Selamat membaca.Ketika hari lainnya menyapa, tak terasa kami sudah sampai di kerajaan Rulyria yang tampak segan saat melihatku berada bersama dengan Baginda—dan tatapan yang mereka berikan itu, mengartikan sebuah kerinduan atau mungkin sebuah kemarahan."Salam yang mulia." Menatap ke arahku sinis. "Ku lihat putri kami berhasil kembali pada majikannya padahal kami mengurusnya dengan baik. Memberikan tempat tinggal yang layak, dan kebebasan untuk bepergian kemana-mana!" Sindirnya."Sejak kapan Emabell menjadi putri kalian?!" sambung Almosa tak kalah sinis. Mereka seperti berperang dengan pandangan mereka masing-masing. "Dan kami disini untuk perang, waktu tempat. Kami serahkan pada negeri kalian!""Perang?" ulangnya menatap ke arahku tak henti-hentinya, begitu juga dengan sang ratu yang sedang mencoba untuk memanipulasi otakku tetapi Baginda menghalangi segala kekuatan buruk itu dengan hanya diam saja—dan kurasa ratu Rah Esyca sadar akan hal itu."Ya?""Perang apa? Kami tidak melakukan
Selamat membaca.'hahaha' dia tertawa jahat menatap kami yang terpojok. "Kalian menginginkan perang, kalau begitu mari berperang Baginda. Hari ini, di tempat ini pada waktu ini!" pecundang—hanya itu yang bisa aku pikirkan mengenai raja Herdian. Sikapnya itu, tidak menunjukan cerminan seorang pejuang, karena memang seperti itulah dia.Sesekali menatapku yang tak berdaya, ia menyeringai karena aku begitu mudah untuk dikendalikan. Egoku, ambisiku pada kedamaian malah menjadikan itu sebagai kelemahan mereka.Tetapi dalam situasi saat ini. Baginda dan yang lainnya malah diam saja, justru tersenyum sinis saat mendengar ucapan yang mereka tunggu-tunggu itu. Baginda menggendongku, tepat saat prajurit Rulyria. Keluar untuk mengepung kami, setelah itu aku melihat Damor maju seorang diri. Dengan tangan yang terangkat, sesuatu yang berwarna hitam keunguan keluar dari kedua tangannya—menembus pertahanan lawan, membuat teriakan itu terdengar sangat nyata.Raja Herdian terdiam. Dari sini, aku bisa
Selamat membaca.DEG! Apa yang baru saja pria itu katakan? Apakah tiba-tiba saja ia berubah menjadi pemimpin yang tidak punya hati lagi—aku salah karena mempercayainya secepat ini, aku salah karena mengatakan cinta lebih cepat tanpa ingat kalau aku dalam posisi saat ini. Semua adalah karena Baginda, pikiran brengseknya itu.Aku menggelengkan kepalaku dengan cepat. "Aku mau Kafkan Baginda!"Tetapi sebuah tangan mencekalku dengan kuatnya, badanku seolah respon menoleh ke arah Baginda yang sedang melayangkan tatapan nyalangnya padaku. Dan di sisi lain, Kafkan menahan satu tanganku dengan tangannya yang sangat dingin, meski tubuhnya terlihat terbakar perlahan-lahan."Yang mulia, saya mohon!" ucap Kafkan.Ar menahan bahu Baginda, menggelengkan kepalanya singkat. Seolah-olah berkata pada Baginda untuk tidak melakukan apapun padaku, sebab ini berada di Rulyria dan raja dan Ratu Herdiant melihatnya.Aku ketakutan saat tangan itu menahanku—aku takut, kalau nantinya kepercayaan yang coba ku ban
Selamat Berduka.Untuk kesekian kalinya, aku menyelamatkan nyawa orang lain lagi. Dengan amarah dan rasa kesal yang bercampur menjadi satu. Aku menganggukkan kepalaku di hadapan dia yang tangisi sampai saat ini—berjalan dengan air mata yang terus mengenang ke arah pria asing yang tidak ku kenal, dan tidak kutemukan alasan mengapa tanganku harus menyembuhkan dia daripada Kafkan.Aku kecewa pada Baginda. Karena Kafkan selalu berada bersama denganku setiap saat, menemaniku meski awalnya kami saling mengejek satu sama lainnya. Tapi aku suka momen itu, dan tidak suka saat mencoba untuk mengingat momen ini.***Bahkan malam pun tak bisa membuat mata yang memerah ini dapat mengambil kesadaranku. "Emabell?!"Ratu Rah Esyca memanggilku. Berbalik, menatap ke arah wanita cantik yang sudah siap dengan keranjang kosongnya. Katanya, "Kafkan akan baik-baik saja dalam ruangan ini, kita harus memetik bunga untuk petinya. Ayo!"Aku tersenyum padanya. "Iya." jawabku sembari menghapus jejak air mataku.
