Mau bagaimanapun Luna harus terlihat panik dan khawatir juga. Perempuan itu segera mendekat ke arah Bibi Tiana. Menyentuh pergelangan tangannya untuk memeriksa bagaimana nadi berdenyut. Melambat itu yang Luna rasakan dari ibu jarinya. Luna juga melihat telapak tangan Bibi Tiana yang berkeringat. Hmm.. Lantas perempuan itu melongok ke bawah melihat kaki Tiana. Menunduk, dan memegangnya secara beraturan. Aiden melihat aksi Luna yang sedang menyentuh kaki Tiana. "Tolong bawa bibi segera ke kamar." Luna memerintahkan entah pada siapapun yang bisa membantu. Edward lebih dulu sigap dan segera menggendong tubuh Tiana. Luna juga mengikuti Edward dari belakang. Tidak hanya Luna semuanya ikut ke kamar Tiana. Begitu sudah sampai di kamar Tiana, Luna meminta Edward untuk memposisikan tubuh Tiana dengan tubuh yang datar. Tidak ada bantal yang lebih tinggi.Edward menurut meletakkan Tiana perlahan di kasur. Luna duduk disamping Tiana, melonggarkan pakaian Tiana tapi tidak melepasnya. Lalu m
Aiden memang tidak sombong, tapi tidak munafik bahwa dirinya tidak pernah memakai barang murah seperti ini. Namun ketika Luna memilihnya dan memakaikan kalung ini padanya, hati Aiden menghangat. Sesuai dengan apa yang Luna katakan ia berjanji tidak akan menghilangkan kalung ini. Meski nanti pada rapat dengan kolega ia akan tampak seperti preman anak remaja yang memakai kalung hitam. Hahaha... tidak masalah, mungkin ini sebuah jimat dari istrinya. Luna menarik tangannya untuk berlalu dari pedagang aksesoris. Istrinya itu membawanya pada penjual makanan. Sebuah daging ikan yang ditusuk ditambah dengan kuah sambal. Mata Luna sudah berbinar melihatnya, perempuan itu melongok pada aneka ragam yang dijual. Tapi pilihannya tetap pada daging ikan tersebut. Luna mengambilnya tiga tusuk, kemudian penjual memberinya satu gelas kuah sambal. "Silahkan dibayar tuan Aiden," kata Luna dengan wajah senangnya itu. Aiden terkekeh mengeluarkan dompet lagi, tapi sebelum membayar ia juga mengambil dua
Luna hanya diam. Atmosfir juga berubah menjadi aneh kala Madam menjelaskan kartu yang Aiden pilihkan untuknya. Ternyata sebuah kebohongan tidak akan pernah menang. Jadi dirinya akan terungkap suatu saat nanti. Madam beralih pada kartu kedua. Judgement. Sebuah kartu dengan gambar seorang malaikat bersayap meniup sebuah terompet, dan dibawahnya ada beberapa orang menadahkan tangan. "Ini masih ada sangkut pautnya dengan yang pertama. Judgement. Waktu untuk berubah - Imbalan - Retribusi - Keputusan - Pemurnian dan Transformasi. Kau akan menuai manfaat dari upaya masa lalu. Kejelasan atas tindakan kau. Ada dua pilihan, mengampuni mereka dan membuat keputusan untuk hubungan ke depannya. Atau balas dendam, menghindari komitmen. Keputusan hukum dapat melamanmu."Tanpa terasa Luna mempererat tautan tangan Aiden, namun pandangan matanya fokus pada Madam. Keduanya keluar dari tenda dengan perasaan tidak baik-baik saja. Lebih tepatnya dari pihak Luna. Aiden sudah meyakinkan berkali-kali untuk
