Hana berkali-kali menghubungi Aiden. Tapi belum mendapat balasan. Sebenarnya dirinya tidak masalah menunggui Luna dan absen bekerja dulu. Hana hanya bersikap normal saja bahwa suami Luna juga berhak tahu jika istrinya jatuh sakit.Kai malah sedang asik mencicipi cemilan buatan koki David. "Hm.. ternyata memiliki suami kaya seperti Aiden tidak buruk."Hana memutar bola matanya. "Jangan bilang kau mau cari suami juga.""Tidak, tenang saja. Aku masih suka pantat sexymu itu," balas Kai menggoda meski tidak bermaksud sesungguhnya. Mereka terlalu dekat menjadi sahabat dan tidak cocok menjadi pasangan.Hana berdesis, ikut mendekat ke cemilan buatan David dan mencicipinya. Luna tampak memejamkan mata. Mungkin tubuhnya sudah sangat lemas.Ting..Ponsel Hana berdenting tanda pesan masuk. Pesan dari Aiden tetapi bukan lelaki itu yang mengetik pesannya.From: AidenPak Aiden sedang jatuh pingsan. Saat ini sudah dibawa ke rumah sakit. Aku akan memberitahunya nanti. Semoga Bu Luna segera membaik.H
"Kau bercanda kan Luna? Kau hanya mengigau karena sedang demam." Aiden bertanya dengan tegas berusaha tidak mempercayai apa yang Luna katakan. Tetapi mengingat ia bertemu dengan Luna kemarin dengan lanyard karyawannya di Bellagas. Atau foto-foto yang Yulio dapatkan berupa mobil Luna yang sering parkir di halaman Bellagas. Kini membuat Aiden percaya. Bahwa istrinya memanglah orang yang berbeda dengan sosok yang ia temui pertama kali. Luna yang lemas itu menggeleng. Wajahnya sangat pucat, tapi hatinya juga sakit mengatakan ini. Mungkin bisa jadi Aiden langsung angkat kaki dari rumah. Mencampakan dan besok surat perceraian akan datang. Tidak munafik, Luna juga ingin memeluk Aiden untuk yang terakhir kali. Berterima kasih atas kasih sayang yang telah Aiden berikan padanya selama ini. Luna tidak mengharapkan apapun apalagi harta Aiden yang telah menjadi atas namanya. Luna bisa melepaskan itu saat ini juga. "Kenapa?" tanya Aiden. Ia membutuhkan jawaban itu. "Semuanya agak rumit di awal
Hana menatap Luna dengan mata berkaca. Bibirnya ia lipat ke dalam mulut agar tidak menimbulkan isak. "Jangan menangis." Luna mengingatkan memegang tangan Hana. Hana menggelengkan kepalanya dengan begitu air matanya langsung meluruh ke pipi. "Jangan biarkan dirimu larut dalam kesedihan dan kesulitan hidup." Luna mengangguk. "Aku janji.""Keponakanku harus tumbuh besar dan bahagia." Hana mengelus perut Luna. Luna mengangguk lagi. "Pasti."******"Setelah merapatkan dengan Direktur keuangan jadwal berikutnya adalah penandatangan kontrak dengan Pak Huang Zi dari Cina. Lokasinya sama seperti kemarin-"Aiden mengangkat tangan menyuruh Yulio berhenti. Wajah Yulio mengisyaratkan tanya. "Apa sudah ada kabar dari Robert?" tanya Aiden. Mengingat ia perlu tahu banyak tentang Luna meski perempun itu sudh menjelaskan siapa dirinya kemarin. Yulio mengangguk. "Semua data sudah dikirim ke email. Pak Aiden mau melihat sekarang atau-""Sekarang." Sekali lagi Aiden memotong kalimat Yulio. Yulio l
