Laki-laki itu egonya tinggi. Bahkan ketika dia sangat mencintaimu, kau tetap akan berakhir di kakinya.
Itu adalah kutipan terakhir dari buku yang Luna baca semalam. Untuk itu Luna hidup dengan pendirian yang sulit didekati oleh laki-laki. Kini dia tidak tahu siapa yang salah. Apa benar dirinya yang terlalu sibuk dan mementingkan dirinya sendiri hingga tak mempedulikan Darren??
Atau Darren yang masih tidak mengetahui konsekuensi mencintainya. Sejak awal Luna sudah mengatakan semuanya pada Darren. Bahwa Luna tidak dapat percaya pada cinta semenjak Ayahnya berselingkuh.
Mendekatinya bukan suatu hal yang mudah. Luna tipikal gadis ambisius yang sangat mengejar karirnya. Cinta adalah nomor dua, tapi Darren tetap nomor satu. Luna menepis egonya sampai begitu. Dan Darren menyetujui semua konsekuensinya. Tapi melupakan akibatnya.
Luna menendang bebatuan lagi hingga masuk ke sungai. Tanpa sengaja fokusnya berhenti pada gadis dengan keadaan tak jauh dengan dirinya.
Mata sembab, hidung merah dan wajahnya begitu lembab akibat terlalu lama terkena air mata.
Namun yang tidak Luna sangka adalah gadis itu berdiri di luar pagar pembatas jembatan. Mata Luna melotot, memperhatikan gadis dengan rambut blonde itu.
"Astaga!"
Tanpa basa-basi. Melupakan amarah dan rasa patah hatinya, Luna berlari kencang menuju gadis berambut blonde itu.
"Heii jangan loncat!" teriak Luna entah terdengar atau tidak. Karena jarak mereka masih jauh. Belum lagi lalu lalang orang dan suara padatnya kendaraan disekitaran sungai.
Luna mempercepat larinya begitu ia melihat si gadis blonde mulai memejamkan mata hendak melepas pegangannya pada pagar pembatas.
"HEIII JANGAN LONCATT!!" Teriak Luna dengan suara lebih keras. Nafasnya tersengal-sengal berlari sekuat tenaga untuk mencegah seorang gadis yang hendak bunuh diri.
"ASTAGA!!" keluh Luna. "Pak pak tolong gadis itu ingin bunuh diri!" Kali ini Luna berteriak pada seorang pria paruh baya yang berada kurang lebih lima meter dari gadis blonde.
Namun sialnya pria itu tidak mengerti dan memilih pergi dari tempat. Mau tidak mau Luna semakin mempercepat larinya.
Dua langkah lagi bersamaan dengan gadis blonde yang melepas tangannya dari pembatas jembatan.
HAP.
Luna berhasil meraih tangan gadis blonde yang sudah loncat itu.
"Astaga berat sekali ternyata. Tidak seperti di film-film yang tampak mudah," gerutu Luna.
"Tolong aku." Gadis blonde itu tampak panik melihat hamparan luas air di bawahnya. Lalu untuk apa loncat jika takut?
Beberapa orang mulai mengalihkan perhatiannya pada mereka. Melihat Luna kesusahan menarik gadis blonde untuk naik lagi ke jembatan, beberapa dari mereka membantu.
Kiranya ada dua orang yang membantu Luna. Satu orang menarik tangan gadis blonde yang kanan. Dan satunya mendekap pinggang gadis blonde begitu tubuhnya agak naik ke atas.
"Huft." Luna mendudukkan dirinya di pinggir jembatan setelah berhasil menyelamatkan gadis yang akan bunuh diri tadi.
******
Setelah tragedi menegangkan itu, gadis blonde yang memperkenalkan diri sebagai Selena Wilson mentraktir Luna pizza di kafe sekitaran sungai.
"Aku berterima kasih soal yang tadi," ucap Selena memulai pembicaraan.
