Satu minggu telah berlalu, dan Mahendra Grup kini terhuyung-huyung akibat masalah yang semakin besar. Perusahaan pusat utama yang selama ini menjadi tulang punggung mereka tengah menghadapi krisis, sementara Magna, mitra utama yang telah menjalin kerja sama selama puluhan tahun, memutuskan untuk menghentikan kemitraan mereka. Keputusan itu membuat Mahendra Grup terpuruk, seolah lumpuh tanpa arah.Sementara itu, Nur, telah memulai kuliah di fakultas kedokteran. Ia bertemu dengan banyak teman-teman baru, serta mengenal para dosen yang akan membimbingnya di perjalanan akademisnya. Hari pertama kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Harapan sudah dimulai dengan berbagai kegiatan orientasi. Setelah menyelesaikan sesi orientasi yang diisi dengan pengenalan fasilitas kampus dan penjelasan tentang jadwal kuliah, Nur pun memasuki ruang kelas pertama.Suasana di dalam kelas cukup ramai dengan mahasiswa baru yang sibuk mencari tempat duduk. Nur mencari tempat yang nyaman di bagian tengah rua
Zarek membawa Nur ke sebuah bangunan besar yang tampak megah dan mewah."Pak, kenapa saya dibawa ke sini? Ini tempat apa? Saya mau dibawa ke mana sih?" tanya Nur dengan nada panik, matanya mengamati setiap sudut gedung yang asing baginya."Apartemenku," jawab Zarek singkat tanpa menoleh. Tangannya yang kasar terus mencengkeram pergelangan Nur, menyeretnya masuk hingga kulit gadis itu mulai memerah. Namun, ia tak peduli.Nur mencoba melawan, tapi cengkeraman Zarek terlalu kuat. Ia hanya bisa memohon dalam hati agar ada seseorang yang menyelamatkannya.Setelah sampai di salah satu kamar di dalam apartemen mewah itu, Nur terkejut bukan main melihat pemandangan di depannya. Di atas ranjang yang luas dan megah, seorang wanita mengenakan pakaian minim tengah duduk santai dengan kaki terbuka lebar."Mama? Astaghfirullah!" seru Nur dengan nada terkejut bercampur jijik. Ia segera memejamkan kedua matanya, mencoba menghindari pemandangan tak pantas itu. Bahkan, sekilas ia melihat pakaian dalam
Sebelum Zarek menyelesaikan kalimatnya, tangan Nur meraih tas yang ada di sebelahnya lalu melompat dari ranjang dengan cepat. Ia menggunakan lututnya untuk menyerang bagian tubuh Zarek yang paling rentan. "Arrggghh....!!" Zarek terjatuh, kedua tangannya memegang burung perkutut kesayangannya. Diana yang menyaksikan, tak menyangka Nur bisa berbuat seperti itu. Mulutnya menganga dan kedua matanya melotot nyaris keluar dari sarangnya. Nur tidak mau membuang waktu, ia segera berlari menuju pintu. Meskipun kesakitan dan nyaris tak bertenaga, namun Zarek berhasil meraih pergelangan kakinya hingga membuat Nur terjatuh. "Berani kamu!" Zarek menggeram dan merangkak mendekati Nur dengan keadaan burung perkututnya gondal gandul. Tangan Nur mencoba meraih apa pun yang ada di dekatnya, akhirnya tangannya meraih lampu meja dan memukul kepala Zarek dengan karas. Seketika suara benda pecah menggema di ruangan. Zarek terjatuh lagi, kali ini kepalanya mengernyit menahan sakit. Darah mengalir dari