"Selena?" Perempuan itu menatap Aiden dengan mata tajamnya. "Kau membatalkan semua kerja sama dengan Wilson."Aiden mengangguk. Sepertinya hal ini tidak perlu dibicarakan lagi. Justru Selena yang seharusnya meminta maaf atau menjelaskan permasalahan rumit ini. Aiden tersenyum sinis mengingat bahwa Selena yang seharusnya dijodohkan dengannya. Aiden tidak akan sudi mengingat anak siapa yang ada di perut perempuan itu. "Kau tidak bisa menyangkut pautkan urusan pekerjaan dengan urusan pribadi." Selena mengelak. "Itu hak ku. Sebagai pihak yang dirugikan disini." Aiden menjawab dengan tenang. Satu tangannya masuk ke dalam saku celana. "Kau tidak rugi. Akan rugi lagi jika yang kau nikahi aku. Tapi kau menikahi gadis cantik yang manis dan lugu.""Kau mengkhianati kerja sama dan wasiat kakek ku. Dia bukan darah asli Wilson. Dari keluarga entah berantah. Tidak memiliki privilege apapun. Dan mudah tergiur dengan uang." Kalian boleh mengatakan bahwa Aiden angkuh sekarang. Dia menghargai apa y
"Dan jangan membohongi perasaanmu."Disaat itu juga Aiden menghentikan pekerjaannya. Jari-jari tangannya telah melepas keyboard komputer. Ia jadi termenung dan mempertanyakan lagi pada hatinya yang hampa beberapa hari terakhir. Tidak munafik, semua memang tidak mudah dijalani. Terlepas dari pembohongan dan pembodohan yang keluarga Wilson lakukan. Luna merupakan perempuan yang baik, mandiri dan pekerja keras. Luna juga bukan tipikal perempuan yang menghambur-hamburkan hartanya. Disela kegiatan Giselle menata makanan di atas meja, sudut matanya melirik pada atensi Aiden. Anaknya itu tampak merenung dengan tatapan kosong pada meja kerjanya. "Aku sangat mencintainya Bu." Mau mengelak bagaimanapun, perasaannya tidak dapat dibohongi lagi. Kini Giselle menghembuskan napas. Bertepatan ia selesai menata makanan. Jika bicara dengan Andreas, sudah pasti yang dibahas adalah seputar pekerjaan dan bisnis. Pembatalan kontrak atau menjatuhkan perusahaan Wilson secara drastis. Padahal yang paling
Darren menyugar rambutnya ke belakang dengan jari tangannya. Ia tidak berani menoleh ke arah Selena. Menyadari dirinya memang salah. Tapi entah kenapa egonya enggan untuk membujuk istrinnya itu. Rasa amarah dan terinjak-injak masih ada dibatinnya. Darren mengatur napasnya kemudian berlalu meninggalkan kamar tanpa membawa koper yang belum tuntas itu.******"Aku besok akan ambil libur. Mungkin agak panjang." Aiden mengingatkan Yulio lagi setelah sebelumnya mereka sudah berkoordinasi mengenai ini. Aiden merupakan orang penting di Perusahaan. Jadi untuk ambil liburpun, Yulio perlu menyelesaikan beberapa hal yang menyangkut pemiliknya. Yulio mengangguk. "Baik Pak, semua sudah saya selesaikan. Sementara waktu penandatanganan laporan mingguan akan saya gantikan."Aiden mengangguk, dan Yulio telah dipersilahkan untuk keluar dari ruangan. Hari sudah larut, jadi Aiden mematikan komputer kemudian berkemas pulang. Akhir-akhir ini, laki-laki itu tidak memakai supir. Aiden berkendara sendiri kema
"Kau tidak boleh mati secepat itu." Suara Robert terdengar ketika kesadaran Luna kembali. Aroma obat-obatan membuat indera penciumannya sensitif. Luna berada di rumah sakit lagi. Terbaring di atas bangkor dengan punggung tangan yang terinfus. Ia merasakan perih dan ngilu pada bagian pergelangan tangan.Perempuan itu melirik pada perban yang sudah melingkar menutupi luka. Masih jelas teringat bagaimana Luna menggoreskan pecahan vas bunga pada tangannya. Rasa sakit pada hatinya kian nyata begitu darah mengalir deras dari goresan luka itu. "Ada asetku di dalam perutmu. Jaga kesehatanmu dengan baik." Robert menambahkan.Luna menghembuskan napasnya. Harus pakai cara apa ia mengatakan agar lekas terbebas dari Robert. "Kau yakin ini anak Aiden?" tanya Luna dengan wajah datar. Pertanyaan itu langsung membuat Robert yang sudah membalikkan badan kembali menghadapnya. Luna menaikkan pandangannya pada Robert yang berdiri di samping bangkor. Kini ia harus dapat memasang wajah intimidasi. Dia t
