Nur terkejut mendengar ancaman halus itu. Ia menoleh, menatap ibu mertuanya dengan tersenyum membuat Diana merasa di remehkan. Bukannya takut, Nur nampak tetap tenang, meski akhirnya gadis itu menunduk, melanjutkan pekerjaannya tanpa berkomentar. Nur tahu, berdebat hanya akan memperkeruh suasana. Namun, ancaman itu tetap terasa menusuk di hatinya.
Diana kembali ke meja makan dengan wajah yang tenang, seolah-olah tak terjadi apa-apa. Sementara Nur, meski merasa cemas, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia tidak akan lama untuk menghadapi masalah ini. "Ternyata gini ya rasanya dapat mertua sadis, bikin ngenes. Pantas aja mbak Lia sampai kering kerontang, suami pelit perhitungan ipar dan mertua julid. Jabang bayi amit-amit, jangan sampai aku juga kek gitu, bisa-bisa tubuhku yang langsing ini jadi tengkorak berjalan," ujar Nur tanpa suara. Meski begitu bibirnya tetap mencar-mencor sambil membilas piring. Setelah selesai sarapan Azka berpamitan untuk berangkat ke kantor. Diana pun mengantar sang suami hingga ke depan pintu. Di ruang makan Oma Mentari mengobrol bersama Excel dan Nur yang sudah kembali duduk. Mata tuanya yang lembut memancarkan kehangatan yang selalu membuat mereka nyaman. "Excel, apa rencana kalian hari ini?" tanyanya dengan suara lembut. Excel tersenyum tipis, melirik Nur yang duduk di sampingnya sebelum menjawab, “Belum tahu, Oma. Aku baru saja resign dari kantor Pak Heri, jadi sekarang masih bingung mau ngapain. Papa sih bilang, aku disuruh istirahat dulu. Katanya, nanti kalau udah ada kerjaan buat aku, baru dipanggil" "Lagian kamu itu, udah tahu punya perusahaan sendiri malah suka kerja dengan orang lain," ujar Oma Mentari. "Ya kan, aku juga pengen cari pengalaman dulu, Oma. Biar tahu juga gimana rasanya kerja di bawah tuntutan orang lain," balas Excel santai. Nur yang memang tidak tahu bagaimana kehidupan dan silsilah keluarga Excel pun diam menyimak. Dirinya bisa menyimpulkan bahwa keluarga Excel bukanlah orang sembarangan. Hingga akhirnya Oma mengakhiri obrolan mereka dan berniat untuk berjemur di samping rumah. "Oma, boleh Nur temani?" tanya Nur dengan ragu. Oma Mentari tersenyum, terlihat senang dengan tawaran itu. "Tentu saja, Nak. Oma akan sangat senang ditemani." "Terima kasih, Oma," sambut Nur antusias. Ia segera beranjak dari duduknya dan menghampiri sang nenek. Nur membantu Oma Mentari untuk bangkit dari duduknya. "Hati-hati, Oma." "Iya, Sayang," balas Oma Mentari. Dengan lembut, Nur menuntun Oma yang berjalan menggunakan _Cane_, menuju area berjemur di taman samping meninggalkan Excel yang masih menikmati secangkir kopinya. Sesampainya di sana, mereka duduk di bangku taman di bawah sinar matahari pagi yang hangat. "Nur, boleh Oma bertanya?" suara lembut Oma Mentari memecah keheningan pagi di taman. Ia menatap Nur dengan pandangan hangat, penuh rasa ingin tahu sekaligus perhatian. Nur menoleh dengan senyum kecil. “Silakan, Oma, mau tanya apa?” jawabnya, sedikit penasaran, tapi tetap dengan nada riang yang khas darinya. Oma Mentari menatapnya sejenak, mengamati ekspresi gadis itu. “Kenapa kamu mau menjadi pengantin pengganti untuk Excel?” Pertanyaan itu membuat Nur terdiam sejenak. Pandangannya beralih, menerawang, seolah mencari jawaban yang tepat. Ia tak langsung menjawab. Di dalam benaknya, berputar kenangan, pertimbangan, dan