Mendengar dimana posisi Luna saat ini, Aiden segera melakukan penerbangannya ke Korea. Namun pesawatnya harus delay, dan ia menunggu cukup lama hingga akhirnya pukul sembilan malam berhasil menginjakkan kakinya di Korea. Ia perlu mandi dan mengistirahatkan diri sembari menunggu kabar berikutnya. Tubuhnya sangat lelah, tapi Aiden tidak bisa tidur tenang. Beberapa jam sekali terbangun dan memeriksa ponsel. Begitu seterusnya, sudah menghilangkan kegelisahannya dengan bermain game atau mengecek laporan. Tetap saja, matanya mengantuk tapi kesadarannya penuh enggan untuk tidur. Banyak yang terpikirkan. Tangan Aiden menekan ikon galeri. Disana, selain foto pekerjaan dan proses bisnisnya. Ada satu folder yang menarik perhatian Aiden. Folder yang ia beri nama Laluna. Dan tentu saja isinya tidak jauh dari paras cantik perempuan itu. Dari foto yang Aiden ambil diam-diam. Foto selfi mereka berdua, foto yang sengaja ia ambil ketika berlibur. Foto pernikahan mereka. Semua memori itu berkumpul d
Luna mengerjap-kerjapkan matanya kala sebuah cahaya yang silau menusuk kelopak mata. Begitu terbuka, bola matanya bergerak ke kanan dan kiri. Nuansa putih, gorden yang sedikit terbuka dengan kilau matahari pagi. Lalu infus yang terpasang di punggung tangannya, membuat Luna yakin bahwa kini ia berada di rumah sakit. Siapapun yang membawanya kemari, asalkan bukan dua penculik kemarin Luna sangat berterima kasih. "Kau sudah bangun?" suara laki-laki yang mengenakan snelli putih masuk lalu membuka tirai pada bangkor."Bagaimana perasaanmu?" tanya laki-laki tersebut. Luna tidak bisa membaca nama dari name tag dokter itu karena bertuliskan hangeul. Namun bahasa inggris yang terucap bergitu fasih."Aku hanya merasa pusing." Luna menjawab dengan lirih. Dokter Kim Jong Min mengangguk. "Kau dehidrasi. Dari keadaanmu yang hamil kenapa kau tidak makan dan minum lebih dari tujuh jam?" Jong Min lantas memeriksa Luna. "Aku mengalami hal buruk." Luna menjawab disela dirinya sedang diperiksa. Mende
Jong Min membuka pintu Apartemennya bertepatan dengan pemandangan Luna yang sedang menidurkan bayinya ke ranjang bayi dengan perlahan. Laki-laki itu tersenyum. Entah keputusan apa yang ia buat. Setelah merawat perempuan asing yang ia temukan pingsan di trotoar saat itu, kemudian keduanya menjadi dekat.Luna juga sudah bercerita tentang apa yang terjadi di hidupnya. Tidak begitu detail, ia hanya menceritakan kesusahannya beberapa hari terakhir. Namun hingga saat ini, Jong Min belum mendengar siapa ayah dari anak Luna. "Sudah pulang?" tanya Luna menghampiri. Jong Min mengangguk, lalu mengalihkan pandangan pada bayi laki-laki di ranjang. "Dia tertidur pulas.""Ya, setelah beberapa waktu menangis dengan kencang." Kini Luna harus terbiasa. Ditambah ia mengasuh bayinya seorang diri tanpa seorang ahli. "Kau hebat sekali, aku akan memasakanmu hari ini." Jong Min memberi pujian lantas berbalik arah menuju daput untuk menata belanjaannya. Luna terkekeh mendengarnya. Padahal setiap hari yan
"Tapi mungkin kau bisa mencari tahu melalui Selena. Barangkali lepasnya Luna hanya akal-akalannya saja." Robert memberi saran dan itu terdengar masuk akal. Akhirnya setelah berbincang lama dan membahas hal lain, tanpa sadar keduanya menjadi dekat lagi. Hmm lebih tepatnya melupakan yang telah terjadi. Robert datang ke Korea juga tidak dengan tangan kosong. Ia membawakan Aiden seperti jinjingan berisi sepatu mahal, beserta dokumen dokumen yang Aiden perlukan. Seperti yang Robert tahu, temannya itu sedang merintis bisnis dibidang keuangannya. Jdi Robert membantu memberikan nama nasabah yang dulunya pernah menjadi nasabahnya. Hal itu berguna, jikamana spam iklan Perusahaan Aiden masuk ke nomor nasabah. "Terima kasih." Aiden tersentuh. Lihat bukan? Tanpa perlu ia membalas dendam, Robert akan tahu sendiri letak kesalahannya dan penyesalannya. Tidak semua hal dapat diselesaikan dengan balas dendam. Itu khusus untuk orang-orang yang paham. "Aku kembali dulu. Semoga kau segera menem
