bahkan para tetua yang tersisa menundukan kepalanya.Bukan karena kekuataan lagi. Tapi karena pengorbanan seorang manusia biasa pada dunia yang dengan hebatnya menolaknya sebagai ratu, tapi dengan sangat luar biasanya ia bela dengan mengorbankan nyawanya sendiri."Mungkin agak terlambat, tapi kini kau akan menjadi ratu kami. Satu-satunya ratu kami, Emabell kami."Aku menang. Tapi tunggu, aku kewalahan karena menahan kekuataan Darka. Keringat dingin memenuhi tubuhku, tapi tidak apa-apa. Ini bukan pertama kalinya aku di panggang!WUSH!Lenyap. Ah, rupanya aku juga tumbang. Baginda…tolong aku?!Gelap.***Beberapa hari kemudian, akhirnya aku sadar. Seolah tersadar dari mimpi, atau terbangun di dalam mimpi.Aku me
Selamat membaca.Raja dan Ratu, dan setiap makhluk yang mengisi aula utama Gratarus yang mengag dan indah saling tatap. Mereka kebingungan dengan alis yang mengerut sempurna—bagaimana tidak, pasalnya aku yang sudah seperti kehilangan kendali akan dirinya sendiri tiba-tiba saja menjadi tenang."Kau baik-baik saja Nak?" tanya ayah. Melirik ke arahku yang sedang berjalan menuju altar. "Emabell?""Ya ayah? Aku baik. Sangat baik." ucapku sembari tersenyum. Meski hatiku sangat ragu sekarang—"ternyata benar ya ayah, memilih itu sangat mudah. Yang susah itu, adalah bertahan." Kataku sambil mengumbar senyuman khas seorang Emabell dari Clossiana Frigga.Dan yah. Mata ayahku berbinar, dapat ku rasakan kalau hatinya tergetar atas perkataanku yang sepertinya sangat menyentuh hatinya. "Kau a-akhirnya mengerti Emabell?""Iya.""Ayah bangga padamu."Aku tersenyum. "Ayah akan semakin bangga. Karena kini aku mencintai Dunia Elydra.""Kenapa?" Karena dunia ini mencintai Bagindaku, rajaku, pilihan hatiku
Selamat membaca.Kau mengurungku. Lalu memintaku untuk melangsungkan upacara pernikahan yang tidak seharusnya terjadi Vardiantura? Baik, lakukan. "Aku akan mengukur waktu!"Mataku berubah warna menjadi keemasan, dan darah keluar dari mataku meski hanya sedikit. Itu karena Sakana mencoba melakukan lelepati denganku yang ternyata berhasil—baginda, hanya menyuruhku untuk menunggu sampai ia datang."Kalau kau tidak bisa bersabar, Baginda bersumpah akan memperkosaku setiap malam dan membunuh kami di depanmu! Jadi jangan lakukan hal gila. Kau mengerti!" tegas Sakana mengingatkan.Mataku membulat sempurna. Dan dengan susah payah aku menelan salivaku, "iya a-aku mengerti." jawabku.Karena semakin pusing. Jadi Sakana memutuskan telepati.Setelahnya, aku menatap ke arah pintu. Tapi percuma, pintu itu dikunci dari depan. 'hah' aku tidak suka di paksa—runtukku dalam hati.***-sementara itu, istana hitam. Utara yang membeku. Terjadi penangkapan besar-besaran di empat wilayah di Utara. Kota Devika
Selamat membaca.Berkat kecurigaan yang sepenuhnya benar. Aku di sidang di hadapan raja Vardiantura, di temani pangeran Edanosa dan Raja Nesessbula sebagai saksi atas kesalahanku."Bagaimana bisa rasa rindu menjadi kesalahan? Rindu itu tidak menyakitiku maka itu bukanlah sebuah kesalahan." Aku membela diriku sendiri. Tidak peduli seberapa hebatnya para ratu serta ibu dan ayahku yang terus memberiku kode agar aku diam saja tak mengatakan apapun—maaf tapi dia bukan Bagindaku, dan aku tidak akan pernah tunduk padanya."Berarti kamu berkomunikasi dengannya." ucapnya dingin."Itu hakku!" "Sejak kapan kamu memiliki hak Emabell?""Dan sejak kapan kau memiliki hak untuk bertanya padaku?" balasku tak ingin kalah. karena aku benar, ini adalah hakku.Edanosa menatapku dengan alis yang mengerut ke atas lagi. Tapi aku tidak bisa diam lagi, aku menatapnya sekali lalu tersenyum padanya seolah mengatakan kalau aku akan baik-baik saja meski hasilnya."Lihat aku!" Titah Vardiantura. Dan aku menatapnya
Selamat membaca.Gartarus. Kerajaan yang yang akan menjadi yang utama setelah Utara, indah, asri dan sangat nyaman namun sedikit mencekam.Orang-orangnya berkulit sawo matang dan hampir dari 99% warganya adalah pengendali tumbuh-tumbuhan. Merekalah yang membuat tumbuhan dapat bergerak, tapi ada juga tumbuh-tumbuhan yang sudah memiliki nyawa sejak lahir.Dedaunan yang jatuh bahkan bisa terbang kembali ke udara seperti ribuan burung-burung.Mereka ramah, dan alami saat tersenyum padaku."Huh! Senang rasanya melihat semua saling bahu membahu dalam mengurus kerajaan. Tamu tak diundang bahkan di sambut dengan baik," Ucapku sambil tersenyum manis menghirup udara segar menyambut hari pernikahanku. "Anehnya hanya Raja Nesessbula yang berbeda." Tambahku."Apa maksud Anda Emabell?!""Kau seperti orang mati, berkulit pucat, dingin dan terlihat seperti bukan berasal dari wilayah ini."Dia tersenyum smirk. "Timur. Tidak selalu tentang warna kulit. Dan lagi, aku adalah keturunan asli kerajaan Grata
