“Emm... A-aku harus ngomong apa, Pa?” tanya Diana gugup, suaranya nyaris tenggelam dalam udara tegang yang menyelimuti ruangan.Oma Mentari mendecakkan lidah, ekspresinya penuh ejekan. “Ckck, sungguh mengecewakan, Diana. Aku pikir, dengan semua kepintaran dan kelicikanmu, kamu bisa menyembunyikan semuanya lebih lama. Tapi ternyata, aku salah.”Diana melirik ibu mertuanya dengan tajam, mencoba menahan rasa takut yang menjalari tubuhnya. Semua pintu kini terasa seperti jebakan. Tidak ada jalan keluar.“Aku tidak mengerti apa yang kalian bicarakan. Apa maksudnya semua ini?” tanyanya, berusaha memutar balik situasi sambil menatap satu per satu orang di hadapannya.Azka meraih amplop putih dari meja di depannya dan melemparkan benda itu ke arah Diana. Suara keras amplop yang menghantam meja membuat Diana terlonjak. “Ini dia, bukti pengkhianatanmu, Diana!”Diana memandang amplop itu dengan ngeri, tangannya gemetar saat meraihnya. Ia membuka amplop perlahan, dan begitu melihat isinya, wajahn
Diana panik. Tangannya mencoba melepaskan diri dari genggaman polisi yang tegas menahannya. Ia mundur selangkah, matanya liar mencari celah untuk melarikan diri."Pak, memangnya salah saya apa? Kenapa saya ditangkap? Saya enggak salah apa-apa!" serunya dengan nada tinggi, penuh amarah.Salah satu polisi, seorang pria berusia paruh baya dengan raut wajah datar, menatap Diana tanpa menunjukkan emosi. “Sebaiknya Ibu ikut kami ke kantor. Semua akan dijelaskan di sana,” jawabnya tegas.Diana mendengus, memberontak dengan sisa tenaga yang ia miliki. “Tidak, saya tidak mau! Saya enggak salah apa-apa! Kalian salah orang!” teriaknya, mencoba menarik tangannya sekuat tenaga, namun sia-sia.Polisi lainnya, seorang wanita muda dengan seragam rapi, mencoba menenangkan Diana. “Bu Diana, tenang. Perlawanan Anda hanya akan memperburuk situasi. Jika Anda merasa tidak bersalah, buktikan saja di kantor polisi,” katanya lembut, namun tegas.“Buktikan? Apa in
Diana menelan ludah, matanya bergeser dari wajah Zarek ke dokumen itu. Sementara Zarek tampak lebih tegang dari sebelumnya, peluh di dahinya mulai mengalir meski ruangan itu cukup dingin. Perlahan, polisi membuka dokumen itu, memperlihatkan sejumlah foto dan laporan yang membuat Diana dan Zarek semakin resah."Ini adalah catatan transaksi yang kami temukan di salah satu rekening offshore yang terhubung dengan nama kalian berdua, dan jumlahnya tidak kecil," ujar polisi dengan nada dingin. Diana membeku. "Itu pasti salah paham. Kami tidak pernah memiliki rekening seperti itu," ujarnya, mencoba terdengar tenang meski suaranya bergetar.Zarek, yang sebelumnya diam, mendadak bersuara. "Memang bukan rekening kami. Bisa saja itu rekayasa untuk menjebak kami." Matanya tajam menatap polisi, berusaha menunjukkan keyakinan.Polisi mengabaikan protes mereka dan melanjutkan, "Rekening ini bukan hanya soal uang. Ada komunikasi yang berhasil kami pulihkan. Nama
