Sementara itu, di rumah Heri, Nur sedang sibuk menata buku-bukunya di meja belajar. Ia baru saja menyelesaikan tugas kuliah yang cukup berat. Pikirannya sesekali melayang ke Excel, tetapi ia segera mengalihkan fokusnya. Nur tahu, ia harus tetap kuat dan menjaga keputusannya.
Lia masuk ke kamar Nur sambil membawa secangkir teh hangat. "Nur, istirahat dulu. Jangan terlalu keras sama dirimu sendiri."Lia tahu, Nur selalu belajar dengan giat. Jadi wajar adiknya itu bisa masuk ke universitas ternama di Jakarta meski belum bisa mencapai beasiswa. Saat sekolah SD-SMK Nur selalu mendapat peringkat 3 besar dan memenangkan banyak lomba bersama teman-temannya.Nur tersenyum kecil. "Suwun, Mbak'e. Aku cuma mau memastikan semua tugasku selesai tepat waktu."Lia duduk di tepi tempat tidur, menatap adiknya dengan penuh sayang. "Aku bangga sama kamu, Nur. Kamu udah melalui banyak hal, tapi tetap kuat. Aku yakin kamu akan jadi orang yang sukses."Nur men"Mbak, pengantinya mana kok enggak keluar-keluar. Apa memang gini caranya orang kota?" tanya Nur. Ia sudah merasa pegal duduk terlalu lama dan sudah tak sabar ingin mencicipi prasmanan. Sejak datang di acara pernikahan Excel, Nur sudah merasa lapar melihat makanan yang begitu menggugah selera meski sebelum berangkat mereka sudah sarapan, namun ia teringat ucapan sang kakak bahwa mereka boleh makan kalau akad sudah selesai. "Enggak juga sih, di undangan akad kan jam sembilan. Ini udah jam sepuluh lima menit," balas Lia sembari melihat jam di pergelangan tangannya. Satu bulan yang lalu setelah wisuda, Nur Cahyani tiba di jakarta bersama kedua orang tuanya. Ia berniat untuk melanjutkan kuliah di kota besar itu dan meraih cita-cita untuk menjadi dokter. Bermodal uang tabungan selama mengonten, tekadnya sudah bulat untuk meraih kesuksesannya. Apalagi kedua orang tuanya sangat mendukung, di tambah sang kakak ipar juga berjanji akan membantu memberi tambahan dana. Tetapi, untuk saat ini o
Tiba-tiba Diana, Mamanya Excel maju menghadang Nur sambil memakinya. "Heh, bocah ingusan. Kalau enggak niat bantuin jangan macem-macem, lagian kamu tidak pantas untuk putraku. Kamu tidak selevel dengan Veronika." Nur tersenyum getir, padahal niatnya baik. Di desa memang kejam tapi sekarang ia merasakan di kota jauh lebih kejam. Dan ia harus siap mental untuk mengarungi bahtera kerasnya hidup di Jakarta. "Mama ngomong apaan sih, bukannya mencari solusi ini malah memperkeruh keadaan. Mama mau menanggung malu kalau acara pernikahan ini sampai batal, Mama siap menerima gunjingan. Kalau Mama enggak bisa ngasih solusi sebaiknya diam saja!" sahut Azka tegas, Papanya Excel. Diana terdiam, bibirnya membrenggut dan memalingkan muka. Kini Azka beralih pada Nur, dengan tersenyum ramah. "Maafkan istri saya ya, Nur, dia hanya sedang terbawa emosi. Saya Azka, Papanya Excel." Azka mengulurkan tangan, Nur menyambut uluran tangan lelaki setengah baya yang nampak masih gagah itu. Nur Salim dengan so