“Emm... A-aku harus ngomong apa, Pa?” tanya Diana gugup, suaranya nyaris tenggelam dalam udara tegang yang menyelimuti ruangan.Oma Mentari mendecakkan lidah, ekspresinya penuh ejekan. “Ckck, sungguh mengecewakan, Diana. Aku pikir, dengan semua kepintaran dan kelicikanmu, kamu bisa menyembunyikan semuanya lebih lama. Tapi ternyata, aku salah.”Diana melirik ibu mertuanya dengan tajam, mencoba menahan rasa takut yang menjalari tubuhnya. Semua pintu kini terasa seperti jebakan. Tidak ada jalan keluar.“Aku tidak mengerti apa yang kalian bicarakan. Apa maksudnya semua ini?” tanyanya, berusaha memutar balik situasi sambil menatap satu per satu orang di hadapannya.Azka meraih amplop putih dari meja di depannya dan melemparkan benda itu ke arah Diana. Suara keras amplop yang menghantam meja membuat Diana terlonjak. “Ini dia, bukti pengkhianatanmu, Diana!”Diana memandang amplop itu dengan ngeri, tangannya gemetar saat meraihnya. Ia membuka amplop perlahan, dan begitu melihat isinya, wajahn
Diana panik. Tangannya mencoba melepaskan diri dari genggaman polisi yang tegas menahannya. Ia mundur selangkah, matanya liar mencari celah untuk melarikan diri."Pak, memangnya salah saya apa? Kenapa saya ditangkap? Saya enggak salah apa-apa!" serunya dengan nada tinggi, penuh amarah.Salah satu polisi, seorang pria berusia paruh baya dengan raut wajah datar, menatap Diana tanpa menunjukkan emosi. “Sebaiknya Ibu ikut kami ke kantor. Semua akan dijelaskan di sana,” jawabnya tegas.Diana mendengus, memberontak dengan sisa tenaga yang ia miliki. “Tidak, saya tidak mau! Saya enggak salah apa-apa! Kalian salah orang!” teriaknya, mencoba menarik tangannya sekuat tenaga, namun sia-sia.Polisi lainnya, seorang wanita muda dengan seragam rapi, mencoba menenangkan Diana. “Bu Diana, tenang. Perlawanan Anda hanya akan memperburuk situasi. Jika Anda merasa tidak bersalah, buktikan saja di kantor polisi,” katanya lembut, namun tegas.“Buktikan? Apa in
Diana menelan ludah, matanya bergeser dari wajah Zarek ke dokumen itu. Sementara Zarek tampak lebih tegang dari sebelumnya, peluh di dahinya mulai mengalir meski ruangan itu cukup dingin. Perlahan, polisi membuka dokumen itu, memperlihatkan sejumlah foto dan laporan yang membuat Diana dan Zarek semakin resah."Ini adalah catatan transaksi yang kami temukan di salah satu rekening offshore yang terhubung dengan nama kalian berdua, dan jumlahnya tidak kecil," ujar polisi dengan nada dingin. Diana membeku. "Itu pasti salah paham. Kami tidak pernah memiliki rekening seperti itu," ujarnya, mencoba terdengar tenang meski suaranya bergetar.Zarek, yang sebelumnya diam, mendadak bersuara. "Memang bukan rekening kami. Bisa saja itu rekayasa untuk menjebak kami." Matanya tajam menatap polisi, berusaha menunjukkan keyakinan.Polisi mengabaikan protes mereka dan melanjutkan, "Rekening ini bukan hanya soal uang. Ada komunikasi yang berhasil kami pulihkan. Nama