"Aaaa...!!" Nur spontan menjauhkan tangan Excel dari pipinya dan berteriak sambil mendorong tubuh sang suami. Wajahnya tampak panik dan penuh curiga.Excel terbangun seketika. Ia mengusap wajahnya dengan kebingungan. "Astaghfirullah, Nur, kenapa kamu teriak-teriak? Mimpi buruk?" tanyanya dengan nada khawatir.Nur tidak langsung menjawab. Ia dengan cepat mengintip tubuhnya yang masih terbungkus selimut, memastikan piyamanya tetap utuh. Setelah itu, ia menarik selimut lebih rapat sambil menghembuskan napas lega."Kak Excel, ngapain tidur di sini? Biasanya kan tidur di sofa?" Nur bertanya penuh selidik, menunjuk ke arah sofa yang terletak tak jauh dari ranjang dengan dagunya.Excel mengangkat alisnya, berusaha menahan senyum. "Ya tidur bareng istri lah, emangnya ada yang salah?""Em... Enggak juga sih, tapi..." Nur menggigit bibir bawahnya, ragu melanjutkan.Excel langsung memotong. "Enggak usah khawatir, aku enggak ngapa-ngapain ka
"Bulik...!" pekik Kayla. Ia segera menghampiri sang tante dan menghambur memeluknya.Dengan senang hati, Nur membalas pelukan itu dan menggendong keponakannya. "Bulik, kenapa lama enggak main. Aku kangen," ucap gadis kecil berusia enam tahun itu."Maaf ya, Kay, Bulik sibuk sama kuliah. Bulik juga kangen banget sama Kayla, gimana kabarnya Kayla?" tanya Nur sembari tersenyum menatap keponakannya yang sedang cemberut."Kalau kita udah kuliah berarti enggak punya waktu buat main ya, dan harus belajar terus? Pasti, Bulik, capek banget kan? Kabarku bahagia sekali karena bisa ketemu Bulikku yang cantik lagi," balas Kayla dengan tersenyum lucu membuat Nur mencubit gemas pipi Kayla yang semakin gembul."Enggak juga sih, karena baru awal-awal aja kok. Makasih ya, Sayang, Bulik juga kangen banget sama ponakan yang cantik, lucu, dan gemesin ini, apalagi sekarang makin gembul aja kamu, makin poll imutnya," kata Nur membuat Kayla semakin tertawa."Kamu main dulu ya sama adek Sofyan, Bulik mau bic
Nur dan Lia tampak gelagapan, Nur mengambil tisu yang ada di atas meja untuk mengelap wajahnya.Lia dan Nur saling berpandangan, mencoba mencari akal dengan cepat. Lia menelan ludah, sementara Nur menggigit bibir, berpikir keras untuk menjawab pertanyaan Bapak mereka yang terus menatap tajam melalui layar."Bapak..." Lia akhirnya membuka suara, meskipun suaranya terdengar sedikit gemetar. "Ini... Ini cuma—""Ini cuma efek kamera, Pak!" potong Nur dengan cepat, berusaha terdengar meyakinkan sambil tersenyum lebar. Ia menggerakkan tangannya ke depan kamera, seolah-olah sedang memperbaiki pencahayaan. "Kameranya, nih, kurang bagus. Jadi kelihatan aneh.""Efek kamera?" alis Bapak semakin mengernyit. "Kenapa wajahmu seperti habis menangis, Nur? Apa yang sebenarnya terjadi?"Nur langsung melambaikan tangannya dengan ekspresi santai, meskipun dalam hati ia kalut. "Ah, Bapak ini! Enggak kok, serius. Tadi cuma habis pakai masker wajah, terus enggak bersih bilasnya. Lihat nih, aku lagi lap paka
Excel memutar gagang pintu dengan cepat, tapi terkunci. Ia mengetuk-ngetuk pintu dengan panik."Nur! Buka pintunya! Kamu kenapa?" teriak Excel, suaranya penuh kekhawatiran.Dari dalam kamar mandi, terdengar suara Nur yang jelas-jelas ketakutan. "A-ada kecoa, Kak! Besar banget! Tolong!"Excel terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. Ia menahan tawa yang hampir pecah. “Nur, itu cuma kecoa. Masa kamu takut banget?” godanya."Tapi Kak, dia terbang! Aku gak bisa keluar kalau kecoa itu masih di sini!" jawab Nur dengan suara nyaris menangis.Excel mengusap wajahnya, berusaha menahan diri untuk tidak tertawa lebih keras. “Oke, oke. Kamu jangan panik. Buka pintunya pelan-pelan, aku masuk buat ngusir kecoanya.”Setelah beberapa detik, suara kunci diputar terdengar, dan pintu terbuka sedikit. Excel melongok ke dalam, melihat Nur berdiri di atas tutup kloset, memeluk handuk dengan wajah pucat.“Kamu serius naik ke situ karena k
