"Maaf aku terlambat, sesuatu yang hectic terjadi tadi haha.." Aiden terkejut. Ia diam memandang Luna dengan balutan gaun putih berbahan tipis itu. Begitu juga Giselle yang tidak mampu berkata apapun. Memastikan lagi apakah ia salah lihat atau bagaimana. "Luna?" Aiden mencoba menyebutkan nama itu. Barangkali ia salah orang akibat terlalu lama memikirkan istrinya. Tapi perempuan yang ia sebut Luna itu juga terkejut. Suasana menjadi hening untuk beberapa saat dan Jong Min menebak apa yang sedang terjadi. "Kalian saling mengenal?" tanya Jong Min dengan raut cerianya. Kebetulan yang membahagiakan bukan? orang yang kau kenal mengenal teman barumu. Aiden beranjak dari duduknya mengabaikan pertanyaan Jong Min. Ia menatap Luna untuk beberapa saat. Bagaimana mata itu kembali menatapnya. "I found you," lirih Aiden langsung menarik tangan Luna membawanya pergi dari meja. Ada banyak yang harus mereka obrolkan secara empat mata. Giselle yang melihat kepergian mereka hanya dapat berdoa semog
Luna kembali bersama Aiden. Ia pulang ke Seoul duduk di samping suaminya. Jong Min masih di Jeju. Sengaja menambah masa liburannya dan Giselle telah membantu Jong Min untuk membawa Krystal ke sana melancarkan lamaran yang Jong Min rencanakan. Tidak butuh waktu lama mereka sudah mendarat di Incheon Airport. Giselle sangat senang mendorong troli bayi dimana Baby A tertidur disana.Luna dan Aiden saling bertaut tangan menyembuhkan rasa rindu. Ngomong-ngomong Aiden sudah menyiapkan nama untuk anaknya. Aaron Santana Ellworth. Kata Luna anak mereka lahir sebelum natal tepat ketika salju turun. Entah kenapa nama itu yang terpikirkan dalam kepala Aiden. Tapi jika melihat bayinya, kulit seputih salju itu cocok dengan nama tersebut. Luna tersenyum kala kedua pandangan Aiden terus memandangi troli yang Giselle dorong. Mertuanya itu langkahnya lebih dulu ada di depan mereka. "Terima kasih," kata Aiden sedikit mendekatkan dirinya pada Luna agar terdengar. "Terima kasih untuk apa?" tanya Luna
Tidak ada yang menduga bahwa kegiatan panas mereka ternyata menjadi sebuah ancaman untuk Aiden. Entah mendapat dari mana namun kini Luna telah menodong pistol yang sontak membuat Aiden langsung mundur ke belakang.Kedua alisnya menyatu menjauh dari tubuh Luna.Istrinya itu dengan wajah yang masih memerah akibat gairah, juga deru napas yang belum teratur memegang pistol dengan erat."What happen Luna?" Tanya Aiden terbata dengan kebingungan.Itu bukan pistol bohongan. Aiden mengenali nomor seri pada emboss pada bagian sampingnya. Dimana Luna mendapatkan itu?Aiden sudah memastikannya sendiri bahwa nama Luna bersih. Benar-benar bersih bukan merupakan agen intel, seorang tangan kanan mafia, atau sebagainya itu. Lagipula yang kini Aiden bingungkan hanyalah, apa yang sedang terjadi sekarang.Tapi melihat mata Luna berkaca dengan wajah yang sok dikuatkan itu membuat Aiden mengerti sesuatu."Siapa yang menyuruhmu?" Tanya Aiden lembut ia bergerak ke samping kasur dan duduk dengan tenang meski
Luna sedang menyusui Aaron begitu Aiden datang. Wajahnya langsung berseri melihat putra mereka yang sedang minum. Sebelum melepas jasnya, Aiden mendekat untuk mencium puncak kepala Aaron lalu berganti mencium pipi Luna. Ia sangat adil untuk hal ini. Luna tidak banyak berkomentar, ia hanya tersenyum dan ekor matanya melihat ke arah Aiden yang masuk ke kamar mandi. Dalam hati banyak menyesali kenapa dirinya mudah diperdaya hingga menyakiti banyak orang. Mungkin saja jika sedari awal tidak menerima tawaran Selena hidupnya akan damai, walau hidup tanpa kekasih akibat diputuskan waktu itu. Tidak masalah, laki-laki bukanlah satu-satunya tujuan hidup bukan?Tapi tidak boleh berpikir begitu, sekarang sudah ada Aiden yang rela melakukan apapun untuknya. Ia akan aman.Bertepatan dengan Aaron yang sudah memejamkan mata, Aiden keluar dari kamar mandi dengan aroma sabun yang menguar. "Sudah tidur?" tanya Aiden dengan suara pelan. Luna mengangguk. Aiden membuka lemari dengan perlahan takut j
