Waktu yang ditunggu pun akhirnya tiba. Udara sejuk yang lama Dikta rindukan ini akhirnya berhasil menguasai lagi paru-parunya. Langkah kaki mereka terhenti pada pintu mobil yang sudah dibuka oleh sang sopir itu.Mobil Limousine seharga 3,4 Miliar menyambut keluarnya Dikta dari lapas binaan. Sierra sudah lebih dulu memasuki mobil mewahnya karena merasa kepanasan. Agaknya Dikta ragu-ragu untuk menginjakan kakinya ke dalam mobil mewah itu. Ia takut membuat mobil mahal itu kotor.“Sampai kapan kau akan berdiri layaknya orang bodoh seperti itu, Dikta. Kau masih betah untuk tinggal di sini?”Dikta terkesiap malu. Ia melepas lebih dulu sandal yang dikenakannya itu sebelum masuk ke dalam. Ia berjalan setengah membungkuk memasuki mobil itu.Ini adalah kali pertama Dikta menumpangi mobil mewah ini. Bahkan ia baru pertama kali menumpanginya. Seumur hidup Dikta, menumpangi mobil sedan jadul saja sudah terkesan mewah baginya.Dikta duduk malu-malu di bawah kursi mobil. Sierra malah menepuk dahinya
Bagi Dikta ini hanyalah hal yang biasa ia lakukan dulu saat bersama Bella. Sepintas benaknya terasa rindu pada Beno. Entah sudah berapa lama juga ia tak bertemu dengan Beno. Mungkin Beno sudah semakin pintar, semakin aktif, juga mungkin semakin mengerti apa yang dialami oleh kedua orangtuanya ini. Besar harapan Dikta, Beno bisa bahagia dengan ayah barunya itu. Walaupun ia ingin kembali mengambilnya. Sebenarnya ada rasa sesal karena Dikta tak bisa memantau tumbuh kembang Beno. Sungguhpun, Dikta sangat merindukan Beno saat ini. Harap-harap Tuhan bisa mempertemukan mereka kembali di waktu yang tepat.Spontan benak Dikta penuh tanya. Apa Beno merindukan Dikta juga? Atau mungkin sudah dicuci otaknya oleh Noah agar ikut membencinya? Entahlah. Mau Beno melupakan atau masih mengingatnya, Dikta masih menyayangi anak semata wayangnya itu sampai kapanpun.Semenjak mendapati Bella bersama Noah, hatinya sama sekali tak mau lagi memberikan sedikit ruang baru. Jangankan untuk memberikan ruang, mel
“Madam?” tanya sang pegawai itu membuat Dikta dipelototi oleh Sierra.“M-maksudku, Sie.”“Sudah cepat lakukan. Aku sibuk!” perintah Sierra membuat Dikta tak bisa berkutik lagi.Dikta hanya bisa duduk begitu saja dengan pasrah, disaat sang hair stylist menata rambut Dikta menjadi lebih menawan dari sebelumnya. Ia berhasil memilih gaya rambut yang sesuai sekali dengan model wajah Dikta, sehingga Dikta semakin sexy dan gagah sekali.Ia juga mencukur kumis Dikta yang semrawut itu. Membubuhkan sedikit parfum membuat aura Dikta berhasil melumpuhkan semua wanita yang berada di sana. Sierra juga menyuruh Dikta untuk mengganti pakaiannya dengan yang lebih layak. Voila! Keluarnya Dikta dari ruang ganti membuat terpana seluruh penghuni tempat itu. Kharisma yang semula hilang kini kembali lagi muncul menyelimuti Dikta. Dengan senyum khasnya, ia juga berhasil membuat sesiapun yang melihatnya berdegup kencang.Tepuk tangan Sierra menyambut kedatangan Dikta kala itu. Tampak ia terlihat puas sekali