Mencari perempuan lain tidak pernah terbesit dalam pikiran Aiden. Namun itu terdengar menarik, meski ia juga tidak yakin apakah dengan cara itu akan berhasil ketika hatinya masih menginginkan untuk bertemu dengan Luna. "Aku hanya menyarankan." Zack menambahkan barangkali ia terlalu menyinggung Aiden kali ini. "Akan ku pikirkan nanti." Jawaban tidak terduga ini cukup membuat Zack tercengang. Jika sudah begini sudah pasti Aiden akan mempertimbangkan. Zack mengangguk. "Apa yang menjadi bebanmu akhir-akhir ini?" tanya Zack seperti biasa. Sudah melipat kakinya bersantai. "Seperti yang kau lihat, pekerjaan menumpuk." Aiden menunjuk meja kerjanya yang penuh dengan berkas file. Tawa Zack menggelegar. "Selain pekerjaan. Aku juga bosan kalau mendengar pekerjaanmu."Kini ganti Aiden yang tekekeh. Akhirnya laki-laki itu tertawa. "Lebih menarik mendengar kisah cintamu yang tak kunjung berhasil.""Sialan!""Hahaha..""Tapi bagaimana bisa aku yang lebih tampan darimu selalu gagal?" Kini Zack be
Luna melepas pelukannya, ia menatap Aiden dalam diam lalu membawanya keluar ruangan. "Mau ke mana?" tanya Aiden dengan langkah yang terus mengikuti Luna. Setelah berada di taman belakang, barulah Luna berhenti. "Aku punya ide." Luna lalu duduk dan menarik tangan Aiden untuk duduk juga. "Apa itu?""Bagaimana jika aku meninggalkanmu?" Aiden langsung berdecak tidak suka dengan pertanyaan itu. "Mau ke mana lagi? jangan coba-coba untuk meninggalkanku Luna.""Ini hanya sebuah ide. Jika aku selalu dijadikan tawanan untuk Robert atau entah nanti siapapun itu karena mereka tahu aku adalah kelemahanmu. Bagaimana jika kita berpura-pura berpisah saja. Jadi ada atau tidaknya aku di hidupmu itu tidak akan membuatmu lemah." Luna menjelaskan. Tapi melihat raut tidak suka Aiden membuatnya harus meyakinkan laki-laki itu. Luna mengambil tangan Aiden dan menggenggamnya. "Kita harus menyelesaikan ini. Dan kita harus menang."Aiden hanya diam sembari menatap pada kedua mata Luna. Semua yang dikatakan
Luna sedang menyusui Aaron begitu Aiden datang. Wajahnya langsung berseri melihat putra mereka yang sedang minum. Sebelum melepas jasnya, Aiden mendekat untuk mencium puncak kepala Aaron lalu berganti mencium pipi Luna. Ia sangat adil untuk hal ini. Luna tidak banyak berkomentar, ia hanya tersenyum dan ekor matanya melihat ke arah Aiden yang masuk ke kamar mandi. Dalam hati banyak menyesali kenapa dirinya mudah diperdaya hingga menyakiti banyak orang. Mungkin saja jika sedari awal tidak menerima tawaran Selena hidupnya akan damai, walau hidup tanpa kekasih akibat diputuskan waktu itu. Tidak masalah, laki-laki bukanlah satu-satunya tujuan hidup bukan?Tapi tidak boleh berpikir begitu, sekarang sudah ada Aiden yang rela melakukan apapun untuknya. Ia akan aman.Bertepatan dengan Aaron yang sudah memejamkan mata, Aiden keluar dari kamar mandi dengan aroma sabun yang menguar. "Sudah tidur?" tanya Aiden dengan suara pelan. Luna mengangguk. Aiden membuka lemari dengan perlahan takut j
