Nur terkejut mendengar ancaman halus itu. Ia menoleh, menatap ibu mertuanya dengan tersenyum membuat Diana merasa di remehkan. Bukannya takut, Nur nampak tetap tenang, meski akhirnya gadis itu menunduk, melanjutkan pekerjaannya tanpa berkomentar. Nur tahu, berdebat hanya akan memperkeruh suasana. Namun, ancaman itu tetap terasa menusuk di hatinya.
Diana kembali ke meja makan dengan wajah yang tenang, seolah-olah tak terjadi apa-apa. Sementara Nur, meski merasa cemas, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia tidak akan lama untuk menghadapi masalah ini. "Ternyata gini ya rasanya dapat mertua sadis, bikin ngenes. Pantas aja mbak Lia sampai kering kerontang, suami pelit perhitungan ipar dan mertua julid. Jabang bayi amit-amit, jangan sampai aku juga kek gitu, bisa-bisa tubuhku yang langsing ini jadi tengkorak berjalan," ujar Nur tanpa suara. Meski begitu bibirnya tetap mencar-mencor sambil membilas piring. Setelah selesai sarapan Azka berpamitan untuk berangkat ke kantor. Diana pun mengantar sang suami hingga ke depan pintu. Di ruang makan Oma Mentari mengobrol bersama Excel dan Nur yang sudah kembali duduk. Mata tuanya yang lembut memancarkan kehangatan yang selalu membuat mereka nyaman. "Excel, apa rencana kalian hari ini?" tanyanya dengan suara lembut. Excel tersenyum tipis, melirik Nur yang duduk di sampingnya sebelum menjawab, “Belum tahu, Oma. Aku baru saja resign dari kantor Pak Heri, jadi sekarang masih bingung mau ngapain. Papa sih bilang, aku disuruh istirahat dulu. Katanya, nanti kalau udah ada kerjaan buat aku, baru dipanggil" "Lagian kamu itu, udah tahu punya perusahaan sendiri malah suka kerja dengan orang lain," ujar Oma Mentari. "Ya kan, aku juga pengen cari pengalaman dulu, Oma. Biar tahu juga gimana rasanya kerja di bawah tuntutan orang lain," balas Excel santai. Nur yang memang tidak tahu bagaimana kehidupan dan silsilah keluarga Excel pun diam menyimak. Dirinya bisa menyimpulkan bahwa keluarga Excel bukanlah orang sembarangan. Hingga akhirnya Oma mengakhiri obrolan mereka dan berniat untuk berjemur di samping rumah. "Oma, boleh Nur temani?" tanya Nur dengan ragu. Oma Mentari tersenyum, terlihat senang dengan tawaran itu. "Tentu saja, Nak. Oma akan sangat senang ditemani." "Terima kasih, Oma," sambut Nur antusias. Ia segera beranjak dari duduknya dan menghampiri sang nenek. Nur membantu Oma Mentari untuk bangkit dari duduknya. "Hati-hati, Oma." "Iya, Sayang," balas Oma Mentari. Dengan lembut, Nur menuntun Oma yang berjalan menggunakan _Cane_, menuju area berjemur di taman samping meninggalkan Excel yang masih menikmati secangkir kopinya. Sesampainya di sana, mereka duduk di bangku taman di bawah sinar matahari pagi yang hangat. "Nur, boleh Oma bertanya?" suara lembut Oma Mentari memecah keheningan pagi di taman. Ia menatap Nur dengan pandangan hangat, penuh rasa ingin tahu sekaligus perhatian. Nur menoleh dengan senyum kecil. “Silakan, Oma, mau tanya apa?” jawabnya, sedikit penasaran, tapi tetap dengan nada riang yang khas darinya. Oma Mentari menatapnya sejenak, mengamati ekspresi gadis itu. “Kenapa kamu mau menjadi pengantin pengganti untuk Excel?” Pertanyaan itu membuat Nur terdiam sejenak. Pandangannya beralih, menerawang, seolah mencari jawaban yang tepat. Ia tak langsung menjawab. Di dalam benaknya, berputar kenangan, pertimbangan, dan