alasan yang mungkin sulit dijelaskan. Mengambil napas panjang, Nur akhirnya tersenyum, mencoba memberi jawaban ringan yang barangkali bisa mengalihkan perasaan dalam hatinya. “Em, kenapa ya?” Nur menggigit bibirnya sambil berpikir, lalu tertawa kecil. “Jodoh kali, Oma,” ucapnya santai, disertai senyum jahil dan ekspresi nyengir yang membuatnya terlihat menggemaskan. Oma Mentari terkekeh melihat kelucuannya. Senyum lembut menghiasi wajah sang nenek, merasa terhibur oleh jawaban Nur yang polos namun dalam. Meski sederhana, Oma tahu ada lebih banyak hal di balik kata-kata gadis itu. "Apapun alasanmu, terima kasih karena kamu sudah menyelamatkan nama baik keluarga Mahendra," kata Oma Mentari dengan suara lembut namun penuh ketulusan. "Firasat Oma, kamu orang yang baik. Semoga kalian berjodoh hingga akhir hayat," lanjutnya, menatap Nur dengan mata yang berbinar haru. Nur merasakan hangat di hatinya mendengar doa tulus dari sang nenek. Ia terdiam sejenak, berusaha menyembunyikan perasaan yang campur aduk antara haru, gugup, dan sedikit ragu. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya, apakah ia memang pantas menjadi bagian dari keluarga yang ia curigai bukan orang sembarangan?. Dari balik tembok Diana mengintip interaksi ibu mertuanya dengan Nur yang begitu akrab dengan hangat. "Ih nyebelin, gadis kampungan ternyata bisa banget ya menggaet nenek tua itu, entah pelet apa yang dia pake. Aku yang selama tiga puluh tahun menjadi menantunya aja enggak pernah ngobrol ketawa-ketawa gitu. Ngeselin banget, awas aja kamu Nur, dasar kampungan!" Diana meremas kedua telapak tangannya merasa kesal dan segera berlalu masuk ke dalam rumah. Nur menundukkan kepala sedikit, tersenyum dengan penuh syukur. "Terima kasih, Oma, untuk doanya," balas Nur. Ia seolah menjanjikan pada dirinya sendiri bahwa ia akan berusaha sebaik mungkin menjalani peran ini. _Apa aku bilang aja ya sama Oma kalau pernikahan ini akan segera berakhir? Biar aku tidak perlu memberinya harapan yang terlalu tinggi. Lagian Om Excel kenapa sih, enggak jujur aja kalau kita akan segera berpisah dan pernikahan ini hanya menyelamatkan nama baik baik keluarganya_ Nur berpikir, hatinya bergejolak. "Em, Oma, maaf sebenarnya....." Nur menata kalimat dengan hati-hati agar Oma Mentari tak syok atau pun terkena serangan jantung ketika mendengar kejujurannya. "Iya, Nur," ucap Oma Mentari mengernyitkan dahi menunggu Nur yang tak kunjung melanjutkan ucapannya. Tiba-tiba terdengar langkah kaki mendekat membuat Nur dan Oma Mentari menoleh. Nampak Excel datang dengan "Nur, kamu belum nyiapin berkas-berkas buat masuk kuliah Minggu depan?" tanya Excel. "Belum. Kok, Om, tahu? "Ini tadi Mbak Lia telpon aku, ngasih tahu kalau kamu udah nyiapin berkas-berkas kuliah apa belum? Katanya mbak Lia telpon kamu enggak di angkat," kata Excel. "Hehee... Hpku masih di kamar. Tenang aja, berkasnya udah siap semua kok, cuman.... aku belum punya laptop sih," balas Nur tersenyum malu. "Ya udah tenang aja, entar aku beliin," tawar Excel. "Beneran? Aku enggak usah ganti kan?" Nur bertanya, wajahnya nampak antusias dan sumringah. "Ya ganti lah, semua tuh enggak ada yang gratis," jawab Excel sambil tersenyum nakal, mencoba menggoda Nur. "Eleh, modus. Ya udah lah, enggak usah, biar aku beli sendiri." Nur menolak dengan senyumnya pun