Selamat membaca.Mengambil sikap waspada, aku hendak berdiri tapi Baginda menahanku dengan tatapan setenang lautan yang dipenuhi oleh monster besar dan menakutkan. "Baginda," Ucapanku berhenti saat ia menyodorkan air yang ditampung pada daun."Minum!" Aku melakukannya. Meminum apa yang ia sodorkan padaku, sesaat sebelum untuk! Uhuk! Uhuk! Aku terbatuk-batuk saat melihat beberapa orang berpakaian serba hitam dengan tengkorak yang melingkar di sepanjang leher mereka. Menelan saliva kasar—sebab tengkorak yang melingkar itu adalah adalah tengkorak manusia."Makanan!" ujar mereka sinis, sembari menatap ke arahku dengan mata yang tiba-tiba saja berubah menjadi sebiru langit—indah, tapi itu menunjukan adanya bahaya. Sebelum mereka memberi hormat pada Baginda. "Salam yang mulia Darka! Senang melihat Anda mampir di hutan tidak indah ini. Bersama manusia, apakah dia hadiah!""Dia milik Baginda!"Penjelasan Almosa membuat mereka tertawa. "Ah, teman tidur?" tebak mereka. "Sepertinya bukan, emmm
Selamat membaca.Ketika hari lainnya menyapa, tak terasa kami sudah sampai di kerajaan Rulyria yang tampak segan saat melihatku berada bersama dengan Baginda—dan tatapan yang mereka berikan itu, mengartikan sebuah kerinduan atau mungkin sebuah kemarahan."Salam yang mulia." Menatap ke arahku sinis. "Ku lihat putri kami berhasil kembali pada majikannya padahal kami mengurusnya dengan baik. Memberikan tempat tinggal yang layak, dan kebebasan untuk bepergian kemana-mana!" Sindirnya."Sejak kapan Emabell menjadi putri kalian?!" sambung Almosa tak kalah sinis. Mereka seperti berperang dengan pandangan mereka masing-masing. "Dan kami disini untuk perang, waktu tempat. Kami serahkan pada negeri kalian!""Perang?" ulangnya menatap ke arahku tak henti-hentinya, begitu juga dengan sang ratu yang sedang mencoba untuk memanipulasi otakku tetapi Baginda menghalangi segala kekuatan buruk itu dengan hanya diam saja—dan kurasa ratu Rah Esyca sadar akan hal itu."Ya?""Perang apa? Kami tidak melakukan
Selamat membaca.'hahaha' dia tertawa jahat menatap kami yang terpojok. "Kalian menginginkan perang, kalau begitu mari berperang Baginda. Hari ini, di tempat ini pada waktu ini!" pecundang—hanya itu yang bisa aku pikirkan mengenai raja Herdian. Sikapnya itu, tidak menunjukan cerminan seorang pejuang, karena memang seperti itulah dia.Sesekali menatapku yang tak berdaya, ia menyeringai karena aku begitu mudah untuk dikendalikan. Egoku, ambisiku pada kedamaian malah menjadikan itu sebagai kelemahan mereka.Tetapi dalam situasi saat ini. Baginda dan yang lainnya malah diam saja, justru tersenyum sinis saat mendengar ucapan yang mereka tunggu-tunggu itu. Baginda menggendongku, tepat saat prajurit Rulyria. Keluar untuk mengepung kami, setelah itu aku melihat Damor maju seorang diri. Dengan tangan yang terangkat, sesuatu yang berwarna hitam keunguan keluar dari kedua tangannya—menembus pertahanan lawan, membuat teriakan itu terdengar sangat nyata.Raja Herdian terdiam. Dari sini, aku bisa