alasan yang mungkin sulit dijelaskan. Mengambil napas panjang, Nur akhirnya tersenyum, mencoba memberi jawaban ringan yang barangkali bisa mengalihkan perasaan dalam hatinya. “Em, kenapa ya?” Nur menggigit bibirnya sambil berpikir, lalu tertawa kecil. “Jodoh kali, Oma,” ucapnya santai, disertai senyum jahil dan ekspresi nyengir yang membuatnya terlihat menggemaskan. Oma Mentari terkekeh melihat kelucuannya. Senyum lembut menghiasi wajah sang nenek, merasa terhibur oleh jawaban Nur yang polos namun dalam. Meski sederhana, Oma tahu ada lebih banyak hal di balik kata-kata gadis itu. "Apapun alasanmu, terima kasih karena kamu sudah menyelamatkan nama baik keluarga Mahendra," kata Oma Mentari dengan suara lembut namun penuh ketulusan. "Firasat Oma, kamu orang yang baik. Semoga kalian berjodoh hingga akhir hayat," lanjutnya, menatap Nur dengan mata yang berbinar haru. Nur merasakan hangat di hatinya mendengar doa tulus dari sang nenek. Ia terdiam sejenak, berusaha menyembunyikan perasaan yang campur aduk antara haru, gugup, dan sedikit ragu. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya, apakah ia memang pantas menjadi bagian dari keluarga yang ia curigai bukan orang sembarangan?. Dari balik tembok Diana mengintip interaksi ibu mertuanya dengan Nur yang begitu akrab dengan hangat. "Ih nyebelin, gadis kampungan ternyata bisa banget ya menggaet nenek tua itu, entah pelet apa yang dia pake. Aku yang selama tiga puluh tahun menjadi menantunya aja enggak pernah ngobrol ketawa-ketawa gitu. Ngeselin banget, awas aja kamu Nur, dasar kampungan!" Diana meremas kedua telapak tangannya merasa kesal dan segera berlalu masuk ke dalam rumah. Nur menundukkan kepala sedikit, tersenyum dengan penuh syukur. "Terima kasih, Oma, untuk doanya," balas Nur. Ia seolah menjanjikan pada dirinya sendiri bahwa ia akan berusaha sebaik mungkin menjalani peran ini. _Apa aku bilang aja ya sama Oma kalau pernikahan ini akan segera berakhir? Biar aku tidak perlu memberinya harapan yang terlalu tinggi. Lagian Om Excel kenapa sih, enggak jujur aja kalau kita akan segera berpisah dan pernikahan ini hanya menyelamatkan nama baik baik keluarganya_ Nur berpikir, hatinya bergejolak. "Em, Oma, maaf sebenarnya....." Nur menata kalimat dengan hati-hati agar Oma Mentari tak syok atau pun terkena serangan jantung ketika mendengar kejujurannya. "Iya, Nur," ucap Oma Mentari mengernyitkan dahi menunggu Nur yang tak kunjung melanjutkan ucapannya. Tiba-tiba terdengar langkah kaki mendekat membuat Nur dan Oma Mentari menoleh. Nampak Excel datang dengan "Nur, kamu belum nyiapin berkas-berkas buat masuk kuliah Minggu depan?" tanya Excel. "Belum. Kok, Om, tahu? "Ini tadi Mbak Lia telpon aku, ngasih tahu kalau kamu udah nyiapin berkas-berkas kuliah apa belum? Katanya mbak Lia telpon kamu enggak di angkat," kata Excel. "Hehee... Hpku masih di kamar. Tenang aja, berkasnya udah siap semua kok, cuman.... aku belum punya laptop sih," balas Nur tersenyum malu. "Ya udah tenang aja, entar aku beliin," tawar Excel. "Beneran? Aku enggak usah ganti kan?" Nur bertanya, wajahnya nampak antusias dan sumringah. "Ya ganti lah, semua tuh enggak ada yang gratis," jawab Excel sambil tersenyum nakal, mencoba menggoda Nur. "Eleh, modus. Ya udah lah, enggak usah, biar aku beli sendiri." Nur menolak dengan senyumnya pun