Luna telah duduk di kursi yang berhadapan dengan meja panjang yang tak lain dan tak bukan merupakan meja makan. Beberapa saat gadis itu sempat terpana dengan interior yang ada di dalam rumah Selena. Sungguh mewah dan klasik.
Tok..tok..tok..
Suara heels sepatu yang mengetuk lantai terdengar mendekat ke tempat Luna berada.
"Anak itu benar-benar membuat pusing kita semua. Aku tidak ada cara lain selain ini Bu," Brianna Wilson. Wanita dengan usia 46 tahun itu seketika berhenti melangkah kala melihat atensi Luna di kursi makan. Raut wajah yang semula marah dan garang berganti menjadi senyum tipis yang tak begitu kentara.
"Nanti aku telfon lagi." Begitu bisik Brianna pada ponsel di telinganya. Berikut wanita itu kembali melangkahkan kaki untuk mengambil duduk di salah satu kursi.
Terjadi hening beberapa saat sebab Luna tidak berani membuka mulut lebih dulu. Dia tamu disini. Dan keadaannya memang sedang tidak bisa dianggap bercanda.
"Kau Laluna?" tanya Brianna dengan postur tegaknya menoleh sedikit pada Luna yang ada pada serong kirinya.
"Iya aku Laluna," jawab Luna dengan begitu pelan.
Brianna tidak membalas lagi, lima menit berikutnya suara gaduh berdatangan. Ada dua orang pria dan dua wanita yang menuju meja makan.
Selena juga baru kembali dari arah belakang Luna. Membawa map berwarna merah yang mungkin isinya merupakan kontrak perjanjian mereka. Itu asumsi Luna.
Pria paruh baya yang Luna yakini merupakan kakek Selena. Mengambil duduk tepat di depan Luna, menatap gadis itu dengan sorot mata tajam. Arthur Wilson. Dalang dari perjodohan Selena.
Kemudian di samping Arthur duduklah pria lain yang lebih muda darinya, dengan garis wajah sama persis. Devano Wilson. Ayah Selena.
Berikut dua wanita lainnya, Rebecca Wilson adik dari Devano Wilson dan Audi Wilson kakak Devano.
Kini semuanya telah berkumpul. Mungkin. Tetapi Arthur mulai mengenakan kacamata bacanya begitu Selena menyerahkan map merah yang telah ia bawa.
"Laluna Devaux. Staff Keuangan di Bellagas. 24 tahun. Baru putus cinta dari hubungan yang telah berjalan 3 tahun. Sebatang kara. Hmm.."
Arthur tampak berpikir kemudian tanganny bergerak mengganti halaman. "Ibu telah meninggal. Dan ayahmu entah ada dimana. Datang ketika ia butuh uang darimu," kata Arthur melanjutkan.
Luna hanya dapat diam. Entah dari bagaimana riwayat hidup kelamnya tertulis rapi pada kertas itu.
Alis Arthur menukik. Semua mata tertuju pada gadis bersurai coklat dengan wajah manis itu.
"Kau cukup cantik untuk menjadi bagian Wilson." Arthur melanjutkan. "Kau gadis pekerja keras. Tapi nasib baik tak berpihak padamu."
Meski menyakitkan, tapi memang benar semua yang Arthur katakan.
"Kau kemari karena uang?" tanya Arthur yang lebih seperti pertanyaan retoris.
Luna mengangguk. Wajahnya mulai kaku tak mampu mengekspresikan apapun.
"Ini memang diluar prediksi kami. Apa yang telah terjadi pada Selena memang keterlaluan dan mencoreng nama keluarga." Ketika mengatakan hal itu, Arthur bahkan tidak sudi menatap Selena. Fokusnya hanya pada gadis di depannya itu. Pada wajah Luna yang terintimidasi.
"Ini mungkin adalah satu-satunya cara untuk menghadapi keluarga Ellworth nanti." Arthur menambahkan. Menggeser map merah yang sudah terbuka memperlihatkan kertas putih di dalamnya.
Kini map tersebut telah berada di depan Luna.
"Itu perjanjian kita," kata Arthur mempersilahkan Luna untuk membaca isi kontrak.
Tubuh Luna bergerak maju mengambil map tersebut. Gadis itu lalu membacanya dengan seksama. Pelan dan penuh ketelitian.
Kontrak Perjanjian Pengantin Pengganti. Beberapa poin mulai Luna amati. Mulai dari mengganti identitas, mengganti warna rambutnya, berpura-pura menjadi dokter, dan lain sebagainya yang harus ia taati sebagai keturunan Wilson.
Kedua bola mata Luna sontak membulat melihat nominal yang tertera pada poin 9. Lebih besar dari yang Selena tawarkan kemarin.
