Luna sudah mengirim pesan pada Aiden bahwa ia tidak sengaja bertemu dengan Zack. Mengatakan bahwa mereka akan makan siang bersama karena Zack batal menemuinya sebab Aiden ada rapat.From: Aiden
Luna meneguk ludahnya. Bagaimana ini, ia kira begitu Aiden mengizinkan semuanya akan baik-baik saja. "Setelah aku lihat, kau sudah dua kali ini pergi makan siang dengannya.""Itu tidak sengaja. Bukan acara yang disengaja." Luna menyela sebelum Aiden salah paham lebih jauh. "Kau mengizinkan jadi ku pikir tidak masalah."Aiden mengangguk. "Tapi aku berharap kau tahu batasan ketika sudah menjadi istri orang."Menurut Luna, wajar saja laki-laki itu marah. Tapi masalahnya Luna sudah meminta izin tadi siang. Jadi kenapa Aiden harus marah."Aku baru pertama kali menikah. Jadi ketika aku sudah mendapat izin dari suamiku, ku rasa itu sudah tidak masalah untuknya." Aiden menoleh pada istrinya dengan diam. "Tolong ingat kalimat terakhirku tadi." Setelah itu laki-laki itu beranjak dari kasur menuju kamar mandi. Luna baru dapat menghembuskan napasnya dengan lega setelah menahannya sejak tadi. Agak menegangkan. Luna tidak bermaksud membantah, ia juga ingin Aiden menyadari bahwa pintu izin yang i
Aiden sungguhan mengosongkan tempat gym pagi ini. Bahkan ada Yulio yang berjaga di depan pintu. Tidak ada trainer juga, Aiden yang akan mengajari Luna bagaimana cara menggunakan perlatan gym yang ada. "Aku akan memulainya dengan lari dulu." Luna beralih menuju treadmill. Kalau ini Luna sudah biasa memakainya karena di kantor ada. Dan beberapa kali Luna menggunakannya dulu sebelum ia menikah. Luna mengatur kecepatan dengan mode lambat untuk pemanasan selama sepuluh menit. Sekiranya semangat olahraganya sudah membara, Luna menambah kecepatan lagi dan kakinya berlari kecil.Aiden juga mengikuti Luna, menggunakan treadmill di samping istrinya. Bedanya kecepatan yang Aiden gunakan lebih cepat. Langkah kakinya berdentum memenuhi ruangan.Luna melirik Aiden dengan senyuman. Suaminya itu tidak main-main jika sudah berolahraga. Tiga puluh menit berlalu, Aiden menyarankan Luna untuk beralih ke Lat Pulldown Machine. Aiden mengatur beban pada berat lima kilo saja, sebagai permulaan. Dirasa Lun
Luna buru-buru melahap roti stoberi yang Aiden berikan. Tapi ia memakan topping buah stoberinya dulu yang berada di atas permukaan roti. Itu yang harus diselamatkan lebih dulu. Aiden tidak berhenti-berhentinya tertawa membuat Luna menjadi kesal. Astaga laki-laki itu. Jika bukan suaminya sudah Luna tarik telinganya. Tapi tidak jadi, karena ia menghormati sang suami. Melihat Aiden tertawa seperti ini saja Luna tetap terpesona. Laki-laki itu menjadi tiga kali lipat lebih tampan. "Aiden, tidak ku sangka bertemu denganmu disini." Suara laki-laki lain yang mereka kenal terdengar. Seketika Aiden menghentikan tawanya, dan merubahnya menjadi senyum simpul. Ini dia akar permasalahan mereka semalam. Dan pagi ini muncul lagi. Semoga baik-baik saja. "Hai, kau sedang apa disekitar sini?" tanya Aiden. Pasalnya Puffi Muffi dekat dengan Apartemen mereka, dan baru kali ini Aiden tak sengaja bertemu dengan Zack. "Pemilik toko roti ini temanku, kami sedang ada project bersama. Mau bergabung?" tawa