Dengan keadaan yang tidak bisa dibilang baik alias berantakan. Luna mengangguk meraup rakus pizza di depannya. Menangis membuatnya lapar. Belum lagi berlari dan menarik tubuh Selena.
"Siapa namamu?" tanya Selena karena sejak tadi Luna belum memperkenalkan diri padahal dirinya sudah memperkenalkan diri.
"Aku Laluna Devaux. Kau bisa memanggilku Luna," jawab Luna setelah menelan pizza yang dia kunyah.
Seharusnya ada dua orang lagi kan yang harusnya Selena traktir? Tapi kedua orang itu sedang terburu-buru dan pamit lebih dulu. Namun meski begitu Selena tetap mengatakan terima kasih.
"Kau kuliah? sudah bekerja?"
"Sudah bekerja."
Selena mengangguk-angguk. "Bagus, kau bekerja dimana?"
"Aku adalah seorang staff keuangan di Perusahaan mode. Bellagas namanya."
"Aku tahu itu, Ayahku pemilik 25% saham disana."
"Uhuk...uhuk..." Luna tersedak. Dengan sigap Selena menyodorkan air minum di depan Luna.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Selena khawatir.
Setelah minum dan meredakan tenggorokannya, Luna menatap Selena tajam. Astaga, gadis ini yaa. Sudah cantik kaya raya kenapa mau bunuh diri???
Apa gara-gara putus cinta?
Putus cinta kalau punya uang dua miliyar rasanya tidak masalah bukan?
Okey, Luna sudah keterlaluan mata duitannya.
"Ada apa?" tanya Selena bingung sebab Luna menatapnya tajam.
Ah sudahlah, Luna kembali menstabilkan raut wajahnya. "Kau kenapa loncat tadi?" sudah tidak ada basa-basi lagi. Luna sudah sangat penasaran.
Kini raut wajah Selena berubah sendu. Mengingat masalahnya, dia jadi ingin loncat lagi ke sungai. "Aku punya hari buruk hari ini."
"Okey.."
"Aku tidak tahu kenapa orangtua ku masih sangat kolot. Kau tahu aku dijodohkan!" ungkap Selena dengan memburu.
"Aku bahkan baru saja lulus dan menyelesaikan profesi kedokteranku. Aku masih ingin-"
"Apa kau bilang?" tanya Luna memotong kalimat Selena yang belum selesai.
"Dijodohkan," ulang Selena.
"Bukan, bukan yang itu. Setelahnya."
"Lulus?"
Luna mengangguk. "Kau dokter?"
"Lebih tepatnya dokter muda. Aku baru bersumpah dokter belakangan ini."
"Wow, luar biasa." Luna memuji menatap Selena dengan kagum.
"Terima kasih," balas Selena. Tapi bukan itu topik utamanya. "Jadi aku amat tertekan dengan perjodohan yang orang tua ku berikan. Katanya kakekku sudah mengenal lama kakek laki-laki itu."
Luna mengangguk-angguk saja mendengar cerita Selena. Daripada tidak ada yang mendengar keluh kesahnya dan dia jadi bunuh diri lagi kan, mending Luna dengarkan saja.
"Kau tidak menolak?" tanya Luna santai bak pertanyaan itu tidak pernah Selena lakukan sebelumnya.
"Aku melakukannya." Selena membela dirinya.
"Lalu?"
"Kau pikir semudah itu? Ini tidak semudah yang kau pikirkan nona." Entah kenapa Selena jadi agak naik darah. Mengobrol dengan Luna memang menyenangkan, tapi terkadang harus ekstra kesabaran.
Luna mengangkat tangannya. "Hey oke.. aku hanya bertanya. Lanjutkan ceritamu."
Mereka memang baru mengenal. Tapi entah kenapa seperti teman sejak sekolah dasar. Penuh keterbukaan dan apa adanya.
"Mereka tetap memaksa. Bahkan pertunangan akan dilakukan minggu depan. Ini gila!"
"Kau sudah tau orangnya?"
Selena mengangguk. "Makanya aku tidak mau."
"Dia om om sudah tua gitu ya?" tebak Luna.