Jari Luna mengetuk pada meja menimbang sesuatu. Dengan nominal sebesar itu mungkin ia bisa mengubah kehidupannya. Dia bisa membeli Apartemen di luar kota, membangun bisnisnya dan yang paling penting melunasi hutang-hutang ayahnya. Namun, nominal sebesar itu bisa jadi resiko yang akan didapatkan besar pula. Menghembuskan nafas, tidak punya pilihan lain, Luna lantas mengambil bulpoin yang telah tersedia dan menandatanganinya. Tepat di atas namanya dan terkena materai.
******
Ini hari yang mendebarkan. Luna bahkan tidak dapat tidur tenang semalam setelah menandatangani kontrak. Meski semua telah tersedia dan terencana Luna tetap gugup memulai harinya sebagai keturunan Wilson.
Kini gadis itu sudah berada di dalam mansion kepemilikan Wilson. Baru saja selesai diwarnai rambutnya oleh seorang hairstylish yang telah Selena datangkan.
"Kulitmu menjadi lebih cerah dengan warna rambut ini," ucap Selena memuji. Memperhatikan penampilan Luna dari pantulan cermin.
"Aku seperti bukan diriku." Luna bergumam. Dengan rambut blonde bergelombang, wajah pucatnya semakin bersinar. Belum lagi pakaian mahal yang melekat pada tubuhnya. Bak bangsawan yang terpandang.
Selena mengusap-usap pundak gadis itu. Selain Luna yang mengganti warna rambutnya menjadi blonde, Selena juga mengganti warna rambutnya. Berhighlight ash grey. Disini perannya adalah sebagai sahabat dekat Luna.
Akan Selena pastikan sendiri bahwa peran Luna berhasil.
"Kau sudah siap?" tanya Selena.
Luna melirik atensi Selena dari cermin kemudian mengangguk.
Dua puluh menit kemudian, Luna dan Selena akan menyelesaikan perjalanannya menuju La Grande Boucherie. Begitu mobil berhenti di parkiran, Selena memainkan perannya dengan baik. Perempuan itu turun dari mobil lebih dulu untuk membukakan Luna pintu.
"Astaga kau berlebihan jangan lakukan ini," kata Luna dengan senyum sungkan.
"Kau harus mulai terbiasa." Selena membalas dengan senyuman.
Luna turun dari mobil dan melihat suasana restoran yang sepi. Apa mungkin tempat ini di sewa?
"Kau tak ikut?" tanya Luna menoleh ke belakang sebab merasa Selena tak segera berjalan.
Selena mengeleng. "Sekarang waktunya kau memainkan peran. Aku akan pantau dari sini."
"A..Apa? secepat ini? sungguhan kau tak ikut?" Mendadak gagap yang tadinya bersikap tenang kini Luna menjadi deg-deg an tak karuan.
"Kau pasti bisa." Hanya itu yang Selena katakan kemudian kembali masuk ke mobil.
Luna? gadis itu masih bengong di samping mobil hitam Selena dengan tak tahu harus melakukan apa. Namun begitu suara mobil datang dan terparkir di sampingnya membuat Luna sadar bahwa lawan mainnya telah datang.
Jadi gadis itu segera beranjak untuk masuk lebih dulu agar tidak terlihat seperti orang bodoh yang menunggu di deparn restoran.
Seperti intruksi Selena, bahwa keluarga Ellworth telah memesan meja nomor 26. Jadi Luna berjalan seanggun mungkin dan duduk dengan rapi.
Tak lama seseorang menyusul. Seorang laki-laki tinggi berjas hitam dengan aroma maskulin yang menguar memenuhi sekitar Luna.
Ini pasti calon suaminya.
Dengan perlahan pandangan Luna bergerak tertuju pada atensi laki-laki tersebut yang dengan perlahan mengambil duduk di depannya.
Luna terkesiap. Mendadak oksigen disekitarnya habis dan tenggorokannya tercekat melihat bagaimana sosok laki-laki keturunan Ellworth itu.
"Selamat malam Nona Wilson. Perkenalkan aku Aiden Ellworth." Suara berat nan dalam itu cukup membuat Luna semakin terpana.
Wajah tampan, tubuh gagah dan suara yang berat nan dalam. Sempurna.