memudar, meski dalam hati tawaran itu sangat menggoda. "Enggak lah Nur, bercanda. Suami istri kan harus saling mendukung." Excel berkata dengan serius, namun masih ada canda dalam suaranya. Ia mengedipkan mata, membuat Nur melotot. Oma Mentari tertawa menyaksikan interaksi Nur dan Excel yang penuh canda tawa. Senyuman di wajahnya semakin lebar melihat betapa akrabnya cucunya dan Nur. Momen itu terasa hangat dan menggembirakan, seperti sinar matahari yang menyinari taman di sekitar mereka. “Ah, kalian berdua ini lucu sekali! Kalian udah saling kenal lama ya?" tanya Oma Mentari. "Enggak juga sih, Oma. Kita bertemu cuma dua atau tiga kali kayaknya kalau enggak salah, iya kan Om?" Nur meminta persetujuan kepada suaminya. Excel hanya menggaguk menanggapi. "Kalau sudah jodoh pasti ada saja ya jalannya. Semoga kalian jodoh dunia akhirat," balas Oma Mentari tulus. "Amin," balas Excel cepat sambil menengadahkan kedua telapak tangannya ke atas lalu meramaskan wajahnya, seolah-olah mengundang berkah dari atas. Tindakannya membuat Nur menatapnya tak percaya, melihat betapa seriusnya Excel dalam berdoa, meskipun dalam suasana santai. Oma Mentari meminta Excel keluar membeli laptop untuk Nur sambil jalan-jalan berdua. Excel pun menyanggupi dengan antusias, lalu meminta Nur untuk bersiap-siap dan mengambil dompet serta kunci mobil yang ada di atas nakas di kamar. Sedangkan dirinya memilih menemani sang nenek terlebih dulu. “Yuk, cepat, Nur. Kita bisa pergi berdua setelah ini,” ajak Excel dengan senyuman. Dengan semangat, Nur patuh menuruti apa yang diperintahkan suaminya. Ia bergegas menuju kamar, hatinya berdebar membayangkan momen jalan-jalan bersama Excel, suami dadakannya. Namun saat Nur akan naik ke atas tangga dan melewati kamar mertuanya, telinganya samar-samar menangkap suara Diana yang sedang berbicara di dalam kamar. "Mama ngomong sama siapa?" batin Nur bertanya-tanya. Nur segera mendekat, apalagi pintu kamar tak tertutup rapat membuat Nur bisa dengan jelas mengintip Diana yang sedang berbicara di telepon. "Aku kesal sekali, selama ini aku enggak bisa deketin Oma Mentari. Tapi, gadis kampungan itu justru dengan mudah mengambil simpati nenek tua itu, entah pakai pelet apa dia, heran aku. Kalau begini makin susah buat mengambil alih semua harta keluarga Mahendra, bisa-bisa gadis miskin itu yang akan mendapatkannya!" ucap Diana kesal membuat Nur terkejut. "Buset! Aku di tuduh pake pelet!" gerutu Nur di dalam hatinya. Nur masih berdiri di balik pintu, mendengarkan setiap kata yang diucapkan Diana dengan jantung berdebar. Ia mencoba menenangkan dirinya, tapi rasa penasaran dan kekhawatiran membuatnya tetap diam di tempat, tanpa beranjak. Diana melanjutkan dengan suara penuh kebencian. "Aku enggak akan biarkan gadis kampungan itu menghalangi rencana kita," bisik Diana lagi dengan nada sinis. Setelah itu hening beberapa saat, hingga akhirnya Diana kembali bersuara. "Apa? Rencana apa?" tanya Diana pada sosok di telpon membuat Nur semakin menajamkan pendengarannya."Non, kamu ngapain."Nur yang sedang serius mendengarkan rencana Diana, seketika terlonjak kaget saat bahunya di tepuk seseorang. "Bibi, ngagetin aja," bisik Nur. Jantungnya berdebar sangat kencang, ia mengusap dadanya merasa lega saat tahu siapa yang berbicara di belakangnya. "Kamu nguping nyonya muda ya?" tanya