Melihat Robert hanya diam, membuat Luna memfokuskan dirinya lagi pada video game. Mungkin hanya dengan cara ini ia akan bertemu lagi dengan Aiden nanti. Namun dalam dirinya juga masih belum siap bertemu laki-laki itu. Apakah mungkin Aiden sudah menemukan perempuan lain yang sepadan dengannya. Aiden sudah melupakan Luna, perempuan yang tidak ada apa-apanya ini. Aiden dengan mudah melupakan kenangan mereka dan menjalani hidupnya dengan bahagia. Sial. Itu menyakitkan dan kini pandangan Luna jadi memburam. Membayangkan saja rasanya sakit sekali. Luna memang belum memberikan perasaannya sepenuhnya pada Aiden, tapi hidup bersama laki-laki itu menyimpan memori indah. Suara decitan kursi membuat Luna tahu Robert mulai beranjak berdiri. Baguslah, lebih baik dia pergi dan tidak mengganggu Luna. Tapi Luna salah, Robert mengambil kotak tisu dan menaruhnya di samping kaki Luna. Baru setelahnya ia keluar dari kamar dan menguncinya dari luar seperti biasa. Luna menghembuskan napasnya, menarik
"Apa hubungannya denganmu?" Aiden balik bertanya. Ia sangat tidak suka jika orang lain menanyakan hal sensitif apalagi terkait Luna padanya.Zack tersenyum simpul. Masih sulit didekati oleh pertanyaan itu. "Tidak apa, hanya saja aku ada kenalan yang mudah menemukan keberadaan seseorang."Aiden diam. Dia mulai terpancing pada kalimat Zack. Namun tidak mau lagi banyak bicara apalagi membicarakan Luna. Biarkan ini menjadi rahasianya. Zack mengedikan bahu. "Kau masih tertutup soal ini. Tidak masalah. Kau bisa mengandalkanku jika perlu bantuan."Aiden mengangguk saja. Agar Zack diam juga. Lebih baik keduanya membahas hal lain.******Robert mengernyitkan kening berharap telinganya tidak salah dengar. "Apa katamu?" Kini dia telah beranjak dari kursi sangking tidak percaya dengan apa yang Bryan katakan. Bryan sudah menunduk dalam. "Maafkan saya Pak."Robert berdecak langsung meninggalkan ruang kerjanya. Laki-laki tinggi itu masuk ke lift menekan tombol lantai dasar. Ia harus memastikan se
Aiden diam sejenak. Tidak ingin langsung marah atau ingin tahu lebih lanjut terpancing oleh kalimat Robert. "Ku sarankan untuk tidak menyentuhnya lagi selagi aku masih baik." Robert terkekeh. "Kau masih menginginkannya?""Itu bukan urusanmu."Robert mengedikkan bahu. "Lalu kenapa kau mencarinya lagi. Tidak perlu bertanya itu sudah terlihat olehmu." "Ada yang perlu kami selesaikan. Sepertimu, dia juga berhutang sesuatu padaku." Aiden memilah kata dengan baik."Bagaimana jika... aku mulai menyukainya." Robert tidak henti-hentinya membuat emosi Aiden meningkat. Masih jelas terekam saat itu raut Robert tampak serius. Tidak bermaksud memainkan Aiden, justru Robert mengatakan itu karena ingin mengungkapkan apa yang telah mengganggunya akhir-akhir ini."Maksudmu?" tanya Aiden ingin memperjelas tebakannya. "Kau sudah mendengarnya. Sebagai laki-laki terhadap perempuan. Aku tidak menemukan apa yang dia miliki dari perempuan lain." Robert mungkin sudah gila. Bagaimana bisa ia menyukai perem