Selamat membaca.Rasanya sakit saat melihat kamu sekarang sudah berada jauh dariku, meski rasanya sangat dekat. Tetapi aku sedih saat melihat kamu terbaring dengan begitu rupawannya di dalam peti yang dihiasi oleh bunga-bunga favorit setiap orang yang sayang kamu Kafkan.Aku iri saat kamu akhirnya bisa beristirahat dengan tenang—mudah mengatakan selamat tinggal, tetapi kamu tahu Kafkan. Aku kesulitan melakukannya, lidahku masih belum siap mengatakan hal itu bahkan sampai pada akhir kau menutup matamu.Tetapi aku tidak menyesalinya. Bukan karena tak rela, tapi aku suka saat melihatmu kesal karena tingkah dan keputusan yang kuambil sampai saat ini Kafkan. Aku tahu, meski tak terlihat. Kau seakan memelukku dengan erat, meski tak terlihat."Emabell!"Sebuah tangan menempel pada bahuku. Ternyata Baginda, anehnya. Aku berharap itu adalah kamu. "Aku akan menghukummu jika kamu tidak menjauh dari peri Kafkan!" ancamnya padaku yang sudah berdiri memandangi Kafkan setidaknya 3 jam lebih tanpa be
Selamat membaca.Memakan jiwa, membunuh penderitanya secara perlahan. Iya, jika keinginan hidupku tidak ada. Ck! Merepotkan juga. Tapi tunggu, aku ingin sedikit beristirahat. Semoga keinginanku ini, tak membuat Baginda marah saat aku tersadar nantinya.***Siapa sangka, keinginanku untuk beristirahat selama sejam saja. Menghabiskan enam bulan di dunia nyata. Dan saat mataku mulai terbuka, kaki dan tanganku terikat mawar yang merambat tetapi tak melukai tubuhku. Gunanya ini untuk apa? Tanyaku membatin, sesaat setelah menghirup aroma wangi dari bunga yang menutupi tubuh telanjangku. Seperti obat yang dapat menyembuhkan setiap jaringan-jaringan tubuhku yang seakan membeku karena tertidur cukup lama.Aku malah tersenyum. "Aneh!" ucap singkat. Sesaat sebelum mataku kembali tenggelam dalam kegelapan.***"Emabell?!"Suara itu. Kafkan? Bukan! Lalu siapa? Membuka mataku perlahan kembali. Aku melihat Nike yang sedang menatapku dengan alis mengerut. Matanya terbuka, berbinar ketika aku membala
Selamat membaca.Bagaimana bisa seorang pria dengan wajah tegas bermata merah yang seakan kuat dan tak terkalahkan ini, memiliki hati dan mata yang tidak bisa berbohong. Akan perasaannya sendiri, seperti hati manusia yang memiliki perasaan emosional luar biasa saat menghadapi situasi yang berada di luar kendalinya."Maafkan saya!"Dia berlutut! Sontak aku juga berlutut di depannya. "Kenapa berlutut?" bingungku. Panik, dan tak biasa dengan perlakukan seperti ini. Aku menoleh ke arah Baginda dengan alis yang mengerut namun. Di-dimana mereka semua—pikirku bertanya-tanya saat tak melihat ada satupun orang di belakangku saat ini."Emabell. Maafkan saya, karena saya. Kau kehilangan orang yang paling berharga dalam hidupmu?" Dia meraih kedua tanganku dengan air mata yang terus menetes tak henti-hentinya—jujur, itu tak cocok untuk struktur wajah yang terlihat seperti seorang penjahat. Dan pengkhianat. "Emabell!""Wow! Wow! Wow! Sakana tenanglah, aku baik-baik saja dan dia juga begitu. Sekaran
Selamat membaca.Atas pertanyaan yang dilontarkan Sakana secara sengaja. Membuat aku harus tidur siang ditemani Baginda di sampingku—padahal aku sedang tidak ingin tidur lagi. Niatnya baik, katanya agar aku bisa semakin pilih. Tapi tanganku diikat seperti tahanan, bersama dengan tangannya menggunakan dasi."Kalau kau bergerak. Aku akan menghukummu Emabell!"Mendengar itu aku hanya menelan saliva kasar, menatap ke arah langit-langit dalam posisi terlentang sedang ia tidur memiring menghadapku. Menutup matanya, tetapi aku bisa melihat seringai yang diciptakan pada sudut bibirnya itu.Mengangkat satu tangan kiriku yang terlepas, mencoba membuka dasi yang mengikat pada tanganku dan tangan Baginda dengan keringat dingin di siang hari yang membuat tubuhku terasa panas. Seolah sedang bersembunyi dan berhadapan dengan maut, yang jika salah sedikit maka aku sudah berubah menjadi daging cincang saat ini. 'sial' di tengah-tengah usaha aku berhenti, aku menyerah tetapi tiba-tiba saja.Brang!Tass