Excel menghela napas panjang sebelum menjawab, "Baiklah, Pak." Sambungan terputus, meninggalkan segudang tanda tanya di benaknya. "Ada apa sebenarnya ya?" gumamnya pelan.Ketika ia menoleh, Excel mendapati Nur sudah tertidur, kepalanya bersandar nyaman di pundaknya. Sesaat, dunia terasa berhenti. Mata Excel melembut, menatap wajah istrinya yang tenang dan damai. Cahaya lampu redup di ruang tamu memantulkan kehangatan di wajah Nur, membuatnya tampak begitu menawan.Dengan gerakan hati-hati, Excel mengulurkan tangan, menyibakkan helaian rambut yang menutupi wajah Nur. "Cantik," gumamnya nyaris tanpa suara, seolah bicara pada dirinya sendiri. Matanya terpaku pada bibir mungil Nur, yang sedikit terbuka dalam tidurnya. Godaan untuk mencium bibir itu melintas, begitu kuat hingga membuatnya mendekat perlahan.Namun, gerakan kecil Nur membuatnya tersadar. Excel menarik diri, menggeleng pelan sambil tersenyum. "Apa yang aku lakukan?" bisik Excel, setengah menertawakan dirinya sendiri.Excel
Tok...tok...!Pak Supri mengetuk pintu ruangan Excel dengan hati-hati."Masuk!" terdengar suara dari dalam, tegas namun dingin.Pak Supri membuka pintu perlahan. Di dalam, Excel baru saja keluar dari kamar mandi, satu tangan memegang tiang infus yang mengikutinya. Wajahnya tampak lebih segar dibanding sebelumnya, tapi sorot matanya tajam dan tidak bersahabat."Permisi, Tuan Excel," sapa Pak Supri sopan. "Saya datang untuk menjemput Non Nur."Excel mengerutkan keningnya, lalu memandang Pak Supri dengan ekspresi bingung. "Nur?" tanyanya, suaranya datar."Iya, Nona Nur," jawab Pak Supri tegas namun bingung dengan reaksi Excel.Excel menyandarkan tubuhnya ke tempat tidur dan menghela napas panjang. "Bukannya Nur sudah pulang sejak kemarin sore?"Pak Supri menatap Excel tak percaya. "Maksud Tuan?" tanyanya penuh kebingungan.Excel menegakkan tubuhnya, menatap lurus pada Pak Supri. "Kemarin, saat aku mulai me
Lia langsung duduk tegak, napasnya memburu. Tubuhnya dingin oleh keringat, meskipun udara kamar terasa hangat. Tanpa pikir panjang, ia menyibak selimut dengan kasar dan melangkah turun dari tempat tidur. Gemuruh di dadanya tak bisa diabaikan, firasat buruk seolah menggantung berat di udara."Pak Supri, tunggu di rumah sakit. Aku akan segera ke sana menyusul," titah Lia dengan nada panik melalui telepon. Suaranya nyaris bergetar, namun tetap tegas. Tak menunggu jawaban, ia langsung memutus sambungan secara sepihak, tangannya gemetar menggenggam telepon."Bang...! Bangun, Bang! Nur hilang!" Lia mengguncang tubuh Heri yang masih terlelap di sampingnya.Heri mengerjap-ngerjapkan mata, mencoba mencerna kata-kata istrinya. Wajahnya yang kusut menandakan ia masih setengah sadar. "Apa? Hilang? Siapa yang bilang?" tanyanya dengan nada bingung."Pak Supri! Udah, cepetan bangun!" Lia berkata dengan cemas. Ia melangkah tergesa ke ranjang bayi, tempat kedua anak kembarnya, Rama dan Sinta, tertidur