Selamat membaca.DEG! Apa yang baru saja pria itu katakan? Apakah tiba-tiba saja ia berubah menjadi pemimpin yang tidak punya hati lagi—aku salah karena mempercayainya secepat ini, aku salah karena mengatakan cinta lebih cepat tanpa ingat kalau aku dalam posisi saat ini. Semua adalah karena Baginda, pikiran brengseknya itu.Aku menggelengkan kepalaku dengan cepat. "Aku mau Kafkan Baginda!"Tetapi sebuah tangan mencekalku dengan kuatnya, badanku seolah respon menoleh ke arah Baginda yang sedang melayangkan tatapan nyalangnya padaku. Dan di sisi lain, Kafkan menahan satu tanganku dengan tangannya yang sangat dingin, meski tubuhnya terlihat terbakar perlahan-lahan."Yang mulia, saya mohon!" ucap Kafkan.Ar menahan bahu Baginda, menggelengkan kepalanya singkat. Seolah-olah berkata pada Baginda untuk tidak melakukan apapun padaku, sebab ini berada di Rulyria dan raja dan Ratu Herdiant melihatnya.Aku ketakutan saat tangan itu menahanku—aku takut, kalau nantinya kepercayaan yang coba ku ban
Selamat Berduka.Untuk kesekian kalinya, aku menyelamatkan nyawa orang lain lagi. Dengan amarah dan rasa kesal yang bercampur menjadi satu. Aku menganggukkan kepalaku di hadapan dia yang tangisi sampai saat ini—berjalan dengan air mata yang terus mengenang ke arah pria asing yang tidak ku kenal, dan tidak kutemukan alasan mengapa tanganku harus menyembuhkan dia daripada Kafkan.Aku kecewa pada Baginda. Karena Kafkan selalu berada bersama denganku setiap saat, menemaniku meski awalnya kami saling mengejek satu sama lainnya. Tapi aku suka momen itu, dan tidak suka saat mencoba untuk mengingat momen ini.***Bahkan malam pun tak bisa membuat mata yang memerah ini dapat mengambil kesadaranku. "Emabell?!"Ratu Rah Esyca memanggilku. Berbalik, menatap ke arah wanita cantik yang sudah siap dengan keranjang kosongnya. Katanya, "Kafkan akan baik-baik saja dalam ruangan ini, kita harus memetik bunga untuk petinya. Ayo!"Aku tersenyum padanya. "Iya." jawabku sembari menghapus jejak air mataku.
Selamat membaca.Rasanya sakit saat melihat kamu sekarang sudah berada jauh dariku, meski rasanya sangat dekat. Tetapi aku sedih saat melihat kamu terbaring dengan begitu rupawannya di dalam peti yang dihiasi oleh bunga-bunga favorit setiap orang yang sayang kamu Kafkan.Aku iri saat kamu akhirnya bisa beristirahat dengan tenang—mudah mengatakan selamat tinggal, tetapi kamu tahu Kafkan. Aku kesulitan melakukannya, lidahku masih belum siap mengatakan hal itu bahkan sampai pada akhir kau menutup matamu.Tetapi aku tidak menyesalinya. Bukan karena tak rela, tapi aku suka saat melihatmu kesal karena tingkah dan keputusan yang kuambil sampai saat ini Kafkan. Aku tahu, meski tak terlihat. Kau seakan memelukku dengan erat, meski tak terlihat."Emabell!"Sebuah tangan menempel pada bahuku. Ternyata Baginda, anehnya. Aku berharap itu adalah kamu. "Aku akan menghukummu jika kamu tidak menjauh dari peri Kafkan!" ancamnya padaku yang sudah berdiri memandangi Kafkan setidaknya 3 jam lebih tanpa be
Selamat membaca.Memakan jiwa, membunuh penderitanya secara perlahan. Iya, jika keinginan hidupku tidak ada. Ck! Merepotkan juga. Tapi tunggu, aku ingin sedikit beristirahat. Semoga keinginanku ini, tak membuat Baginda marah saat aku tersadar nantinya.***Siapa sangka, keinginanku untuk beristirahat selama sejam saja. Menghabiskan enam bulan di dunia nyata. Dan saat mataku mulai terbuka, kaki dan tanganku terikat mawar yang merambat tetapi tak melukai tubuhku. Gunanya ini untuk apa? Tanyaku membatin, sesaat setelah menghirup aroma wangi dari bunga yang menutupi tubuh telanjangku. Seperti obat yang dapat menyembuhkan setiap jaringan-jaringan tubuhku yang seakan membeku karena tertidur cukup lama.Aku malah tersenyum. "Aneh!" ucap singkat. Sesaat sebelum mataku kembali tenggelam dalam kegelapan.***"Emabell?!"Suara itu. Kafkan? Bukan! Lalu siapa? Membuka mataku perlahan kembali. Aku melihat Nike yang sedang menatapku dengan alis mengerut. Matanya terbuka, berbinar ketika aku membala