"Bukan."
"Hmm.. dia sudah punya istri lima?" Luna menebak lagi.
"Dia lajang dan luar biasa tampan."
Sontak Luna menepuk tangannya. "Kenapa kau tolak??" sangat disayangkan bukan. Sudah pasti laki-laki itu juga kaya. Selena ini dokter kenapa bodoh sekali menolak laki-laki mapan dan tampan.
Mendadak Selena melirik ke kanan dan kiri. Bak memeriksa sesuatu jika ada yang menguping pembicaraan mereka. Luna jadi terbawa suasana jadi ikut mendekatkan diri.
"Dia pembunuh berdarah dingin." Tentu ini hanya alasan Selena. Sebab ada hal lain yang Selena sembunyikan.
Mendengar itu ekspresi Luna berubah menjadi masam. Ada-ada saja Selena. Bercandanya kelewatan.
"Jangan omong kosong begitu. Mana mungkin kakekmu mau menjodohkan cucunya dengan cucu temannya yang ternyata pembunuh." Luna tidak percaya.
Selena berdecak. "Kalo begitu kau saja yang menikah dengan dia."
Luna mengangguk-angguk. "Boleh juga."
"Oke, aku akan mengatakannya pada Ayahku." Selena meraih ponselnya hendak mengetikkan pesan pada ayahnya.
Luna gelagapan panik, menurunkan ponsel Selena. "Apa? kau gila??"
"Aku serius dengan tawaran itu Luna."
"Apa?" Wajah Luna tampak pias. Sebentar. Dia jadi terpikirkan beberapa hal belakangan. Hari buruk kian menimpanya terus menerus. Mungkin hari ini juga termasuk hari buruknya.
"Aku akan berikan bayaran untuk ini." Selena menambahkan.
Disaat itu juga pikiran Luna berkelana. Tentang hari buruknya hari ini yang diputuskan sang kekasih. Tentang kedatangan ayahnya yang meminta uang padanya dalam jumlah besar untuk membayar hutang. Tentang hari buruknya kemarin lusa ketika dia dimarahi bos akibat pekerjaannya yang berantakan. Atau tentang pemilik Apartemen yang meminta uang sewanya segera dibayarkan.
"Satu juta dollar cukup?"
Laluna Devaux menjadi bimbang.
******
Ini gila. Luna bahkan tidak memikirkannya sama sekali. Tapi tangannya telah berhasil menghubungi seorang gadis berambut pirang bernama Selena.Ya. Setelah kejadian memuakkan dalam hidup Luna kemarin lusa. Kini Luna berada di kafe yang sama seperti saat ia berbicara dengan Selena waktu itu.Sekarang hari Kamis.Luna membutuhkan bantuan Selena. Ayahnya terus menerornya untuk memberikan uang. Luna mencoba untuk tidak peduli tapi Harris sering muncul di depan apartemennya atau di depan kantornya.Sangat menjengkelkan."Apakah kamu sudah lama?" Suara Selena membuyarkan lamunan Luna.Gadis itu sering melamun akhir-akhir ini. Ada banyak hal yang dipikirkannya."Tidak juga. Aku baru saja memesan minuman. Kau sudah pesan?" Luna bertanya. "Aku tidak tahu seleramu, jadi aku belum memesankan untukmu.""Tidak apa-apa, aku sudah memesannya sendiri. Terima kasih sudah memikirkan aku." Selena duduk di seberang Luna.Bahkan meja yang mereka tempati sama persis dengan meja yang mereka tempati saat itu.