Veronica tersenyum kecil, berjalan mendekat ke sisi ranjang. "Iya, Sayang. Tapi ada urusan mendadak yang harus aku selesaikan. Ini penting. Kamu lupakan saja gadis itu ya, kalau kamu mengingat dia terus bisa-bisa pernikahan kita nanti bisa gagal karena kamu terus memikirkan wanita lain. Dan aku tidak ingin ada wanita lain dalam pernikahan kita."Excel menatapnya penuh rasa ingin tahu. “Maaf, aku tidak akan mengingatnya lagi. Memangnya urusan apa? Apakah ada hubungannya dengan pekerjaanmu?”Veronica mengangguk cepat. “Iya, sesuatu yang berkaitan dengan klien penting. Kalau aku tidak menyelesaikannya malam ini, bisa berantakan semuanya. Aku janji, besok pagi aku akan kembali sebelum kamu keluar dari rumah sakit.”Excel terdiam sejenak, mencoba mencerna alasan Veronica. Namun, ada sesuatu dalam nada suaranya yang terasa janggal. "Kenapa harus malam ini? Apa tidak bisa ditunda sampai besok?"Veronica menghela napas panjang, mencoba menyembunyikan kegelisahan di matanya. "Tidak, Sayang. Ak
Veronica mengangguk sembari tersenyum menanggapi Excel.Excel menatap Veronica lebih dalam, seolah mencari jawaban yang tak pernah ia temukan sebelumnya. "Aku ingat semuanya, Vero. Janji-janji itu, harapan kita... semua yang pernah kita bangun bersama.""Iya, Sayang, aku sudah tidak sabar menanti hari bahagia kita. Kamu cepat sembuh ya, biar kita segera menyiapkan pernikahan yang kita idamkan," balas Vero.Vero memeluk Excel, bibirnya melengkung ke atas, ia merasa puas karena rencananya telah berjalan dengan mulus.Ruangan rumah sakit itu terasa lebih cerah dengan senyum Veronica yang terus menghiasi wajahnya. Ia tetap memeluk Excel, merasakan tubuh pria itu yang kini lebih hangat dari sebelumnya. Namun, suara ketukan pintu mengalihkan perhatian mereka berdua.Dokter masuk, diikuti oleh seorang perawat yang membawa alat pemeriksaan. Dengan ramah, dokter menyapa, “Selamat sore, Tuan Excel. Bagaimana perasaan Anda hari ini?”
Bruak!Parsel buah yang ada di tangan Nur seketika jatuh ke lantai, membuat suara yang menggema di ruangan itu. Matanya membulat, bibirnya bergetar, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar."Ka-k Ve-ro?" Nur berusaha memastikan, suaranya nyaris berbisik. Tatapan bingungnya beralih pada Excel yang hanya bisa mengangguk tanpa mengucap sepatah kata pun.Veronica tersenyum tipis, seolah tak menyadari keterkejutan yang melanda Nur. "Iya, kami sudah lama merencanakan ini, tapi semuanya tertunda karena kondisi Excel. Saya tetap setia menunggunya sampai dia sembuh."Nur masih terpaku di tempat. "Kak Excel, apa benar kamu akan menikah dengannya?" tanyanya pelan, suaranya bergetar, penuh dengan kekecewaan."Iya, Nur. Dan pernikahan kami akan segera berlangsung setelah aku keluar dari sini," balas Excel.Nur berdiri di hadapan Veronica, matanya menyala oleh kemarahan yang tak lagi bisa ditahan. Kata-kata Excel tentang pernikahan mereka sebelumnya seperti belati yang menghujam dada
Setelah memastikan Nur masuk dengan selamat, Pak Supri segera kembali ke rumah Heri. Mobil meluncur perlahan meninggalkan kediaman besar keluarga Azka, meninggalkan Nur yang berdiri di ambang pintu.Udara dingin dini hari menyelinap melalui celah pintu, membuat Nur menarik syal yang melingkar di lehernya lebih erat. Rumah besar itu sunyi, hanya ditemani gemericik air dari kolam kecil di halaman depan. Asisten rumah tangga yang bertugas malam itu segera menyambutnya."Pagi, Non Nur. Apa perlu saya siapkan sesuatu? Teh hangat, mungkin?" tanya bidan Lilis berbasa-basi. Wajahnya tak sedikitpun menampakkan keramahan.“Enggak perlu, Bi. Nur capek, mau langsung ke kamar. Tapi sebelum itu, Nur mau nengok Oma dulu,” jawab Nur lembut, menghapus jejak kelelahan dari suaranya.Bi Lilis mengangguk. “Baik, Non."Nur berjalan perlahan menyusuri lorong rumah yang panjang. Kakinya berhenti di depan sebuah pintu kayu besar berukir. Ia mengetuk perlahan sebelum membuka pintu."Oma, Nur masuk, ya," katan