Selain kisah cintanya yang jadi berantakan, bisnis Aiden juga sedang diuji tiada henti. Dari penggelapan dana yang belum terlihat siapa pelakunya, lagi-lagi satu kantor cabang terbakar, atau bisnisnya yang tidak beroperasi semulus yang ia kira. "Yulio tolong carikan ini," kata Aiden memberikan map pada Yulio. "Di dalam situ ada daftar nama pemegang saham untuk hotel. Nama yang aku lingkari adalah nama yang mungkin mendapat komisi atas penggelapan dana."Yulio mengangguk menerima map yang Aiden berikan. Lalu laki-laki itu yang sudah membawa laptopnya di ruang Aiden langsung mengerjakan pekerjaannya. Memeriksa mutasi rekening Perusahaan yang tertuju pada para pemegang saham. Kiranya sudah lebih dari dua belas jam mereka bekerja. Selama bekerja dengan Aiden, Yulio tampak patuh dan tidak pernah mengeluh tentang jam kerja yang melebihi ketentuan. Untung saja bonus bulanannya lebih besar dari gaji pokoknya. Inilah yang membuat Yulio memiliki dedikasi tinggi untuk Aiden. "Ini sudah seles
Dewi mengusap-usap pundak Luna menenangkan perempuan itu. "Ini memang melelahkan, tapi jangan sampai mereka tahu kau menangis." Dewi berbisik mengingatkan. Luna dengan segera mengusap air mata di pipinya dan kembali fokus merajut. Kedua alisnya menyatu sebab menahan sesak didada. Mereka menyelesaikan pekerjaan begitu jarum jam menunjukkan pukul tiga sore. Meski dipulangkan kembali ke penginapan, Luna dan Dewi tidak dapat langsung beristirahat. Mereka masih harus bersih-bersih bersama tawanan yang lain. "Aku akan membuang ini." Luna pamit pada Dewi. Membawa kantong plastik berukuran besar berwarna hitam. Melihat itu, Dewi langsung menghampiri Luna dan membantu membawanya. "Ini berat! biar aku saja."Luna tersenyum. "Tidak seberat itu."Dewi menggeleng. "Jangan paksakan dirimu, kau sedang hamil tua. Ingat mereka tidak membayar ketika perutmu kontraksi. Jadi tetaplah berhati-hati."Mendengar itu Luna akhirnya luluh. Ia harus mengutamakan bayinya sekarang. "Maaf jadi merepotkanmu ter
"Kau menginginkan bayi ini?" tanya Luna gamblang. Zack menggeleng. "Tidak, aku hanya bertugas untuk membuatmu sengsara." "Siapa yang menugaskanmu?" tanya Luna lagi. "Kau akan tahu sendiri ketika nanti sampai ke London." Luna diam. Sekarang ia dibuat penasaran. Jika Zack adalah teman Aiden, apakah benar yang menugaskan Zack adalah Aiden?Luna tidak pernah menyangka bahwa laki-laki itu justru menyiksanya seperti ini. Dan mungkin saja Aiden telah mengetahui kehamilannya. Apa perlu ia menunjukkan dirinya yang menyedihkan seperti ini agar laki-laki itu puas? "Aku akan berkemas dulu." Luna memutuskan untuk kembali ke London. Entah apa yang akan terjadi pada dirinya nanti yang bisa ia lakukan hanyalah pasrah dengan hidupnya. *******Aiden dan yang lain telah tiba di tempat terakhir dimana lukisan itu terbeli. Namanya pusat rajut. Ada gambar benang wol pada plang depan bangunan. Ia yakin disinilah tempatnya sesuai dengan gambar teka-teki yang Robert berikan.Tapi tampak sepi. Pintunya
Dewi menatap Aiden diam, is mencerna dulu bahasa yang Aiden gunakan hingga is mengerti. Tetapi agak susah menjawabnya dengan bahasa laki-laki itu.Yulio yang mengerti atas gerak-gerik Dewi yang kesusahan bicara itu mendekat dan menyerahkan tabnya. Sudah ada halaman web translate agar mempermudah pembicaraan mereka. Dewi menerima tab tersebut, menuliskan apa yang ia ketahui tentang Luna. Juga menanyakan apakah Luna yang mereka maksud adalah Luna yang sama. Aku mengenal Luna. Dia dari London, sedang hamil tua delapan bulan. Rambutnya panjang, keemasan. Tapi di pangkal rambut berwarna coklat. Matanya indah dan bulu matanya lentik. Apakah perempuan ini memiliki ciri-ciri yang sama seperti yang Anda cari?Selesai menulis, Dewi memberikan benda persegi itu pada Yulio. Tapi dengan cepat Aiden langsung merebutnya. Terlalu bertele-tele juga jika melewati Yulio dulu. Aiden membaca setiap kata yang perempuan itu tulis. Memang benar ciri-cirinya ada pada Luna. Terlebih Luna sedang hamil saat