Semua prosesi pemakaman telah selesai. Dibalik kacamata hitamnya, Luna menatap guci di dalam columbarium. Hanya tertulis nama Harris Devaux disana, tidak ada foto sebab Luna juga tidak memiliki foto ayahnya. Tidak ada yang dapat Luna persembahkan, namun perempuan itu melepas cincin yang ia kenakan dan melatkkan ke dalam columbarium. Itu bukan cincin kawin, hanya perhiasan yang tidak sengaja Luna pakai hari ini. Luna juga tidak membawa bunga. Jadi columbarium milik Harris tampak sepi dan seadanya. Menghembuskan napas, tanpa mengatakan apa-apa Luna memilih berbalik meninggalkan apa yang terlah terjadi. Tidak tahu bagaimana kejadiannya, Luna juga tidak bertanya mengapa Harris meninggal tadi. Luna harus bisa merelakan apa yang telah terjadi. Menghadapi kemungkinan yang akan terjadi nantinya. Dan mengikhlaskan sesuatu yang buruk terjadi. Luna membuka pintu mobil dan duduk pada kursi kemudi. Memakai sabuk pengaman, setelah itu melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Ia harus bisa men
Luna beberapa kali melirik ke arah kemudi. Dimana Aiden menyetir mobil sendiri untuk mengantarnya bekerja.Astaga. Bagaimana ini? Masa iya Luna yang tidak terdaftar sebagai dokter di rumah sakit Guy's and St Thomas' tiba-tiba memiliki jadwal praktek disana. Baru menyadari juga, apakah namanya muncul ketika dicari pada web rumah sakit?Luna mendadak mencari namanya. Berharap keluarga Wilson telah mengatur strategi ini karena sungguh ia sudah pusing memikirkannya. Sebelum sampai ke rumah sakit Luna harus memastikan beberapa hal dulu. Selena sudah Luna hubungi tadi, dan perempuan yang mendadak judes padanya itu untungnya siap membantu.Meski dengan decakan dan kalimat berintonasi malas. Setidaknya ini menyangkut keluarga Wilson jadi Selena mau membantunya.Luna bernapas lega ketika melihat namanya ternyata ada di daftar nama dokter Guy's and St Thomas' Hospitals. Untungnya rumah sakit itu luas. Jadi tidak ada yang memperhatikan namanya. Atau mungkin sudah dipertanyakan pada pihak manajem
"Jamu yang aku berikan kemarin diminum kan?"Luna mengangguk. Entahlah ia juga tidak yakin, seingatnya Luna hanya mencicipi sedikit kemudian membuangnya karena rasanya sudah tidak enak. Mungkin sudah terlalu lama juga. Dan untungnya Aiden tidak tahu soal ini. Luna hanya mengaku bahwa ia meminumnya."Kenapa belum bekerja ya?" Giselle bertanya-tanya melihat ke arah perut Luna yang masih datar. "Ah itu, maafkan aku juga belum dapat memberi Ibu cucu." Luna berkata dengan lesu. Giselle jadi merasa bersalah terlalu menyinggung soal cucu. Mungkin keduanya sebenarnya juga masih ingin menikmati waktu berdua. Giselle menghampiri Luna mengelus-elus pundaknya. "Maafkan Ibu jika terlalu menyinggungmu yaa."Luna menggeleng. "Ibu pasti bertanya-tanya juga diusia pernikahan kami yang menginjak enam bulan belum membuahkan hasil.""Jangan bicara begitu. Ibu akan kontrol ucapan Ibu." Giselle meraih tangan Luna dan mengelusnya. *******Aiden melihat file yang Yulio berikan dengan diam. Berupa foto keg