Beruntung MUA yang dihubungi Diana langsung bisa menyanggupi dan langsung menuju hotel dimana meraka berada. Sedangkan Azka keluar menemui penghulu dan memberi tahu adanya perubahan mempelai pengantin wanita.Tak berapa lama pihak MUA datang membawa beberapa potong kebaya untuk Nur. "Ayo, Sayang, kita ke ruangan sebelah," ujar Diana menuntun Nur. Lia ikut mendampingi sang adik. Sedangkan Bambang dan Isna juga di rias oleh petugas MUA lainnya.Dengan sentuhan tangan MUA yang handal kini wajah Nur terlihat memukau dan mangklingi membuat Lia dan Diana tersenyum bangga."Masya Allah, cantik banget calon mantu Mama," puji Diana."Pasti Excel bakal enggak mengenali kamu deh, Nur. Pasti dia pangkling banget," imbuh Lia."Mbak, jangan bikin aku tambah malu dong," balas Nur tersipu malu."Ya udah yuk kita keluar, udah di tungguin dari tadi," ajak Diana."Masya Allah, Nduk, kamu cantik banget," ujar Isna. Ia hampir tak mengenali putri bungsunya itu. Sedangkan Bambang hanya tersenyum menanggapi
Resepsi pernikahan telah usai, Nur telah di boyong ke rumah besar Azka."Selamat datang di rumah baru, Nur. Memang bukan rumah kita sendiri, tapi di sinilah aku tumbuh besar. Semoga kamu merasa nyaman di sini," ucap Excel tersenyum sambil menggenggam tangan sang istri membuat Nur merasa lebih diterima dan nyaman.Saat Excel membuka pintu rumah yang bercat putih, tampaklah sebuah hunian mewah yang tetap mengusung kesan elegan dan hangat. Langit-langit yang tinggi dengan lampu gantung kristal memberikan sentuhan glamor, memantulkan cahaya lembut ke dinding marmer berwarna krem. Lantai berbahan kayu jati berkilau mempertegas kesan klasik modern, dilengkapi dengan karpet Persia yang menyelimuti sebagian ruang tamu.Di sudut ruangan, terdapat sofa kulit berwarna cokelat tua yang menghadap ke perapian dengan bingkai batu alam, menciptakan suasana yang nyaman. Sebuah tangga melengkung dengan pegangan besi berukir mengarah ke lantai atas, menambah kesan megah tanpa terkesan berlebihan. Dekora
Nur terkejut mendengar ancaman halus itu. Ia menoleh, menatap ibu mertuanya dengan tersenyum membuat Diana merasa di remehkan. Bukannya takut, Nur nampak tetap tenang, meski akhirnya gadis itu menunduk, melanjutkan pekerjaannya tanpa berkomentar. Nur tahu, berdebat hanya akan memperkeruh suasana. Namun, ancaman itu tetap terasa menusuk di hatinya. Diana kembali ke meja makan dengan wajah yang tenang, seolah-olah tak terjadi apa-apa. Sementara Nur, meski merasa cemas, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia tidak akan lama untuk menghadapi masalah ini. "Ternyata gini ya rasanya dapat mertua sadis, bikin ngenes. Pantas aja mbak Lia sampai kering kerontang, suami pelit perhitungan ipar dan mertua julid. Jabang bayi amit-amit, jangan sampai aku juga kek gitu, bisa-bisa tubuhku yang langsing ini jadi tengkorak berjalan," ujar Nur tanpa suara. Meski begitu bibirnya tetap mencar-mencor sambil membilas piring. Setelah selesai sarapan Azka berpamitan untuk berangkat ke kantor. Diana pun mengant
"Non, kamu ngapain."Nur yang sedang serius mendengarkan rencana Diana, seketika terlonjak kaget saat bahunya di tepuk seseorang. "Bibi, ngagetin aja," bisik Nur. Jantungnya berdebar sangat kencang, ia mengusap dadanya merasa lega saat tahu siapa yang berbicara di belakangnya. "Kamu nguping nyonya muda ya?" tanya wanita berambut kuncir kuda itu.Dengan cepat Nur menempelkan jari telunjuk pada bibirnya sendiri. Dan mendorong asisten rumah tangga untuk segera menjauh dari kamar Diana."Aku enggak nguping, Bi. Cuma kebetulan aja lewat, tak kira Mama ngomong sama siapa. Nah karena pintunya enggak ke tutup rapat ya udah aku lihat aja, ternyata ngomong sama telpon," ucap Nur menjelaskan. Ia tak ingin di cap aneh-aneh oleh wanita itu apalagi di ajukan dengan Diana."Yakin? Nona enggak lagi nguping pembicaraan Nyonya kan?" Wanita itu nampak mencurigai Nur, tatapannya membuat Nur tak nyaman."Yakin lah, lagian Bi Lilis ngapain sih ngurusin aku. Dahlah, aku mau ke kamar," ucap Nur merasa b
