Dewi menatap Aiden diam, is mencerna dulu bahasa yang Aiden gunakan hingga is mengerti. Tetapi agak susah menjawabnya dengan bahasa laki-laki itu.Yulio yang mengerti atas gerak-gerik Dewi yang kesusahan bicara itu mendekat dan menyerahkan tabnya. Sudah ada halaman web translate agar mempermudah pembicaraan mereka. Dewi menerima tab tersebut, menuliskan apa yang ia ketahui tentang Luna. Juga menanyakan apakah Luna yang mereka maksud adalah Luna yang sama. Aku mengenal Luna. Dia dari London, sedang hamil tua delapan bulan. Rambutnya panjang, keemasan. Tapi di pangkal rambut berwarna coklat. Matanya indah dan bulu matanya lentik. Apakah perempuan ini memiliki ciri-ciri yang sama seperti yang Anda cari?Selesai menulis, Dewi memberikan benda persegi itu pada Yulio. Tapi dengan cepat Aiden langsung merebutnya. Terlalu bertele-tele juga jika melewati Yulio dulu. Aiden membaca setiap kata yang perempuan itu tulis. Memang benar ciri-cirinya ada pada Luna. Terlebih Luna sedang hamil saat
Senyum wanita itu merekah kala mobil Zack berhenti. Zack turun dari mobil menghampiri wanita itu."Kau masih tetap menawan meski melahirkan anak satu," puji Zack membual demi komisi yang lebih banyak. Selena terhibur. Tapi dia lebih tertarik pada perempuan yang tertidur di bangku belakang mobil Zack. Mengerti arah pandang Selen, Zack ikut menoleh ke mobilnya. "Dia tertidur, sudah ku tahan tadi. Jadi ku suruh tidur sebelum mati di mobilku." "Kau terlalu keras padanya." Selena berkomentar meski merasa puas dengan siksaan yang Zack berikan pada Luna. Zack terkekeh saja sebagai balasan. Ia mendongak melihat gedung kosong di belakang Selena yang cukup tinggi. "Kau menyuruhnya tinggal disini?" Zack memicing melihat kondisi gedung yang tidak layak huni. Sangat tidak layak huni. "Kau membuatku seperti iblis. Jangan seperti itu. Aku masih cukup baik tidak menyuruhnya tinggal disini. Itu mudah, dan dia bisa kabur." "Lalu?""Kita akan bertemu seseorang setelah ini." Selena tampak memandang
Mendengar dimana posisi Luna saat ini, Aiden segera melakukan penerbangannya ke Korea. Namun pesawatnya harus delay, dan ia menunggu cukup lama hingga akhirnya pukul sembilan malam berhasil menginjakkan kakinya di Korea. Ia perlu mandi dan mengistirahatkan diri sembari menunggu kabar berikutnya. Tubuhnya sangat lelah, tapi Aiden tidak bisa tidur tenang. Beberapa jam sekali terbangun dan memeriksa ponsel. Begitu seterusnya, sudah menghilangkan kegelisahannya dengan bermain game atau mengecek laporan. Tetap saja, matanya mengantuk tapi kesadarannya penuh enggan untuk tidur. Banyak yang terpikirkan. Tangan Aiden menekan ikon galeri. Disana, selain foto pekerjaan dan proses bisnisnya. Ada satu folder yang menarik perhatian Aiden. Folder yang ia beri nama Laluna. Dan tentu saja isinya tidak jauh dari paras cantik perempuan itu. Dari foto yang Aiden ambil diam-diam. Foto selfi mereka berdua, foto yang sengaja ia ambil ketika berlibur. Foto pernikahan mereka. Semua memori itu berkumpul d
Luna mengerjap-kerjapkan matanya kala sebuah cahaya yang silau menusuk kelopak mata. Begitu terbuka, bola matanya bergerak ke kanan dan kiri. Nuansa putih, gorden yang sedikit terbuka dengan kilau matahari pagi. Lalu infus yang terpasang di punggung tangannya, membuat Luna yakin bahwa kini ia berada di rumah sakit. Siapapun yang membawanya kemari, asalkan bukan dua penculik kemarin Luna sangat berterima kasih. "Kau sudah bangun?" suara laki-laki yang mengenakan snelli putih masuk lalu membuka tirai pada bangkor."Bagaimana perasaanmu?" tanya laki-laki tersebut. Luna tidak bisa membaca nama dari name tag dokter itu karena bertuliskan hangeul. Namun bahasa inggris yang terucap bergitu fasih."Aku hanya merasa pusing." Luna menjawab dengan lirih. Dokter Kim Jong Min mengangguk. "Kau dehidrasi. Dari keadaanmu yang hamil kenapa kau tidak makan dan minum lebih dari tujuh jam?" Jong Min lantas memeriksa Luna. "Aku mengalami hal buruk." Luna menjawab disela dirinya sedang diperiksa. Mende