Kenapa dalam hidup tidak pernah mendapat porsi bahagia seterusnya. Maksudnya, baru saja Luna merasa senang. Tapi ada saja yang membuat senyumnya lantas luntur begitu saja.Darren menarik garis dibibirnya membentuk senyum tipis. Ditangan laki-laki itu sudah ada beberapa potong baju yang telah dicoba.Darren melirik ke belakang tepat dimana pintu yang lurus dengan posisi Luna. "Sedang menunggu seseorang?"Luna mengangguk pelan."Suamimu?" tanya Darren lagi.Luna hanya menjawabnya dengan anggukkan. Luna tahu dari raut wajah Darren terlihat bahwa laki-laki itu sedang ingin mengajaknya bicara.Tapi pada akhirnya Darren hanya menghela napas lalu pamit berlalu. Luna sendiri hanya melirik kepergian Darren tanpa mau menahannya.Lagipula semuanya sudah berakhir bukan. Tidak ada gunanya terus mengungkit masa lalu dan menyesali yang terjadi. Penyesalan hanya akan membuat hidupmu kian memburuk. Terjebak pada masa yang telah habis yang tidak dapat kau putar lagi.Luna langsung tersadar kala pintu r
Luna sudah mengirim pesan pada Aiden bahwa ia tidak sengaja bertemu dengan Zack. Mengatakan bahwa mereka akan makan siang bersama karena Zack batal menemuinya sebab Aiden ada rapat.From: Aiden
Luna meneguk ludahnya. Bagaimana ini, ia kira begitu Aiden mengizinkan semuanya akan baik-baik saja. "Setelah aku lihat, kau sudah dua kali ini pergi makan siang dengannya.""Itu tidak sengaja. Bukan acara yang disengaja." Luna menyela sebelum Aiden salah paham lebih jauh. "Kau mengizinkan jadi ku pikir tidak masalah."Aiden mengangguk. "Tapi aku berharap kau tahu batasan ketika sudah menjadi istri orang."Menurut Luna, wajar saja laki-laki itu marah. Tapi masalahnya Luna sudah meminta izin tadi siang. Jadi kenapa Aiden harus marah."Aku baru pertama kali menikah. Jadi ketika aku sudah mendapat izin dari suamiku, ku rasa itu sudah tidak masalah untuknya." Aiden menoleh pada istrinya dengan diam. "Tolong ingat kalimat terakhirku tadi." Setelah itu laki-laki itu beranjak dari kasur menuju kamar mandi. Luna baru dapat menghembuskan napasnya dengan lega setelah menahannya sejak tadi. Agak menegangkan. Luna tidak bermaksud membantah, ia juga ingin Aiden menyadari bahwa pintu izin yang i
Aiden sungguhan mengosongkan tempat gym pagi ini. Bahkan ada Yulio yang berjaga di depan pintu. Tidak ada trainer juga, Aiden yang akan mengajari Luna bagaimana cara menggunakan perlatan gym yang ada. "Aku akan memulainya dengan lari dulu." Luna beralih menuju treadmill. Kalau ini Luna sudah biasa memakainya karena di kantor ada. Dan beberapa kali Luna menggunakannya dulu sebelum ia menikah. Luna mengatur kecepatan dengan mode lambat untuk pemanasan selama sepuluh menit. Sekiranya semangat olahraganya sudah membara, Luna menambah kecepatan lagi dan kakinya berlari kecil.Aiden juga mengikuti Luna, menggunakan treadmill di samping istrinya. Bedanya kecepatan yang Aiden gunakan lebih cepat. Langkah kakinya berdentum memenuhi ruangan.Luna melirik Aiden dengan senyuman. Suaminya itu tidak main-main jika sudah berolahraga. Tiga puluh menit berlalu, Aiden menyarankan Luna untuk beralih ke Lat Pulldown Machine. Aiden mengatur beban pada berat lima kilo saja, sebagai permulaan. Dirasa Lun