Selamat membaca.Bagaimana bisa seorang pria dengan wajah tegas bermata merah yang seakan kuat dan tak terkalahkan ini, memiliki hati dan mata yang tidak bisa berbohong. Akan perasaannya sendiri, seperti hati manusia yang memiliki perasaan emosional luar biasa saat menghadapi situasi yang berada di luar kendalinya."Maafkan saya!"Dia berlutut! Sontak aku juga berlutut di depannya. "Kenapa berlutut?" bingungku. Panik, dan tak biasa dengan perlakukan seperti ini. Aku menoleh ke arah Baginda dengan alis yang mengerut namun. Di-dimana mereka semua—pikirku bertanya-tanya saat tak melihat ada satupun orang di belakangku saat ini."Emabell. Maafkan saya, karena saya. Kau kehilangan orang yang paling berharga dalam hidupmu?" Dia meraih kedua tanganku dengan air mata yang terus menetes tak henti-hentinya—jujur, itu tak cocok untuk struktur wajah yang terlihat seperti seorang penjahat. Dan pengkhianat. "Emabell!""Wow! Wow! Wow! Sakana tenanglah, aku baik-baik saja dan dia juga begitu. Sekaran
Selamat membaca. Tabir pelindung yang terbentuk di atas dunia Elydra itu mampu menyerap setiap api kemarahan Darka, meski terlambat. Tapi kekuataan itu begitu besar sampai setiap kaki yang berdiri akhirnya tak mampu lagi untuk berdiri—semua mahkluk akhirnya menghormati Emabell, bahkan para tetua yang tersisa menundukan kepalanya.Bukan karena kekuataan lagi. Tapi karena pengorbanan seorang manusia biasa pada dunia yang dengan hebatnya menolaknya sebagai ratu, tapi dengan sangat luar biasanya ia bela dengan mengorbankan nyawanya sendiri."Mungkin agak terlambat, tapi kini kau akan menjadi ratu kami. Satu-satunya ratu kami, Emabell kami."Aku menang. Tapi tunggu, aku kewalahan karena menahan kekuataan Darka. Keringat dingin memenuhi tubuhku, tapi tidak apa-apa. Ini bukan pertama kalinya aku di panggang!WUSH!Lenyap. Ah, rupanya aku juga tumbang. Baginda…tolong aku?!Gelap.***Beberapa hari kemudian, akhirnya aku sadar. Seolah tersadar dari mimpi, atau terbangun di dalam mimpi.Aku me
Selamat membaca.Raja dan Ratu, dan setiap makhluk yang mengisi aula utama Gratarus yang mengag dan indah saling tatap. Mereka kebingungan dengan alis yang mengerut sempurna—bagaimana tidak, pasalnya aku yang sudah seperti kehilangan kendali akan dirinya sendiri tiba-tiba saja menjadi tenang."Kau baik-baik saja Nak?" tanya ayah. Melirik ke arahku yang sedang berjalan menuju altar. "Emabell?""Ya ayah? Aku baik. Sangat baik." ucapku sembari tersenyum. Meski hatiku sangat ragu sekarang—"ternyata benar ya ayah, memilih itu sangat mudah. Yang susah itu, adalah bertahan." Kataku sambil mengumbar senyuman khas seorang Emabell dari Clossiana Frigga.Dan yah. Mata ayahku berbinar, dapat ku rasakan kalau hatinya tergetar atas perkataanku yang sepertinya sangat menyentuh hatinya. "Kau a-akhirnya mengerti Emabell?""Iya.""Ayah bangga padamu."Aku tersenyum. "Ayah akan semakin bangga. Karena kini aku mencintai Dunia Elydra.""Kenapa?" Karena dunia ini mencintai Bagindaku, rajaku, pilihan hatiku