Luna tampak biasa saja, atau lebih tepatnya mencoba bersikap biasa. Perempuan itu lantas menyuapkan ramen ke mulut. Berikutnya adalah ekspresi terkejut karena rasanya yang lezat. "Hmmm!! ini enak sekali!" "Jangan terlalu dipikirkan." Luna jadi menoleh begitu Aiden berujar. "Ucapan Ibu jangan terlalu dipikirkan." Aiden menambahkan. Ia tidak ingin Luna menjalani harinya dengan paksaan. Maksudnya, jika belum diberi keturunan tidak masalah. "Tujuan pernikahan tidak hanya untuk meneruskan keturunan."Luna mengelus senyumnya. Bibirnya yang jadi berkilat sebab minyak dari ramen yang ia makan. "Nanti kita buat lagi ya!""Hahahaha.. tentu sayang. Aku paling senang bagian itu." Aiden jadi tidak sabar menantikan malam panasnya lagi hari ini.******Luna mengenakan dress panjang tanpa lengan berwarna silver. Rambutnya tergerai indah dengan ikal. Aiden yang melihatnya dari pantulan cermin tidak dapat bosan-bosannya tersenyum. Sangat mengangumi istrinya. Luna mendatangkan penata rias artis. Un
Luna melepas pelukannya, ia menatap Aiden dalam diam lalu membawanya keluar ruangan. "Mau ke mana?" tanya Aiden dengan langkah yang terus mengikuti Luna. Setelah berada di taman belakang, barulah Luna berhenti. "Aku punya ide." Luna lalu duduk dan menarik tangan Aiden untuk duduk juga. "Apa itu?""Bagaimana jika aku meninggalkanmu?" Aiden langsung berdecak tidak suka dengan pertanyaan itu. "Mau ke mana lagi? jangan coba-coba untuk meninggalkanku Luna.""Ini hanya sebuah ide. Jika aku selalu dijadikan tawanan untuk Robert atau entah nanti siapapun itu karena mereka tahu aku adalah kelemahanmu. Bagaimana jika kita berpura-pura berpisah saja. Jadi ada atau tidaknya aku di hidupmu itu tidak akan membuatmu lemah." Luna menjelaskan. Tapi melihat raut tidak suka Aiden membuatnya harus meyakinkan laki-laki itu. Luna mengambil tangan Aiden dan menggenggamnya. "Kita harus menyelesaikan ini. Dan kita harus menang."Aiden hanya diam sembari menatap pada kedua mata Luna. Semua yang dikatakan
Luna sedang menyusui Aaron begitu Aiden datang. Wajahnya langsung berseri melihat putra mereka yang sedang minum. Sebelum melepas jasnya, Aiden mendekat untuk mencium puncak kepala Aaron lalu berganti mencium pipi Luna. Ia sangat adil untuk hal ini. Luna tidak banyak berkomentar, ia hanya tersenyum dan ekor matanya melihat ke arah Aiden yang masuk ke kamar mandi. Dalam hati banyak menyesali kenapa dirinya mudah diperdaya hingga menyakiti banyak orang. Mungkin saja jika sedari awal tidak menerima tawaran Selena hidupnya akan damai, walau hidup tanpa kekasih akibat diputuskan waktu itu. Tidak masalah, laki-laki bukanlah satu-satunya tujuan hidup bukan?Tapi tidak boleh berpikir begitu, sekarang sudah ada Aiden yang rela melakukan apapun untuknya. Ia akan aman.Bertepatan dengan Aaron yang sudah memejamkan mata, Aiden keluar dari kamar mandi dengan aroma sabun yang menguar. "Sudah tidur?" tanya Aiden dengan suara pelan. Luna mengangguk. Aiden membuka lemari dengan perlahan takut j
Tidak ada yang menduga bahwa kegiatan panas mereka ternyata menjadi sebuah ancaman untuk Aiden. Entah mendapat dari mana namun kini Luna telah menodong pistol yang sontak membuat Aiden langsung mundur ke belakang.Kedua alisnya menyatu menjauh dari tubuh Luna.Istrinya itu dengan wajah yang masih memerah akibat gairah, juga deru napas yang belum teratur memegang pistol dengan erat."What happen Luna?" Tanya Aiden terbata dengan kebingungan.Itu bukan pistol bohongan. Aiden mengenali nomor seri pada emboss