Aiden dan Giselle menuju hotel dengan perasaan yang tidak dapat dijelaskan. Giselle tertangkap basah, masih memiliki harapan untuk bertemu dengan Luna. Sebetulnya, perasaan Giselle lebih sakit melihat anak semata wayangnya terus larut dalam kesedihan. Tetapi jika hanya Luna yang menjadi kebahagiaan Aiden ia akan turut serta mengabulkannya. Hari telah gelap. Aiden melambaikan tangan sebagai sirat pamitnya untuk Giselle. Membiarkan Ibunya untuk beristirahat dulu hari ini. Aiden juga perlu istirahat. Semakin hari rasanya semakin berat. Ia masih belum menemukan Luna. Mendapatkan informasinya saja tidak. Terkadang, ia berpikir untuk menyerah saja. Mengubur kenangan mereka dan melanjutkan hidupnya. Namun disisi itu, Aiden juga sempat berpikir bagaimana jika ia menikah lagi dan ketika sudah mau memulai hidup baru Luna kembali dihadapannya tanpa ia cari. Aiden tidak ingin menyesal lagi untuk kehilangan Luna. Hal seperti tadi tak seharusnya mampir ke pikirannya. Laki-laki itu lantas m
Keduanya saling menceritakan satu sama lain. Dimana Aiden membuka jati dirinya sebagai seorang pengusaha, dan Jong Min mengatakan bahwa profesinya adalah seorang dokter. "Jadi kau seorang dokter?"Jong Min mengangguk menunjukkan lesung pipinya. "Belajar sangat tidak mudah. Bagaimana mungkin ada manusia menghafal buku setebal lima belas senti."Aiden tertawa melihat wajah Jong Min yang putus asa. "Hei buktinya kau bisa. Kau mematahkan pikiran burukmu itu.""Benar juga, aku hampir kehilangan mobilku jika tidak segera menghafal."Lagi-lagi Aiden tertawa. "Ibumu menyitanya.""Benar sekali. Kau sering begitu juga? Ibu mu menyita kartu? atau mobil ketika kau menjadi bebal." Jong Min begitu ingin tahu. Yang ia lihat Aiden tampak seperti lelaki baik-baik. "Aku tidak pernah menjadi bebal. Ketika tua aku baru bebal.""HAHAHAHA.." Kini giliran Jong Min yang tertawa. "Apa yang menjadi keributan pak tua ini?""Sial," umpat Aiden dengan sisa senyumnya. Tangannya meraih gelas kecil yang telah beri
Senyum Jong Min merekah melihat Aiden berjalan ke arahnya. Tamu yang ia tunggu tunggu datang juga. "Sudah lama menunggu?" tanya Aiden juga tersenyum. "Tidak begitu, aku baru datang juga. Ibumu?" Jong Min beralih pada wanita di samping Aiden. Aiden mengangguk memperkenalkan Ibunya pada Jong Min. "Bu ini Jong Min dia sempat menolongku waktu itu."Senyum Giselle merekah. Entah bantuan apa yang Jong Min lakukan pada Aiden, tapi itu sudah menjadi hal baik baginya. Tidak semua orang saling membantu ketika belum mengenal bukan?"Giselle," ucap Giselle memperkenalkan namanya. "Aku Jong Min. Sangat disayangkan, kau lebih cocok menjadi kakak Aiden daripada Ibu." Jong Min memuji wajah Giselle yang tampak awet muda. Mendengar itu Giselle jadi tertawa renyah. Ia suka sebuah pujian. Mereka pun segera duduk pada kursi yang telah disediakan. Di atas meja telah terhidang beberapa makanan yang baru saja tiba ketika mereka sedang asik berkenalan tadi. Pada sela makan malam, Giselle bertanya-tanya
"Maaf aku terlambat, sesuatu yang hectic terjadi tadi haha.." Aiden terkejut. Ia diam memandang Luna dengan balutan gaun putih berbahan tipis itu. Begitu juga Giselle yang tidak mampu berkata apapun. Memastikan lagi apakah ia salah lihat atau bagaimana. "Luna?" Aiden mencoba menyebutkan nama itu. Barangkali ia salah orang akibat terlalu lama memikirkan istrinya. Tapi perempuan yang ia sebut Luna itu juga terkejut. Suasana menjadi hening untuk beberapa saat dan Jong Min menebak apa yang sedang terjadi. "Kalian saling mengenal?" tanya Jong Min dengan raut cerianya. Kebetulan yang membahagiakan bukan? orang yang kau kenal mengenal teman barumu. Aiden beranjak dari duduknya mengabaikan pertanyaan Jong Min. Ia menatap Luna untuk beberapa saat. Bagaimana mata itu kembali menatapnya. "I found you," lirih Aiden langsung menarik tangan Luna membawanya pergi dari meja. Ada banyak yang harus mereka obrolkan secara empat mata. Giselle yang melihat kepergian mereka hanya dapat berdoa semog