Luna telah duduk di kursi yang berhadapan dengan meja panjang yang tak lain dan tak bukan merupakan meja makan. Beberapa saat gadis itu sempat terpana dengan interior yang ada di dalam rumah Selena. Sungguh mewah dan klasik. Tok..tok..tok..Suara heels sepatu yang mengetuk lantai terdengar mendekat ke tempat Luna berada. "Anak itu benar-benar membuat pusing kita semua. Aku tidak ada cara lain selain ini Bu," Brianna Wilson. Wanita dengan usia 46 tahun itu seketika berhenti melangkah kala melihat atensi Luna di kursi makan. Raut wajah yang semula marah dan garang berganti menjadi senyum tipis yang tak begitu kentara. "Nanti aku telfon lagi." Begitu bisik Brianna pada ponsel di telinganya. Berikut wanita itu kembali melangkahkan kaki untuk mengambil duduk di salah satu kursi. Terjadi hening beberapa saat sebab Luna tidak berani membuka mulut lebih dulu. Dia tamu disini. Dan keadaannya memang sedang tidak bisa dianggap bercanda. "Kau Laluna?" tanya Brianna dengan postur tegaknya meno
Berbeda dengan yang Selena ceritakan tentang calon suaminya dari keturunan keluarga Ellworth. Nyatanya Aiden bukanlah laki-laki menakutkan dan seram seperti bayangannya.Jika dibayangan Luna Aiden merupakan laki-laki bertubuh tinggi dan besar. Dengan otot di lengan dan wajah garang. Atau mungkin tambahan tato di leher juga garis luka di wajah.Tapi nyatanya Aiden bak pangeran berkuda putih. Tinggi, memang badannya tampak besar dibanding Luna. Tapi itu wajar karena Aiden laki-laki. Aromanya maskulin namun tak berlebih. Garis wajahnya tegas dengan kedua alis yang tebal. Tatapan matanya?Jangan ditanya. Luna sampai lupa dunia begitu mata coklat itu menatapnya."Terima kasih sudah meluangkan waktumu," kata Aiden begitu mobil mulai memasuki wilayah kediaman Wilson.Luna terkesiap dari lamunannya. Ia lantas menoleh pada Aiden yang duduk di kursi penumpang bersamanya.Meski cahaya sedang remang, tapi Luna dapat melihat jelas bagaimana wajah tampan itu. "Sudah seharusnya aku datang. Besok kit
Aiden tetap datang ke kediaman Wilson pagi ini pukul 6 pagi. Luna tidak ada pilihan lain selain mengiyakan tawaran laki-laki itu. Meski pada akhirnya ia harus gelimpungan untuk pergi lagi naik taksi untuk menuju kantornya. Dan hari ini Selena telah mendandani Luna dengan pakaian sebaik mungkin. Membawa birkin agar terlihat bahwa dirinya sungguhan keturunan dari kelurga Wilson. Blouse hijau mint, celana putih, heels berwarna putih dan birkin yang senada dengan warna blousenya. Tidak lupa rambut blonde Luna yang kini berbentuk curly. Hal tersebut cukup memanjakan mata Aiden. Bahwa Luna tampak keren dan profesional. "Luna kau melupakan snellimu!" Selena berteriak di depan pintu dengan menjinjing snelli. Luna sontak memejamkan mata kemudian membuka pintu mobil Aiden dan menghampiri Selena. "Terima kasih Selena.""Sama-sama, jangan sampai lupa lagi kau ini seorang dokter." Selena berkata dengan begitu pelan. Luna mengangguk. "Aku pergi dulu."Selena mengangguk berikut melambaikan tang