memudar, meski dalam hati tawaran itu sangat menggoda. "Enggak lah Nur, bercanda. Suami istri kan harus saling mendukung." Excel berkata dengan serius, namun masih ada canda dalam suaranya. Ia mengedipkan mata, membuat Nur melotot. Oma Mentari tertawa menyaksikan interaksi Nur dan Excel yang penuh canda tawa. Senyuman di wajahnya semakin lebar melihat betapa akrabnya cucunya dan Nur. Momen itu terasa hangat dan menggembirakan, seperti sinar matahari yang menyinari taman di sekitar mereka. “Ah, kalian berdua ini lucu sekali! Kalian udah saling kenal lama ya?" tanya Oma Mentari. "Enggak juga sih, Oma. Kita bertemu cuma dua atau tiga kali kayaknya kalau enggak salah, iya kan Om?" Nur meminta persetujuan kepada suaminya. Excel hanya menggaguk menanggapi. "Kalau sudah jodoh pasti ada saja ya jalannya. Semoga kalian jodoh dunia akhirat," balas Oma Mentari tulus. "Amin," balas Excel cepat sambil menengadahkan kedua telapak tangannya ke atas lalu meramaskan wajahnya, seolah-olah mengundang berkah dari atas. Tindakannya membuat Nur menatapnya tak percaya, melihat betapa seriusnya Excel dalam berdoa, meskipun dalam suasana santai. Oma Mentari meminta Excel keluar membeli laptop untuk Nur sambil jalan-jalan berdua. Excel pun menyanggupi dengan antusias, lalu meminta Nur untuk bersiap-siap dan mengambil dompet serta kunci mobil yang ada di atas nakas di kamar. Sedangkan dirinya memilih menemani sang nenek terlebih dulu. “Yuk, cepat, Nur. Kita bisa pergi berdua setelah ini,” ajak Excel dengan senyuman. Dengan semangat, Nur patuh menuruti apa yang diperintahkan suaminya. Ia bergegas menuju kamar, hatinya berdebar membayangkan momen jalan-jalan bersama Excel, suami dadakannya. Namun saat Nur akan naik ke atas tangga dan melewati kamar mertuanya, telinganya samar-samar menangkap suara Diana yang sedang berbicara di dalam kamar. "Mama ngomong sama siapa?" batin Nur bertanya-tanya. Nur segera mendekat, apalagi pintu kamar tak tertutup rapat membuat Nur bisa dengan jelas mengintip Diana yang sedang berbicara di telepon. "Aku kesal sekali, selama ini aku enggak bisa deketin Oma Mentari. Tapi, gadis kampungan itu justru dengan mudah mengambil simpati nenek tua itu, entah pakai pelet apa dia, heran aku. Kalau begini makin susah buat mengambil alih semua harta keluarga Mahendra, bisa-bisa gadis miskin itu yang akan mendapatkannya!" ucap Diana kesal membuat Nur terkejut. "Buset! Aku di tuduh pake pelet!" gerutu Nur di dalam hatinya. Nur masih berdiri di balik pintu, mendengarkan setiap kata yang diucapkan Diana dengan jantung berdebar. Ia mencoba menenangkan dirinya, tapi rasa penasaran dan kekhawatiran membuatnya tetap diam di tempat, tanpa beranjak. Diana melanjutkan dengan suara penuh kebencian. "Aku enggak akan biarkan gadis kampungan itu menghalangi rencana kita," bisik Diana lagi dengan nada sinis. Setelah itu hening beberapa saat, hingga akhirnya Diana kembali bersuara. "Apa? Rencana apa?" tanya Diana pada sosok di telpon membuat Nur semakin menajamkan pendengarannya."Non, kamu ngapain."Nur yang sedang serius mendengarkan rencana Diana, seketika terlonjak kaget saat bahunya di tepuk seseorang. "Bibi, ngagetin aja," bisik Nur. Jantungnya berdebar sangat kencang, ia mengusap dadanya merasa lega saat tahu siapa yang berbicara di belakangnya. "Kamu nguping nyonya muda ya?" tanya