Luna buru-buru melahap roti stoberi yang Aiden berikan. Tapi ia memakan topping buah stoberinya dulu yang berada di atas permukaan roti. Itu yang harus diselamatkan lebih dulu. Aiden tidak berhenti-berhentinya tertawa membuat Luna menjadi kesal. Astaga laki-laki itu. Jika bukan suaminya sudah Luna tarik telinganya. Tapi tidak jadi, karena ia menghormati sang suami. Melihat Aiden tertawa seperti ini saja Luna tetap terpesona. Laki-laki itu menjadi tiga kali lipat lebih tampan. "Aiden, tidak ku sangka bertemu denganmu disini." Suara laki-laki lain yang mereka kenal terdengar. Seketika Aiden menghentikan tawanya, dan merubahnya menjadi senyum simpul. Ini dia akar permasalahan mereka semalam. Dan pagi ini muncul lagi. Semoga baik-baik saja. "Hai, kau sedang apa disekitar sini?" tanya Aiden. Pasalnya Puffi Muffi dekat dengan Apartemen mereka, dan baru kali ini Aiden tak sengaja bertemu dengan Zack. "Pemilik toko roti ini temanku, kami sedang ada project bersama. Mau bergabung?" tawa
Luna melepas pelukannya, ia menatap Aiden dalam diam lalu membawanya keluar ruangan. "Mau ke mana?" tanya Aiden dengan langkah yang terus mengikuti Luna. Setelah berada di taman belakang, barulah Luna berhenti. "Aku punya ide." Luna lalu duduk dan menarik tangan Aiden untuk duduk juga. "Apa itu?""Bagaimana jika aku meninggalkanmu?" Aiden langsung berdecak tidak suka dengan pertanyaan itu. "Mau ke mana lagi? jangan coba-coba untuk meninggalkanku Luna.""Ini hanya sebuah ide. Jika aku selalu dijadikan tawanan untuk Robert atau entah nanti siapapun itu karena mereka tahu aku adalah kelemahanmu. Bagaimana jika kita berpura-pura berpisah saja. Jadi ada atau tidaknya aku di hidupmu itu tidak akan membuatmu lemah." Luna menjelaskan. Tapi melihat raut tidak suka Aiden membuatnya harus meyakinkan laki-laki itu. Luna mengambil tangan Aiden dan menggenggamnya. "Kita harus menyelesaikan ini. Dan kita harus menang."Aiden hanya diam sembari menatap pada kedua mata Luna. Semua yang dikatakan
Luna sedang menyusui Aaron begitu Aiden datang. Wajahnya langsung berseri melihat putra mereka yang sedang minum. Sebelum melepas jasnya, Aiden mendekat untuk mencium puncak kepala Aaron lalu berganti mencium pipi Luna. Ia sangat adil untuk hal ini. Luna tidak banyak berkomentar, ia hanya tersenyum dan ekor matanya melihat ke arah Aiden yang masuk ke kamar mandi. Dalam hati banyak menyesali kenapa dirinya mudah diperdaya hingga menyakiti banyak orang. Mungkin saja jika sedari awal tidak menerima tawaran Selena hidupnya akan damai, walau hidup tanpa kekasih akibat diputuskan waktu itu. Tidak masalah, laki-laki bukanlah satu-satunya tujuan hidup bukan?Tapi tidak boleh berpikir begitu, sekarang sudah ada Aiden yang rela melakukan apapun untuknya. Ia akan aman.Bertepatan dengan Aaron yang sudah memejamkan mata, Aiden keluar dari kamar mandi dengan aroma sabun yang menguar. "Sudah tidur?" tanya Aiden dengan suara pelan. Luna mengangguk. Aiden membuka lemari dengan perlahan takut j
Tidak ada yang menduga bahwa kegiatan panas mereka ternyata menjadi sebuah ancaman untuk Aiden. Entah mendapat dari mana namun kini Luna telah menodong pistol yang sontak membuat Aiden langsung mundur ke belakang.Kedua alisnya menyatu menjauh dari tubuh Luna.Istrinya itu dengan wajah yang masih memerah akibat gairah, juga deru napas yang belum teratur memegang pistol dengan erat."What happen Luna?" Tanya Aiden terbata dengan kebingungan.Itu bukan pistol bohongan. Aiden mengenali nomor seri pada emboss pada bagian sampingnya. Dimana Luna mendapatkan itu?Aiden sudah memastikannya sendiri bahwa nama Luna bersih. Benar-benar bersih bukan merupakan agen intel, seorang tangan kanan mafia, atau sebagainya itu. Lagipula yang kini Aiden bingungkan hanyalah, apa yang sedang terjadi sekarang.Tapi melihat mata Luna berkaca dengan wajah yang sok dikuatkan itu membuat Aiden mengerti sesuatu."Siapa yang menyuruhmu?" Tanya Aiden lembut ia bergerak ke samping kasur dan duduk dengan tenang meski