"Apa-apaan warna rambut itu?"Luna langsung memejam mata mendengar suara Marcell yang meninggi. Di kantor memang tidak ada peraturan dilarang mengecat warna rambut. Namun siapa yang tidak pangling dengan penampilan Luna saat ini? Warna blonde terlalu mencolok dari warna rambut sebelumnya."Ehehe.. saya perlu mengganti penampilan saya agar tidak bosan." Luna berujar dengan alasan klasik. Berikut melangkahkan kakinya agar sampai di depan meja Marcell."Ck.ck..ckk.." Marcell berdecak sembari memegang kepalanya.Dari penampilan dan raut mukanya, Luna dapat melihat sesuatu telah terjadi. Sesuatu yang buruk pada perusahaan atau apapun kesalahan pekerjaan yang telah merugikan.Menghembuskan napasnya Marcell berusaha mengabaikan hal tidak penting itu. Tapi bisa-bisanya karyawannya membuat matanya sakit dengan warna rambut seterang itu."Silahkan duduk!" perintah Marcell mulai menstabilkan suara dan raut wajahnya.Luna menurut mengambil duduk di kursi depan meja Marcell.Pria yang sudah beranj
Ternyata kepanikan dan kericuhan Luna tidak hanya berakhir pada pesan makan siang dari Aiden. Gadis itu harus segera bergegas mengemasi barang-barangnya dan meluncur ke rumah sakit kala jam pulang telah tiba. Apa setiap hari Luna akan merasakan ketidak tenangan ini? Pergi bolak balik dari rumah sakit ke kantornya karena Aiden yang menawarkan untuk mengantar dan menjemput. Selena sudah menunggu di lobi rumah sakit. Begitu Luna datang turun dari taksi, gadis itu terlihat berantakan. Pasti karena panik dan terburu-buru. "Kau harus belajar berbohong dengan beribu alasan," kata Selena kala Luna telah berdiri di hadapannya. "Ya, sepertinya sekarang aku harus membiasakan diri dengan berbohong." Luna menerima cermin yang Selena ulurkan. Gadis itu paham mungkin penampilannya sedang tidak karu-karuan sampai Selena memberikan cermin. Dapat Luna lihat riasan wajah yang sudah menghilang, rambut curly badainya tadi sudah tercepol tak rapi. "Apa kau harus memindahkan box ke satu tempat ke tempa
Luna menghembuskan nafas, merasa badannya sangat lelah dan mau remuk saat itu juga. Pagi ini agenda kantor adalah mengadakan senam pagi, jadi Luna tidak terlalu terburu-buru meski pergi dua kali dari rumah sakit kemudian ke kantor."Kau tidak ikut senam?" tanya Kai dengan pakaian casualnya masuk ke ruangan dengan aroma keringat yang menyengat itu. Di leher lelaki itu sudah ada handuk untuk mengelapnya, ditangannya ada sebotol air mineral."Tidak dulu, aku sangat sibuk kalo pagi hari." Luna membalas sembari menyalakan komputernya.Kai memicingkan matanya. Seperti kemarin penampilan Luna yang penuh kejutan, hari ini Kai kembali dikejutkan dengang tas merk lain yang dibawa gadis itu. Parfum yang menguar juga tidak tercium murahan. Wajah gadis itu yang selembut pantat bayipun kini tampak lebih indah lagi."Kau melakukan pekerjaan sampingan di pagi hari?" tanya Kai. Mungkin perubahan pada penampilan Luna karena gadis itu punya pekerjaan sampingan dengan gaji fantastis.Luna tampak berpikir
Aiden membukakan pintu untuk Luna, menggandeng tangan mungilnya, menarik kursi agar Luna bisa lebih mudah untuk duduk. Itu semua berhasil membuat Luna tersanjung.Tidak hanya itu, Aiden memberi rekomendasi ice cream stroberi yang cocok di lidah Luna. Menceritakan hal menarik dalam hidupnya atau masa kecilnya. Aiden ternyata tidak seperti bayangan Luna dulu kala Selena enggan dijodohkan.Aiden hangat, perhatian, memanjakannya, dan ya apakah mungkin laki-laki itu sudah jatuh cinta pada Luna?Melupakan ungkapan cinta, justru Luna telah tersentuh oleh perilaku Aiden padanya."Ah iya, sampai lupa kau kembali bekerja jam berapa? aku akan mengantarmu." Aiden melihat pada jam tangan yang melingkar pada pergelangan tangan kirinya.Luna tersentak. ASTAGAA!!! gadis itu ikut melihat ke arah jam tangannya. Ia sudah terlambat satu jam lebih.Gadis itu lantas mengeluaran ponsel dari saku blazer. Menemukan 10 pemberitahuan pesan dari Hana dan Kai. Juga panggilan tak terjawab dari kepala divisi.GILA!