Saling menatap satu sama lain. Agaknya mereka bingung untuk menerima pernyataan itu. Bahkan ini di luar dugaan Dikta, karena menyangka jika pernikahan akan terjadi di beberapa bulan ke depan. Memang berbeda rupanya menikahi sosok sultan seperti Sierra. Bahkan sang kakek bilang, ia akan menanggung semua pesta yang akan diselenggarakan itu. Hendak menolak, Sierra lebih dulu mencubit paha Dikta hingga meringis. Ia juga menyadari tatapan itu, merupakan tanda menyuruh Dikta bungkam sebagai mana mustinya. Dikta hanya bisa mengangguk-angguk atas apa yang ditawarkan oleh kakek Sierra.“Kek, tolong beri kami waktu untuk mengurusi semuanya. Ini kan moment sekali seumur hidup. Kita gak bisa asal-asalan mengurus itu semua. Percuma bayar mahal jika hasilnya tak sesuai dengan yang kita inginkan. Lebih baik jika ada hasil, bagaimana kalau mereka menipu? Bukannya bahagia kita malah mengusut mereka,” tawar Dikta membuat sang kakek termenung.“Iya, Kek. Benar apa yang dikatakan oleh Dikta. Memangnya
Mobil seharga 3,4 miliar itu akhirnya menepi di tempat yang diinginkan oleh Dikta. Gugup sebetulnya, tapi Sierra berhasil meredam itu semua. Menggandeng lengan Dikta, mereka turun dari mobil itu. Tapi kehadiran Dikta tak disadari oleh mereka.Dikta masih termenung melihat Bella dan Beno. Seperti mimpi di siang bolong. Benar-benar kejutan yang luar biasa tak terduga sekali. Rasa haru tak bisa menutupi wajah Dikta. Kabut air mata mulai menyelimuti matanya. Sebisa mungkin Dikta harus bisa tegar. Anak yang ia elu-elukan setiap saat itu akhirnya ada di depannya. Dan bisa ia peluk untuk saat ini juga.Dikta bisa melihat Bella sedang bermain dengan Beno di taman rumahnya. Perasaannya benar-benar campur aduk sekali. Namun rasa senanglah yang mendominasi perasaan Dikta kala ini.Menekan bell rumahnya perlahan namun pasti. Dikta dan Sierra masih menunggu Bella membuka gerbang rumahnya itu. Namun, mata anak itu lebih menyadarinya lebih dulu dari pada Bella. Ia berlari sekuat tenaga menunggu di
Acara telah selesai sesuai dengan harapan mereka. Siapapun yang berada di sana tidak akan pernah melupakan moment sakral ini sekali seumur hidupnya. Termasuk Dikta yang menuturkan akad nikah kala itu.Bahkan Dikta masih ingat bagaimana ekspresi mereka yang telah menghina Dikta kala itu. Tak hentinya Dikta mengumbar senyum puas, kala mantan istri juga kekasihnya itu datang ke sini tadi.Setidaknya salah satu dendamnya sudah terbalas. Sehingga Dikta bisa melihat ekspresi yang selama ini ia inginkan. Ya, terkejut tak bisa berkata apapun. Bahkan Sierra pun tampak sengaja sekali ikut andil akan aksi balas dendam Dikta. Ia juga turut menjatuhkan harga diri Bella dengan tatapan khasnya itu.Melihat kondisi Sierra yang sudah mulai pucat, Dikta memutuskan untuk beranjak lebih dulu. Memapah Sierra perlahan, ia yang semula akan menolak kembali mengurungkan niatnya kala melihat sang kakek yang memperhatikan mereka.Terlihat muka kakek Sierra sangat senang dengan perhatian kecil Dikta padanya. De
“Sierra ... apa kau? Ah, ternyata istrimu sudah tidur ya?” tanya sang kakek mendadak masuk ke dalam kamar untuk kedua kalinya.Dikta hanya bisa tersenyum kaku. Sementara sang kakek yang semula akan menyuruh Dikta untuk masuk ke ronde selanjutnya mengurungkan niatnya. Untung saja Dikta masih polos, sehingga ia tak mengerti akan tatapan yang mengandung makna itu.Berlalu dan berjanji takan menganggu lagi. Akhirnya Dikta bisa bernapas lega. Menajamkan indera pendengarannya, harap-harap sang kakek sudah pergi menjauhi mereka.Dikta melepaskan pelukan Sierra yang masih melingkar erat. Ia beranjak dari tempat tidur Sierra untuk tidur di tempat yang sudah diperintahkan oleh Sierra sebelumnya.Namun ekor mata Dikta tak sengaja menikmati pemandangan yang indah itu. Sierra benar-benar cantik natural tanpa riasan sedikit pun. Dikta mengerjapkan matanya. Lagi ia mencoba tersadar akan lamunannya itu.‘Apa aku bisa terus berpura-pura mencintaimu, Sie? Jikalau aku sudah jatuh hati padamu suatu saat