"Aaaa...!!" Nur spontan menjauhkan tangan Excel dari pipinya dan berteriak sambil mendorong tubuh sang suami. Wajahnya tampak panik dan penuh curiga.Excel terbangun seketika. Ia mengusap wajahnya dengan kebingungan. "Astaghfirullah, Nur, kenapa kamu teriak-teriak? Mimpi buruk?" tanyanya dengan nada khawatir.Nur tidak langsung menjawab. Ia dengan cepat mengintip tubuhnya yang masih terbungkus selimut, memastikan piyamanya tetap utuh. Setelah itu, ia menarik selimut lebih rapat sambil menghembuskan napas lega."Kak Excel, ngapain tidur di sini? Biasanya kan tidur di sofa?" Nur bertanya penuh selidik, menunjuk ke arah sofa yang terletak tak jauh dari ranjang dengan dagunya.Excel mengangkat alisnya, berusaha menahan senyum. "Ya tidur bareng istri lah, emangnya ada yang salah?""Em... Enggak juga sih, tapi..." Nur menggigit bibir bawahnya, ragu melanjutkan.Excel langsung memotong. "Enggak usah khawatir, aku enggak ngapa-ngapain ka
"Bulik...!" pekik Kayla. Ia segera menghampiri sang tante dan menghambur memeluknya.Dengan senang hati, Nur membalas pelukan itu dan menggendong keponakannya. "Bulik, kenapa lama enggak main. Aku kangen," ucap gadis kecil berusia enam tahun itu."Maaf ya, Kay, Bulik sibuk sama kuliah. Bulik juga kangen banget sama Kayla, gimana kabarnya Kayla?" tanya Nur sembari tersenyum menatap keponakannya yang sedang cemberut."Kalau kita udah kuliah berarti enggak punya waktu buat main ya, dan harus belajar terus? Pasti, Bulik, capek banget kan? Kabarku bahagia sekali karena bisa ketemu Bulikku yang cantik lagi," balas Kayla dengan tersenyum lucu membuat Nur mencubit gemas pipi Kayla yang semakin gembul."Enggak juga sih, karena baru awal-awal aja kok. Makasih ya, Sayang, Bulik juga kangen banget sama ponakan yang cantik, lucu, dan gemesin ini, apalagi sekarang makin gembul aja kamu, makin poll imutnya," kata Nur membuat Kayla semakin tertawa."Kamu main dulu ya sama adek Sofyan, Bulik mau bic
Sementara itu, di rumah Heri, Nur sedang sibuk menata buku-bukunya di meja belajar. Ia baru saja menyelesaikan tugas kuliah yang cukup berat. Pikirannya sesekali melayang ke Excel, tetapi ia segera mengalihkan fokusnya. Nur tahu, ia harus tetap kuat dan menjaga keputusannya.Lia masuk ke kamar Nur sambil membawa secangkir teh hangat. "Nur, istirahat dulu. Jangan terlalu keras sama dirimu sendiri."Lia tahu, Nur selalu belajar dengan giat. Jadi wajar adiknya itu bisa masuk ke universitas ternama di Jakarta meski belum bisa mencapai beasiswa. Saat sekolah SD-SMK Nur selalu mendapat peringkat 3 besar dan memenangkan banyak lomba bersama teman-temannya. Nur tersenyum kecil. "Suwun, Mbak'e. Aku cuma mau memastikan semua tugasku selesai tepat waktu."Lia duduk di tepi tempat tidur, menatap adiknya dengan penuh sayang. "Aku bangga sama kamu, Nur. Kamu udah melalui banyak hal, tapi tetap kuat. Aku yakin kamu akan jadi orang yang sukses."Nur men
Nur mengamati pesan itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Kata-kata Excel mengingatkannya pada masa lalu yang ingin ia lupakan, namun ada bagian kecil dari hatinya yang masih merasakan getaran dari kenangan itu. Tetapi, tekadnya sudah bulat. Dia tidak ingin terjebak lagi dalam luka yang sama.Ponselnya tiba-tiba berdering, nomor baru yang sama menghubunginya. Nur terdiam, menatap layar dengan tatapan bimbang. Tetapi ia memutuskan untuk tidak menjawab. Panggilan itu akhirnya terputus dengan sendirinya, dan tanpa ragu Nur memblokir nomor baru Excel."Ini harus berakhir," gumamnya pelan. Dia bertekad untuk melupakan Excel sepenuhnya dan fokus pada masa depannya.Seminggu kemudian, Bambang dan Isna, memutuskan untuk pulang ke kampung halaman mereka. Musim panen padi sudah tiba, dan mereka ingin memastikan semuanya berjalan lancar. Sebelum pergi, mereka memastikan Nur baik-baik saja.Nur mengantarkan kedua orang tuanya ke terminal. Dalam perjalanan,
