Share

Chapter 7

Ternyata kepanikan dan kericuhan Luna tidak hanya berakhir pada pesan makan siang dari Aiden. Gadis itu harus segera bergegas mengemasi barang-barangnya dan meluncur ke rumah sakit kala jam pulang telah tiba. Apa setiap hari Luna akan merasakan ketidak tenangan ini? Pergi bolak balik dari rumah sakit ke kantornya karena Aiden yang menawarkan untuk mengantar dan menjemput. 

Selena sudah menunggu di lobi rumah sakit. Begitu Luna datang turun dari taksi, gadis itu terlihat berantakan. Pasti karena panik dan terburu-buru. 

"Kau harus belajar berbohong dengan beribu alasan," kata Selena kala Luna telah berdiri di hadapannya. 

"Ya, sepertinya sekarang aku harus membiasakan diri dengan berbohong." Luna menerima cermin yang Selena ulurkan. Gadis itu paham mungkin penampilannya sedang tidak karu-karuan sampai Selena memberikan cermin. 

Dapat Luna lihat riasan wajah yang sudah menghilang, rambut curly badainya tadi sudah tercepol tak rapi. 

"Apa kau harus memindahkan box ke satu tempat ke tempat yang lain?" tanya Selena tidak menyangka bahwa penampilan Luna sore ini begitu terbanting dengan penampilan pagi tadi. 

Luna tidak mengindahkan dia sibuk berbenah, karena tak lama pasti Aiden akan tiba. 

"Itu dia, aku pergi dulu. Ah iya makanan tadi sangat enak. Dagingnya empuk, dan buah stroberinya manis tapi ada satu yang masam. Berikan komentar ini agar Aiden yakin kau yang memakannya," kata Selena sebelum akhirnya melangkah pergi setelah mendapat anggukkan dari Luna. 

Sekarang Luna telah rapi, rambutnya ia ikat jadi satu membentuk pony tail. Sudah touch up tipis lipstick, dan sudah menyemprot parfum mahal yang Selena belikan untuknya. 

Begitu ponsel berdenting, pemberitahuan bahwa Aiden telah di luar lobi Luna segera berbalik dan mendekat pada mobil hitam laki-laki itu. 

"Sudah menunggu lama?" tanya Aiden ketika Luna masuk ke mobil.

"Tidak begitu," jawab Luna dengan nafas yang belum stabil akibat mempersiapkan diri dengan cepat. 

Aiden tersenyum kecil melihat nafas Luna yang tersenggal. "Kau tidak perlu sepanik itu, aku akan menunggumu meski kau belum selesai bekerja."

"Ah, aku terlihat sekali yang buru-burunya?" Luna terkekeh kecil menepis rasa gugupnya. Ingat ia harus terbiasa dengan kebohongan ini. "Aku bekerja dengan keras, jadi harus merapikan penampilanku kembali."

"Aku senang mendengarnya, kau ingin terlihat baik di depanku." Aiden merentangkan tangan mengisyaratkan Luna untuk mendekat. 

Luna berhambur ke pelukan Aiden. Selain harus terbiasa berbohong ia juga harus terbiasa dengan perilaku romantis laki-laki tampan ini. 

"Harum sekali." Aiden mencium parfum Luna yang menguar. Semakin mendekatkan hidungnya pada lekukkan leher gadis itu. 

Luna merasa geli, tapi entah kenapa ia juga merasa berbunga-bunga. Astaga.. jantung siapa yang tidak akan berdetak ketika laki-laki tampan sedang menciumi lehermu seperti ini?

Sepertinya Aiden terlalu dimabuk cinta pada Luna, melakukan apapun yang laki-laki itu mau mengabaikan atensi supir pribadinya. 

"Hahaha stop Aiden!" Luna menghentikkan pelukan Aiden yang tak mau dilepas. Gadis itu memundurkan diri terlebih dulu. 

"Bagaimana pekerjaanmu?" tanya Luna menangkup satu pipi Aiden dan menatapnya lembut. 

Aiden tidak menjawab langsung. Ia justru terlena oleh wajah lelah Luna. Entah mengapa meski tidak secantik tadi pagi, tapi menurut Aiden ini yang tercantik. Ia jadi penasaran bagaimana wajah Luna ketika baru bangun tidur.

"Tidak bisakah kita melaksanakan pernikahan kita besok?"

******

Luna telah membersihkan diri, sudah mengganti pakaiannya menjadi piyama tidur. Semenjak menandatangani kontrak menjadi pengantin pengganti, Luna harus menetap di kediaman Wilson. Tetapi Selena berencana membeli unit Apartemen untuk Luna. Selena menyadari bahwa mungkin Luna tidak merasa nyaman untuk satu atap dengan keluarganya. Hal ini juga untuk menghindari rahasia keluarga Wilson yang tidak banyak publik ketahui. 