wanita berambut kuncir kuda itu.Dengan cepat Nur menempelkan jari telunjuk pada bibirnya sendiri. Dan mendorong asisten rumah tangga untuk segera menjauh dari kamar Diana."Aku enggak nguping, Bi. Cuma kebetulan aja lewat, tak kira Mama ngomong sama siapa. Nah karena pintunya enggak ke tutup rapat ya udah aku lihat aja, ternyata ngomong sama telpon," ucap Nur menjelaskan. Ia tak ingin di cap aneh-aneh oleh wanita itu apalagi di ajukan dengan Diana."Yakin? Nona enggak lagi nguping pembicaraan Nyonya kan?" Wanita itu nampak mencurigai Nur, tatapannya membuat Nur tak nyaman."Yakin lah, lagian Bi Lilis ngapain sih ngurusin aku. Dahlah, aku mau ke kamar," ucap Nur merasa b
Bab 6"Hai cantik, boleh kenalan? Aku Zarek," ucap Zarek dengan senyum buaya sembari mengulurkan tangan."Nur," balas Nur menyambut uluran tangan lelaki di depannya.Excel tak suka dengan tragedi di depannya, ia segera menarik tangan sang istri agar terlepas dari Zarek. "Lepasin, Za. Enggak semua cewek bisa kamu modusin," ucap Excel kesal.Zarek adalah teman sekolah SMA-nya dulu, meski mereka tidak terlalu dekat, tetapi Excel hapal sifat Zarek yang suka mempermainkan wanita bahkan tak segan-segan memanfaatkan wanitanya. Sebab itulah Excel tak mau berteman dekat dengan Zarek."Ya elah. Santai aja, Bro, sikap posesif kamu enggak berkurang ya. Hati-hati kalau istri kamu justru enggak betah sama sikap kamu itu," ledak Zarek dengan tersenyum sinis. Zarek memang tidak menghadiri pernikahan Excel, dan ia juga tidak di undang Excel juga maka dari itu ia memilih untuk tidak hadir."Ayo, Nur, kita pergi!" tanpa merespon apa yang di ucapkan Zarek, Excel menarik tangan sang istri untuk meningga
Excel mengusap wajahnya dengan tangan, berusaha menenangkan hatinya yang sedikit terusik oleh godaan Nur. Ia menatap istrinya dengan pandangan penuh teka-teki, lalu tersenyum miring, menggoda.“Kamu berani godain aku,” ucap Excel, suaranya berat, tapi ada nada main-main di sana.“Berani emang kenapa? Kan suami sendiri,” tantang Nur tanpa rasa gentar, malah tersenyum lebar seolah sengaja memancing reaksi suaminya.Excel semakin mendekat, membungkuk sedikit hingga wajahnya sejajar dengan Nur. “Yakin, enggak bakal nyesel?” tanyanya, matanya menyiratkan tantangan.Nur mengerutkan kening, penasaran. “Nyesel kenapa?”“Mau nyobain?” Excel menaikkan alisnya, wajahnya makin dekat, membuat Nur sedikit salah tingkah.“Nyobain apa, Kak?” tanya Nur, bingung tapi tetap mempertahankan ekspresi penasaran.Excel menyeringai, matanya penuh godaan. “Nyobain tugu Monasku,” bisiknya pelan, nyaris seperti sebuah tantangan yang disengaja.Nur terdiam, ekspresinya berubah drastis. “Hah...!” pekiknya, kedua m
Excel telah tiba di perusahaan Mahendra grup, ia langsung menuju ruang rapat. Di ruang rapat utama, Excel menemukan Papanya bersama tim manajemen, termasuk direktur operasional, Pak Wijaya, dan kepala divisi legal, Bu Tari."Permisi..." ucap Excel saat membuka pintu ruang rapat."Excel, akhirnya kamu datang juga. Sini, Nak, tolong bantu Papa," ujar Azka mempersilakan putranya bergabung.Excel berjalan mendekat, menatap wajah-wajah tegang di ruangan itu."Bapak dan Ibu sekalian, izinkan saya memperkenalkan Excel Mahendra, putra tunggal saya," ujar Azka dengan nada penuh harap."Excel akan membantu menyelesaikan masalah besar yang sedang kita hadapi," imbuh Azka, penuh keyakinan.Excel mengangguk sopan, menatap semua yang ada di ruangan dengan pandangan percaya diri. "Senang bertemu dengan semuanya. Saya akan melakukan yang terbaik untuk membantu," ujarnya, meski ini pertama kalinya ia terlibat langsung dalam perusahaan keluarganya.Ruangan sunyi sejenak, hanya terdengar suara napas be