Malam Semakin LarutSetelah beberapa jam bekerja dengan serius, akhirnya tugas mereka mendekati selesai. Suasana menjadi lebih santai, diselingi candaan dan tawa."Rino, kamu serius banget sih dari tadi. Santai dikit dong," goda Latifa sambil mengulurkan segelas es jus untuk pemuda berkulit kuning langsat.Rino hanya tersenyum kecil. "Kalau nggak serius, tugasnya nggak selesai-selesai, Fa."Dika, yang sejak tadi memperhatikan Nur, merasa ini adalah kesempatan untuk mendekatinya lebih jauh. Saat yang lain sibuk membereskan alat, ia menghampiri Nur yang sedang duduk sendirian di sudut ruangan."Nur, kamu hebat banget tadi. Pekerjaan kita cepat selesai berkat kamu," puji Dika, duduk di sebelahnya."Terima kasih, Dik," jawab Nur singkat, mencoba menjaga jarak.Ketika tugas benar-benar selesai, satu per satu teman-teman mereka mulai pulang. Latifa pergi bersama Rino, sementara Sera pulang lebih dulu diantar Adi. Nur, yang menunggu Pak Supri menjemput, memilih tetap duduk di ruang tengah be
Latifa berbisik pada Sera dengan nada penuh semangat. "Sera, bayangin deh, kita kerja kelompok bareng mereka. Ini kesempatan emas!"Sera hanya mendesah pelan. "Emas buat kamu. Aku sih enggak ya. Kalau alatnya lengkap dan tugasnya cepat selesai, aku sih nggak masalah. Tapi kayaknya Nur agak keberatan deh."Latifa menepuk bahu Nur. "Nur, santai aja. Kita kan kerja kelompok. Nggak akan ada yang aneh-aneh kok."Setelah jam kuliah selesai, rombongan kelompok mereka bersiap menuju rumah Dika untuk memulai pengerjaan tugas. Nur, meski masih merasa kurang nyaman, akhirnya menerima tawaran Dika untuk memboncengnya dengan motor."Yuk, Nur. Motor udah siap di parkiran," kata Dika dengan senyuman yang terasa dipaksakan di mata Nur.Latifa, yang sudah sejak tadi tak bisa menyembunyikan senyumnya, langsung menghampiri Rino. "Aku bareng kamu aja, ya?" tanyanya penuh semangat.Rino, yang sedikit terkejut tapi tidak keberatan, hanya mengangguk. "
Tak ingin berlama-lama dilumpuhkan oleh emosinya, Excel masuk kembali ke dalam mobil. Tanpa berpikir panjang, ia menginjak pedal gas dalam-dalam, membiarkan mobilnya melaju liar di jalanan. Kecepatan tinggi dan suara mesin menderu menjadi pelariannya. Ia tak peduli pada bahaya atau rambu-rambu yang ia langgar.Namun kali ini, pelariannya berakhir tragis. Di sebuah tikungan tajam, mobilnya kehilangan kendali dan menghantam pembatas jalan dengan keras. Suara benturan menggema, diikuti suara kaca yang pecah berantakan.Saat tubuhnya terkulai di balik kemudi, kepala Excel berdenyut hebat. Dunia di sekitarnya terasa buram, tapi ingatan demi ingatan menyeruak di benaknya.Excel melihat Vero yang tengah mencoba gaun pengantin putih. Senyum manis yang dulu pernah ia cintai kini terasa seperti belati yang menusuk dadanya. Kenangan itu terasa begitu nyata, hingga tiba-tiba bayangan itu memudar, digantikan oleh kenyataan pahit yang menghantamnya tanpa ampun.