Senyum wanita itu merekah kala mobil Zack berhenti. Zack turun dari mobil menghampiri wanita itu."Kau masih tetap menawan meski melahirkan anak satu," puji Zack membual demi komisi yang lebih banyak. Selena terhibur. Tapi dia lebih tertarik pada perempuan yang tertidur di bangku belakang mobil Zack. Mengerti arah pandang Selen, Zack ikut menoleh ke mobilnya. "Dia tertidur, sudah ku tahan tadi. Jadi ku suruh tidur sebelum mati di mobilku." "Kau terlalu keras padanya." Selena berkomentar meski merasa puas dengan siksaan yang Zack berikan pada Luna. Zack terkekeh saja sebagai balasan. Ia mendongak melihat gedung kosong di belakang Selena yang cukup tinggi. "Kau menyuruhnya tinggal disini?" Zack memicing melihat kondisi gedung yang tidak layak huni. Sangat tidak layak huni. "Kau membuatku seperti iblis. Jangan seperti itu. Aku masih cukup baik tidak menyuruhnya tinggal disini. Itu mudah, dan dia bisa kabur." "Lalu?""Kita akan bertemu seseorang setelah ini." Selena tampak memandang
Luna melepas pelukannya, ia menatap Aiden dalam diam lalu membawanya keluar ruangan. "Mau ke mana?" tanya Aiden dengan langkah yang terus mengikuti Luna. Setelah berada di taman belakang, barulah Luna berhenti. "Aku punya ide." Luna lalu duduk dan menarik tangan Aiden untuk duduk juga. "Apa itu?""Bagaimana jika aku meninggalkanmu?" Aiden langsung berdecak tidak suka dengan pertanyaan itu. "Mau ke mana lagi? jangan coba-coba untuk meninggalkanku Luna.""Ini hanya sebuah ide. Jika aku selalu dijadikan tawanan untuk Robert atau entah nanti siapapun itu karena mereka tahu aku adalah kelemahanmu. Bagaimana jika kita berpura-pura berpisah saja. Jadi ada atau tidaknya aku di hidupmu itu tidak akan membuatmu lemah." Luna menjelaskan. Tapi melihat raut tidak suka Aiden membuatnya harus meyakinkan laki-laki itu. Luna mengambil tangan Aiden dan menggenggamnya. "Kita harus menyelesaikan ini. Dan kita harus menang."Aiden hanya diam sembari menatap pada kedua mata Luna. Semua yang dikatakan
Luna sedang menyusui Aaron begitu Aiden datang. Wajahnya langsung berseri melihat putra mereka yang sedang minum. Sebelum melepas jasnya, Aiden mendekat untuk mencium puncak kepala Aaron lalu berganti mencium pipi Luna. Ia sangat adil untuk hal ini. Luna tidak banyak berkomentar, ia hanya tersenyum dan ekor matanya melihat ke arah Aiden yang masuk ke kamar mandi. Dalam hati banyak menyesali kenapa dirinya mudah diperdaya hingga menyakiti banyak orang. Mungkin saja jika sedari awal tidak menerima tawaran Selena hidupnya akan damai, walau hidup tanpa kekasih akibat diputuskan waktu itu. Tidak masalah, laki-laki bukanlah satu-satunya tujuan hidup bukan?Tapi tidak boleh berpikir begitu, sekarang sudah ada Aiden yang rela melakukan apapun untuknya. Ia akan aman.Bertepatan dengan Aaron yang sudah memejamkan mata, Aiden keluar dari kamar mandi dengan aroma sabun yang menguar. "Sudah tidur?" tanya Aiden dengan suara pelan. Luna mengangguk. Aiden membuka lemari dengan perlahan takut j