Jong Min membuka pintu Apartemennya bertepatan dengan pemandangan Luna yang sedang menidurkan bayinya ke ranjang bayi dengan perlahan. Laki-laki itu tersenyum. Entah keputusan apa yang ia buat. Setelah merawat perempuan asing yang ia temukan pingsan di trotoar saat itu, kemudian keduanya menjadi dekat.Luna juga sudah bercerita tentang apa yang terjadi di hidupnya. Tidak begitu detail, ia hanya menceritakan kesusahannya beberapa hari terakhir. Namun hingga saat ini, Jong Min belum mendengar siapa ayah dari anak Luna. "Sudah pulang?" tanya Luna menghampiri. Jong Min mengangguk, lalu mengalihkan pandangan pada bayi laki-laki di ranjang. "Dia tertidur pulas.""Ya, setelah beberapa waktu menangis dengan kencang." Kini Luna harus terbiasa. Ditambah ia mengasuh bayinya seorang diri tanpa seorang ahli. "Kau hebat sekali, aku akan memasakanmu hari ini." Jong Min memberi pujian lantas berbalik arah menuju daput untuk menata belanjaannya. Luna terkekeh mendengarnya. Padahal setiap hari yan
"Tapi mungkin kau bisa mencari tahu melalui Selena. Barangkali lepasnya Luna hanya akal-akalannya saja." Robert memberi saran dan itu terdengar masuk akal. Akhirnya setelah berbincang lama dan membahas hal lain, tanpa sadar keduanya menjadi dekat lagi. Hmm lebih tepatnya melupakan yang telah terjadi. Robert datang ke Korea juga tidak dengan tangan kosong. Ia membawakan Aiden seperti jinjingan berisi sepatu mahal, beserta dokumen dokumen yang Aiden perlukan. Seperti yang Robert tahu, temannya itu sedang merintis bisnis dibidang keuangannya. Jdi Robert membantu memberikan nama nasabah yang dulunya pernah menjadi nasabahnya. Hal itu berguna, jikamana spam iklan Perusahaan Aiden masuk ke nomor nasabah. "Terima kasih." Aiden tersentuh. Lihat bukan? Tanpa perlu ia membalas dendam, Robert akan tahu sendiri letak kesalahannya dan penyesalannya. Tidak semua hal dapat diselesaikan dengan balas dendam. Itu khusus untuk orang-orang yang paham. "Aku kembali dulu. Semoga kau segera menem
Aiden dan Giselle menuju hotel dengan perasaan yang tidak dapat dijelaskan. Giselle tertangkap basah, masih memiliki harapan untuk bertemu dengan Luna. Sebetulnya, perasaan Giselle lebih sakit melihat anak semata wayangnya terus larut dalam kesedihan. Tetapi jika hanya Luna yang menjadi kebahagiaan Aiden ia akan turut serta mengabulkannya. Hari telah gelap. Aiden melambaikan tangan sebagai sirat pamitnya untuk Giselle. Membiarkan Ibunya untuk beristirahat dulu hari ini. Aiden juga perlu istirahat. Semakin hari rasanya semakin berat. Ia masih belum menemukan Luna. Mendapatkan informasinya saja tidak. Terkadang, ia berpikir untuk menyerah saja. Mengubur kenangan mereka dan melanjutkan hidupnya. Namun disisi itu, Aiden juga sempat berpikir bagaimana jika ia menikah lagi dan ketika sudah mau memulai hidup baru Luna kembali dihadapannya tanpa ia cari. Aiden tidak ingin menyesal lagi untuk kehilangan Luna. Hal seperti tadi tak seharusnya mampir ke pikirannya. Laki-laki itu lantas m
Keduanya saling menceritakan satu sama lain. Dimana Aiden membuka jati dirinya sebagai seorang pengusaha, dan Jong Min mengatakan bahwa profesinya adalah seorang dokter. "Jadi kau seorang dokter?"Jong Min mengangguk menunjukkan lesung pipinya. "Belajar sangat tidak mudah. Bagaimana mungkin ada manusia menghafal buku setebal lima belas senti."Aiden tertawa melihat wajah Jong Min yang putus asa. "Hei buktinya kau bisa. Kau mematahkan pikiran burukmu itu.""Benar juga, aku hampir kehilangan mobilku jika tidak segera menghafal."Lagi-lagi Aiden tertawa. "Ibumu menyitanya.""Benar sekali. Kau sering begitu juga? Ibu mu menyita kartu? atau mobil ketika kau menjadi bebal." Jong Min begitu ingin tahu. Yang ia lihat Aiden tampak seperti lelaki baik-baik. "Aku tidak pernah menjadi bebal. Ketika tua aku baru bebal.""HAHAHAHA.." Kini giliran Jong Min yang tertawa. "Apa yang menjadi keributan pak tua ini?""Sial," umpat Aiden dengan sisa senyumnya. Tangannya meraih gelas kecil yang telah beri