Luna kembali bersama Aiden. Ia pulang ke Seoul duduk di samping suaminya. Jong Min masih di Jeju. Sengaja menambah masa liburannya dan Giselle telah membantu Jong Min untuk membawa Krystal ke sana melancarkan lamaran yang Jong Min rencanakan. Tidak butuh waktu lama mereka sudah mendarat di Incheon Airport. Giselle sangat senang mendorong troli bayi dimana Baby A tertidur disana.Luna dan Aiden saling bertaut tangan menyembuhkan rasa rindu. Ngomong-ngomong Aiden sudah menyiapkan nama untuk anaknya. Aaron Santana Ellworth. Kata Luna anak mereka lahir sebelum natal tepat ketika salju turun. Entah kenapa nama itu yang terpikirkan dalam kepala Aiden. Tapi jika melihat bayinya, kulit seputih salju itu cocok dengan nama tersebut. Luna tersenyum kala kedua pandangan Aiden terus memandangi troli yang Giselle dorong. Mertuanya itu langkahnya lebih dulu ada di depan mereka. "Terima kasih," kata Aiden sedikit mendekatkan dirinya pada Luna agar terdengar. "Terima kasih untuk apa?" tanya Luna
"Maaf aku terlambat, sesuatu yang hectic terjadi tadi haha.." Aiden terkejut. Ia diam memandang Luna dengan balutan gaun putih berbahan tipis itu. Begitu juga Giselle yang tidak mampu berkata apapun. Memastikan lagi apakah ia salah lihat atau bagaimana. "Luna?" Aiden mencoba menyebutkan nama itu. Barangkali ia salah orang akibat terlalu lama memikirkan istrinya. Tapi perempuan yang ia sebut Luna itu juga terkejut. Suasana menjadi hening untuk beberapa saat dan Jong Min menebak apa yang sedang terjadi. "Kalian saling mengenal?" tanya Jong Min dengan raut cerianya. Kebetulan yang membahagiakan bukan? orang yang kau kenal mengenal teman barumu. Aiden beranjak dari duduknya mengabaikan pertanyaan Jong Min. Ia menatap Luna untuk beberapa saat. Bagaimana mata itu kembali menatapnya. "I found you," lirih Aiden langsung menarik tangan Luna membawanya pergi dari meja. Ada banyak yang harus mereka obrolkan secara empat mata. Giselle yang melihat kepergian mereka hanya dapat berdoa semog
Senyum Jong Min merekah melihat Aiden berjalan ke arahnya. Tamu yang ia tunggu tunggu datang juga. "Sudah lama menunggu?" tanya Aiden juga tersenyum. "Tidak begitu, aku baru datang juga. Ibumu?" Jong Min beralih pada wanita di samping Aiden. Aiden mengangguk memperkenalkan Ibunya pada Jong Min. "Bu ini Jong Min dia sempat menolongku waktu itu."Senyum Giselle merekah. Entah bantuan apa yang Jong Min lakukan pada Aiden, tapi itu sudah menjadi hal baik baginya. Tidak semua orang saling membantu ketika belum mengenal bukan?"Giselle," ucap Giselle memperkenalkan namanya. "Aku Jong Min. Sangat disayangkan, kau lebih cocok menjadi kakak Aiden daripada Ibu." Jong Min memuji wajah Giselle yang tampak awet muda. Mendengar itu Giselle jadi tertawa renyah. Ia suka sebuah pujian. Mereka pun segera duduk pada kursi yang telah disediakan. Di atas meja telah terhidang beberapa makanan yang baru saja tiba ketika mereka sedang asik berkenalan tadi. Pada sela makan malam, Giselle bertanya-tanya