Nur mengepalkan kedua tangannya, menahan geram. Kata-kata yang ingin dia ucapkan terasa terhenti di tenggorokan saat Diana menjawab telepon dengan wajah ceria."Iya, Hallo," sapa Diana dengan senyuman lebar, suaranya terdengar manis dan penuh percaya diri.Nur hanya bisa diam, tak tahu siapa yang menelepon mama mertuanya dan tak dapat mendengar percakapan di seberang sana. Namun, melihat ekspresi Diana yang semakin ceria, rasa curiga mulai menguasai hatinya."Oke, tunggu ya, aku langsung otw," ucap Diana, mengakhiri panggilan dengan nada santai namun penuh arti.Setelah itu, Diana bangkit dari kursinya dengan perasaan puas, seolah baru saja memenangkan sebuah pertandingan. Dia berpamitan kepada teman-temannya, sambil melirik Nur dengan tatapan yang penuh kemenangan."Ma, Mama...! Tungguin." Nur memanggil dengan suara terburu-buru, berlari mengejar Diana.Brug...!!"Aduh... Pakai jatuh lagi!" pekik Nur saat kakinya terantuk ujung kursi. Ia terjerembap ke lantai, menahan rasa sakit di l
"Mama, ngapain mau mukul istriku?" Suara Excel terdengar keras, tangannya sudah menggenggam tangan Diana dengan tegas.Diana terdiam sejenak, gugup, matanya melirik ke arah Nur yang tersenyum penuh kemenangan. Rasa panik mulai merayapi dirinya, membuatnya semakin bingung untuk memberi penjelasan."Excel..." Suara Diana bergetar, tak bisa menyembunyikan kegugupan. Ia melirik lagi ke arah Nur, yang kini berdiri dengan sikap penuh kemenangan, senyumnya semakin lebar."Mau mukul Nur? Kenapa, Ma?" Excel menatap Diana dengan tatapan serius, matanya tajam seolah menembus setiap kebohongan yang mungkin keluar dari bibirnya.Diana menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia menggenggam tangan Excel, berusaha tersenyum meski terlihat jelas ketegangan di wajahnya. "Em... Enggak kok. Mama... Mama cuma mau ambil kotoran di rambut Nur," jawab Diana terbata-bata, kata-katanya terdengar tidak meyakinkan.Excel mengerutkan dahi, sedikit bingung dengan jawaban Diana yang tak masuk akal. "I-iy
Setelah selesai menunaikan salat Magrib, Excel mengajak Nur turun untuk makan malam bersama. "Ayo, Nur, kita makan. Perutku sudah lapar sekali," ucap Excel sambil menggandeng tangan Nur.Meskipun Nur sebenarnya masih merasa kenyang sebab makan di restoran bersama wanita yang baru dikenalnya namun, ia tetap menyetujui ajakan sang suami. "Baiklah, Kak. Tapi aku mungkin makan sedikit aja," jawab Nur. Saat mereka tiba di meja makan, Oma Mentari sudah duduk rapi menunggu. Wanita tua itu tersenyum hangat melihat kedatangan mereka. "Malam, Oma," sapa Nur ramah."Malam, Nur. Yuk kita makan," balas Oma Mentari.Tak lama, Diana dan Azka keluar dari kamar mereka, bergabung di meja makan. Diana tampak anggun dengan pakaian santai, sementara Azka terlihat sedikit lelah."Papa baru pulang?" Excel menoleh ke arah Azka, memperhatikan raut wajah serius papanya."Iya, Xel. Hari-hari ini Papa tidak bisa santai sebelum dalang semua masalah ini ditemukan," balas Azka sambil menarik kursi untuk duduk.
