Darren menyugar rambutnya ke belakang dengan jari tangannya. Ia tidak berani menoleh ke arah Selena. Menyadari dirinya memang salah. Tapi entah kenapa egonya enggan untuk membujuk istrinnya itu. Rasa amarah dan terinjak-injak masih ada dibatinnya. Darren mengatur napasnya kemudian berlalu meninggalkan kamar tanpa membawa koper yang belum tuntas itu.******"Aku besok akan ambil libur. Mungkin agak panjang." Aiden mengingatkan Yulio lagi setelah sebelumnya mereka sudah berkoordinasi mengenai ini. Aiden merupakan orang penting di Perusahaan. Jadi untuk ambil liburpun, Yulio perlu menyelesaikan beberapa hal yang menyangkut pemiliknya. Yulio mengangguk. "Baik Pak, semua sudah saya selesaikan. Sementara waktu penandatanganan laporan mingguan akan saya gantikan."Aiden mengangguk, dan Yulio telah dipersilahkan untuk keluar dari ruangan. Hari sudah larut, jadi Aiden mematikan komputer kemudian berkemas pulang. Akhir-akhir ini, laki-laki itu tidak memakai supir. Aiden berkendara sendiri kema
"Kau tidak boleh mati secepat itu." Suara Robert terdengar ketika kesadaran Luna kembali. Aroma obat-obatan membuat indera penciumannya sensitif. Luna berada di rumah sakit lagi. Terbaring di atas bangkor dengan punggung tangan yang terinfus. Ia merasakan perih dan ngilu pada bagian pergelangan tangan.Perempuan itu melirik pada perban yang sudah melingkar menutupi luka. Masih jelas teringat bagaimana Luna menggoreskan pecahan vas bunga pada tangannya. Rasa sakit pada hatinya kian nyata begitu darah mengalir deras dari goresan luka itu. "Ada asetku di dalam perutmu. Jaga kesehatanmu dengan baik." Robert menambahkan.Luna menghembuskan napasnya. Harus pakai cara apa ia mengatakan agar lekas terbebas dari Robert. "Kau yakin ini anak Aiden?" tanya Luna dengan wajah datar. Pertanyaan itu langsung membuat Robert yang sudah membalikkan badan kembali menghadapnya. Luna menaikkan pandangannya pada Robert yang berdiri di samping bangkor. Kini ia harus dapat memasang wajah intimidasi. Dia t
Mencari perempuan lain tidak pernah terbesit dalam pikiran Aiden. Namun itu terdengar menarik, meski ia juga tidak yakin apakah dengan cara itu akan berhasil ketika hatinya masih menginginkan untuk bertemu dengan Luna. "Aku hanya menyarankan." Zack menambahkan barangkali ia terlalu menyinggung Aiden kali ini. "Akan ku pikirkan nanti." Jawaban tidak terduga ini cukup membuat Zack tercengang. Jika sudah begini sudah pasti Aiden akan mempertimbangkan. Zack mengangguk. "Apa yang menjadi bebanmu akhir-akhir ini?" tanya Zack seperti biasa. Sudah melipat kakinya bersantai. "Seperti yang kau lihat, pekerjaan menumpuk." Aiden menunjuk meja kerjanya yang penuh dengan berkas file. Tawa Zack menggelegar. "Selain pekerjaan. Aku juga bosan kalau mendengar pekerjaanmu."Kini ganti Aiden yang tekekeh. Akhirnya laki-laki itu tertawa. "Lebih menarik mendengar kisah cintamu yang tak kunjung berhasil.""Sialan!""Hahaha..""Tapi bagaimana bisa aku yang lebih tampan darimu selalu gagal?" Kini Zack be
Melihat Robert hanya diam, membuat Luna memfokuskan dirinya lagi pada video game. Mungkin hanya dengan cara ini ia akan bertemu lagi dengan Aiden nanti. Namun dalam dirinya juga masih belum siap bertemu laki-laki itu. Apakah mungkin Aiden sudah menemukan perempuan lain yang sepadan dengannya. Aiden sudah melupakan Luna, perempuan yang tidak ada apa-apanya ini. Aiden dengan mudah melupakan kenangan mereka dan menjalani hidupnya dengan bahagia. Sial. Itu menyakitkan dan kini pandangan Luna jadi memburam. Membayangkan saja rasanya sakit sekali. Luna memang belum memberikan perasaannya sepenuhnya pada Aiden, tapi hidup bersama laki-laki itu menyimpan memori indah. Suara decitan kursi membuat Luna tahu Robert mulai beranjak berdiri. Baguslah, lebih baik dia pergi dan tidak mengganggu Luna. Tapi Luna salah, Robert mengambil kotak tisu dan menaruhnya di samping kaki Luna. Baru setelahnya ia keluar dari kamar dan menguncinya dari luar seperti biasa. Luna menghembuskan napasnya, menarik