Pikiran gadis itu kembali pada momen pertemuan hari ini dengan Aiden. Meski hanya sebentar, tapi begitu membekas di ingatannya. Tunggu, disaat bersamaan senyum merekah Luna berganti dengan garis datar di bibirnya. 

Tangan Luna bergerak mengambil ponsel di atas nakas. Memastikan kembali bahwa mungkin ia melewatkan pesan dari seseorang. Tapi nyatanya tidak, semua pesan telah terbaca dan terbalas. 

Hidupnya berubah cepat akhir-akhir ini. Ia meninggalkan jati dirinya pada nama Laluna Devaux. Meninggalkan unit Apartemen jeleknya. Dan juga meninggalkan kebiasaannya menonton film sepulang kerja dengan Darren. 

Ia hampir lupa dengan laki-laki itu. Tapi ternyata tidak semudah itu menghilangkan memori manis dengan mantan kekasih. Tiga tahun memang bukan waktu yang singkat. Dan sepanjang hari Luna selalu menghabiskan waktunya dengan Darren. 

Sungguh laki-laki itu tidak menghubunginya kembali? Setelah mengakhiri hubungan sepihak di kafe sore itu. 

Yang mana hati kecil Luna masih merasa yakin bahwa ada yang tidak beres dengan mantan kekasihnya itu. Masih merasa yakin Darren mencintainya. Mereka tidak sedang menghadapi masalah besar. Tapi yaa mungkin bagi Darren dirinya terlalu egois. Luna hanya tidak bisa mengungkapkan perasaannya dengan baik. 

Atau.. ya mungkin masih ada luka yang belum kering akibat kelakuan ayahnya dulu. 

Hanya saja, sialan!

Rasanya menyakitkan dan menyesakkan mengetahui kenyataan mereka telah berakhir dan tidak bertukar kabar lagi. 

Entah sejak kapan pipi Luna terasa basah. Matanya terus memburam akibat genangan air yang belum mengalir. Dan perlahan isakkan pun keluar dari mulutnya. 

Tidak mau munafik Luna merindukkan Darren. 

Luna masih menginginkan pertemuan itu, pesan manis dari laki-laki itu. Sosok laki-laki itu, peluk hangat laki-laki itu. Luna masih sangat menginginkannya. 

Jadi dengan kesadaran yang telah hilang akibat rasa rindu. Jari Luna menekan icon berbentuk telepon pada kontak Darren. 

Disaat bersamaan telepon dari Aiden masuk. 

Seketika Luna langsung tersadar, posisi tubuhnya sudah terduduk di kasur. Ia sadar telah menghubungi Darren kembali ketika mereka telah berakhir. Dan telepon masuk dari Aiden juga membuatnya sadar jika dirinya telah bertunangan kemarin. 

Ini memusingkan, dan perasaan Luna tak tenang. Jadi dirinya membiarkan ponselnya berdering tanpa ada niatan menjawab. 

Otak Luna masih mencerna kesadarannya. Apa yang telah berlalu, apa yang telah terjadi dan apa yang seharusnya ia hadapi. 

Ponsel Luna berhenti berdering. Dua detik kemudian panggilan telepon dari Aiden kembali masuk. Kali ini panggilan video.

Luna kembali merebahkan diri dan menjawab telepon Aiden. 

"Hai!! apa aku mengganggumu?" tanya Aiden di sebrang sana. Wajahnya cukup riang kala Luna menjawab teleponnya. Namun tak lama Aiden menyadari sesuatu. "Kau habis menangis ?"

Aishh sialan. Luna lupa menghapus bekas air matanya. Pasti matanya juga sedikit memerah sekarang. Gadis itu lantas beranjak dari kasur dan mencari tisu. Setelah dirasa bersih ia kembali pada kasur dan menghadapkan diri pada ponsel. 

"Yaa, aku hanya merasa sedikit pusing saja." Mau mengatakan tidak juga percuma, wajahnya tadi sudah menunjukkan kalau ia sehabis menangis. 

Kalimat Luna itu justru mengundang kekhawatiran pada Aiden. "Kau mau ke rumah sakit? Atau kau perlu sesuatu? Aku akan sampai sebentar lagi."

Luna terkekeh dengan sikap siaga Aiden. "Tidak perlu Aiden, kau tidak perlu kemari. Kau lupa aku seorang dokter?"

Aiden tersenyum merasa lega Luna sudah bisa tertawa. "Benar juga, kau pasti bisa mengatasi dirimu sendiri. Tapi menemuimu malam ini aku rasa itu juga tidak buruk."

Luna tersenyum sambil menggeleng. Aiden ini lucu sekali. Kenapa bisa selama ini tidak pernah berpacaran? Luna yakin pasti sebelumnya ada banyak perempuan yang mengantre untuk mendekati. 

"Aku hanya perlu istirahat. Maafkan aku, mungkin besok kita bisa bertemu lagi."

Aiden tampak sedang mengganti posisinya menjadi merebahkan diri di kasur seperti Luna. "Itu harus. Aku akan menjemputmu lagi besok pagi."

******

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status