Satu minggu telah berlalu, dan Mahendra Grup kini terhuyung-huyung akibat masalah yang semakin besar. Perusahaan pusat utama yang selama ini menjadi tulang punggung mereka tengah menghadapi krisis, sementara Magna, mitra utama yang telah menjalin kerja sama selama puluhan tahun, memutuskan untuk menghentikan kemitraan mereka. Keputusan itu membuat Mahendra Grup terpuruk, seolah lumpuh tanpa arah.Sementara itu, Nur, telah memulai kuliah di fakultas kedokteran. Ia bertemu dengan banyak teman-teman baru, serta mengenal para dosen yang akan membimbingnya di perjalanan akademisnya. Hari pertama kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Harapan sudah dimulai dengan berbagai kegiatan orientasi. Setelah menyelesaikan sesi orientasi yang diisi dengan pengenalan fasilitas kampus dan penjelasan tentang jadwal kuliah, Nur pun memasuki ruang kelas pertama.Suasana di dalam kelas cukup ramai dengan mahasiswa baru yang sibuk mencari tempat duduk. Nur mencari tempat yang nyaman di bagian tengah rua
Sementara itu, di rumah Heri, Nur sedang sibuk menata buku-bukunya di meja belajar. Ia baru saja menyelesaikan tugas kuliah yang cukup berat. Pikirannya sesekali melayang ke Excel, tetapi ia segera mengalihkan fokusnya. Nur tahu, ia harus tetap kuat dan menjaga keputusannya.Lia masuk ke kamar Nur sambil membawa secangkir teh hangat. "Nur, istirahat dulu. Jangan terlalu keras sama dirimu sendiri."Lia tahu, Nur selalu belajar dengan giat. Jadi wajar adiknya itu bisa masuk ke universitas ternama di Jakarta meski belum bisa mencapai beasiswa. Saat sekolah SD-SMK Nur selalu mendapat peringkat 3 besar dan memenangkan banyak lomba bersama teman-temannya. Nur tersenyum kecil. "Suwun, Mbak'e. Aku cuma mau memastikan semua tugasku selesai tepat waktu."Lia duduk di tepi tempat tidur, menatap adiknya dengan penuh sayang. "Aku bangga sama kamu, Nur. Kamu udah melalui banyak hal, tapi tetap kuat. Aku yakin kamu akan jadi orang yang sukses."Nur men
Nur mengamati pesan itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Kata-kata Excel mengingatkannya pada masa lalu yang ingin ia lupakan, namun ada bagian kecil dari hatinya yang masih merasakan getaran dari kenangan itu. Tetapi, tekadnya sudah bulat. Dia tidak ingin terjebak lagi dalam luka yang sama.Ponselnya tiba-tiba berdering, nomor baru yang sama menghubunginya. Nur terdiam, menatap layar dengan tatapan bimbang. Tetapi ia memutuskan untuk tidak menjawab. Panggilan itu akhirnya terputus dengan sendirinya, dan tanpa ragu Nur memblokir nomor baru Excel."Ini harus berakhir," gumamnya pelan. Dia bertekad untuk melupakan Excel sepenuhnya dan fokus pada masa depannya.Seminggu kemudian, Bambang dan Isna, memutuskan untuk pulang ke kampung halaman mereka. Musim panen padi sudah tiba, dan mereka ingin memastikan semuanya berjalan lancar. Sebelum pergi, mereka memastikan Nur baik-baik saja.Nur mengantarkan kedua orang tuanya ke terminal. Dalam perjalanan,