Dini hari setelah selesai menunaikan kewajiban dua rakaat, Nur bersiap untuk pulang ke kediaman Excel Mahendra.“Kak, aku pulang dulu ya. Kamu cepat sembuh, biar kita bisa pulang bersama,” ucap Nur lirih, suaranya nyaris tenggelam oleh keheningan ruang rawat. Ia menatap wajah Excel yang masih tertidur pulas, napasnya teratur, seolah sedang bermimpi damai.Nur menggigit bibir bawahnya, menahan haru. Karena tak berani mencium suaminya, ia hanya mencium jari telunjuk dan jari manisnya sendiri, lalu menempelkannya lembut pada pipi Excel.“Kak, aku percaya kamu pasti akan ingat semuanya lagi,” bisik Nur dengan mata berkaca-kaca sebelum beranjak pergi.Langkah Nur pelan saat melewati koridor rumah sakit. Pikirannya penuh dengan kenangan bersama Excel, juga rasa cemas yang tak kunjung sirna. Setiap detik Excel masih terbaring di sana, hatinya terasa tercekat oleh ketakutan kehilangan.Saat Nur keluar dari pintu utama rumah sakit, udara dingin di
Nur tertegun. Senyum bahagianya perlahan menghilang. "Kak... Ini aku, Nur... Istrimu..."Excel menggeleng pelan. "Aku... Aku enggak ingat," jawabnya, lalu menatap sekeliling dengan bingung.Dokter yang masih berada di dekat mereka segera memeriksa Excel lebih lanjut. "Ini kemungkinan efek dari mati suri. Otaknya mungkin mengalami trauma yang menyebabkan amnesia sementara," jelasnya.Nur menatap dokter dengan mata penuh kekhawatiran. "Amnesia? Apa itu berarti Kak Excel tidak akan ingat siapa pun dari kami?"Dokter menenangkan Nur. "Amnesia bisa bersifat sementara, Ibu. Dengan perawatan dan waktu, ingatannya mungkin akan kembali. Yang penting sekarang, kita pastikan kondisinya stabil dulu."Azka memegang tangan Excel, menggenggamnya erat. "Nak, kamu gak perlu khawatir. Kami akan ada di sini untukmu. Kami akan bantu kamu ingat semuanya."Excel memandang ayahnya dengan tatapan kosong. Nur duduk di sisi Excel, menggenggam tangannya dengan lembut."Kak Excel, enggak apa-apa kalau kamu engga
Lia tak menyangka sang adik terlihat begitu terpukul. Ia memandang Nur yang terus menggenggam tangan Excel, tubuhnya gemetar di tengah isaknya yang tak kunjung reda."Apa Nur begitu mencintai Excel?" batin Lia.Lia memeluk sang adik sambil menepuk lembut bahunya. "Sabar, Nur. Semua ini sudah takdir. Excel pasti ingin kamu kuat," ucap Lia, berusaha menghibur meski hatinya juga pilu.Nur menggeleng keras, wajahnya basah oleh air mata. "Tapi, Mbak, Kak Excel sudah janji kita akan bersama terus. Kebersamaan kita baru sebentar. Aku gak mau dia pergi secepat ini," isaknya dengan suara parau. Kepalanya bersandar di bahu Lia, tubuhnya lemah seolah tak sanggup menopang beban perasaan yang begitu berat.Lia menyeka keringat yang membanjiri kening sang adik. Namun, tiba-tiba tubuh Nur melemas, dan kesadarannya hilang."Nur! Nur, bangun!" pekik Lia panik sambil mengguncang pelan tubuh adiknya.Heri, yang sejak tadi hanya mematung, segera bergerak menghampiri. "Biar aku yang bawa dia!" katanya cep