Luna melepas pelukannya, ia menatap Aiden dalam diam lalu membawanya keluar ruangan. "Mau ke mana?" tanya Aiden dengan langkah yang terus mengikuti Luna. Setelah berada di taman belakang, barulah Luna berhenti. "Aku punya ide." Luna lalu duduk dan menarik tangan Aiden untuk duduk juga. "Apa itu?""Bagaimana jika aku meninggalkanmu?" Aiden langsung berdecak tidak suka dengan pertanyaan itu. "Mau ke mana lagi? jangan coba-coba untuk meninggalkanku Luna.""Ini hanya sebuah ide. Jika aku selalu dijadikan tawanan untuk Robert atau entah nanti siapapun itu karena mereka tahu aku adalah kelemahanmu. Bagaimana jika kita berpura-pura berpisah saja. Jadi ada atau tidaknya aku di hidupmu itu tidak akan membuatmu lemah." Luna menjelaskan. Tapi melihat raut tidak suka Aiden membuatnya harus meyakinkan laki-laki itu. Luna mengambil tangan Aiden dan menggenggamnya. "Kita harus menyelesaikan ini. Dan kita harus menang."Aiden hanya diam sembari menatap pada kedua mata Luna. Semua yang dikatakan
Laki-laki itu egonya tinggi. Bahkan ketika dia sangat mencintaimu, kau tetap akan berakhir di kakinya.Itu adalah kutipan terakhir dari buku yang Luna baca semalam. Untuk itu Luna hidup dengan pendirian yang sulit didekati oleh laki-laki. Kini dia tidak tahu siapa yang salah. Apa benar dirinya yang terlalu sibuk dan mementingkan dirinya sendiri hingga tak mempedulikan Darren??Atau Darren yang masih tidak mengetahui konsekuensi mencintainya. Sejak awal Luna sudah mengatakan semuanya pada Darren. Bahwa Luna tidak dapat percaya pada cinta semenjak Ayahnya berselingkuh.Mendekatinya bukan suatu hal yang mudah. Luna tipikal gadis ambisius yang sangat mengejar karirnya. Cinta adalah nomor dua, tapi Darren tetap nomor satu. Luna menepis egonya sampai begitu. Dan Darren menyetujui semua konsekuensinya. Tapi melupakan akibatnya.Luna menendang bebatuan lagi hingga masuk ke sungai. Tanpa sengaja fokusnya berhenti pada gadis dengan keadaan tak jauh dengan dirinya.Mata sembab, hidung merah dan
Ini gila. Luna bahkan tidak memikirkannya sama sekali. Tapi tangannya telah berhasil menghubungi seorang gadis berambut pirang bernama Selena.Ya. Setelah kejadian memuakkan dalam hidup Luna kemarin lusa. Kini Luna berada di kafe yang sama seperti saat ia berbicara dengan Selena waktu itu.Sekarang hari Kamis.Luna membutuhkan bantuan Selena. Ayahnya terus menerornya untuk memberikan uang. Luna mencoba untuk tidak peduli tapi Harris sering muncul di depan apartemennya atau di depan kantornya.Sangat menjengkelkan."Apakah kamu sudah lama?" Suara Selena membuyarkan lamunan Luna.Gadis itu sering melamun akhir-akhir ini. Ada banyak hal yang dipikirkannya."Tidak juga. Aku baru saja memesan minuman. Kau sudah pesan?" Luna bertanya. "Aku tidak tahu seleramu, jadi aku belum memesankan untukmu.""Tidak apa-apa, aku sudah memesannya sendiri. Terima kasih sudah memikirkan aku." Selena duduk di seberang Luna.Bahkan meja yang mereka tempati sama persis dengan meja yang mereka tempati saat itu.
Luna telah duduk di kursi yang berhadapan dengan meja panjang yang tak lain dan tak bukan merupakan meja makan. Beberapa saat gadis itu sempat terpana dengan interior yang ada di dalam rumah Selena. Sungguh mewah dan klasik. Tok..tok..tok..Suara heels sepatu yang mengetuk lantai terdengar mendekat ke tempat Luna berada. "Anak itu benar-benar membuat pusing kita semua. Aku tidak ada cara lain selain ini Bu," Brianna Wilson. Wanita dengan usia 46 tahun itu seketika berhenti melangkah kala melihat atensi Luna di kursi makan. Raut wajah yang semula marah dan garang berganti menjadi senyum tipis yang tak begitu kentara. "Nanti aku telfon lagi." Begitu bisik Brianna pada ponsel di telinganya. Berikut wanita itu kembali melangkahkan kaki untuk mengambil duduk di salah satu kursi. Terjadi hening beberapa saat sebab Luna tidak berani membuka mulut lebih dulu. Dia tamu disini. Dan keadaannya memang sedang tidak bisa dianggap bercanda. "Kau Laluna?" tanya Brianna dengan postur tegaknya meno