Malam Semakin LarutSetelah beberapa jam bekerja dengan serius, akhirnya tugas mereka mendekati selesai. Suasana menjadi lebih santai, diselingi candaan dan tawa."Rino, kamu serius banget sih dari tadi. Santai dikit dong," goda Latifa sambil mengulurkan segelas es jus untuk pemuda berkulit kuning langsat.Rino hanya tersenyum kecil. "Kalau nggak serius, tugasnya nggak selesai-selesai, Fa."Dika, yang sejak tadi memperhatikan Nur, merasa ini adalah kesempatan untuk mendekatinya lebih jauh. Saat yang lain sibuk membereskan alat, ia menghampiri Nur yang sedang duduk sendirian di sudut ruangan."Nur, kamu hebat banget tadi. Pekerjaan kita cepat selesai berkat kamu," puji Dika, duduk di sebelahnya."Terima kasih, Dik," jawab Nur singkat, mencoba menjaga jarak.Ketika tugas benar-benar selesai, satu per satu teman-teman mereka mulai pulang. Latifa pergi bersama Rino, sementara Sera pulang lebih dulu diantar Adi. Nur, yang menunggu Pak Supri menjemput, memilih tetap duduk di ruang tengah be
Latifa berbisik pada Sera dengan nada penuh semangat. "Sera, bayangin deh, kita kerja kelompok bareng mereka. Ini kesempatan emas!"Sera hanya mendesah pelan. "Emas buat kamu. Aku sih enggak ya. Kalau alatnya lengkap dan tugasnya cepat selesai, aku sih nggak masalah. Tapi kayaknya Nur agak keberatan deh."Latifa menepuk bahu Nur. "Nur, santai aja. Kita kan kerja kelompok. Nggak akan ada yang aneh-aneh kok."Setelah jam kuliah selesai, rombongan kelompok mereka bersiap menuju rumah Dika untuk memulai pengerjaan tugas. Nur, meski masih merasa kurang nyaman, akhirnya menerima tawaran Dika untuk memboncengnya dengan motor."Yuk, Nur. Motor udah siap di parkiran," kata Dika dengan senyuman yang terasa dipaksakan di mata Nur.Latifa, yang sudah sejak tadi tak bisa menyembunyikan senyumnya, langsung menghampiri Rino. "Aku bareng kamu aja, ya?" tanyanya penuh semangat.Rino, yang sedikit terkejut tapi tidak keberatan, hanya mengangguk. "
Tak ingin berlama-lama dilumpuhkan oleh emosinya, Excel masuk kembali ke dalam mobil. Tanpa berpikir panjang, ia menginjak pedal gas dalam-dalam, membiarkan mobilnya melaju liar di jalanan. Kecepatan tinggi dan suara mesin menderu menjadi pelariannya. Ia tak peduli pada bahaya atau rambu-rambu yang ia langgar.Namun kali ini, pelariannya berakhir tragis. Di sebuah tikungan tajam, mobilnya kehilangan kendali dan menghantam pembatas jalan dengan keras. Suara benturan menggema, diikuti suara kaca yang pecah berantakan.Saat tubuhnya terkulai di balik kemudi, kepala Excel berdenyut hebat. Dunia di sekitarnya terasa buram, tapi ingatan demi ingatan menyeruak di benaknya.Excel melihat Vero yang tengah mencoba gaun pengantin putih. Senyum manis yang dulu pernah ia cintai kini terasa seperti belati yang menusuk dadanya. Kenangan itu terasa begitu nyata, hingga tiba-tiba bayangan itu memudar, digantikan oleh kenyataan pahit yang menghantamnya tanpa ampun.
