“Ya! Raga, aku yang tak mau ia tinggal di Jakarta. Lagi pula London adalah kota yang indah. Melissa akan senang tinggal di sana.” Ucap Shinta masih dengan aktivitas membaca koran.“Kalau kau membawanya, aku akan sendirian. Aku butuh adik manis sepertinya.” Ucap Raga merengek. Raga mendengus melihat sikap kekanak-kanakan Raga.“Aishh! Kamu, ingat umurmu berapa. Mengapa kau bertingkah seperti itu. Aku tak ingin berpisah lagi dengan Shinta.” Ucap Melisa tegas.“Aku akan sangat merindukanmu,” ucap Raga lagi.“Teknologi sudah canggih, kau bisa menyalakan laptopmu. Aku akan ada di sana.” Ucap Melissa mencoba bercanda.“Itu maya tak nyata.” Ketus Raga.“Kau bisa mengunjungi kami.” Ucap Shinta.“Kalian memang tak bisa dicegah!” kesal Raga. Melissa hanya tersenyum melihat tingkah Raga. Gadis itu tanpa sadar menatap terus ke arah pintu masuk. Sebenarnya ia tak mengerti mengapa ia berharap Erlangga muncul di sana. Pertemuan terakhir mereka beberapa hari lalu sedikit banyak mempengaruhi perasaann
“Melissa!” teriakan keras seorang pria membuat langkah Shinta dan Melisa terhenti.“ERLANGGA?” bisik Melisa pelan nyaris berbisik, seketika ia ingin menangis. Ia belum membalikan tubuhnya. Gadis itu mendongak dan menatap Shinta seolah tak percaya dengan suara yang baru saja memanggilnya. Shinta menganggukan kepalanya seolah menyuruh gadis itu untuk berbalik.“Pergi dan bicaralah dengannya.” Ucap Shinta dengan senyum tenang.Tanpa membalas ucapan Shinta, Melissa membalikan tubuhnya dan berjalan kikuk ke arah Erlangga. Ia bisa melihat tatapan emosi, putus asa, dan kesedihan di wajah Erlangga.Langkah Melissa semakin mendekati Erlangga, tampak sekali keringat bercucuran di wajah Erlangga. Nafas pria itu juga tersenggal-senggal.“Erlangga?” ucap Melissa lembut.“Kau tak bisa pergi!” Ucap Erlangga emosi.“Aku harus pergi. Aku ingin bersama Shinta.” Ucap Melissa tenang.“Jangan pergi. Maafkan aku.” Ucap Erlangga memohon.“Aku akan tetap pergi.” Ucap Melissa sendu, melihat sikap Erlangga mem
MENYIMPAN BERONDONG.‘Sebetulnya ini kesempatan emas yang tak boleh disia-siakan. Kapan lagi aku mendapatkan penawaran dengan Cuma-Cuma? Semoga saja apa yang dituturkan olehnya benar,’ batin Dikta meruntuki pilihannya itu.“Hey bocah! Diajak ngobrol malah melamun. Bagaimana kau mau atau tidak? Aku ini orang sibuk! Tidak mempunyai banyak waktu.”“Aku mau t-tapi—““Aku paling tidak suka manusia plin-plan sepertimu. Sudah awas! Kau hanya menganggu waktuku saja!”“Tolong bersabarlah! Aku sedang mempertimbangkannya,” tambah Dikta kesal.“Kau bilang, kau itu seorang ayah juga suami. Tapi menentukan keputusan saja lama. Hey! Dunia tak bisa ditentukan oleh kata bersabar!Kau harus bisa menentukan sesuatu dengan cepat disaat tertekan seperti ini. Ah, ya sudah lah kalau tidak mau. Sepertinya aku salah memberikan penawaran. Lebih baik aku pergi. Kau membuang banyak waktuku!” ejek Sierra melengos pergi.Sierra langsung beranjak tanpa sepatah kata apapun. Namun Dikta lebih dulu mencengkram lengan
“Lantas?”“A-aku hanya teringat mendiang ibuku yang baru saja ... meninggal.”“Oh, astaga Tuhan. Maafkan aku. Aku turut berduka atas kematian ibumu.”“Terima kasih. Sudah cukup tak perlu merasa kasihan padaku. Jadi kapan kita bisa memulainya?”“Jika kau siap hari ini, aku akan melakukannya sekarang. Bagaimana? Aku akan menghadap pada kepala lapas untuk menebusmu. Namun ... terhitung aku membebaskanmu, aku akan membawamu langsung sebagai pelayanku.”Dikta mengangguk setuju. “Tapi apa aku bisa memegang janjimu itu?”“Jika aku berbohong padamu, kau boleh membunuhku detik ini juga. Setuju?” Sierra menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan. Dikta langsung meraih tangan lentik itu sebagai tanda kepercayaannya. Disaat mereka menjabat tangan, disitulah kemistri mulai muncul di benak mereka masing-masing. Dan ada setitik harapan di batin Sierra juga. “Jika kau benar-benar tak banyak tingkah. Maka aku akan menjamin hidupmu bahagia setelah bersamaku!” tutur Sierra membuat Dikta tersenyum bah