Selamat membaca.Akhirnya hari itu tiba juga. Aku dan gaun pengantin di hadapanku, perhiasan bahkan mahkota yang akan ku kenakan terpajang dalam lemari kaca yang begitu mewah.Pernikahanku dan Vardiantura. Mereka berpikir kami akan menjadi 'lawan mencintai lawan' harusnya begitu. Tapi aku sudah mencintai lawanku yang sebenarnya—pria brengsek itu bukan Vardiantura tapi Baginda.Aku tersenyum membayangkan. "Kau tersenyum?" Edanosa muncul di sampingku. "Kau suka gaunnya?""Ya.""Aku mengenal guruku Emabell, dia memiliki dua senyuman. Yang satunya tulus, dan yang satunya lagi tulus dengan rencana.""Hm?" Ku kerutkan keningku pada pangeran Edanosa yang ada di sampingku. Sebelum tersenyum padanya. "Benarkah? Jadi, apa arti senyumanku ini?!" "Tulus dengan rencana." Aku tersenyum senang. "Emabell. Aku mohon!" Dia mengerutkan keningnya padaku. Mengandeng tanganku dengan mata berkaca-kaca."Lepas.""Alasan kau koma, bukan karena kekuataan misterius yang membutakan. Tapi karena…." Aku buru-bu
Selamat membaca.Aku tersenyum senang. Lalu menatap ke arah Nesessbula yang ingin menyampaikan informasi ini. "Sekalian, katakan padanya, aku masih menunggu." Terangku yang membuat Sih Vardiantura sialan itu tersenyum sinis."Apa yang kau harapkan?""Sampaikan saja!" Potongku. Tak peduli pada wajah angkuh seakan tak terkalahkan padahal cuma mayat hidup, aku jadi merindukan dia yang ku ciptakan dalam benakku. "Ini perintah!" Deg!"Kau….""Kau ingin aku menjadi ratu, akan ku lakukan sesuai yang kau inginkan. Dan kalian akan hidup!" Tegasku sembari tersenyum sampai mataku tidak lagi terbuka—meski artinya adalah sindiran.Mereka saling tatap. Tersenyum satu sama lainnya. "kau mau menikah denganku?" tanya Vardiantura."Hm." Jawabku sembari terus mengunyah."Kau mau menjadi ratu kami tanpa Baginda tercinta mu itu?""Hm." "Kau ingin memberikanku cinta.""Tentu.""Bagaimana dengan keturunan.""Tidak buruk."Mereka semakin bingung. "Kau masih waras Emabell?""Tidak. Setengah gila. YAH WARASL
Selamat membaca.Aku berjalan seperti orang bodoh diantara dinginnya malam, menikmati luasnya taman yang di bangun hanya untukku. Emabell dari Clossiana Frigga, bahkan nama taman ini adalah namaku. TAMAN EMABELL. Semuanya lengkap, kasih sayang, cinta, perhatian bahkan makanan sudah tersedia. Hanya saja, mengapa? Aku terus menatap ke arah tembok raksasa yang menghalangi duniaku."Baginda?" Sadar kalau ada langkah yang terus mengikutiku sedari tadi—Kubiarkan karena Baginda juga diam saja sedari tadi.Tiba-tiba. Ia memelukku dari belakang. "Tidak dingin?" tanyanya—Bisa kurasakan dengan jelas hembusan nafasnya yang menyentuh leher jenjangku. "Em.""Em?" Ulangnya.Aku tidak bersemangat sampai aku bisa membaca isi pikirannya. "Baginda mereka mengadakan pertemuan dan akhirnya Utara diundang….""Kita tidak akan pergi!""Mereka memilihku sebagai perwakilan." Aku sangat bersemangat sampai lupa akan sesuatu. "Ini…" tak melanjutkan ucapanku, kepalaku malah tertunduk ke bawah. Dan tak kusadari k
Selamat membaca.Ribuan panah amarah penuh penolakan di tengah kedamaian tanpa Utara. Dari orang-orang yang pernah tersenyum padaku—Tetapi Dia, Baginda. Dengan cepat menerjang ribuan anak panah itu seperti meteor yang kembali naik ke atas langit tanpa rasa takut.WUSH!Angin berhembus menerpa ku dengan sangat kuat, membuat surai dan pakaian kami beterbangan ke mana-mana. Tapi mata kami seakan menatap biasa saja ke arah Baginda.Zurra menatapku. "Nah Emabell, kita pulang?" Ia mengulurkan tangannya. Membuat aku tergetar, tersentak kagum. Melihat senyuman mereka yang berdiri di hadapanku, dengan ribuan prajurit Utara yang mendekat. Seolah menjemput kami untuk kembali pulang.Meski hanya kumpulan tengkorak dan mayat hidup. Mengapa rasanya bisa sangat hangat? Kegerian dan ketakutan yang pernah ada, sekarang ada dimana? Dan tekad untuk pulang ke Clossiana Frigga yang membuat banyak sekali rasa sakit. Terbang ke angkasa mana?"Ayo kita pulang." Senyumku sembari meraih tangan Zurra.Namun seb