Tidak ada yang menduga bahwa kegiatan panas mereka ternyata menjadi sebuah ancaman untuk Aiden. Entah mendapat dari mana namun kini Luna telah menodong pistol yang sontak membuat Aiden langsung mundur ke belakang.Kedua alisnya menyatu menjauh dari tubuh Luna.Istrinya itu dengan wajah yang masih memerah akibat gairah, juga deru napas yang belum teratur memegang pistol dengan erat."What happen Luna?" Tanya Aiden terbata dengan kebingungan.Itu bukan pistol bohongan. Aiden mengenali nomor seri pada emboss pada bagian sampingnya. Dimana Luna mendapatkan itu?Aiden sudah memastikannya sendiri bahwa nama Luna bersih. Benar-benar bersih bukan merupakan agen intel, seorang tangan kanan mafia, atau sebagainya itu. Lagipula yang kini Aiden bingungkan hanyalah, apa yang sedang terjadi sekarang.Tapi melihat mata Luna berkaca dengan wajah yang sok dikuatkan itu membuat Aiden mengerti sesuatu."Siapa yang menyuruhmu?" Tanya Aiden lembut ia bergerak ke samping kasur dan duduk dengan tenang meski
Luna kembali bersama Aiden. Ia pulang ke Seoul duduk di samping suaminya. Jong Min masih di Jeju. Sengaja menambah masa liburannya dan Giselle telah membantu Jong Min untuk membawa Krystal ke sana melancarkan lamaran yang Jong Min rencanakan. Tidak butuh waktu lama mereka sudah mendarat di Incheon Airport. Giselle sangat senang mendorong troli bayi dimana Baby A tertidur disana.Luna dan Aiden saling bertaut tangan menyembuhkan rasa rindu. Ngomong-ngomong Aiden sudah menyiapkan nama untuk anaknya. Aaron Santana Ellworth. Kata Luna anak mereka lahir sebelum natal tepat ketika salju turun. Entah kenapa nama itu yang terpikirkan dalam kepala Aiden. Tapi jika melihat bayinya, kulit seputih salju itu cocok dengan nama tersebut. Luna tersenyum kala kedua pandangan Aiden terus memandangi troli yang Giselle dorong. Mertuanya itu langkahnya lebih dulu ada di depan mereka. "Terima kasih," kata Aiden sedikit mendekatkan dirinya pada Luna agar terdengar. "Terima kasih untuk apa?" tanya Luna
"Maaf aku terlambat, sesuatu yang hectic terjadi tadi haha.." Aiden terkejut. Ia diam memandang Luna dengan balutan gaun putih berbahan tipis itu. Begitu juga Giselle yang tidak mampu berkata apapun. Memastikan lagi apakah ia salah lihat atau bagaimana. "Luna?" Aiden mencoba menyebutkan nama itu. Barangkali ia salah orang akibat terlalu lama memikirkan istrinya. Tapi perempuan yang ia sebut Luna itu juga terkejut. Suasana menjadi hening untuk beberapa saat dan Jong Min menebak apa yang sedang terjadi. "Kalian saling mengenal?" tanya Jong Min dengan raut cerianya. Kebetulan yang membahagiakan bukan? orang yang kau kenal mengenal teman barumu. Aiden beranjak dari duduknya mengabaikan pertanyaan Jong Min. Ia menatap Luna untuk beberapa saat. Bagaimana mata itu kembali menatapnya. "I found you," lirih Aiden langsung menarik tangan Luna membawanya pergi dari meja. Ada banyak yang harus mereka obrolkan secara empat mata. Giselle yang melihat kepergian mereka hanya dapat berdoa semog
Senyum Jong Min merekah melihat Aiden berjalan ke arahnya. Tamu yang ia tunggu tunggu datang juga. "Sudah lama menunggu?" tanya Aiden juga tersenyum. "Tidak begitu, aku baru datang juga. Ibumu?" Jong Min beralih pada wanita di samping Aiden. Aiden mengangguk memperkenalkan Ibunya pada Jong Min. "Bu ini Jong Min dia sempat menolongku waktu itu."Senyum Giselle merekah. Entah bantuan apa yang Jong Min lakukan pada Aiden, tapi itu sudah menjadi hal baik baginya. Tidak semua orang saling membantu ketika belum mengenal bukan?"Giselle," ucap Giselle memperkenalkan namanya. "Aku Jong Min. Sangat disayangkan, kau lebih cocok menjadi kakak Aiden daripada Ibu." Jong Min memuji wajah Giselle yang tampak awet muda. Mendengar itu Giselle jadi tertawa renyah. Ia suka sebuah pujian. Mereka pun segera duduk pada kursi yang telah disediakan. Di atas meja telah terhidang beberapa makanan yang baru saja tiba ketika mereka sedang asik berkenalan tadi. Pada sela makan malam, Giselle bertanya-tanya