Waktu yang ditunggu pun akhirnya tiba. Udara sejuk yang lama Dikta rindukan ini akhirnya berhasil menguasai lagi paru-parunya. Langkah kaki mereka terhenti pada pintu mobil yang sudah dibuka oleh sang sopir itu.Mobil Limousine seharga 3,4 Miliar menyambut keluarnya Dikta dari lapas binaan. Sierra sudah lebih dulu memasuki mobil mewahnya karena merasa kepanasan. Agaknya Dikta ragu-ragu untuk menginjakan kakinya ke dalam mobil mewah itu. Ia takut membuat mobil mahal itu kotor.“Sampai kapan kau akan berdiri layaknya orang bodoh seperti itu, Dikta. Kau masih betah untuk tinggal di sini?”Dikta terkesiap malu. Ia melepas lebih dulu sandal yang dikenakannya itu sebelum masuk ke dalam. Ia berjalan setengah membungkuk memasuki mobil itu.Ini adalah kali pertama Dikta menumpangi mobil mewah ini. Bahkan ia baru pertama kali menumpanginya. Seumur hidup Dikta, menumpangi mobil sedan jadul saja sudah terkesan mewah baginya.Dikta duduk malu-malu di bawah kursi mobil. Sierra malah menepuk dahinya
Bagi Dikta ini hanyalah hal yang biasa ia lakukan dulu saat bersama Bella. Sepintas benaknya terasa rindu pada Beno. Entah sudah berapa lama juga ia tak bertemu dengan Beno. Mungkin Beno sudah semakin pintar, semakin aktif, juga mungkin semakin mengerti apa yang dialami oleh kedua orangtuanya ini. Besar harapan Dikta, Beno bisa bahagia dengan ayah barunya itu. Walaupun ia ingin kembali mengambilnya. Sebenarnya ada rasa sesal karena Dikta tak bisa memantau tumbuh kembang Beno. Sungguhpun, Dikta sangat merindukan Beno saat ini. Harap-harap Tuhan bisa mempertemukan mereka kembali di waktu yang tepat.Spontan benak Dikta penuh tanya. Apa Beno merindukan Dikta juga? Atau mungkin sudah dicuci otaknya oleh Noah agar ikut membencinya? Entahlah. Mau Beno melupakan atau masih mengingatnya, Dikta masih menyayangi anak semata wayangnya itu sampai kapanpun.Semenjak mendapati Bella bersama Noah, hatinya sama sekali tak mau lagi memberikan sedikit ruang baru. Jangankan untuk memberikan ruang, mel
“Madam?” tanya sang pegawai itu membuat Dikta dipelototi oleh Sierra.“M-maksudku, Sie.”“Sudah cepat lakukan. Aku sibuk!” perintah Sierra membuat Dikta tak bisa berkutik lagi.Dikta hanya bisa duduk begitu saja dengan pasrah, disaat sang hair stylist menata rambut Dikta menjadi lebih menawan dari sebelumnya. Ia berhasil memilih gaya rambut yang sesuai sekali dengan model wajah Dikta, sehingga Dikta semakin sexy dan gagah sekali.Ia juga mencukur kumis Dikta yang semrawut itu. Membubuhkan sedikit parfum membuat aura Dikta berhasil melumpuhkan semua wanita yang berada di sana. Sierra juga menyuruh Dikta untuk mengganti pakaiannya dengan yang lebih layak. Voila! Keluarnya Dikta dari ruang ganti membuat terpana seluruh penghuni tempat itu. Kharisma yang semula hilang kini kembali lagi muncul menyelimuti Dikta. Dengan senyum khasnya, ia juga berhasil membuat sesiapun yang melihatnya berdegup kencang.Tepuk tangan Sierra menyambut kedatangan Dikta kala itu. Tampak ia terlihat puas sekali
Saling menatap satu sama lain. Agaknya mereka bingung untuk menerima pernyataan itu. Bahkan ini di luar dugaan Dikta, karena menyangka jika pernikahan akan terjadi di beberapa bulan ke depan. Memang berbeda rupanya menikahi sosok sultan seperti Sierra. Bahkan sang kakek bilang, ia akan menanggung semua pesta yang akan diselenggarakan itu. Hendak menolak, Sierra lebih dulu mencubit paha Dikta hingga meringis. Ia juga menyadari tatapan itu, merupakan tanda menyuruh Dikta bungkam sebagai mana mustinya. Dikta hanya bisa mengangguk-angguk atas apa yang ditawarkan oleh kakek Sierra.“Kek, tolong beri kami waktu untuk mengurusi semuanya. Ini kan moment sekali seumur hidup. Kita gak bisa asal-asalan mengurus itu semua. Percuma bayar mahal jika hasilnya tak sesuai dengan yang kita inginkan. Lebih baik jika ada hasil, bagaimana kalau mereka menipu? Bukannya bahagia kita malah mengusut mereka,” tawar Dikta membuat sang kakek termenung.“Iya, Kek. Benar apa yang dikatakan oleh Dikta. Memangnya