Bab 6
"Hai cantik, boleh kenalan? Aku Zarek," ucap Zarek dengan senyum buaya sembari mengulurkan tangan. "Nur," balas Nur menyambut uluran tangan lelaki di depannya. Excel tak suka dengan tragedi di depannya, ia segera menarik tangan sang istri agar terlepas dari Zarek. "Lepasin, Za. Enggak semua cewek bisa kamu modusin," ucap Excel kesal. Zarek adalah teman sekolah SMA-nya dulu, meski mereka tidak terlalu dekat, tetapi Excel hapal sifat Zarek yang suka mempermainkan wanita bahkan tak segan-segan memanfaatkan wanitanya. Sebab itulah Excel tak mau berteman dekat dengan Zarek. "Ya elah. Santai aja, Bro, sikap posesif kamu enggak berkurang ya. Hati-hati kalau istri kamu justru enggak betah sama sikap kamu itu," ledak Zarek dengan tersenyum sinis. Zarek memang tidak menghadiri pernikahan Excel, dan ia juga tidak di undang Excel juga maka dari itu ia memilih untuk tidak hadir. "Ayo, Nur, kita pergi!" tanpa merespon apa yang di ucapkan Zarek, Excel menarik tangan sang istri untuk meninggalkan tempat tersebut. Sesampainya di dalam mobil, Nur melihat sang suami dengan wajah kesal sembari menyetir. "Om, yang tadi teman kamu ya?" tanya Nur mencoba mencairkan suasana. "Bukan," balas Excel datar. "Iya juga, kalau teman pasti dia hadir di acara kemarin kan. Tapi, kayaknya dia enggak tahu dengan kejadian kemarin. Berarti bukan teman, Om, deh," ucap Nur sambil mangut-mangut. "Makanya kamu tuh jangan manggil suamimu Om. Om Om mulu, emang aku om-mu apa?!" seru Excel kesal. "Lah terus maunya di panggil apa, Om," balas Nur menatap Excel. Matanya mengisyaratkan tantangan. "Serah!" balas Excel. "Eum, apa ya." Nur mengalihkan pandangan, berusaha keras untuk menemukan panggilan yang tepat. Ia berpura-pura berpikir serius, jarinya menempel di dagu sambil mangut-mangut. "Gimana kalau Kakak, Kak Excel?" ucap Nur antusias, wajahnya berseri. Excel mengangkat alis, sedikit terkejut, tetapi jawaban Nur membuatnya tidak bisa menahan senyum, namun begitu ia tetap mempertahankan wajah datarnya. "Serah," seru Excel lagi. "Dih, serah mulu. Keknya BT-nya ngalahin cewek yang lagi PMS deh," goda Nur sambil tertawa, suaranya ceria dan menular. "Serah!" kata Excel, kali ini dengan sedikit nada lebih ringan. "Tuh, serah lagi. Emang serah apaan, Om, serah jabatan?" Nur menantangnya, matanya bersinar nakal. "Tuh kan Om lagi," jawab Excel sambil memutar matanya. "Iya deh, Kak Excel yang tampan. Upps." Nur merasa keceplosan, tangannya menutup mulutnya seolah-olah bisa menyembunyikan kata-kata yang baru saja keluar. "Kan, emang aku ganteng. Ngapain, malu ngakuin? Kamu enggak ngakuin aja aku udah tahu kalau aku emang tampan," ucapnya dengan percaya diri sambil tersenyum lebar, merasakan bangga. "Dih, GR." Nur mengerucutkan bibirnya pura-pura merasa kesal , melihat wajah Excel yang penuh percaya diri, membuat suasana di antara mereka nampak hangat dan akrab. Excel mengusap lembut kepala sang istri, membuat Nur merasa hangat dan tenang. Tanpa mereka sadari sentuhan lembut itu memberikan rasa nyaman pada diri Nur. "Yang penting kamu hati-hati sama Zarek, dia buaya darat dan orangnya sangat licik," pesan Excel membuat Nur mengangguk. Tak berapa lama mobil mereka sampai di halaman rumah. Mereka masuk ke dalam rumah dengan wajah ceria. Keadaan rumah terasa sepi, Nur dan Excel langsung menuju kamar. Sesampainya di dalam