******
Berbeda dengan yang Selena ceritakan tentang calon suaminya dari keturunan keluarga Ellworth. Nyatanya Aiden bukanlah laki-laki menakutkan dan seram seperti bayangannya.Jika dibayangan Luna Aiden merupakan laki-laki bertubuh tinggi dan besar. Dengan otot di lengan dan wajah garang. Atau mungkin tambahan tato di leher juga garis luka di wajah.Tapi nyatanya Aiden bak pangeran berkuda putih. Tinggi, memang badannya tampak besar dibanding Luna. Tapi itu wajar karena Aiden laki-laki. Aromanya maskulin namun tak berlebih. Garis wajahnya tegas dengan kedua alis yang tebal. Tatapan matanya?Jangan ditanya. Luna sampai lupa dunia begitu mata coklat itu menatapnya."Terima kasih sudah meluangkan waktumu," kata Aiden begitu mobil mulai memasuki wilayah kediaman Wilson.Luna terkesiap dari lamunannya. Ia lantas menoleh pada Aiden yang duduk di kursi penumpang bersamanya.Meski cahaya sedang remang, tapi Luna dapat melihat jelas bagaimana wajah tampan itu. "Sudah seharusnya aku datang. Besok kit
Aiden tetap datang ke kediaman Wilson pagi ini pukul 6 pagi. Luna tidak ada pilihan lain selain mengiyakan tawaran laki-laki itu. Meski pada akhirnya ia harus gelimpungan untuk pergi lagi naik taksi untuk menuju kantornya. Dan hari ini Selena telah mendandani Luna dengan pakaian sebaik mungkin. Membawa birkin agar terlihat bahwa dirinya sungguhan keturunan dari kelurga Wilson. Blouse hijau mint, celana putih, heels berwarna putih dan birkin yang senada dengan warna blousenya. Tidak lupa rambut blonde Luna yang kini berbentuk curly. Hal tersebut cukup memanjakan mata Aiden. Bahwa Luna tampak keren dan profesional. "Luna kau melupakan snellimu!" Selena berteriak di depan pintu dengan menjinjing snelli. Luna sontak memejamkan mata kemudian membuka pintu mobil Aiden dan menghampiri Selena. "Terima kasih Selena.""Sama-sama, jangan sampai lupa lagi kau ini seorang dokter." Selena berkata dengan begitu pelan. Luna mengangguk. "Aku pergi dulu."Selena mengangguk berikut melambaikan tang
"Apa-apaan warna rambut itu?"Luna langsung memejam mata mendengar suara Marcell yang meninggi. Di kantor memang tidak ada peraturan dilarang mengecat warna rambut. Namun siapa yang tidak pangling dengan penampilan Luna saat ini? Warna blonde terlalu mencolok dari warna rambut sebelumnya."Ehehe.. saya perlu mengganti penampilan saya agar tidak bosan." Luna berujar dengan alasan klasik. Berikut melangkahkan kakinya agar sampai di depan meja Marcell."Ck.ck..ckk.." Marcell berdecak sembari memegang kepalanya.Dari penampilan dan raut mukanya, Luna dapat melihat sesuatu telah terjadi. Sesuatu yang buruk pada perusahaan atau apapun kesalahan pekerjaan yang telah merugikan.Menghembuskan napasnya Marcell berusaha mengabaikan hal tidak penting itu. Tapi bisa-bisanya karyawannya membuat matanya sakit dengan warna rambut seterang itu."Silahkan duduk!" perintah Marcell mulai menstabilkan suara dan raut wajahnya.Luna menurut mengambil duduk di kursi depan meja Marcell.Pria yang sudah beranj
Ternyata kepanikan dan kericuhan Luna tidak hanya berakhir pada pesan makan siang dari Aiden. Gadis itu harus segera bergegas mengemasi barang-barangnya dan meluncur ke rumah sakit kala jam pulang telah tiba. Apa setiap hari Luna akan merasakan ketidak tenangan ini? Pergi bolak balik dari rumah sakit ke kantornya karena Aiden yang menawarkan untuk mengantar dan menjemput. Selena sudah menunggu di lobi rumah sakit. Begitu Luna datang turun dari taksi, gadis itu terlihat berantakan. Pasti karena panik dan terburu-buru. "Kau harus belajar berbohong dengan beribu alasan," kata Selena kala Luna telah berdiri di hadapannya. "Ya, sepertinya sekarang aku harus membiasakan diri dengan berbohong." Luna menerima cermin yang Selena ulurkan. Gadis itu paham mungkin penampilannya sedang tidak karu-karuan sampai Selena memberikan cermin. Dapat Luna lihat riasan wajah yang sudah menghilang, rambut curly badainya tadi sudah tercepol tak rapi. "Apa kau harus memindahkan box ke satu tempat ke tempa