wanita berambut kuncir kuda itu.Dengan cepat Nur menempelkan jari telunjuk pada bibirnya sendiri. Dan mendorong asisten rumah tangga untuk segera menjauh dari kamar Diana."Aku enggak nguping, Bi. Cuma kebetulan aja lewat, tak kira Mama ngomong sama siapa. Nah karena pintunya enggak ke tutup rapat ya udah aku lihat aja, ternyata ngomong sama telpon," ucap Nur menjelaskan. Ia tak ingin di cap aneh-aneh oleh wanita itu apalagi di ajukan dengan Diana."Yakin? Nona enggak lagi nguping pembicaraan Nyonya kan?" Wanita itu nampak mencurigai Nur, tatapannya membuat Nur tak nyaman."Yakin lah, lagian Bi Lilis ngapain sih ngurusin aku. Dahlah, aku mau ke kamar," ucap Nur merasa b
Bab 6"Hai cantik, boleh kenalan? Aku Zarek," ucap Zarek dengan senyum buaya sembari mengulurkan tangan."Nur," balas Nur menyambut uluran tangan lelaki di depannya.Excel tak suka dengan tragedi di depannya, ia segera menarik tangan sang istri agar terlepas dari Zarek. "Lepasin, Za. Enggak semua cewek bisa kamu modusin," ucap Excel kesal.Zarek adalah teman sekolah SMA-nya dulu, meski mereka tidak terlalu dekat, tetapi Excel hapal sifat Zarek yang suka mempermainkan wanita bahkan tak segan-segan memanfaatkan wanitanya. Sebab itulah Excel tak mau berteman dekat dengan Zarek."Ya elah. Santai aja, Bro, sikap posesif kamu enggak berkurang ya. Hati-hati kalau istri kamu justru enggak betah sama sikap kamu itu," ledak Zarek dengan tersenyum sinis. Zarek memang tidak menghadiri pernikahan Excel, dan ia juga tidak di undang Excel juga maka dari itu ia memilih untuk tidak hadir."Ayo, Nur, kita pergi!" tanpa merespon apa yang di ucapkan Zarek, Excel menarik tangan sang istri untuk meningga
Excel mengusap wajahnya dengan tangan, berusaha menenangkan hatinya yang sedikit terusik oleh godaan Nur. Ia menatap istrinya dengan pandangan penuh teka-teki, lalu tersenyum miring, menggoda.“Kamu berani godain aku,” ucap Excel, suaranya berat, tapi ada nada main-main di sana.“Berani emang kenapa? Kan suami sendiri,” tantang Nur tanpa rasa gentar, malah tersenyum lebar seolah sengaja memancing reaksi suaminya.Excel semakin mendekat, membungkuk sedikit hingga wajahnya sejajar dengan Nur. “Yakin, enggak bakal nyesel?” tanyanya, matanya menyiratkan tantangan.Nur mengerutkan kening, penasaran. “Nyesel kenapa?”“Mau nyobain?” Excel menaikkan alisnya, wajahnya makin dekat, membuat Nur sedikit salah tingkah.“Nyobain apa, Kak?” tanya Nur, bingung tapi tetap mempertahankan ekspresi penasaran.Excel menyeringai, matanya penuh godaan. “Nyobain tugu Monasku,” bisiknya pelan, nyaris seperti sebuah tantangan yang disengaja.Nur terdiam, ekspresinya berubah drastis. “Hah...!” pekiknya, kedua m
Excel telah tiba di perusahaan Mahendra grup, ia langsung menuju ruang rapat. Di ruang rapat utama, Excel menemukan Papanya bersama tim manajemen, termasuk direktur operasional, Pak Wijaya, dan kepala divisi legal, Bu Tari."Permisi..." ucap Excel saat membuka pintu ruang rapat."Excel, akhirnya kamu datang juga. Sini, Nak, tolong bantu Papa," ujar Azka mempersilakan putranya bergabung.Excel berjalan mendekat, menatap wajah-wajah tegang di ruangan itu."Bapak dan Ibu sekalian, izinkan saya memperkenalkan Excel Mahendra, putra tunggal saya," ujar Azka dengan nada penuh harap."Excel akan membantu menyelesaikan masalah besar yang sedang kita hadapi," imbuh Azka, penuh keyakinan.Excel mengangguk sopan, menatap semua yang ada di ruangan dengan pandangan percaya diri. "Senang bertemu dengan semuanya. Saya akan melakukan yang terbaik untuk membantu," ujarnya, meski ini pertama kalinya ia terlibat langsung dalam perusahaan keluarganya.Ruangan sunyi sejenak, hanya terdengar suara napas be