Di Tepi Kehancuran Juanda menghela napas berat, mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan kebenaran. Ia tahu bahwa apa yang akan ia katakan bisa menghancurkan hubungan mereka, tetapi ia tak bisa lagi menyembunyikannya.“Ver, kamu ingat malam itu... waktu kita pulang dari pesta ulang tahun Clara? Kamu mabuk berat, Ver. Dan aku tahu, kamu belum minum pil dan aku sengaja melakukannya malam itu. Aku tahu, jika kamu mabuk, kamu tidak akan menolak.”Vero membelalakkan matanya, perasaan tidak percaya menyeruak di wajahnya. “Kamu... sengaja? Kamu mengambil keuntungan dari aku yang tidak sadar?!”“Aku tahu ini egois, tapi aku ingin kamu menjadi milikku. Aku sudah lama mencintaimu, Ver. Aku pikir, dengan adanya anak, kita bisa lebih dekat. Kita bisa menjadi keluarga sungguhan.”Vero mencengkeram baju Juanda, matanya berkilat marah. “Kamu menghancurkan hidupku! Apa kamu tahu berapa tahun aku berjuang untuk sampai ke titik ini? Model
Anton menghela napas panjang. "Ma, ini bukan soal hati. Ini soal harga diri keluarga kita. Vero sudah membuat kesalahan besar, dan aku tak akan membiarkan dia terus tinggal di sini dengan kondisi seperti ini."Tantri menunduk lebih dalam, perasaan campur aduk di hatinya. Ia ingin sekali membela Vero, tapi ia juga tahu bahwa suaminya sudah membuat keputusan yang tak bisa diganggu gugat.Juanda yang berdiri di samping Vero, merasakan ketegangan yang semakin mencekam. Ia melangkah maju, mendekati Anton dengan sikap yang penuh hormat, meskipun hatinya terasa berat."Pa, saya tahu ini tidak mudah bagi keluarga. Tapi saya berjanji akan bertanggung jawab penuh atas Vero. Saya akan merawatnya dan mendampinginya karena ini adalah jalan yang sudah saya pilih."Anton diam sejenak, matanya menilai Juanda dengan tajam. "Kamu sudah mengambil keputusan besar, Juanda. Tapi aku hanya ingin kamu tahu, ini bukan hanya tentang kamu dan Vero. Ini tentang harga diri ke
Vero hanya terdiam membisu membuat suasana menjadi semakin mencekam. Papanya menghentakkan kakinya ke lantai."Jawab Vero! Apa itu anak Manajermu?! Jadi, selama ini kamu rela mengorbankan pernikahanmu dengan Excel demi mengejar karier, lalu jatuh ke pelukan lelaki itu?” bentak Anton. Tantri menggelengkan kepala, air matanya jatuh. “Vero, kami sudah memperingatkanmu. Tapi kau malah memilih jalan ini. Sekarang lihat akibatnya!”Anton yang berdiri di sudut ruangan menelpon manajer Vero, meminta pertanggungjawabannya. Setelah beberapa pembicaraan, lelaki itu setuju menikahi Vero.Namun, Vero menolak keras. “Aku tidak mau menikah dengan dia! Dia tidak sekaya Excel!”Ayahnya langsung menampar meja dengan keras. “Cukup, Vero! Kamu sudah cukup mempermalukan keluarga ini. Kamu akan menikah dengannya, suka atau tidak!”***Malam itu, suasana rumah Vero sangat tegang. Anton, Papa Vero, baru saja selesai berbicara dengan manaj
Setelah mendengar kabar mengejutkan dari dokter, Excel dan Vero keluar dari ruangan dengan langkah yang berbeda. Vero tampak tampak kalut dan berusaha mencari cara untuk menjelaskan kepada Excel sementara Excel menahan gelombang emosi yang bercampur di dadanya.Ketika mereka sampai di parkiran, Excel berhenti dan menatap Vero dengan wajah tegang."Kenapa kau diam saja, Excel? Bukannya ini kabar baik?" tanya Vero dengan nada setenang mungkin, mencoba mengusir keheningan yang menyesakkan.Excel menggeleng perlahan, lalu menghela napas panjang sebelum berkata dengan nada penuh kekecewaan."Vero, kabar baik? Aku belum pernah menyentuhmu. Tapi sekarang... kau hamil?" "Excel, apa kamu lupa, kita sudah pernah melakukannya sebelum kamu kecelakaan. Berarti kehamilan ini anugerah, bukankah kita harus menerimanya dengan lapang dada?"Excel menatap Vero tajam. "Anugerah? Bagimu mungkin iya, tapi bagiku ini bencana. Aku saja tidak pernah merasa sudah menyentuhmu, kamu jangan pernah coba-coba boh