Selamat membaca.Kau mengurungku. Lalu memintaku untuk melangsungkan upacara pernikahan yang tidak seharusnya terjadi Vardiantura? Baik, lakukan. "Aku akan mengukur waktu!"Mataku berubah warna menjadi keemasan, dan darah keluar dari mataku meski hanya sedikit. Itu karena Sakana mencoba melakukan lelepati denganku yang ternyata berhasil—baginda, hanya menyuruhku untuk menunggu sampai ia datang."Kalau kau tidak bisa bersabar, Baginda bersumpah akan memperkosaku setiap malam dan membunuh kami di depanmu! Jadi jangan lakukan hal gila. Kau mengerti!" tegas Sakana mengingatkan.Mataku membulat sempurna. Dan dengan susah payah aku menelan salivaku, "iya a-aku mengerti." jawabku.Karena semakin pusing. Jadi Sakana memutuskan telepati.Setelahnya, aku menatap ke arah pintu. Tapi percuma, pintu itu dikunci dari depan. 'hah' aku tidak suka di paksa—runtukku dalam hati.***-sementara itu, istana hitam. Utara yang membeku. Terjadi penangkapan besar-besaran di empat wilayah di Utara. Kota Devika
Selamat membaca.Berkat kecurigaan yang sepenuhnya benar. Aku di sidang di hadapan raja Vardiantura, di temani pangeran Edanosa dan Raja Nesessbula sebagai saksi atas kesalahanku."Bagaimana bisa rasa rindu menjadi kesalahan? Rindu itu tidak menyakitiku maka itu bukanlah sebuah kesalahan." Aku membela diriku sendiri. Tidak peduli seberapa hebatnya para ratu serta ibu dan ayahku yang terus memberiku kode agar aku diam saja tak mengatakan apapun—maaf tapi dia bukan Bagindaku, dan aku tidak akan pernah tunduk padanya."Berarti kamu berkomunikasi dengannya." ucapnya dingin."Itu hakku!" "Sejak kapan kamu memiliki hak Emabell?""Dan sejak kapan kau memiliki hak untuk bertanya padaku?" balasku tak ingin kalah. karena aku benar, ini adalah hakku.Edanosa menatapku dengan alis yang mengerut ke atas lagi. Tapi aku tidak bisa diam lagi, aku menatapnya sekali lalu tersenyum padanya seolah mengatakan kalau aku akan baik-baik saja meski hasilnya."Lihat aku!" Titah Vardiantura. Dan aku menatapnya
Selamat membaca.Gartarus. Kerajaan yang yang akan menjadi yang utama setelah Utara, indah, asri dan sangat nyaman namun sedikit mencekam.Orang-orangnya berkulit sawo matang dan hampir dari 99% warganya adalah pengendali tumbuh-tumbuhan. Merekalah yang membuat tumbuhan dapat bergerak, tapi ada juga tumbuh-tumbuhan yang sudah memiliki nyawa sejak lahir.Dedaunan yang jatuh bahkan bisa terbang kembali ke udara seperti ribuan burung-burung.Mereka ramah, dan alami saat tersenyum padaku."Huh! Senang rasanya melihat semua saling bahu membahu dalam mengurus kerajaan. Tamu tak diundang bahkan di sambut dengan baik," Ucapku sambil tersenyum manis menghirup udara segar menyambut hari pernikahanku. "Anehnya hanya Raja Nesessbula yang berbeda." Tambahku."Apa maksud Anda Emabell?!""Kau seperti orang mati, berkulit pucat, dingin dan terlihat seperti bukan berasal dari wilayah ini."Dia tersenyum smirk. "Timur. Tidak selalu tentang warna kulit. Dan lagi, aku adalah keturunan asli kerajaan Grata
Selamat membaca.Akhirnya hari itu tiba juga. Aku dan gaun pengantin di hadapanku, perhiasan bahkan mahkota yang akan ku kenakan terpajang dalam lemari kaca yang begitu mewah.Pernikahanku dan Vardiantura. Mereka berpikir kami akan menjadi 'lawan mencintai lawan' harusnya begitu. Tapi aku sudah mencintai lawanku yang sebenarnya—pria brengsek itu bukan Vardiantura tapi Baginda.Aku tersenyum membayangkan. "Kau tersenyum?" Edanosa muncul di sampingku. "Kau suka gaunnya?""Ya.""Aku mengenal guruku Emabell, dia memiliki dua senyuman. Yang satunya tulus, dan yang satunya lagi tulus dengan rencana.""Hm?" Ku kerutkan keningku pada pangeran Edanosa yang ada di sampingku. Sebelum tersenyum padanya. "Benarkah? Jadi, apa arti senyumanku ini?!" "Tulus dengan rencana." Aku tersenyum senang. "Emabell. Aku mohon!" Dia mengerutkan keningnya padaku. Mengandeng tanganku dengan mata berkaca-kaca."Lepas.""Alasan kau koma, bukan karena kekuataan misterius yang membutakan. Tapi karena…." Aku buru-bu