kamar, Nur meletakkan paper bag lalu ia membawa baju daster ke dalam in closet untuk berganti pakaian. Setelah selesai Nur keluar sambil mengikat rambutnya dengan asal, Excel yang tiduran di atas kasur seketika ekor matanya melihat Nur ala rumahan. Excel menelan ludah dengan susah payah. Ada rasa aneh yang tiba-tiba muncul di dada, meski ia berusaha keras untuk tidak terlalu memperhatikannya. Tapi, entah kenapa, wajah Nur yang sederhana itu kini terasa lebih menarik di matanya. Excel merapikan posisi tidurnya, berusaha menenangkan diri, meski pikirannya mulai melayang ke arah hal-hal yang tak biasa. Sedangkan Nur merasa tak acuh, dan memilih untuk segera membuka paper bag dan mencoba laptop barunya. "Om, eh, Kak Excel, ajarin cara makai laptop dong," ujar Nur tanpa menatap ke arah sang suami. Nur mencoba membuka laptop lalu menyalakan nya. Karena Excel tak kunjung mendekat ia mencoba memanggilnya lagi. "Kak, buruan. Aku udah enggak sabar pengen nyoba nih," panggil Nur. Kali ini ia menoleh ke arah sang suami dengan kedipan mata danr senyuman. Bagi Nur itu hanya senyuman biasa namun berhasil membuat gairah Excel semakin memuncak. "Eh, i-iya," balas Excel gelagapan. Ia segera bangkit dari ranjang menghampiri Nur yang duduk di depan rias. Excel berusaha mengatur napasnya agar tidak tampak gugup di depan Nur. Ia berjongkok di sampingnya, mencoba fokus pada laptop yang tergeletak di atas meja rias, meski matanya lebih sering melirik ke arah Nur. Senyum gadis itu, yang tampaknya begitu polos, terus mengganggu ketenangannya. Excel memberanikan diri untuk menjelaskan langkah-langkah dasar, meskipun belakangnya, hatinya berdebar lebih kencang daripada biasanya. "Jadi, pertama, kamu tinggal tekan tombol ini untuk nyalain laptop," ucap Excel menjelaskan sambil menunjuk tombol power di sudut kanan atas. Tangannya agak gemetar saat menunjuk. Nur menatapnya sekilas, lalu mengikuti petunjuk Excel. “Oke, udah nyala,” katanya singkat. Excel mengangguk, lalu melanjutkan, “Sekarang, kamu harus masuk ke akun kamu. Kamu bisa pakai nama pengguna dan kata sandi yang ada di email hp-mu?” Nur mengangguk pelan, matanya tetap terpaku pada layar. Namun, Excel mulai merasakan ada yang aneh. Ada keheningan yang menggelitik, seolah-olah sesuatu yang lebih dari sekadar pelajaran laptop tengah mengisi udara di antara mereka. "Eh, Kak Excel, kamu kenapa?" tanya Nur tanpa menoleh, seolah merasakan perubahan dalam sikap suaminya yang mulai kaku dan canggung. "Ah... enggak, aku cuma... mikir," jawab Excel terbata-bata, berusaha menjaga jarak dengan kenyataan yang mulai melangkah lebih jauh dari yang ia inginkan. Nur menyandarkan tubuhnya ke belakang, senyum kecil masih menghiasi wajahnya. "Kamu aneh deh, Kak. Kayak lagi bingung sama sesuatu." Excel mengalihkan pandangannya, berusaha menenangkan pikirannya. "Enggak kok, aku cuma... capek," ujarnya, mencoba terdengar santai. Namun, hatinya semakin terasa berat. Apakah ini hanya perasaan canggung biasa, atau ada sesuatu yang lebih dalam yang mulai mengganggu dirinya? Tiba-tiba, lengan Nur tanpa sengaja menyenggol bagian tubuh Excel yang cukup sensitif, membuatnya mengaduh pelan. "Aduh...!" Excel meringis kesakitan, matanya terpejam sejenak. "Kakak, kenapa?" tanya Nur, terlihat bingung. Ia merasa baru saja menyenggol sesuatu yang tidak sengaja. "Em... enggak