Selamat membaca.Atas pertanyaan yang dilontarkan Sakana secara sengaja. Membuat aku harus tidur siang ditemani Baginda di sampingku—padahal aku sedang tidak ingin tidur lagi. Niatnya baik, katanya agar aku bisa semakin pilih. Tapi tanganku diikat seperti tahanan, bersama dengan tangannya menggunakan dasi."Kalau kau bergerak. Aku akan menghukummu Emabell!"Mendengar itu aku hanya menelan saliva kasar, menatap ke arah langit-langit dalam posisi terlentang sedang ia tidur memiring menghadapku. Menutup matanya, tetapi aku bisa melihat seringai yang diciptakan pada sudut bibirnya itu.Mengangkat satu tangan kiriku yang terlepas, mencoba membuka dasi yang mengikat pada tanganku dan tangan Baginda dengan keringat dingin di siang hari yang membuat tubuhku terasa panas. Seolah sedang bersembunyi dan berhadapan dengan maut, yang jika salah sedikit maka aku sudah berubah menjadi daging cincang saat ini. 'sial' di tengah-tengah usaha aku berhenti, aku menyerah tetapi tiba-tiba saja.Brang!Tass
Selamat membaca.Ah. Aku pikir, aku bisa menahan semuanya kali ini atau juga tidak. ***Tubuhku seakan pasrah ketika Baginda menggendongku ala bridal membawaku ke arah kamar lain. Kamar pribadi miliknya, yang tentu saja suasananya sangat berbeda dengan kamarku yang sedang dalam perbaikan saat ini."Baginda?!"Aku gugup, ketika ia menurunkanku pelan ke atas ranjang berwarna gelap secara perlahan-lahan, tanpa menjawab. Baginda menarik setiap helai pakaian yang membalut tubuh depanku perlahan—ini adalah hal biasa, tetapi saat tangannya itu tak sengaja menyentuh kulitku, rasanya jadi sangat berbeda.Tepat saat ia hendak melepas tali yang menutupi dadaku, aku menahan tangannya. Menggelengkan kepalaku tak siap, tetapi Baginda malah mendorong pelan bahuku hingga mengambil posisi berbaring. "Aku mohon Baginda!""Bukankah, ini adalah giliranmu, Emabell?" tanyanya sembari menatap wajahku dengan tatapan yang masih sulit untuk ku artikan. "Balaslah budimu, pada orang yang telah memberimu makan?"
Selamat membaca.Mengingat. Malam itu—aku tidak menyangka, kalau ia akan mengakhirinya dengan kata-kata sederhana yang terdengar begitu indah di telingaku. 'terima kasih' ucap Baginda sembari mengecup setiap tempat yang ia sentuh dengan lembut."Kenapa kau tersenyum simpul terus sedari tadi?" tanya Sirius. Rupanya, ia memperhatikanku sedari tadi.Di taman belakang, aku menanam beberapa herbal baru yang diberikan Sakana sebagai permintaan maaf karena telah mengganggu kemarin. Sekarang, Baginda membiarkanku hanya diawasi oleh satu orang dan itu pun harus Sirrius—mengapa dari sekian banyaknya orang kepercayaan. Haruslah SIRRIUS yang memiliki kepribadian hampir sama seperti dia yang masih kurindukan sampai saat ini."Malah mengkhayal. Dasar aneh!" ucapnya sedikit kasar.Aku tersenyum mengejek padanya. "Suka-sukaku. Otak, otakku hu!" Ku lihat sebelah mata pria itu berkedut kesal. "Lagi pula tidak ada yang bicara denganmu.""Lancang!""Bodoh amat.""Mau ku iris-iris kau menjadi daging cinca
Selamat berpikir. BOAM!Bagunan di atasku runtuh! "Baginda?!" Panggilku, cemas dan juga takut—bumi seakan bergerak, membuat langkah dan keseimbangan seakan sulit untukku miliki. CK! Sepertinya terjadi sesuatu diluar istana."Emabell!" Dia muncul, dan aku langsung memeluknya dengan erat dan ia pun membalasku tak kalah erat. Melingkarkan tangannya pada pinggangku, sebelum membawaku terbang. keluar dari daerah istana yang sedang diserang. Ia membawaku ke lantai lima. "Pakailah apa yang ada!" ucapnya padaku. Mengangguk, aku membuka lemari yang dipenuhi dengan pakaian kesatria wanita dan pria serta pakaian pelayan. SREKKK!Baginda!BANG! Ia menutup jendela kamar, sesaat setelah sebuah kekuatan berbentuk bola dengan aura hitam menyambarnya bersama dengan pedang dan busur. Aku harus bergantung padanya. "Iya. Jika itu Emabellmu, tapi sekarang. Aku adalah Emabell dari Clossiana Frigga!" ucapku pasti, sebelum mengambil pakaian pelayan karena dirasa cukup nyaman. Bersama dengan busur—aku hany