Di Tepi Kehancuran Juanda menghela napas berat, mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan kebenaran. Ia tahu bahwa apa yang akan ia katakan bisa menghancurkan hubungan mereka, tetapi ia tak bisa lagi menyembunyikannya.“Ver, kamu ingat malam itu... waktu kita pulang dari pesta ulang tahun Clara? Kamu mabuk berat, Ver. Dan aku tahu, kamu belum minum pil dan aku sengaja melakukannya malam itu. Aku tahu, jika kamu mabuk, kamu tidak akan menolak.”Vero membelalakkan matanya, perasaan tidak percaya menyeruak di wajahnya. “Kamu... sengaja? Kamu mengambil keuntungan dari aku yang tidak sadar?!”“Aku tahu ini egois, tapi aku ingin kamu menjadi milikku. Aku sudah lama mencintaimu, Ver. Aku pikir, dengan adanya anak, kita bisa lebih dekat. Kita bisa menjadi keluarga sungguhan.”Vero mencengkeram baju Juanda, matanya berkilat marah. “Kamu menghancurkan hidupku! Apa kamu tahu berapa tahun aku berjuang untuk sampai ke titik ini? Model
Anton menghela napas panjang. "Ma, ini bukan soal hati. Ini soal harga diri keluarga kita. Vero sudah membuat kesalahan besar, dan aku tak akan membiarkan dia terus tinggal di sini dengan kondisi seperti ini."Tantri menunduk lebih dalam, perasaan campur aduk di hatinya. Ia ingin sekali membela Vero, tapi ia juga tahu bahwa suaminya sudah membuat keputusan yang tak bisa diganggu gugat.Juanda yang berdiri di samping Vero, merasakan ketegangan yang semakin mencekam. Ia melangkah maju, mendekati Anton dengan sikap yang penuh hormat, meskipun hatinya terasa berat."Pa, saya tahu ini tidak mudah bagi keluarga. Tapi saya berjanji akan bertanggung jawab penuh atas Vero. Saya akan merawatnya dan mendampinginya karena ini adalah jalan yang sudah saya pilih."Anton diam sejenak, matanya menilai Juanda dengan tajam. "Kamu sudah mengambil keputusan besar, Juanda. Tapi aku hanya ingin kamu tahu, ini bukan hanya tentang kamu dan Vero. Ini tentang harga diri ke
Vero hanya terdiam membisu membuat suasana menjadi semakin mencekam. Papanya menghentakkan kakinya ke lantai."Jawab Vero! Apa itu anak Manajermu?! Jadi, selama ini kamu rela mengorbankan pernikahanmu dengan Excel demi mengejar karier, lalu jatuh ke pelukan lelaki itu?” bentak Anton. Tantri menggelengkan kepala, air matanya jatuh. “Vero, kami sudah memperingatkanmu. Tapi kau malah memilih jalan ini. Sekarang lihat akibatnya!”Anton yang berdiri di sudut ruangan menelpon manajer Vero, meminta pertanggungjawabannya. Setelah beberapa pembicaraan, lelaki itu setuju menikahi Vero.Namun, Vero menolak keras. “Aku tidak mau menikah dengan dia! Dia tidak sekaya Excel!”Ayahnya langsung menampar meja dengan keras. “Cukup, Vero! Kamu sudah cukup mempermalukan keluarga ini. Kamu akan menikah dengannya, suka atau tidak!”***Malam itu, suasana rumah Vero sangat tegang. Anton, Papa Vero, baru saja selesai berbicara dengan manaj
Setelah mendengar kabar mengejutkan dari dokter, Excel dan Vero keluar dari ruangan dengan langkah yang berbeda. Vero tampak tampak kalut dan berusaha mencari cara untuk menjelaskan kepada Excel sementara Excel menahan gelombang emosi yang bercampur di dadanya.Ketika mereka sampai di parkiran, Excel berhenti dan menatap Vero dengan wajah tegang."Kenapa kau diam saja, Excel? Bukannya ini kabar baik?" tanya Vero dengan nada setenang mungkin, mencoba mengusir keheningan yang menyesakkan.Excel menggeleng perlahan, lalu menghela napas panjang sebelum berkata dengan nada penuh kekecewaan."Vero, kabar baik? Aku belum pernah menyentuhmu. Tapi sekarang... kau hamil?" "Excel, apa kamu lupa, kita sudah pernah melakukannya sebelum kamu kecelakaan. Berarti kehamilan ini anugerah, bukankah kita harus menerimanya dengan lapang dada?"Excel menatap Vero tajam. "Anugerah? Bagimu mungkin iya, tapi bagiku ini bencana. Aku saja tidak pernah merasa sudah menyentuhmu, kamu jangan pernah coba-coba boh