Luna menghembuskan nafas, merasa badannya sangat lelah dan mau remuk saat itu juga. Pagi ini agenda kantor adalah mengadakan senam pagi, jadi Luna tidak terlalu terburu-buru meski pergi dua kali dari rumah sakit kemudian ke kantor."Kau tidak ikut senam?" tanya Kai dengan pakaian casualnya masuk ke ruangan dengan aroma keringat yang menyengat itu. Di leher lelaki itu sudah ada handuk untuk mengelapnya, ditangannya ada sebotol air mineral."Tidak dulu, aku sangat sibuk kalo pagi hari." Luna membalas sembari menyalakan komputernya.Kai memicingkan matanya. Seperti kemarin penampilan Luna yang penuh kejutan, hari ini Kai kembali dikejutkan dengang tas merk lain yang dibawa gadis itu. Parfum yang menguar juga tidak tercium murahan. Wajah gadis itu yang selembut pantat bayipun kini tampak lebih indah lagi."Kau melakukan pekerjaan sampingan di pagi hari?" tanya Kai. Mungkin perubahan pada penampilan Luna karena gadis itu punya pekerjaan sampingan dengan gaji fantastis.Luna tampak berpikir
Aiden membukakan pintu untuk Luna, menggandeng tangan mungilnya, menarik kursi agar Luna bisa lebih mudah untuk duduk. Itu semua berhasil membuat Luna tersanjung.Tidak hanya itu, Aiden memberi rekomendasi ice cream stroberi yang cocok di lidah Luna. Menceritakan hal menarik dalam hidupnya atau masa kecilnya. Aiden ternyata tidak seperti bayangan Luna dulu kala Selena enggan dijodohkan.Aiden hangat, perhatian, memanjakannya, dan ya apakah mungkin laki-laki itu sudah jatuh cinta pada Luna?Melupakan ungkapan cinta, justru Luna telah tersentuh oleh perilaku Aiden padanya."Ah iya, sampai lupa kau kembali bekerja jam berapa? aku akan mengantarmu." Aiden melihat pada jam tangan yang melingkar pada pergelangan tangan kirinya.Luna tersentak. ASTAGAA!!! gadis itu ikut melihat ke arah jam tangannya. Ia sudah terlambat satu jam lebih.Gadis itu lantas mengeluaran ponsel dari saku blazer. Menemukan 10 pemberitahuan pesan dari Hana dan Kai. Juga panggilan tak terjawab dari kepala divisi.GILA!
Selena telah mengirimkan alamat apartemen baru untuk Luna. Selain itu perempuan itu juga berpesan bahwa barang-barang Luna telah berhasil di pindahkan. Jadi Luna dapat menempati saat itu juga. Pada saat itu juga Luna meminta Aiden untuk mengantarnya ke apartemen. Kali ini tidak ada supir, Aiden sendiri yang menyetir mobilnya. Dan lihatlah.. itu semakin membuat Aiden tampak mengagumkan. Apalagi melihat Aiden memakai baju casual, kaos polo berlengan pendek. Menunjukkan bisep dan urat pada tangan laki-laki itu. Kadang masih membuat Luna bertanya-tanya mengapa Aiden memilih melajang dengan alasan sudah dijodohkan. Bisa saja laki-laki itu menjalin hubungan untuk bersenang-senang semasa mudanya bukan? Usia 28 tahun juga terlalu lama untuk menemui calon istrinya. "Usiamu benar 28 tahun kan?" tanya Luna memastikan. Seingatnya itu yang pernah Selena infokan. Senyum Aiden tertarik memperlihatkan gigi rapinya. "Benar, aku senang kau mencari tahu itu. Tapi ingat minggu depan aku berulang ta
Ciuman Aiden berubah menjadi lebih panas begitu Luna membalasnya. Di sela kegiatan Aiden sempat menyunggingkan senyumnya. Lantas tangan laki-laki itu menarik pinggang Luna untuk lebih dekat. Begitu Aiden membawa tubuh Luna pada pangkuannya, Luna langsung terbahak dan melepas tautan bibirnya."Hei!" Luna memekik dengan canda."Kenapa?" tanya Aiden tersenyum lebar.Luna menghela nafas menatap Aiden dengan senyum juga.Ding.. Dong.."Aku rasa pizza kita telah tiba." Luna beranjak dari pangkuan Aiden, berjalan ke arah pintu untuk mengambil pesanan.Luna kembali dengan pizza di tangannya. Gadis itu memperlihatkan pizza dengan menggoyangkan badannya riang. "Waktunya makan!!"Yang Aiden lakukan berikutnya adalah menyalakan televisi untuk mencari film yang akan telah mereka rencanakan tadi.Film yang mereka pilih jatuh pada 500 days of summer. Meski sebelumnya Luna pernah menonton, tapi kali ini ia akan berpura-pura baru pertama kali menontonnya.Selagi menikmati pizza dan film berputar, kedu