Nur mengepalkan kedua tangannya, menahan geram. Kata-kata yang ingin dia ucapkan terasa terhenti di tenggorokan saat Diana menjawab telepon dengan wajah ceria."Iya, Hallo," sapa Diana dengan senyuman lebar, suaranya terdengar manis dan penuh percaya diri.Nur hanya bisa diam, tak tahu siapa yang menelepon mama mertuanya dan tak dapat mendengar percakapan di seberang sana. Namun, melihat ekspresi Diana yang semakin ceria, rasa curiga mulai menguasai hatinya."Oke, tunggu ya, aku langsung otw," ucap Diana, mengakhiri panggilan dengan nada santai namun penuh arti.Setelah itu, Diana bangkit dari kursinya dengan perasaan puas, seolah baru saja memenangkan sebuah pertandingan. Dia berpamitan kepada teman-temannya, sambil melirik Nur dengan tatapan yang penuh kemenangan."Ma, Mama...! Tungguin." Nur memanggil dengan suara terburu-buru, berlari mengejar Diana.Brug...!!"Aduh... Pakai jatuh lagi!" pekik Nur saat kakinya terantuk ujung kursi. Ia terjerembap ke lantai, menahan rasa sakit di l
"Mama, ngapain mau mukul istriku?" Suara Excel terdengar keras, tangannya sudah menggenggam tangan Diana dengan tegas.Diana terdiam sejenak, gugup, matanya melirik ke arah Nur yang tersenyum penuh kemenangan. Rasa panik mulai merayapi dirinya, membuatnya semakin bingung untuk memberi penjelasan."Excel..." Suara Diana bergetar, tak bisa menyembunyikan kegugupan. Ia melirik lagi ke arah Nur, yang kini berdiri dengan sikap penuh kemenangan, senyumnya semakin lebar."Mau mukul Nur? Kenapa, Ma?" Excel menatap Diana dengan tatapan serius, matanya tajam seolah menembus setiap kebohongan yang mungkin keluar dari bibirnya.Diana menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia menggenggam tangan Excel, berusaha tersenyum meski terlihat jelas ketegangan di wajahnya. "Em... Enggak kok. Mama... Mama cuma mau ambil kotoran di rambut Nur," jawab Diana terbata-bata, kata-katanya terdengar tidak meyakinkan.Excel mengerutkan dahi, sedikit bingung dengan jawaban Diana yang tak masuk akal. "I-iy
Setelah selesai menunaikan salat Magrib, Excel mengajak Nur turun untuk makan malam bersama. "Ayo, Nur, kita makan. Perutku sudah lapar sekali," ucap Excel sambil menggandeng tangan Nur.Meskipun Nur sebenarnya masih merasa kenyang sebab makan di restoran bersama wanita yang baru dikenalnya namun, ia tetap menyetujui ajakan sang suami. "Baiklah, Kak. Tapi aku mungkin makan sedikit aja," jawab Nur. Saat mereka tiba di meja makan, Oma Mentari sudah duduk rapi menunggu. Wanita tua itu tersenyum hangat melihat kedatangan mereka. "Malam, Oma," sapa Nur ramah."Malam, Nur. Yuk kita makan," balas Oma Mentari.Tak lama, Diana dan Azka keluar dari kamar mereka, bergabung di meja makan. Diana tampak anggun dengan pakaian santai, sementara Azka terlihat sedikit lelah."Papa baru pulang?" Excel menoleh ke arah Azka, memperhatikan raut wajah serius papanya."Iya, Xel. Hari-hari ini Papa tidak bisa santai sebelum dalang semua masalah ini ditemukan," balas Azka sambil menarik kursi untuk duduk.