pada bagian sampingnya. Dimana Luna mendapatkan itu?Aiden sudah memastikannya sendiri bahwa nama Luna bersih. Benar-benar bersih bukan merupakan agen intel, seorang tangan kanan mafia, atau sebagainya itu. Lagipula yang kini Aiden bingungkan hanyalah, apa yang sedang terjadi sekarang.Tapi melihat mata Luna berkaca dengan wajah yang sok dikuatkan itu membuat Aiden mengerti sesuatu."Siapa yang menyuruhmu?" Tanya Aiden lembut ia bergerak ke samping kasur dan duduk dengan tenang meski
Luna kembali bersama Aiden. Ia pulang ke Seoul duduk di samping suaminya. Jong Min masih di Jeju. Sengaja menambah masa liburannya dan Giselle telah membantu Jong Min untuk membawa Krystal ke sana melancarkan lamaran yang Jong Min rencanakan. Tidak butuh waktu lama mereka sudah mendarat di Incheon Airport. Giselle sangat senang mendorong troli bayi dimana Baby A tertidur disana.Luna dan Aiden saling bertaut tangan menyembuhkan rasa rindu. Ngomong-ngomong Aiden sudah menyiapkan nama untuk anaknya. Aaron Santana Ellworth. Kata Luna anak mereka lahir sebelum natal tepat ketika salju turun. Entah kenapa nama itu yang terpikirkan dalam kepala Aiden. Tapi jika melihat bayinya, kulit seputih salju itu cocok dengan nama tersebut. Luna tersenyum kala kedua pandangan Aiden terus memandangi troli yang Giselle dorong. Mertuanya itu langkahnya lebih dulu ada di depan mereka. "Terima kasih," kata Aiden sedikit mendekatkan dirinya pada Luna agar terdengar. "Terima kasih untuk apa?" tanya Luna
"Maaf aku terlambat, sesuatu yang hectic terjadi tadi haha.." Aiden terkejut. Ia diam memandang Luna dengan balutan gaun putih berbahan tipis itu. Begitu juga Giselle yang tidak mampu berkata apapun. Memastikan lagi apakah ia salah lihat atau bagaimana. "Luna?" Aiden mencoba menyebutkan nama itu. Barangkali ia salah orang akibat terlalu lama memikirkan istrinya. Tapi perempuan yang ia sebut Luna itu juga terkejut. Suasana menjadi hening untuk beberapa saat dan Jong Min menebak apa yang sedang terjadi. "Kalian saling mengenal?" tanya Jong Min dengan raut cerianya. Kebetulan yang membahagiakan bukan? orang yang kau kenal mengenal teman barumu. Aiden beranjak dari duduknya mengabaikan pertanyaan Jong Min. Ia menatap Luna untuk beberapa saat. Bagaimana mata itu kembali menatapnya. "I found you," lirih Aiden langsung menarik tangan Luna membawanya pergi dari meja. Ada banyak yang harus mereka obrolkan secara empat mata. Giselle yang melihat kepergian mereka hanya dapat berdoa semog
Senyum Jong Min merekah melihat Aiden berjalan ke arahnya. Tamu yang ia tunggu tunggu datang juga. "Sudah lama menunggu?" tanya Aiden juga tersenyum. "Tidak begitu, aku baru datang juga. Ibumu?" Jong Min beralih pada wanita di samping Aiden. Aiden mengangguk memperkenalkan Ibunya pada Jong Min. "Bu ini Jong Min dia sempat menolongku waktu itu."Senyum Giselle merekah. Entah bantuan apa yang Jong Min lakukan pada Aiden, tapi itu sudah menjadi hal baik baginya. Tidak semua orang saling membantu ketika belum mengenal bukan?"Giselle," ucap Giselle memperkenalkan namanya. "Aku Jong Min. Sangat disayangkan, kau lebih cocok menjadi kakak Aiden daripada Ibu." Jong Min memuji wajah Giselle yang tampak awet muda. Mendengar itu Giselle jadi tertawa renyah. Ia suka sebuah pujian. Mereka pun segera duduk pada kursi yang telah disediakan. Di atas meja telah terhidang beberapa makanan yang baru saja tiba ketika mereka sedang asik berkenalan tadi. Pada sela makan malam, Giselle bertanya-tanya