"Apa hubungannya denganmu?" Aiden balik bertanya. Ia sangat tidak suka jika orang lain menanyakan hal sensitif apalagi terkait Luna padanya.Zack tersenyum simpul. Masih sulit didekati oleh pertanyaan itu. "Tidak apa, hanya saja aku ada kenalan yang mudah menemukan keberadaan seseorang."Aiden diam. Dia mulai terpancing pada kalimat Zack. Namun tidak mau lagi banyak bicara apalagi membicarakan Luna. Biarkan ini menjadi rahasianya. Zack mengedikan bahu. "Kau masih tertutup soal ini. Tidak masalah. Kau bisa mengandalkanku jika perlu bantuan."Aiden mengangguk saja. Agar Zack diam juga. Lebih baik keduanya membahas hal lain.******Robert mengernyitkan kening berharap telinganya tidak salah dengar. "Apa katamu?" Kini dia telah beranjak dari kursi sangking tidak percaya dengan apa yang Bryan katakan. Bryan sudah menunduk dalam. "Maafkan saya Pak."Robert berdecak langsung meninggalkan ruang kerjanya. Laki-laki tinggi itu masuk ke lift menekan tombol lantai dasar. Ia harus memastikan se
Aiden diam sejenak. Tidak ingin langsung marah atau ingin tahu lebih lanjut terpancing oleh kalimat Robert. "Ku sarankan untuk tidak menyentuhnya lagi selagi aku masih baik." Robert terkekeh. "Kau masih menginginkannya?""Itu bukan urusanmu."Robert mengedikkan bahu. "Lalu kenapa kau mencarinya lagi. Tidak perlu bertanya itu sudah terlihat olehmu." "Ada yang perlu kami selesaikan. Sepertimu, dia juga berhutang sesuatu padaku." Aiden memilah kata dengan baik."Bagaimana jika... aku mulai menyukainya." Robert tidak henti-hentinya membuat emosi Aiden meningkat. Masih jelas terekam saat itu raut Robert tampak serius. Tidak bermaksud memainkan Aiden, justru Robert mengatakan itu karena ingin mengungkapkan apa yang telah mengganggunya akhir-akhir ini."Maksudmu?" tanya Aiden ingin memperjelas tebakannya. "Kau sudah mendengarnya. Sebagai laki-laki terhadap perempuan. Aku tidak menemukan apa yang dia miliki dari perempuan lain." Robert mungkin sudah gila. Bagaimana bisa ia menyukai perem
Selain kisah cintanya yang jadi berantakan, bisnis Aiden juga sedang diuji tiada henti. Dari penggelapan dana yang belum terlihat siapa pelakunya, lagi-lagi satu kantor cabang terbakar, atau bisnisnya yang tidak beroperasi semulus yang ia kira. "Yulio tolong carikan ini," kata Aiden memberikan map pada Yulio. "Di dalam situ ada daftar nama pemegang saham untuk hotel. Nama yang aku lingkari adalah nama yang mungkin mendapat komisi atas penggelapan dana."Yulio mengangguk menerima map yang Aiden berikan. Lalu laki-laki itu yang sudah membawa laptopnya di ruang Aiden langsung mengerjakan pekerjaannya. Memeriksa mutasi rekening Perusahaan yang tertuju pada para pemegang saham. Kiranya sudah lebih dari dua belas jam mereka bekerja. Selama bekerja dengan Aiden, Yulio tampak patuh dan tidak pernah mengeluh tentang jam kerja yang melebihi ketentuan. Untung saja bonus bulanannya lebih besar dari gaji pokoknya. Inilah yang membuat Yulio memiliki dedikasi tinggi untuk Aiden. "Ini sudah seles
Dewi mengusap-usap pundak Luna menenangkan perempuan itu. "Ini memang melelahkan, tapi jangan sampai mereka tahu kau menangis." Dewi berbisik mengingatkan. Luna dengan segera mengusap air mata di pipinya dan kembali fokus merajut. Kedua alisnya menyatu sebab menahan sesak didada. Mereka menyelesaikan pekerjaan begitu jarum jam menunjukkan pukul tiga sore. Meski dipulangkan kembali ke penginapan, Luna dan Dewi tidak dapat langsung beristirahat. Mereka masih harus bersih-bersih bersama tawanan yang lain. "Aku akan membuang ini." Luna pamit pada Dewi. Membawa kantong plastik berukuran besar berwarna hitam. Melihat itu, Dewi langsung menghampiri Luna dan membantu membawanya. "Ini berat! biar aku saja."Luna tersenyum. "Tidak seberat itu."Dewi menggeleng. "Jangan paksakan dirimu, kau sedang hamil tua. Ingat mereka tidak membayar ketika perutmu kontraksi. Jadi tetaplah berhati-hati."Mendengar itu Luna akhirnya luluh. Ia harus mengutamakan bayinya sekarang. "Maaf jadi merepotkanmu ter