Keduanya saling menceritakan satu sama lain. Dimana Aiden membuka jati dirinya sebagai seorang pengusaha, dan Jong Min mengatakan bahwa profesinya adalah seorang dokter. "Jadi kau seorang dokter?"Jong Min mengangguk menunjukkan lesung pipinya. "Belajar sangat tidak mudah. Bagaimana mungkin ada manusia menghafal buku setebal lima belas senti."Aiden tertawa melihat wajah Jong Min yang putus asa. "Hei buktinya kau bisa. Kau mematahkan pikiran burukmu itu.""Benar juga, aku hampir kehilangan mobilku jika tidak segera menghafal."Lagi-lagi Aiden tertawa. "Ibumu menyitanya.""Benar sekali. Kau sering begitu juga? Ibu mu menyita kartu? atau mobil ketika kau menjadi bebal." Jong Min begitu ingin tahu. Yang ia lihat Aiden tampak seperti lelaki baik-baik. "Aku tidak pernah menjadi bebal. Ketika tua aku baru bebal.""HAHAHAHA.." Kini giliran Jong Min yang tertawa. "Apa yang menjadi keributan pak tua ini?""Sial," umpat Aiden dengan sisa senyumnya. Tangannya meraih gelas kecil yang telah beri
Aiden dan Giselle menuju hotel dengan perasaan yang tidak dapat dijelaskan. Giselle tertangkap basah, masih memiliki harapan untuk bertemu dengan Luna. Sebetulnya, perasaan Giselle lebih sakit melihat anak semata wayangnya terus larut dalam kesedihan. Tetapi jika hanya Luna yang menjadi kebahagiaan Aiden ia akan turut serta mengabulkannya. Hari telah gelap. Aiden melambaikan tangan sebagai sirat pamitnya untuk Giselle. Membiarkan Ibunya untuk beristirahat dulu hari ini. Aiden juga perlu istirahat. Semakin hari rasanya semakin berat. Ia masih belum menemukan Luna. Mendapatkan informasinya saja tidak. Terkadang, ia berpikir untuk menyerah saja. Mengubur kenangan mereka dan melanjutkan hidupnya. Namun disisi itu, Aiden juga sempat berpikir bagaimana jika ia menikah lagi dan ketika sudah mau memulai hidup baru Luna kembali dihadapannya tanpa ia cari. Aiden tidak ingin menyesal lagi untuk kehilangan Luna. Hal seperti tadi tak seharusnya mampir ke pikirannya. Laki-laki itu lantas m
"Tapi mungkin kau bisa mencari tahu melalui Selena. Barangkali lepasnya Luna hanya akal-akalannya saja." Robert memberi saran dan itu terdengar masuk akal. Akhirnya setelah berbincang lama dan membahas hal lain, tanpa sadar keduanya menjadi dekat lagi. Hmm lebih tepatnya melupakan yang telah terjadi. Robert datang ke Korea juga tidak dengan tangan kosong. Ia membawakan Aiden seperti jinjingan berisi sepatu mahal, beserta dokumen dokumen yang Aiden perlukan. Seperti yang Robert tahu, temannya itu sedang merintis bisnis dibidang keuangannya. Jdi Robert membantu memberikan nama nasabah yang dulunya pernah menjadi nasabahnya. Hal itu berguna, jikamana spam iklan Perusahaan Aiden masuk ke nomor nasabah. "Terima kasih." Aiden tersentuh. Lihat bukan? Tanpa perlu ia membalas dendam, Robert akan tahu sendiri letak kesalahannya dan penyesalannya. Tidak semua hal dapat diselesaikan dengan balas dendam. Itu khusus untuk orang-orang yang paham. "Aku kembali dulu. Semoga kau segera menem