Keduanya saling menceritakan satu sama lain. Dimana Aiden membuka jati dirinya sebagai seorang pengusaha, dan Jong Min mengatakan bahwa profesinya adalah seorang dokter. "Jadi kau seorang dokter?"Jong Min mengangguk menunjukkan lesung pipinya. "Belajar sangat tidak mudah. Bagaimana mungkin ada manusia menghafal buku setebal lima belas senti."Aiden tertawa melihat wajah Jong Min yang putus asa. "Hei buktinya kau bisa. Kau mematahkan pikiran burukmu itu.""Benar juga, aku hampir kehilangan mobilku jika tidak segera menghafal."Lagi-lagi Aiden tertawa. "Ibumu menyitanya.""Benar sekali. Kau sering begitu juga? Ibu mu menyita kartu? atau mobil ketika kau menjadi bebal." Jong Min begitu ingin tahu. Yang ia lihat Aiden tampak seperti lelaki baik-baik. "Aku tidak pernah menjadi bebal. Ketika tua aku baru bebal.""HAHAHAHA.." Kini giliran Jong Min yang tertawa. "Apa yang menjadi keributan pak tua ini?""Sial," umpat Aiden dengan sisa senyumnya. Tangannya meraih gelas kecil yang telah beri
Aiden dan Giselle menuju hotel dengan perasaan yang tidak dapat dijelaskan. Giselle tertangkap basah, masih memiliki harapan untuk bertemu dengan Luna. Sebetulnya, perasaan Giselle lebih sakit melihat anak semata wayangnya terus larut dalam kesedihan. Tetapi jika hanya Luna yang menjadi kebahagiaan Aiden ia akan turut serta mengabulkannya. Hari telah gelap. Aiden melambaikan tangan sebagai sirat pamitnya untuk Giselle. Membiarkan Ibunya untuk beristirahat dulu hari ini. Aiden juga perlu istirahat. Semakin hari rasanya semakin berat. Ia masih belum menemukan Luna. Mendapatkan informasinya saja tidak. Terkadang, ia berpikir untuk menyerah saja. Mengubur kenangan mereka dan melanjutkan hidupnya. Namun disisi itu, Aiden juga sempat berpikir bagaimana jika ia menikah lagi dan ketika sudah mau memulai hidup baru Luna kembali dihadapannya tanpa ia cari. Aiden tidak ingin menyesal lagi untuk kehilangan Luna. Hal seperti tadi tak seharusnya mampir ke pikirannya. Laki-laki itu lantas m
"Tapi mungkin kau bisa mencari tahu melalui Selena. Barangkali lepasnya Luna hanya akal-akalannya saja." Robert memberi saran dan itu terdengar masuk akal. Akhirnya setelah berbincang lama dan membahas hal lain, tanpa sadar keduanya menjadi dekat lagi. Hmm lebih tepatnya melupakan yang telah terjadi. Robert datang ke Korea juga tidak dengan tangan kosong. Ia membawakan Aiden seperti jinjingan berisi sepatu mahal, beserta dokumen dokumen yang Aiden perlukan. Seperti yang Robert tahu, temannya itu sedang merintis bisnis dibidang keuangannya. Jdi Robert membantu memberikan nama nasabah yang dulunya pernah menjadi nasabahnya. Hal itu berguna, jikamana spam iklan Perusahaan Aiden masuk ke nomor nasabah. "Terima kasih." Aiden tersentuh. Lihat bukan? Tanpa perlu ia membalas dendam, Robert akan tahu sendiri letak kesalahannya dan penyesalannya. Tidak semua hal dapat diselesaikan dengan balas dendam. Itu khusus untuk orang-orang yang paham. "Aku kembali dulu. Semoga kau segera menem