Keduanya saling menceritakan satu sama lain. Dimana Aiden membuka jati dirinya sebagai seorang pengusaha, dan Jong Min mengatakan bahwa profesinya adalah seorang dokter. "Jadi kau seorang dokter?"Jong Min mengangguk menunjukkan lesung pipinya. "Belajar sangat tidak mudah. Bagaimana mungkin ada manusia menghafal buku setebal lima belas senti."Aiden tertawa melihat wajah Jong Min yang putus asa. "Hei buktinya kau bisa. Kau mematahkan pikiran burukmu itu.""Benar juga, aku hampir kehilangan mobilku jika tidak segera menghafal."Lagi-lagi Aiden tertawa. "Ibumu menyitanya.""Benar sekali. Kau sering begitu juga? Ibu mu menyita kartu? atau mobil ketika kau menjadi bebal." Jong Min begitu ingin tahu. Yang ia lihat Aiden tampak seperti lelaki baik-baik. "Aku tidak pernah menjadi bebal. Ketika tua aku baru bebal.""HAHAHAHA.." Kini giliran Jong Min yang tertawa. "Apa yang menjadi keributan pak tua ini?""Sial," umpat Aiden dengan sisa senyumnya. Tangannya meraih gelas kecil yang telah beri
Aiden dan Giselle menuju hotel dengan perasaan yang tidak dapat dijelaskan. Giselle tertangkap basah, masih memiliki harapan untuk bertemu dengan Luna. Sebetulnya, perasaan Giselle lebih sakit melihat anak semata wayangnya terus larut dalam kesedihan. Tetapi jika hanya Luna yang menjadi kebahagiaan Aiden ia akan turut serta mengabulkannya. Hari telah gelap. Aiden melambaikan tangan sebagai sirat pamitnya untuk Giselle. Membiarkan Ibunya untuk beristirahat dulu hari ini. Aiden juga perlu istirahat. Semakin hari rasanya semakin berat. Ia masih belum menemukan Luna. Mendapatkan informasinya saja tidak. Terkadang, ia berpikir untuk menyerah saja. Mengubur kenangan mereka dan melanjutkan hidupnya. Namun disisi itu, Aiden juga sempat berpikir bagaimana jika ia menikah lagi dan ketika sudah mau memulai hidup baru Luna kembali dihadapannya tanpa ia cari. Aiden tidak ingin menyesal lagi untuk kehilangan Luna. Hal seperti tadi tak seharusnya mampir ke pikirannya. Laki-laki itu lantas m
"Tapi mungkin kau bisa mencari tahu melalui Selena. Barangkali lepasnya Luna hanya akal-akalannya saja." Robert memberi saran dan itu terdengar masuk akal. Akhirnya setelah berbincang lama dan membahas hal lain, tanpa sadar keduanya menjadi dekat lagi. Hmm lebih tepatnya melupakan yang telah terjadi. Robert datang ke Korea juga tidak dengan tangan kosong. Ia membawakan Aiden seperti jinjingan berisi sepatu mahal, beserta dokumen dokumen yang Aiden perlukan. Seperti yang Robert tahu, temannya itu sedang merintis bisnis dibidang keuangannya. Jdi Robert membantu memberikan nama nasabah yang dulunya pernah menjadi nasabahnya. Hal itu berguna, jikamana spam iklan Perusahaan Aiden masuk ke nomor nasabah. "Terima kasih." Aiden tersentuh. Lihat bukan? Tanpa perlu ia membalas dendam, Robert akan tahu sendiri letak kesalahannya dan penyesalannya. Tidak semua hal dapat diselesaikan dengan balas dendam. Itu khusus untuk orang-orang yang paham. "Aku kembali dulu. Semoga kau segera menem