Tidak ada yang menduga bahwa kegiatan panas mereka ternyata menjadi sebuah ancaman untuk Aiden. Entah mendapat dari mana namun kini Luna telah menodong pistol yang sontak membuat Aiden langsung mundur ke belakang.Kedua alisnya menyatu menjauh dari tubuh Luna.Istrinya itu dengan wajah yang masih memerah akibat gairah, juga deru napas yang belum teratur memegang pistol dengan erat."What happen Luna?" Tanya Aiden terbata dengan kebingungan.Itu bukan pistol bohongan. Aiden mengenali nomor seri pada emboss pada bagian sampingnya. Dimana Luna mendapatkan itu?Aiden sudah memastikannya sendiri bahwa nama Luna bersih. Benar-benar bersih bukan merupakan agen intel, seorang tangan kanan mafia, atau sebagainya itu. Lagipula yang kini Aiden bingungkan hanyalah, apa yang sedang terjadi sekarang.Tapi melihat mata Luna berkaca dengan wajah yang sok dikuatkan itu membuat Aiden mengerti sesuatu."Siapa yang menyuruhmu?" Tanya Aiden lembut ia bergerak ke samping kasur dan duduk dengan tenang meski
Luna kembali bersama Aiden. Ia pulang ke Seoul duduk di samping suaminya. Jong Min masih di Jeju. Sengaja menambah masa liburannya dan Giselle telah membantu Jong Min untuk membawa Krystal ke sana melancarkan lamaran yang Jong Min rencanakan. Tidak butuh waktu lama mereka sudah mendarat di Incheon Airport. Giselle sangat senang mendorong troli bayi dimana Baby A tertidur disana.Luna dan Aiden saling bertaut tangan menyembuhkan rasa rindu. Ngomong-ngomong Aiden sudah menyiapkan nama untuk anaknya. Aaron Santana Ellworth. Kata Luna anak mereka lahir sebelum natal tepat ketika salju turun. Entah kenapa nama itu yang terpikirkan dalam kepala Aiden. Tapi jika melihat bayinya, kulit seputih salju itu cocok dengan nama tersebut. Luna tersenyum kala kedua pandangan Aiden terus memandangi troli yang Giselle dorong. Mertuanya itu langkahnya lebih dulu ada di depan mereka. "Terima kasih," kata Aiden sedikit mendekatkan dirinya pada Luna agar terdengar. "Terima kasih untuk apa?" tanya Luna
"Maaf aku terlambat, sesuatu yang hectic terjadi tadi haha.." Aiden terkejut. Ia diam memandang Luna dengan balutan gaun putih berbahan tipis itu. Begitu juga Giselle yang tidak mampu berkata apapun. Memastikan lagi apakah ia salah lihat atau bagaimana. "Luna?" Aiden mencoba menyebutkan nama itu. Barangkali ia salah orang akibat terlalu lama memikirkan istrinya. Tapi perempuan yang ia sebut Luna itu juga terkejut. Suasana menjadi hening untuk beberapa saat dan Jong Min menebak apa yang sedang terjadi. "Kalian saling mengenal?" tanya Jong Min dengan raut cerianya. Kebetulan yang membahagiakan bukan? orang yang kau kenal mengenal teman barumu. Aiden beranjak dari duduknya mengabaikan pertanyaan Jong Min. Ia menatap Luna untuk beberapa saat. Bagaimana mata itu kembali menatapnya. "I found you," lirih Aiden langsung menarik tangan Luna membawanya pergi dari meja. Ada banyak yang harus mereka obrolkan secara empat mata. Giselle yang melihat kepergian mereka hanya dapat berdoa semog
Senyum Jong Min merekah melihat Aiden berjalan ke arahnya. Tamu yang ia tunggu tunggu datang juga. "Sudah lama menunggu?" tanya Aiden juga tersenyum. "Tidak begitu, aku baru datang juga. Ibumu?" Jong Min beralih pada wanita di samping Aiden. Aiden mengangguk memperkenalkan Ibunya pada Jong Min. "Bu ini Jong Min dia sempat menolongku waktu itu."Senyum Giselle merekah. Entah bantuan apa yang Jong Min lakukan pada Aiden, tapi itu sudah menjadi hal baik baginya. Tidak semua orang saling membantu ketika belum mengenal bukan?"Giselle," ucap Giselle memperkenalkan namanya. "Aku Jong Min. Sangat disayangkan, kau lebih cocok menjadi kakak Aiden daripada Ibu." Jong Min memuji wajah Giselle yang tampak awet muda. Mendengar itu Giselle jadi tertawa renyah. Ia suka sebuah pujian. Mereka pun segera duduk pada kursi yang telah disediakan. Di atas meja telah terhidang beberapa makanan yang baru saja tiba ketika mereka sedang asik berkenalan tadi. Pada sela makan malam, Giselle bertanya-tanya