Satu minggu telah berlalu, dan Mahendra Grup kini terhuyung-huyung akibat masalah yang semakin besar. Perusahaan pusat utama yang selama ini menjadi tulang punggung mereka tengah menghadapi krisis, sementara Magna, mitra utama yang telah menjalin kerja sama selama puluhan tahun, memutuskan untuk menghentikan kemitraan mereka. Keputusan itu membuat Mahendra Grup terpuruk, seolah lumpuh tanpa arah.Sementara itu, Nur, telah memulai kuliah di fakultas kedokteran. Ia bertemu dengan banyak teman-teman baru, serta mengenal para dosen yang akan membimbingnya di perjalanan akademisnya. Hari pertama kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Harapan sudah dimulai dengan berbagai kegiatan orientasi. Setelah menyelesaikan sesi orientasi yang diisi dengan pengenalan fasilitas kampus dan penjelasan tentang jadwal kuliah, Nur pun memasuki ruang kelas pertama.Suasana di dalam kelas cukup ramai dengan mahasiswa baru yang sibuk mencari tempat duduk. Nur mencari tempat yang nyaman di bagian tengah rua
Lia tak menyangka sang adik terlihat begitu terpukul. Ia memandang Nur yang terus menggenggam tangan Excel, tubuhnya gemetar di tengah isaknya yang tak kunjung reda."Apa Nur begitu mencintai Excel?" batin Lia.Lia memeluk sang adik sambil menepuk lembut bahunya. "Sabar, Nur. Semua ini sudah takdir. Excel pasti ingin kamu kuat," ucap Lia, berusaha menghibur meski hatinya juga pilu.Nur menggeleng keras, wajahnya basah oleh air mata. "Tapi, Mbak, Kak Excel sudah janji kita akan bersama terus. Kebersamaan kita baru sebentar. Aku gak mau dia pergi secepat ini," isaknya dengan suara parau. Kepalanya bersandar di bahu Lia, tubuhnya lemah seolah tak sanggup menopang beban perasaan yang begitu berat.Lia menyeka keringat yang membanjiri kening sang adik. Namun, tiba-tiba tubuh Nur melemas, dan kesadarannya hilang."Nur! Nur, bangun!" pekik Lia panik sambil mengguncang pelan tubuh adiknya.Heri, yang sejak tadi hanya mematung, segera bergerak menghampiri. "Biar aku yang bawa dia!" katanya cep
Setibanya di depan rumah sakit, sebuah ambulans berhenti tak jauh dari mereka. Suara sirene yang sebelumnya terdengar kini mereda, meninggalkan keheningan yang terasa berat. Perawat itu menghentikan kursi roda Nur, memastikan semuanya baik-baik saja.Ambulans yang berhenti di depan rumah sakit itu memang ditujukan untuk mengangkut Excel. Petugas medis yang sebelumnya mendorong brankar keluar dari ruang ICU kini melangkah cepat ke arah ambulans, memastikan semuanya siap untuk perjalanan.Nur memejamkan mata, bibirnya bergetar lirih. "Ya Allah, jika Engkau masih berkenan memberiku waktu untuk bersamanya, lindungilah dia. Jangan biarkan dia pergi sebelum aku sempat mengucapkan betapa aku mencintainya. Berikanlah kekuatan untuknya, Ya Rabb, karena aku terlalu lemah untuk kehilangan dia. Di hatiku, kak Excel bukan hanya seorang suami, melainkan separuh napas yang aku butuhkan untuk bertahan. Dia telah menjadi candu yang tak bisa kulepaskan, meski sekejap saja.