Selamat membaca.Gunung Utara. Pertama kalinya, aku diizinkan menyentuh salju gunung utara dengan tangan terbungkus sarung tangan tebal menjaga agar aku tak kedinginan. Melukis bahkan membuat boneka salju seperti yang ada dalam buku. Tentunya ditemani Baginda yang sedang duduk di atas bukit, mengawasiku dari jauh. Wush!Menoleh. Aku bisa melihat berapa menawannya pria dengan balutan pakaian kerajaan berwarna hitam itu. Meski pakaiannya normal, aku tidak melihat gangguan udara dingin yang membuat ia gemetaran. Bahkan bibirku saja sudah membiru karena udara dingin yang hanya sekedar lewat saja.Puas menatapnya. Pandanganku kembali ke arah salju, yang telah berbentuk hati dengan sempurna. Lalu membawanya berlari seperti anak kecil, dengan imajinasi pada kedua telapak tangannya ke arah Baginda.Sekalian menceritakan sesuatu yang tak bisa ku ceritakan padanya, karena alasan sesungguhnya ia membawaku ke tempat ini berduaan saja—bahkan Bielra pun tak boleh ikut, semua karena ia ingin aku ju
Selamat membaca.Menyenangkan. Itulah yang kugambarkan untuk hari ini, kami tersenyum bersama-sama. Seakan hawa dingin tak membuat kami berhenti. Hosh! Aku tersenyum senang saat nafasku ini ku hembuskan—tetapi mengapa, aku malah kepanasan dan keringat dingin seakan bercucuran tak henti-hentinya.Menatap ke arah matahari yang tertutup rapat oleh awan dingin, mengapa rasanya terasa sangat terik. Aku haus…aku kepanasan."YANG MULIA!" Seseorang memanggil dengan suara lantang, beberapa orang berjubah tiba-tiba saja datang dan langsung membaringkan tubuhku di atas tumpukan salju—para tetua, mereka terlihat cemas saat menatap ke arahku. "Manusia, kau hanya menjadi beban. DARKA!"Baginda datang, mencoba memelukku tetapi aku menolaknya karena tubuhku seakan terbakar saat menyentuh pria itu. "Hosh! A-kau Baginda!" Mengerti, Baginda hanya menahan kepalaku dengan telapak tangannya agar tak kesusahan."Apa yang terjadi pada Emabell?!" tanya Baginda dengan nada ketus nan marah. "JAWAB!"Mereka tert
Selamat membaca.Uh. Aku membuka mataku pelan, dan menempati ruang hangat yang nyaman. Dengan langit-langit kamar yang begitu Familiar. Ini kamarku—menoleh ke arah jendela. Sudah diperbaiki lagi.Tetapi kepalaku berkunang-kunang, jadi aku memutuskan untuk kembali tidur. Setelah bermimpi aneh beberapa saat yang lalu. Tidak benar-benar tidur hanya menutup mata seperti orang sakit dan tak berdaya diatas tempat tidur—tidur membelakangi jendela.Tak lama suara langkah kaki mendekat, diikuti suara pintu yang dibuka kemudian ditutup kembali. Baginda? Tapi mataku rasanya sulit terbuka, aku lelah dan lemah.Hiksss!Hah… suara tangisan siapa? Pikirku lemah, tetap menutup mataku mencoba mengabaikan suara tangisan yang tak biasa. Bukan wanita, tapi suara tangisan seorang pria. Membuka mata, aku melihat ke arah depanku. Sedang duduk lemas sembari menutup satu tangannya pada wajahnya dengan air mata yang mengenang begitu banyak. Lalu ia terisak dalam diam. "Tolong jangan ambil dia dariku…"DEG! Kat
Selamat membaca.Selamat datang dikehidupan nyataku. Sakana membenciku, begitu pula dengan Sirrius dan juga Zurra—hubunganku dan Baginda tak sebaik yang kulihat, tidak ada Bielra, aku tidak punya kemampuan membangkitkan orang mati. Dan Utara begitu kuat dan mengerikan. Ah. Aku kecewa.Sekarang, aku hanya meringkuk dalam kamarku. Memeluk kedua lututku, menahan rasa sakit yang menjalar pada setiap urat nadiku karena aku masih menolak darah Baginda. Ya. Harus ku tolak, sebab aku tidak ingin ada yang berkurang. Di dunia ini.Tok!Tok!Tok!Suara pintu terbuka—menampakan Baginda beserta nampan makanan dan minuman yang terisi penuh oleh lauk dan air. "Lapar?"Aku menatapnya singkat. Sebelum menganggukkan kepalaku sebagai jawaban atas pertanyaannya. Ya. Karena aku benar-benar lapar sekarang. Tetapi saat aku hendak mengambil mangkuk berisi sup itu. Baginda menjauhkannya dariku, duduk disampingku—mengambil posisi menyuapi."Buka mulutmu!"Tak menjawab, aku mengiyakan permintaan yang malah terd