Tapi berbeda dengan sekarang, ia benar-benar lebih sering muram. Bahkan garis mukanya itu terlihat bersedih kala Dikta mendapatinya secara tak sengaja. Tak jarang Dikta juga selalu mendapati dirinya sering menangis tanpa alasan yang jelas. Dikta yang semula cuek pun merasa iba, akan yang dirasakan oleh Sierra.Rasa ingin merangkul Sierra terbesit di benak Dikta, kala mengetahui wanita ini tengah bersedih. Hanya saja ia selalu menolak akan tawaran Dikta. Sehingga Dikta hanya bisa memberikan ruang pada wanita itu.Mungkin karena masa lalunya yang terbilang kelam, Sierra selalu memberi batas pada orang-orang di sekitarnya. Sebenarnya Dikta juga ingin mengetahui sisi lain Sierra. Pasti di balik sikapnya yang dingin dan cuek itu, masih ada sikap kewanitaan seperti pada umumnya.Ya, rasa ingin diperhatikan. Dicintai dan disayangi, bahkan rasa ingin mendapatkan saling dihargai. Dikta yakin Sierra menampik itu agar tak membuat celah baru bagi perasaannya itu.Bukan ingin memberikan harapan.
Dan apa yang dikatakan oleh seseorang tak dikenal itu masuk ke gendang telinganya. Dikta menyisir semua orang yang ada di sekitarnya saat ini. Matanya tertuju pada salah satu spot di mana sosok itu berada. Ya, dia mendapati sosok yang tak dikenal masuk dikerumunannya. Terlihat seringai senyum puasnya itu terulas di mukanya. Ia menggunakan pakaian serba hitam. Sayangnya, Dikta tak bisa melihat sorot mata yang tertutup oleh bayangan topi yang dikenakannya. Tak hanya dia yang puas, melainkan sosok mereka yang ada disitu pun ikut merayakan kekalahan Dikta. Ya, walaupun sementara mereka sangat yakin itu bisa menjadi peringatan agar Dikta bisa mundur dari jabatannya. Agaknya dalam hati mereka masing-masing silih berganti menghina Dikta. Atau mungkin ada yang menertawakan Dikta juga. Entahlah, pikiran Dikta berkecamuk. Bukan karena masalah diseret tapi siapa lagi yang bermain drama dengannya saat ini. Perlahan namun pasti Dikta meninggalkan kantor utamanya dengan tangan diborgol. Keluar
Dan apa yang dikatakan oleh seseorang tak dikenal itu masuk ke gendang telinganya. Dikta menyisir semua orang yang ada di sekitarnya saat ini. Ia mendapati sosok yang tak dikenal masuk dikerumunan. Terlihat seringai senyum puasnya itu terulas di mukanya. Mereka sangat puas melihat Dikta, yang diseret paksa bak tersangka sesungguhnya. Agaknya Dikta berat sekali melangkahkan kakinya. Hanya saja Dikta tak bisa menangkapnya dengan jelas, karena polisi lebih dulu menyuruh Dikta untuk masuk ke dalam mobilnya. Sepanjang perjalanan Dikta benar-benar pasrah. Bahkan ia tak berbicara sepatah kata apapun. Diam. Dan mengikuti alur mereka inginnya seperti apa. Namun di balik diamnya Dikta, ia terus mengamati sosok itu dari belakang. Mengingat kembali semua yang dikatakan oleh mereka. Harap-harap ada klu yang menyudutkan pada sosok tersangka. Dikta juga masih ingat siapa saja yang ikut andil di dalam sana. Sehingga Dikta bertekad akan kebebasannya akan menelusuri siapa mereka. Apakah benar yang