Ruangan itu masih diliputi keheningan. Dokter dan asistennya sibuk mempersiapkan peralatan untuk memindahkan Excel, sementara Nur tetap memandang Azka dengan tatapan penuh tanya. Kecemasan menyelimuti wajahnya, tetapi ia mencoba menahan diri agar tetap tenang. "Nur, sebelumnya Papa sudah berdiskusi dengan dokter dan juga nak Heri. Excel akan dipindahkan ke rumah sakit di Jakarta. Dengan begitu, Papa bisa terus memantau keadaannya tanpa meninggalkan pekerjaan di kantor yang sedang banyak sekali. Apalagi, perusahaan masih dalam proses pemulihan. Tidak mungkin kan Papa meninggalkannya terlalu lama." "Nur, Mbak-mu juga enggak mungkin meninggalkan anak-anak terlalu lama. Jadi, nanti di Jakarta kamu tinggal bersama kami dulu. Lia bisa lebih mudah merawatmu dan memastikan keadaanmu pulih kembali," sahut Heri sambil menatap Nur dengan serius. Lia yang masih berdiri di samping Nur mengangguk setuju. "Iya, Nur. Ku rasa itu jauh lebih baik. Lag
"Tapi, Mbak, Kak Excel beda. Aku suka sama dia sejak pertama kali bertemu, jadi izinkan aku untuk memperjuangkan perasaan ini. Dia nggak pernah memaksa aku untuk apa-apa. Dia selalu bilang kalau dia ingin semuanya berjalan sesuai kehendak aku juga," jawab Nur, mencoba meyakinkan Lia. Air mata yang sejak tadi ia bendung lolos begitu saja membanjiri wajah pucatnya.Lia mendengus kecil, meletakkan mangkok yang masih di pegang ke atas nakas lalu melipat tangannya di depan dada. "Ucapan manis begitu sudah sering aku dengar, Nur. Kamu tahu apa? Mereka bilang begitu cuma untuk bikin kita lengah. Jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari," ujar Lia memperingati.Nur menggigit bibirnya, merasa kecil di hadapan Lia. "Aku tahu, Mbak. Tapi selama ini Kak Excel nggak pernah menyakitiku. Dia perhatian, dia...""Dia perhatian? Nur, perhatian itu bukan tanda cinta. Kadang itu cuma cara untuk menguasai hati kita tanpa kita sadar," potong Lia. "Dengar
_"Mas Azka,Maafkan aku atas segala luka yang pernah kutorehkan di hatimu. Aku tahu, aku telah menghancurkan kepercayaan dan cinta kita. Nafsu sesaat telah membutakan mata dan hatiku. Untuk putraku, Excel, maafkan Mama yang gagal menjadi sosok ibu seperti yang seharusnya. Mama tidak pernah benar-benar membenci kalian. Mama hanya marah pada diri sendiri, pada kelemahan yang membuat Mama tenggelam dalam rasa sakit tanpa mampu melawan. Excel, jaga istrimu baik-baik. Dia lebih kuat dari yang pernah Mama duga, dan kekuatannya akan menjadi cahaya dalam keluarga kalian. Semoga Tuhan mengampuni semua kesalahanku."_Air mata Azka mengalir tanpa bisa ia tahan. Setiap kata pada surat itu menghantam hatinya dengan perasaan campur aduk—kesedihan, penyesalan, dan pengertian. Surat itu terasa seperti jeritan terakhir Diana, mencoba meminta pengampunan yang terlambat.Azka memejamkan mata, menggenggam surat itu erat di tangannya. "Diana... kenapa kamu baru mengatakan ini sekarang?" bisiknya pelan, s
Lia yang baru saja mendapat kabar dari Azka langsung memutuskan untuk terbang ke Bali bersama Heri, suaminya, meninggalkan anak-anak mereka di rumah."Astaga, Nur, kamu benar-benar bikin repot! Kenapa kamu enggak pernah dengerin omonganku? Bagaimana aku menjelaskan ini pada Bapak dan Mamak?" Lia terus menangis, suaranya bergetar penuh emosi. Di dalam mobil yang dikemudikan Pak Supri menuju bandara, air mata tak henti mengalir di pipinya.Heri, yang duduk di sampingnya, hanya bisa merangkul pelan, mencoba menenangkan istrinya. "Sabar, Li. Kita belum tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jangan langsung menyalahkan Nur sebelum kita mendengarnya sendiri."Lia mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba mengendalikan diri, tetapi hatinya terasa semakin berat. "Tapi Bang, dia itu keras kepala banget. Coba aja kalau dia enggak nikah sama Excel engak bakal ada kejadian kayak gini. Lagian kenapa Nur seakan-akan lupa dengan syarat yang dia buat sendiri. Aku sudah capek mem