Bab 6"Hai cantik, boleh kenalan? Aku Zarek," ucap Zarek dengan senyum buaya sembari mengulurkan tangan."Nur," balas Nur menyambut uluran tangan lelaki di depannya.Excel tak suka dengan tragedi di depannya, ia segera menarik tangan sang istri agar terlepas dari Zarek. "Lepasin, Za. Enggak semua cewek bisa kamu modusin," ucap Excel kesal.Zarek adalah teman sekolah SMA-nya dulu, meski mereka tidak terlalu dekat, tetapi Excel hapal sifat Zarek yang suka mempermainkan wanita bahkan tak segan-segan memanfaatkan wanitanya. Sebab itulah Excel tak mau berteman dekat dengan Zarek."Ya elah. Santai aja, Bro, sikap posesif kamu enggak berkurang ya. Hati-hati kalau istri kamu justru enggak betah sama sikap kamu itu," ledak Zarek dengan tersenyum sinis. Zarek memang tidak menghadiri pernikahan Excel, dan ia juga tidak di undang Excel juga maka dari itu ia memilih untuk tidak hadir."Ayo, Nur, kita pergi!" tanpa merespon apa yang di ucapkan Zarek, Excel menarik tangan sang istri untuk meningga
Excel mengusap wajahnya dengan tangan, berusaha menenangkan hatinya yang sedikit terusik oleh godaan Nur. Ia menatap istrinya dengan pandangan penuh teka-teki, lalu tersenyum miring, menggoda.“Kamu berani godain aku,” ucap Excel, suaranya berat, tapi ada nada main-main di sana.“Berani emang kenapa? Kan suami sendiri,” tantang Nur tanpa rasa gentar, malah tersenyum lebar seolah sengaja memancing reaksi suaminya.Excel semakin mendekat, membungkuk sedikit hingga wajahnya sejajar dengan Nur. “Yakin, enggak bakal nyesel?” tanyanya, matanya menyiratkan tantangan.Nur mengerutkan kening, penasaran. “Nyesel kenapa?”“Mau nyobain?” Excel menaikkan alisnya, wajahnya makin dekat, membuat Nur sedikit salah tingkah.“Nyobain apa, Kak?” tanya Nur, bingung tapi tetap mempertahankan ekspresi penasaran.Excel menyeringai, matanya penuh godaan. “Nyobain tugu Monasku,” bisiknya pelan, nyaris seperti sebuah tantangan yang disengaja.Nur terdiam, ekspresinya berubah drastis. “Hah...!” pekiknya, kedua m
Sementara itu, di rumah Heri, Nur sedang sibuk menata buku-bukunya di meja belajar. Ia baru saja menyelesaikan tugas kuliah yang cukup berat. Pikirannya sesekali melayang ke Excel, tetapi ia segera mengalihkan fokusnya. Nur tahu, ia harus tetap kuat dan menjaga keputusannya.Lia masuk ke kamar Nur sambil membawa secangkir teh hangat. "Nur, istirahat dulu. Jangan terlalu keras sama dirimu sendiri."Lia tahu, Nur selalu belajar dengan giat. Jadi wajar adiknya itu bisa masuk ke universitas ternama di Jakarta meski belum bisa mencapai beasiswa. Saat sekolah SD-SMK Nur selalu mendapat peringkat 3 besar dan memenangkan banyak lomba bersama teman-temannya. Nur tersenyum kecil. "Suwun, Mbak'e. Aku cuma mau memastikan semua tugasku selesai tepat waktu."Lia duduk di tepi tempat tidur, menatap adiknya dengan penuh sayang. "Aku bangga sama kamu, Nur. Kamu udah melalui banyak hal, tapi tetap kuat. Aku yakin kamu akan jadi orang yang sukses."Nur men