Tampak nafas pria itu benar-benar tersenggal. Kentara sekali ia sangat kelelahan agaknya. "Ada apa? Minum dulu!" sosor Dikta seiring memberikan segelas air minum. Mengambil dan meneguk airnya dengan rasa tamak. Agaknya ia sangat kelelahan. Baik Sierra maupun Dikta masih menunggu apa yang ingin dikatakan olehnya itu. "Ada apa?" Hosh! Hosh! "Anu, Pak. Itu kantor—" Mata Dikta membulat sempurna mendengarkan hal itu. Kini tatapannya mulai menatap lekat untuk membenarkan rasa jujurnya itu. Sehingga batin Dikta dili seperti sudah dikejar seseorang. Memperhatikan keadaan kamar di manan Sierra berada. Dikta berusaha mencerna kembali 11 "Pak gawat kantor kena sidik oleh pihak terkait dan investor!" sosornya terburu-buru. "Jangan bercanda! Ini tidak lucu!" sanggah Dikta geram. Menelan salivanya kuat-kuat. Sierra hanya bisa menatapnya datar. Karena hal ini sering terjadi. Sierra hanya busa menonton kejadian klasik ini. Ia yakin Dikta pasti terkejut akan apa yang terjadi. Walaupun Sierr
Mengangguk. Ia ingin merangkul Sierra, hanya saja lengannya benar-benar tak kuasa menahan nyeri karena luka itu. Ditambah Dikta dihantam berkali-kali saat melawan Sony yang membuat salah satu tangannya kebas.“DIKTA TANGANMU TERLUKA! PAK CEPAT KE RUMAH SAKIT!”Sang pengawal pun langsung menginjak pedal gasnya begitu saja. Sierra benar-benar panik akan apa yang terjadi. Dikta hanya terkekeh melihat tingkah Sierra yang terlalu berlebihan ini. Padahal lukanya tak seberapa dengan rasa khawatirnya itu.Sesampainya di rumah sakit, malah bukan Dikta yang dilarikan untuk di tangani. Tapi malah Sierra yang dilarikan ke ruang UGD. Dikta memboyong tubuh wanita yang merintih kesakitan itu.“Sus, tolong!”Dengan sigap para perawat itu membawa Sierra berlalu menuju ruang UGD. Dikta hanya bisa menunggunya di depan ruangan dengan harap-harap cemas. Ia tak peduli lagi dengan rasa sakit yang diembannya saat ini.Ya, perjalanan yang cukup terjal dari tempat kejadian membuat Sierra mengalami pendarahan d
Tapi Bella malah menarik paksa pria itu dalam pelukannya. Pelukan yang selama ini ia elu-elukan setiap malam. Jujur saja, Bella sangat merindukan Dikta kala ini. Ya, dia sangat menginginkan Dikta kembali dalam pelukannya. Kembali merajut dunia yang telah lama hilang. Ternyata Bella baru menyadari, jika Diktalah yang berhasil membangun dunianya terasa megah. Atau bisa dikatakan hanya Dikta yang bisa mengerti segala keinginannya. Bukan Noah maupun kedua orangtuanya. Bahkan bisa dikatakan jika Diktalah yang berhasil membuatnya menjadi istri yang layak. Dia berhasil mengagungkan Bella dengan segala perjuangannya yang tulus itu. Dan tak pernah Bella temukan pada Noah hingga saat ini. Andai saja waktu bisa diputar kembali, mungkin Bella takan pernah melakukan itu. Dan mungkin saja anaknya masih hidup sampai saat ini kan?Dikta menepis segala rayuan Bella yang mulai menjalari tubuhnya. Sungguhpun, Dikta jijik dan muak sekali. “Bella! Lepaskan! Kenapa kau mau menjadi jalang seperti ini,
Dari root top bangunan di seberang jalan, tepatnya di seberang kosan Sony, seorang pria mengawasi Sony yang sedang dikepung oleh Dikta dan pengawalnya.Pria itu sudah siap dengan senapan laras panjangnya, bersiap membidik target. Saat itu Dikta menanyai Sony, tapi dia diam ... tidak mau berkata jujur. Setelah dihajarpun Sony ditanya kembali oleh Dikta. “Sekarang!” perintah wanita dari telepon, kepada pria yang menggunakan penutup kepala dengan earpiece di telinganya. Dan ... DOR! Dikta dan ketiga pengawal terkejut, mereka menoleh sekeliling dan mencari sumber suara. Setelah beberapa menit barulah Dikta tahu, seseorang mencoba lari dari rooftop rumah di seberang kostan yang ditinggali oleh Sony. “Di sana! Tangkap!” perintah Dikta menunjuk ke bangunan di seberang kostan, dua pengawal langsung bergerak untuk mengejar penembak Sony. “Urus mayatnya,” titah Dikta pada dua pengawal yang sedari awal memegangi tubuh Sony, dan sekarang dua pengawal itu sedikit gemetar yang mereka