Mata Nur membelalak. Air mata mulai mengalir di pipinya, namun Diana justru tertawa sinis melihat ketakutannya. Saat ia akan membalas, Diana lebih dulu mencela."Kamu pikir ada yang bakal datang menyelamatkanmu? Tidak ada, Nur. Kali ini, kamu hanya punya aku dan amarahku," lanjut Diana sambil memegang dagu Nur dengan kasar.Diana berdiri tegak, mengambil sebuah pisau kecil dari dalam saku jaketnya. Ia memainkan benda itu dengan santai, seolah ingin menambah ketegangan Nur."Kamu tahu," kata Diana sambil menatap pisau di tangannya, "aku sudah kehilangan segalanya. Suami, kebebasanku, rencanaku. Dan semua itu karena kamu. Jadi, apa salahnya kalau aku ambil sesuatu darimu juga?"Nur gemetar hebat, tubuhnya seakan membeku. Ia tahu Diana sedang di ujung kewarasan, dan ini bukan hanya ancaman kosong.Tak lama, Zarek kembali dengan membawa sebotol cairan bening. "Sudah siap, Tante," katanya dingin.Diana berbalik dengan senyum puas. "Bagus. Kita akan mulai pertunjukannya sekarang."Zarek men
Lia menarik napas panjang sebelum mengalihkan panggilan VC, mencoba mengendalikan kegugupannya. Ia tahu sang Mamak tidak mudah dibohongi, tapi dirinya juga tidak bisa membiarkan keadaan semakin rumit."Mak, Nur itu sebenarnya lagi belajar kelompok di rumah temannya. Tadi malam temannya itu minta Nur untuk nginep karena mereka begadang sampai larut." Akhirnya Lia memberikan alasan, suaranya terdengar bergetar di ujung kalimatnya.Ada jeda di seberang, sebelum Isna bertanya dengan nada curiga."Teman cewek apa cowok, Li?"Lia langsung merespons cepat, terlalu cepat hingga terdengar gugup."Cewek, Mak. Teman cewek kok. Tenang saja, Nur aman."Namun, jawaban itu justru membuat Isna semakin bingung."Tadi kamu bilang Nur lagi tidur di kamarnya, kok sekarang malah dibilang nginep di rumah teman? Kamu ini kenapa jawabannya beda-beda terus?"Lia terpaku. Ia bisa merasakan darahnya mengalir lebih cepat, jantungnya berdegup kencang. Ia tahu, jika tidak segera menjelaskan sesuatu yang masuk aka
Nur merasakan dinginnya lantai beton yang menusuk hingga ke tulang. Napasnya tersengal-sengal di balik sumpalan kain yang menutupi mulutnya. Ia menggeliat pelan, mencoba mengendurkan tali kasar yang melilit pergelangan tangannya. Rasa perih akibat gesekan tali semakin menyiksa, tapi Nur tak memedulikan itu. Ia hanya ingin bebas.Dengan mata sembab yang basah oleh air mata, ia melirik sekeliling ruangan yang gelap. Satu-satunya cahaya datang dari lampu kecil yang menggantung di sudut. Udara lembap bercampur bau debu memenuhi ruang sempit itu. Tak ada suara lain selain detak jantungnya yang menggema di telinga."Aku harus keluar dari sini. Aku enggak mau ada di sini terus," pikir Nur sambil menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri.Namun, semakin ia berusaha melepaskan ikatan di tangan, semakin sakit rasa pergelangannya. Kulitnya lecet, bahkan mungkin berdarah, tapi tidak ada yang bisa ia lakukan selain terus mencoba."Ya Allah, tolong hamba. Kirimkan pertolongan agar aku bisa k