Nur mengamati pesan itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Kata-kata Excel mengingatkannya pada masa lalu yang ingin ia lupakan, namun ada bagian kecil dari hatinya yang masih merasakan getaran dari kenangan itu. Tetapi, tekadnya sudah bulat. Dia tidak ingin terjebak lagi dalam luka yang sama.Ponselnya tiba-tiba berdering, nomor baru yang sama menghubunginya. Nur terdiam, menatap layar dengan tatapan bimbang. Tetapi ia memutuskan untuk tidak menjawab. Panggilan itu akhirnya terputus dengan sendirinya, dan tanpa ragu Nur memblokir nomor baru Excel."Ini harus berakhir," gumamnya pelan. Dia bertekad untuk melupakan Excel sepenuhnya dan fokus pada masa depannya.Seminggu kemudian, Bambang dan Isna, memutuskan untuk pulang ke kampung halaman mereka. Musim panen padi sudah tiba, dan mereka ingin memastikan semuanya berjalan lancar. Sebelum pergi, mereka memastikan Nur baik-baik saja.Nur mengantarkan kedua orang tuanya ke terminal. Dalam perjalanan,
Malam Semakin LarutSetelah beberapa jam bekerja dengan serius, akhirnya tugas mereka mendekati selesai. Suasana menjadi lebih santai, diselingi candaan dan tawa."Rino, kamu serius banget sih dari tadi. Santai dikit dong," goda Latifa sambil mengulurkan segelas es jus untuk pemuda berkulit kuning langsat.Rino hanya tersenyum kecil. "Kalau nggak serius, tugasnya nggak selesai-selesai, Fa."Dika, yang sejak tadi memperhatikan Nur, merasa ini adalah kesempatan untuk mendekatinya lebih jauh. Saat yang lain sibuk membereskan alat, ia menghampiri Nur yang sedang duduk sendirian di sudut ruangan."Nur, kamu hebat banget tadi. Pekerjaan kita cepat selesai berkat kamu," puji Dika, duduk di sebelahnya."Terima kasih, Dik," jawab Nur singkat, mencoba menjaga jarak.Ketika tugas benar-benar selesai, satu per satu teman-teman mereka mulai pulang. Latifa pergi bersama Rino, sementara Sera pulang lebih dulu diantar Adi. Nur, yang menunggu Pak Supri menjemput, memilih tetap duduk di ruang tengah be
Latifa berbisik pada Sera dengan nada penuh semangat. "Sera, bayangin deh, kita kerja kelompok bareng mereka. Ini kesempatan emas!"Sera hanya mendesah pelan. "Emas buat kamu. Aku sih enggak ya. Kalau alatnya lengkap dan tugasnya cepat selesai, aku sih nggak masalah. Tapi kayaknya Nur agak keberatan deh."Latifa menepuk bahu Nur. "Nur, santai aja. Kita kan kerja kelompok. Nggak akan ada yang aneh-aneh kok."Setelah jam kuliah selesai, rombongan kelompok mereka bersiap menuju rumah Dika untuk memulai pengerjaan tugas. Nur, meski masih merasa kurang nyaman, akhirnya menerima tawaran Dika untuk memboncengnya dengan motor."Yuk, Nur. Motor udah siap di parkiran," kata Dika dengan senyuman yang terasa dipaksakan di mata Nur.Latifa, yang sudah sejak tadi tak bisa menyembunyikan senyumnya, langsung menghampiri Rino. "Aku bareng kamu aja, ya?" tanyanya penuh semangat.Rino, yang sedikit terkejut tapi tidak keberatan, hanya mengangguk. "
Tak ingin berlama-lama dilumpuhkan oleh emosinya, Excel masuk kembali ke dalam mobil. Tanpa berpikir panjang, ia menginjak pedal gas dalam-dalam, membiarkan mobilnya melaju liar di jalanan. Kecepatan tinggi dan suara mesin menderu menjadi pelariannya. Ia tak peduli pada bahaya atau rambu-rambu yang ia langgar.Namun kali ini, pelariannya berakhir tragis. Di sebuah tikungan tajam, mobilnya kehilangan kendali dan menghantam pembatas jalan dengan keras. Suara benturan menggema, diikuti suara kaca yang pecah berantakan.Saat tubuhnya terkulai di balik kemudi, kepala Excel berdenyut hebat. Dunia di sekitarnya terasa buram, tapi ingatan demi ingatan menyeruak di benaknya.Excel melihat Vero yang tengah mencoba gaun pengantin putih. Senyum manis yang dulu pernah ia cintai kini terasa seperti belati yang menusuk dadanya. Kenangan itu terasa begitu nyata, hingga tiba-tiba bayangan itu memudar, digantikan oleh kenyataan pahit yang menghantamnya tanpa ampun.