apa-apa," jawab Excel terbata-bata, mencoba menutupi kegugupannya. Namun, ia bisa merasakan ketegangan yang mulai membesar di antara mereka. Nur, yang awalnya tidak terlalu memperhatikan, kini menatap dengan lebih fokus ke arah bawah perut Excel yang tampak sedikit berbeda. Senyum nakalnya semakin lebar. "Kayaknya, ada yang tegak, tapi bukan karena keadilan, deh. Kira-kira apaan tuh," goda Nur sambil menatap celana Excel yang mulai terasa agak menonjol. Excel terkejut, wajahnya langsung memerah, dan kedua matanya menatap sang istri dengan melotot. "Nur..."Excel mengusap wajahnya dengan tangan, berusaha menenangkan hatinya yang sedikit terusik oleh godaan Nur. Ia menatap istrinya dengan pandangan penuh teka-teki, lalu tersenyum miring, menggoda.“Kamu berani godain aku,” ucap Excel, suaranya berat, tapi ada nada main-main di sana.“Berani emang kenapa? Kan suami sendiri,” tantang Nur tanpa rasa gentar, malah tersenyum lebar seolah sengaja memancing reaksi suaminya.Excel semakin mendekat, membungkuk sedikit hingga wajahnya sejajar dengan Nur. “Yakin, enggak bakal nyesel?” tanyanya, matanya menyiratkan tantangan.Nur mengerutkan kening, penasaran. “Nyesel kenapa?”“Mau nyobain?” Excel menaikkan alisnya, wajahnya makin dekat, membuat Nur sedikit salah tingkah.“Nyobain apa, Kak?” tanya Nur, bingung tapi tetap mempertahankan ekspresi penasaran.Excel menyeringai, matanya penuh godaan. “Nyobain tugu Monasku,” bisiknya pelan, nyaris seperti sebuah tantangan yang disengaja.Nur terdiam, ekspresinya berubah drastis. “Hah...!” pekiknya, kedua m
Excel telah tiba di perusahaan Mahendra grup, ia langsung menuju ruang rapat. Di ruang rapat utama, Excel menemukan Papanya bersama tim manajemen, termasuk direktur operasional, Pak Wijaya, dan kepala divisi legal, Bu Tari."Permisi..." ucap Excel saat membuka pintu ruang rapat."Excel, akhirnya kamu datang juga. Sini, Nak, tolong bantu Papa," ujar Azka mempersilakan putranya bergabung.Excel berjalan mendekat, menatap wajah-wajah tegang di ruangan itu."Bapak dan Ibu sekalian, izinkan saya memperkenalkan Excel Mahendra, putra tunggal saya," ujar Azka dengan nada penuh harap."Excel akan membantu menyelesaikan masalah besar yang sedang kita hadapi," imbuh Azka, penuh keyakinan.Excel mengangguk sopan, menatap semua yang ada di ruangan dengan pandangan percaya diri. "Senang bertemu dengan semuanya. Saya akan melakukan yang terbaik untuk membantu," ujarnya, meski ini pertama kalinya ia terlibat langsung dalam perusahaan keluarganya.Ruangan sunyi sejenak, hanya terdengar suara napas be
Nur mengepalkan kedua tangannya, menahan geram. Kata-kata yang ingin dia ucapkan terasa terhenti di tenggorokan saat Diana menjawab telepon dengan wajah ceria."Iya, Hallo," sapa Diana dengan senyuman lebar, suaranya terdengar manis dan penuh percaya diri.Nur hanya bisa diam, tak tahu siapa yang menelepon mama mertuanya dan tak dapat mendengar percakapan di seberang sana. Namun, melihat ekspresi Diana yang semakin ceria, rasa curiga mulai menguasai hatinya."Oke, tunggu ya, aku langsung otw," ucap Diana, mengakhiri panggilan dengan nada santai namun penuh arti.Setelah itu, Diana bangkit dari kursinya dengan perasaan puas, seolah baru saja memenangkan sebuah pertandingan. Dia berpamitan kepada teman-temannya, sambil melirik Nur dengan tatapan yang penuh kemenangan."Ma, Mama...! Tungguin." Nur memanggil dengan suara terburu-buru, berlari mengejar Diana.Brug...!!"Aduh... Pakai jatuh lagi!" pekik Nur saat kakinya terantuk ujung kursi. Ia terjerembap ke lantai, menahan rasa sakit di l