Selamat membaca.Aku tersenyum senang. Lalu menatap ke arah Nesessbula yang ingin menyampaikan informasi ini. "Sekalian, katakan padanya, aku masih menunggu." Terangku yang membuat Sih Vardiantura sialan itu tersenyum sinis."Apa yang kau harapkan?""Sampaikan saja!" Potongku. Tak peduli pada wajah angkuh seakan tak terkalahkan padahal cuma mayat hidup, aku jadi merindukan dia yang ku ciptakan dalam benakku. "Ini perintah!" Deg!"Kau….""Kau ingin aku menjadi ratu, akan ku lakukan sesuai yang kau inginkan. Dan kalian akan hidup!" Tegasku sembari tersenyum sampai mataku tidak lagi terbuka—meski artinya adalah sindiran.Mereka saling tatap. Tersenyum satu sama lainnya. "kau mau menikah denganku?" tanya Vardiantura."Hm." Jawabku sembari terus mengunyah."Kau mau menjadi ratu kami tanpa Baginda tercinta mu itu?""Hm." "Kau ingin memberikanku cinta.""Tentu.""Bagaimana dengan keturunan.""Tidak buruk."Mereka semakin bingung. "Kau masih waras Emabell?""Tidak. Setengah gila. YAH WARASL
Selamat membaca.Aku berjalan seperti orang bodoh diantara dinginnya malam, menikmati luasnya taman yang di bangun hanya untukku. Emabell dari Clossiana Frigga, bahkan nama taman ini adalah namaku. TAMAN EMABELL. Semuanya lengkap, kasih sayang, cinta, perhatian bahkan makanan sudah tersedia. Hanya saja, mengapa? Aku terus menatap ke arah tembok raksasa yang menghalangi duniaku."Baginda?" Sadar kalau ada langkah yang terus mengikutiku sedari tadi—Kubiarkan karena Baginda juga diam saja sedari tadi.Tiba-tiba. Ia memelukku dari belakang. "Tidak dingin?" tanyanya—Bisa kurasakan dengan jelas hembusan nafasnya yang menyentuh leher jenjangku. "Em.""Em?" Ulangnya.Aku tidak bersemangat sampai aku bisa membaca isi pikirannya. "Baginda mereka mengadakan pertemuan dan akhirnya Utara diundang….""Kita tidak akan pergi!""Mereka memilihku sebagai perwakilan." Aku sangat bersemangat sampai lupa akan sesuatu. "Ini…" tak melanjutkan ucapanku, kepalaku malah tertunduk ke bawah. Dan tak kusadari k
Selamat membaca.Ribuan panah amarah penuh penolakan di tengah kedamaian tanpa Utara. Dari orang-orang yang pernah tersenyum padaku—Tetapi Dia, Baginda. Dengan cepat menerjang ribuan anak panah itu seperti meteor yang kembali naik ke atas langit tanpa rasa takut.WUSH!Angin berhembus menerpa ku dengan sangat kuat, membuat surai dan pakaian kami beterbangan ke mana-mana. Tapi mata kami seakan menatap biasa saja ke arah Baginda.Zurra menatapku. "Nah Emabell, kita pulang?" Ia mengulurkan tangannya. Membuat aku tergetar, tersentak kagum. Melihat senyuman mereka yang berdiri di hadapanku, dengan ribuan prajurit Utara yang mendekat. Seolah menjemput kami untuk kembali pulang.Meski hanya kumpulan tengkorak dan mayat hidup. Mengapa rasanya bisa sangat hangat? Kegerian dan ketakutan yang pernah ada, sekarang ada dimana? Dan tekad untuk pulang ke Clossiana Frigga yang membuat banyak sekali rasa sakit. Terbang ke angkasa mana?"Ayo kita pulang." Senyumku sembari meraih tangan Zurra.Namun seb