Di Tepi Kehancuran Juanda menghela napas berat, mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan kebenaran. Ia tahu bahwa apa yang akan ia katakan bisa menghancurkan hubungan mereka, tetapi ia tak bisa lagi menyembunyikannya.“Ver, kamu ingat malam itu... waktu kita pulang dari pesta ulang tahun Clara? Kamu mabuk berat, Ver. Dan aku tahu, kamu belum minum pil dan aku sengaja melakukannya malam itu. Aku tahu, jika kamu mabuk, kamu tidak akan menolak.”Vero membelalakkan matanya, perasaan tidak percaya menyeruak di wajahnya. “Kamu... sengaja? Kamu mengambil keuntungan dari aku yang tidak sadar?!”“Aku tahu ini egois, tapi aku ingin kamu menjadi milikku. Aku sudah lama mencintaimu, Ver. Aku pikir, dengan adanya anak, kita bisa lebih dekat. Kita bisa menjadi keluarga sungguhan.”Vero mencengkeram baju Juanda, matanya berkilat marah. “Kamu menghancurkan hidupku! Apa kamu tahu berapa tahun aku berjuang untuk sampai ke titik ini? Model
Anton menghela napas panjang. "Ma, ini bukan soal hati. Ini soal harga diri keluarga kita. Vero sudah membuat kesalahan besar, dan aku tak akan membiarkan dia terus tinggal di sini dengan kondisi seperti ini."Tantri menunduk lebih dalam, perasaan campur aduk di hatinya. Ia ingin sekali membela Vero, tapi ia juga tahu bahwa suaminya sudah membuat keputusan yang tak bisa diganggu gugat.Juanda yang berdiri di samping Vero, merasakan ketegangan yang semakin mencekam. Ia melangkah maju, mendekati Anton dengan sikap yang penuh hormat, meskipun hatinya terasa berat."Pa, saya tahu ini tidak mudah bagi keluarga. Tapi saya berjanji akan bertanggung jawab penuh atas Vero. Saya akan merawatnya dan mendampinginya karena ini adalah jalan yang sudah saya pilih."Anton diam sejenak, matanya menilai Juanda dengan tajam. "Kamu sudah mengambil keputusan besar, Juanda. Tapi aku hanya ingin kamu tahu, ini bukan hanya tentang kamu dan Vero. Ini tentang harga diri ke
Vero hanya terdiam membisu membuat suasana menjadi semakin mencekam. Papanya menghentakkan kakinya ke lantai."Jawab Vero! Apa itu anak Manajermu?! Jadi, selama ini kamu rela mengorbankan pernikahanmu dengan Excel demi mengejar karier, lalu jatuh ke pelukan lelaki itu?” bentak Anton. Tantri menggelengkan kepala, air matanya jatuh. “Vero, kami sudah memperingatkanmu. Tapi kau malah memilih jalan ini. Sekarang lihat akibatnya!”Anton yang berdiri di sudut ruangan menelpon manajer Vero, meminta pertanggungjawabannya. Setelah beberapa pembicaraan, lelaki itu setuju menikahi Vero.Namun, Vero menolak keras. “Aku tidak mau menikah dengan dia! Dia tidak sekaya Excel!”Ayahnya langsung menampar meja dengan keras. “Cukup, Vero! Kamu sudah cukup mempermalukan keluarga ini. Kamu akan menikah dengannya, suka atau tidak!”***Malam itu, suasana rumah Vero sangat tegang. Anton, Papa Vero, baru saja selesai berbicara dengan manaj
Setelah mendengar kabar mengejutkan dari dokter, Excel dan Vero keluar dari ruangan dengan langkah yang berbeda. Vero tampak tampak kalut dan berusaha mencari cara untuk menjelaskan kepada Excel sementara Excel menahan gelombang emosi yang bercampur di dadanya.Ketika mereka sampai di parkiran, Excel berhenti dan menatap Vero dengan wajah tegang."Kenapa kau diam saja, Excel? Bukannya ini kabar baik?" tanya Vero dengan nada setenang mungkin, mencoba mengusir keheningan yang menyesakkan.Excel menggeleng perlahan, lalu menghela napas panjang sebelum berkata dengan nada penuh kekecewaan."Vero, kabar baik? Aku belum pernah menyentuhmu. Tapi sekarang... kau hamil?" "Excel, apa kamu lupa, kita sudah pernah melakukannya sebelum kamu kecelakaan. Berarti kehamilan ini anugerah, bukankah kita harus menerimanya dengan lapang dada?"Excel menatap Vero tajam. "Anugerah? Bagimu mungkin iya, tapi bagiku ini bencana. Aku saja tidak pernah merasa sudah menyentuhmu, kamu jangan pernah coba-coba boh