"Mama, ngapain mau mukul istriku?" Suara Excel terdengar keras, tangannya sudah menggenggam tangan Diana dengan tegas.Diana terdiam sejenak, gugup, matanya melirik ke arah Nur yang tersenyum penuh kemenangan. Rasa panik mulai merayapi dirinya, membuatnya semakin bingung untuk memberi penjelasan."Excel..." Suara Diana bergetar, tak bisa menyembunyikan kegugupan. Ia melirik lagi ke arah Nur, yang kini berdiri dengan sikap penuh kemenangan, senyumnya semakin lebar."Mau mukul Nur? Kenapa, Ma?" Excel menatap Diana dengan tatapan serius, matanya tajam seolah menembus setiap kebohongan yang mungkin keluar dari bibirnya.Diana menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia menggenggam tangan Excel, berusaha tersenyum meski terlihat jelas ketegangan di wajahnya. "Em... Enggak kok. Mama... Mama cuma mau ambil kotoran di rambut Nur," jawab Diana terbata-bata, kata-katanya terdengar tidak meyakinkan.Excel mengerutkan dahi, sedikit bingung dengan jawaban Diana yang tak masuk akal. "I-iy
Setelah selesai menunaikan salat Magrib, Excel mengajak Nur turun untuk makan malam bersama. "Ayo, Nur, kita makan. Perutku sudah lapar sekali," ucap Excel sambil menggandeng tangan Nur.Meskipun Nur sebenarnya masih merasa kenyang sebab makan di restoran bersama wanita yang baru dikenalnya namun, ia tetap menyetujui ajakan sang suami. "Baiklah, Kak. Tapi aku mungkin makan sedikit aja," jawab Nur. Saat mereka tiba di meja makan, Oma Mentari sudah duduk rapi menunggu. Wanita tua itu tersenyum hangat melihat kedatangan mereka. "Malam, Oma," sapa Nur ramah."Malam, Nur. Yuk kita makan," balas Oma Mentari.Tak lama, Diana dan Azka keluar dari kamar mereka, bergabung di meja makan. Diana tampak anggun dengan pakaian santai, sementara Azka terlihat sedikit lelah."Papa baru pulang?" Excel menoleh ke arah Azka, memperhatikan raut wajah serius papanya."Iya, Xel. Hari-hari ini Papa tidak bisa santai sebelum dalang semua masalah ini ditemukan," balas Azka sambil menarik kursi untuk duduk.
Satu minggu telah berlalu, dan Mahendra Grup kini terhuyung-huyung akibat masalah yang semakin besar. Perusahaan pusat utama yang selama ini menjadi tulang punggung mereka tengah menghadapi krisis, sementara Magna, mitra utama yang telah menjalin kerja sama selama puluhan tahun, memutuskan untuk menghentikan kemitraan mereka. Keputusan itu membuat Mahendra Grup terpuruk, seolah lumpuh tanpa arah.Sementara itu, Nur, telah memulai kuliah di fakultas kedokteran. Ia bertemu dengan banyak teman-teman baru, serta mengenal para dosen yang akan membimbingnya di perjalanan akademisnya. Hari pertama kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Harapan sudah dimulai dengan berbagai kegiatan orientasi. Setelah menyelesaikan sesi orientasi yang diisi dengan pengenalan fasilitas kampus dan penjelasan tentang jadwal kuliah, Nur pun memasuki ruang kelas pertama.Suasana di dalam kelas cukup ramai dengan mahasiswa baru yang sibuk mencari tempat duduk. Nur mencari tempat yang nyaman di bagian tengah rua