Keduanya saling menceritakan satu sama lain. Dimana Aiden membuka jati dirinya sebagai seorang pengusaha, dan Jong Min mengatakan bahwa profesinya adalah seorang dokter. "Jadi kau seorang dokter?"Jong Min mengangguk menunjukkan lesung pipinya. "Belajar sangat tidak mudah. Bagaimana mungkin ada manusia menghafal buku setebal lima belas senti."Aiden tertawa melihat wajah Jong Min yang putus asa. "Hei buktinya kau bisa. Kau mematahkan pikiran burukmu itu.""Benar juga, aku hampir kehilangan mobilku jika tidak segera menghafal."Lagi-lagi Aiden tertawa. "Ibumu menyitanya.""Benar sekali. Kau sering begitu juga? Ibu mu menyita kartu? atau mobil ketika kau menjadi bebal." Jong Min begitu ingin tahu. Yang ia lihat Aiden tampak seperti lelaki baik-baik. "Aku tidak pernah menjadi bebal. Ketika tua aku baru bebal.""HAHAHAHA.." Kini giliran Jong Min yang tertawa. "Apa yang menjadi keributan pak tua ini?""Sial," umpat Aiden dengan sisa senyumnya. Tangannya meraih gelas kecil yang telah beri
Aiden dan Giselle menuju hotel dengan perasaan yang tidak dapat dijelaskan. Giselle tertangkap basah, masih memiliki harapan untuk bertemu dengan Luna. Sebetulnya, perasaan Giselle lebih sakit melihat anak semata wayangnya terus larut dalam kesedihan. Tetapi jika hanya Luna yang menjadi kebahagiaan Aiden ia akan turut serta mengabulkannya. Hari telah gelap. Aiden melambaikan tangan sebagai sirat pamitnya untuk Giselle. Membiarkan Ibunya untuk beristirahat dulu hari ini. Aiden juga perlu istirahat. Semakin hari rasanya semakin berat. Ia masih belum menemukan Luna. Mendapatkan informasinya saja tidak. Terkadang, ia berpikir untuk menyerah saja. Mengubur kenangan mereka dan melanjutkan hidupnya. Namun disisi itu, Aiden juga sempat berpikir bagaimana jika ia menikah lagi dan ketika sudah mau memulai hidup baru Luna kembali dihadapannya tanpa ia cari. Aiden tidak ingin menyesal lagi untuk kehilangan Luna. Hal seperti tadi tak seharusnya mampir ke pikirannya. Laki-laki itu lantas m
"Tapi mungkin kau bisa mencari tahu melalui Selena. Barangkali lepasnya Luna hanya akal-akalannya saja." Robert memberi saran dan itu terdengar masuk akal. Akhirnya setelah berbincang lama dan membahas hal lain, tanpa sadar keduanya menjadi dekat lagi. Hmm lebih tepatnya melupakan yang telah terjadi. Robert datang ke Korea juga tidak dengan tangan kosong. Ia membawakan Aiden seperti jinjingan berisi sepatu mahal, beserta dokumen dokumen yang Aiden perlukan. Seperti yang Robert tahu, temannya itu sedang merintis bisnis dibidang keuangannya. Jdi Robert membantu memberikan nama nasabah yang dulunya pernah menjadi nasabahnya. Hal itu berguna, jikamana spam iklan Perusahaan Aiden masuk ke nomor nasabah. "Terima kasih." Aiden tersentuh. Lihat bukan? Tanpa perlu ia membalas dendam, Robert akan tahu sendiri letak kesalahannya dan penyesalannya. Tidak semua hal dapat diselesaikan dengan balas dendam. Itu khusus untuk orang-orang yang paham. "Aku kembali dulu. Semoga kau segera menem