Satu persatu masalah menghampiri Dikta, hampir tak berkesudahan, satu masalah selesai satu lagi muncul. Dia hampir gila, merasa ingin menyerah saat ini karena salah satu dari masalah tersebut adalah Sierra. Istrinya itu adalah kekuatannya, harta yang ia punya satu-satunya. Sedang mengandung buah hati mereka, tapi karena termakan hasutan orang dia lebih memilih pergi meninggalkannya. Dikta tidak tahu harus mencari Sierra ke mana. Ponselnya juga tak aktif, tidak bisa dihubungi sama sekali. Dikta juga tak mendapati istrinya ada di rumah kakeknya. Dia tak tahu apakah ada tempat tinggal Sierra yang lain atau istrinya itu hanya tidur di hotel. Dikta akhirnya membiarkan istrinya itu menenangkan diri dan dia berjanji akan mengurus masalahnya supaya cepat selesai. Pagi ini Dikta pergi ke kantor seperti biasanya, hari ini kakek sudah bilang tidak akan mampir ke kantornya, kakek membantu Dikta mencarikan investor baru untuk perusahaan yang dipimpin oleh Dikta itu, pria itu bersyukur sekali.
Dikta menerima telepon dari kakek Sierra, menyuruhnya untuk segera datang ke rumah orangtua Bella. “Aku ada di apartemen, Kek,” ucap Dikta, dia seketika teringat amanah dari ayah Bella yang merupakan mertuanya dulu. “Kau harus bawa mayatku juga istriku. Tolong kebumikan kami dengan layak. Aku yakin hidupku sudah tak bisa bertahan lebih lama lagi,” ucap ayah Bella sesaat sebelum dia tewas karena peluru yang bersarang di kepalanya. Dikta tak bisa untuk tidak sedih, marah dan kecewa, perasaan itu campur aduk di dalam hatinya sekarang. Karena sudah ditunggu oleh kakek, dia segera turun dan menuju ke rumah Bella lagi. Beberapa menit kemudian Dikta sampai di kediaman orangtua Bella, bunga duka sudah berjejer rapi di depan gerbang rumah, banyak mobil yang juga berderet-deret memenuhi tepi jalan. Dikta memarkirkan mobilnya, agak jauh dari kediaman mantan mertuanya itu. Dia turun kemudian melangkah masuk ke sana, orang-orang sudah datang untuk melawat. Dikta melihat ada Bella di sana y
Dikta terperangah, dia membelakakkan matanya sekarang. Kedua mantan mertuanya itu terkapar, dan malangnya di depan matanya ayah mertuanya dihabisi begitu saja. Dikta yang geram berusaha mengejar siapa penembak yang bersembunyi di gudang tadi. Dikta berlari kencang, melawan rasa sakit kepalanya akibat hantaman tongkat baseball yang mengenai kepalanya. Pria itu kabur, melesat dengan cepat berlari dari arah gudang ke depan. Dari belakang Dikta menyusul berlari kencang, seperti mengenal sosok tersebut, dia mempercepat langkah kemudian menarik jaket hitam yang dikenakan pria yang akan kabur itu. Dikta menarik dengan kedua tangannya hingga pria itu terjerembab. Pria itu menggunakan pakaian serba hitam yakni pakaian serba hitam, sepatu hitam, bertopi hitam, masker hitam dan tak lupa kedua tangannya menggunakan sarung tangan. Dikta menarik masker dan topi pria itu, membuangnya asal, dan ketika semuanya terlepas pria itu tertawa. “Hahaha ... Sudah pas bukan waktunya?” ujar Noah, dia seakan