Zarek membawa Nur ke sebuah bangunan besar yang tampak megah dan mewah."Pak, kenapa saya dibawa ke sini? Ini tempat apa? Saya mau dibawa ke mana sih?" tanya Nur dengan nada panik, matanya mengamati setiap sudut gedung yang asing baginya."Apartemenku," jawab Zarek singkat tanpa menoleh. Tangannya yang kasar terus mencengkeram pergelangan Nur, menyeretnya masuk hingga kulit gadis itu mulai memerah. Namun, ia tak peduli.Nur mencoba melawan, tapi cengkeraman Zarek terlalu kuat. Ia hanya bisa memohon dalam hati agar ada seseorang yang menyelamatkannya.Setelah sampai di salah satu kamar di dalam apartemen mewah itu, Nur terkejut bukan main melihat pemandangan di depannya. Di atas ranjang yang luas dan megah, seorang wanita mengenakan pakaian minim tengah duduk santai dengan kaki terbuka lebar."Mama? Astaghfirullah!" seru Nur dengan nada terkejut bercampur jijik. Ia segera memejamkan kedua matanya, mencoba menghindari pemandangan tak pantas itu. Bahkan, sekilas ia melihat pakaian dalam
Sebelum Zarek menyelesaikan kalimatnya, tangan Nur meraih tas yang ada di sebelahnya lalu melompat dari ranjang dengan cepat. Ia menggunakan lututnya untuk menyerang bagian tubuh Zarek yang paling rentan. "Arrggghh....!!" Zarek terjatuh, kedua tangannya memegang burung perkutut kesayangannya. Diana yang menyaksikan, tak menyangka Nur bisa berbuat seperti itu. Mulutnya menganga dan kedua matanya melotot nyaris keluar dari sarangnya. Nur tidak mau membuang waktu, ia segera berlari menuju pintu. Meskipun kesakitan dan nyaris tak bertenaga, namun Zarek berhasil meraih pergelangan kakinya hingga membuat Nur terjatuh. "Berani kamu!" Zarek menggeram dan merangkak mendekati Nur dengan keadaan burung perkututnya gondal gandul. Tangan Nur mencoba meraih apa pun yang ada di dekatnya, akhirnya tangannya meraih lampu meja dan memukul kepala Zarek dengan karas. Seketika suara benda pecah menggema di ruangan. Zarek terjatuh lagi, kali ini kepalanya mengernyit menahan sakit. Darah mengalir dari
Sementara itu, di rumah Heri, Nur sedang sibuk menata buku-bukunya di meja belajar. Ia baru saja menyelesaikan tugas kuliah yang cukup berat. Pikirannya sesekali melayang ke Excel, tetapi ia segera mengalihkan fokusnya. Nur tahu, ia harus tetap kuat dan menjaga keputusannya.Lia masuk ke kamar Nur sambil membawa secangkir teh hangat. "Nur, istirahat dulu. Jangan terlalu keras sama dirimu sendiri."Lia tahu, Nur selalu belajar dengan giat. Jadi wajar adiknya itu bisa masuk ke universitas ternama di Jakarta meski belum bisa mencapai beasiswa. Saat sekolah SD-SMK Nur selalu mendapat peringkat 3 besar dan memenangkan banyak lomba bersama teman-temannya. Nur tersenyum kecil. "Suwun, Mbak'e. Aku cuma mau memastikan semua tugasku selesai tepat waktu."Lia duduk di tepi tempat tidur, menatap adiknya dengan penuh sayang. "Aku bangga sama kamu, Nur. Kamu udah melalui banyak hal, tapi tetap kuat. Aku yakin kamu akan jadi orang yang sukses."Nur men
Nur mengamati pesan itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Kata-kata Excel mengingatkannya pada masa lalu yang ingin ia lupakan, namun ada bagian kecil dari hatinya yang masih merasakan getaran dari kenangan itu. Tetapi, tekadnya sudah bulat. Dia tidak ingin terjebak lagi dalam luka yang sama.Ponselnya tiba-tiba berdering, nomor baru yang sama menghubunginya. Nur terdiam, menatap layar dengan tatapan bimbang. Tetapi ia memutuskan untuk tidak menjawab. Panggilan itu akhirnya terputus dengan sendirinya, dan tanpa ragu Nur memblokir nomor baru Excel."Ini harus berakhir," gumamnya pelan. Dia bertekad untuk melupakan Excel sepenuhnya dan fokus pada masa depannya.Seminggu kemudian, Bambang dan Isna, memutuskan untuk pulang ke kampung halaman mereka. Musim panen padi sudah tiba, dan mereka ingin memastikan semuanya berjalan lancar. Sebelum pergi, mereka memastikan Nur baik-baik saja.Nur mengantarkan kedua orang tuanya ke terminal. Dalam perjalanan,
Malam Semakin LarutSetelah beberapa jam bekerja dengan serius, akhirnya tugas mereka mendekati selesai. Suasana menjadi lebih santai, diselingi candaan dan tawa."Rino, kamu serius banget sih dari tadi. Santai dikit dong," goda Latifa sambil mengulurkan segelas es jus untuk pemuda berkulit kuning langsat.Rino hanya tersenyum kecil. "Kalau nggak serius, tugasnya nggak selesai-selesai, Fa."Dika, yang sejak tadi memperhatikan Nur, merasa ini adalah kesempatan untuk mendekatinya lebih jauh. Saat yang lain sibuk membereskan alat, ia menghampiri Nur yang sedang duduk sendirian di sudut ruangan."Nur, kamu hebat banget tadi. Pekerjaan kita cepat selesai berkat kamu," puji Dika, duduk di sebelahnya."Terima kasih, Dik," jawab Nur singkat, mencoba menjaga jarak.Ketika tugas benar-benar selesai, satu per satu teman-teman mereka mulai pulang. Latifa pergi bersama Rino, sementara Sera pulang lebih dulu diantar Adi. Nur, yang menunggu Pak Supri menjemput, memilih tetap duduk di ruang tengah be
Latifa berbisik pada Sera dengan nada penuh semangat. "Sera, bayangin deh, kita kerja kelompok bareng mereka. Ini kesempatan emas!"Sera hanya mendesah pelan. "Emas buat kamu. Aku sih enggak ya. Kalau alatnya lengkap dan tugasnya cepat selesai, aku sih nggak masalah. Tapi kayaknya Nur agak keberatan deh."Latifa menepuk bahu Nur. "Nur, santai aja. Kita kan kerja kelompok. Nggak akan ada yang aneh-aneh kok."Setelah jam kuliah selesai, rombongan kelompok mereka bersiap menuju rumah Dika untuk memulai pengerjaan tugas. Nur, meski masih merasa kurang nyaman, akhirnya menerima tawaran Dika untuk memboncengnya dengan motor."Yuk, Nur. Motor udah siap di parkiran," kata Dika dengan senyuman yang terasa dipaksakan di mata Nur.Latifa, yang sudah sejak tadi tak bisa menyembunyikan senyumnya, langsung menghampiri Rino. "Aku bareng kamu aja, ya?" tanyanya penuh semangat.Rino, yang sedikit terkejut tapi tidak keberatan, hanya mengangguk. "
Tak ingin berlama-lama dilumpuhkan oleh emosinya, Excel masuk kembali ke dalam mobil. Tanpa berpikir panjang, ia menginjak pedal gas dalam-dalam, membiarkan mobilnya melaju liar di jalanan. Kecepatan tinggi dan suara mesin menderu menjadi pelariannya. Ia tak peduli pada bahaya atau rambu-rambu yang ia langgar.Namun kali ini, pelariannya berakhir tragis. Di sebuah tikungan tajam, mobilnya kehilangan kendali dan menghantam pembatas jalan dengan keras. Suara benturan menggema, diikuti suara kaca yang pecah berantakan.Saat tubuhnya terkulai di balik kemudi, kepala Excel berdenyut hebat. Dunia di sekitarnya terasa buram, tapi ingatan demi ingatan menyeruak di benaknya.Excel melihat Vero yang tengah mencoba gaun pengantin putih. Senyum manis yang dulu pernah ia cintai kini terasa seperti belati yang menusuk dadanya. Kenangan itu terasa begitu nyata, hingga tiba-tiba bayangan itu memudar, digantikan oleh kenyataan pahit yang menghantamnya tanpa ampun.
Di Tepi Kehancuran Juanda menghela napas berat, mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan kebenaran. Ia tahu bahwa apa yang akan ia katakan bisa menghancurkan hubungan mereka, tetapi ia tak bisa lagi menyembunyikannya.“Ver, kamu ingat malam itu... waktu kita pulang dari pesta ulang tahun Clara? Kamu mabuk berat, Ver. Dan aku tahu, kamu belum minum pil dan aku sengaja melakukannya malam itu. Aku tahu, jika kamu mabuk, kamu tidak akan menolak.”Vero membelalakkan matanya, perasaan tidak percaya menyeruak di wajahnya. “Kamu... sengaja? Kamu mengambil keuntungan dari aku yang tidak sadar?!”“Aku tahu ini egois, tapi aku ingin kamu menjadi milikku. Aku sudah lama mencintaimu, Ver. Aku pikir, dengan adanya anak, kita bisa lebih dekat. Kita bisa menjadi keluarga sungguhan.”Vero mencengkeram baju Juanda, matanya berkilat marah. “Kamu menghancurkan hidupku! Apa kamu tahu berapa tahun aku berjuang untuk sampai ke titik ini? Model
Anton menghela napas panjang. "Ma, ini bukan soal hati. Ini soal harga diri keluarga kita. Vero sudah membuat kesalahan besar, dan aku tak akan membiarkan dia terus tinggal di sini dengan kondisi seperti ini."Tantri menunduk lebih dalam, perasaan campur aduk di hatinya. Ia ingin sekali membela Vero, tapi ia juga tahu bahwa suaminya sudah membuat keputusan yang tak bisa diganggu gugat.Juanda yang berdiri di samping Vero, merasakan ketegangan yang semakin mencekam. Ia melangkah maju, mendekati Anton dengan sikap yang penuh hormat, meskipun hatinya terasa berat."Pa, saya tahu ini tidak mudah bagi keluarga. Tapi saya berjanji akan bertanggung jawab penuh atas Vero. Saya akan merawatnya dan mendampinginya karena ini adalah jalan yang sudah saya pilih."Anton diam sejenak, matanya menilai Juanda dengan tajam. "Kamu sudah mengambil keputusan besar, Juanda. Tapi aku hanya ingin kamu tahu, ini bukan hanya tentang kamu dan Vero. Ini tentang harga diri ke
Vero hanya terdiam membisu membuat suasana menjadi semakin mencekam. Papanya menghentakkan kakinya ke lantai."Jawab Vero! Apa itu anak Manajermu?! Jadi, selama ini kamu rela mengorbankan pernikahanmu dengan Excel demi mengejar karier, lalu jatuh ke pelukan lelaki itu?” bentak Anton. Tantri menggelengkan kepala, air matanya jatuh. “Vero, kami sudah memperingatkanmu. Tapi kau malah memilih jalan ini. Sekarang lihat akibatnya!”Anton yang berdiri di sudut ruangan menelpon manajer Vero, meminta pertanggungjawabannya. Setelah beberapa pembicaraan, lelaki itu setuju menikahi Vero.Namun, Vero menolak keras. “Aku tidak mau menikah dengan dia! Dia tidak sekaya Excel!”Ayahnya langsung menampar meja dengan keras. “Cukup, Vero! Kamu sudah cukup mempermalukan keluarga ini. Kamu akan menikah dengannya, suka atau tidak!”***Malam itu, suasana rumah Vero sangat tegang. Anton, Papa Vero, baru saja selesai berbicara dengan manaj
Setelah mendengar kabar mengejutkan dari dokter, Excel dan Vero keluar dari ruangan dengan langkah yang berbeda. Vero tampak tampak kalut dan berusaha mencari cara untuk menjelaskan kepada Excel sementara Excel menahan gelombang emosi yang bercampur di dadanya.Ketika mereka sampai di parkiran, Excel berhenti dan menatap Vero dengan wajah tegang."Kenapa kau diam saja, Excel? Bukannya ini kabar baik?" tanya Vero dengan nada setenang mungkin, mencoba mengusir keheningan yang menyesakkan.Excel menggeleng perlahan, lalu menghela napas panjang sebelum berkata dengan nada penuh kekecewaan."Vero, kabar baik? Aku belum pernah menyentuhmu. Tapi sekarang... kau hamil?" "Excel, apa kamu lupa, kita sudah pernah melakukannya sebelum kamu kecelakaan. Berarti kehamilan ini anugerah, bukankah kita harus menerimanya dengan lapang dada?"Excel menatap Vero tajam. "Anugerah? Bagimu mungkin iya, tapi bagiku ini bencana. Aku saja tidak pernah merasa sudah menyentuhmu, kamu jangan pernah coba-coba boh