Share

Bab 2

“Perlu bukti apa lagi untuk membuktikan kalau kamu memang serendah itu?” 

Satu kalimat tanya yang tercetus dari bibir Adris sungguh menguliti hatinya, nyeri sekali dituduh seperti itu.

Jika bukan karena panti asuhan dan anak-anak panti, Mala lebih memilih hidup susah dengan penuh perjuangan yang berdarah dari pada menjalani pernikahan sandiwara yang hampir setiap harinya dia dirundung oleh sesama pelayan yang dengki kepadanya.

Belum lagi menghadapi Nyonya besar yang selalu memakinya dan menganggap Mala sebagai lintah yang menjijikan.

Ditambah suami yang membencinya dan selalu melihat Mala dengan sorot dingin dan acuh seolah Mala hanya sebuah patung tak bernilai apa-apa.

“Saya memang miskin dan yatim piatu, Tuan.” ujar Mala dengan suaranya yang mulai bergetar menahan tangis di ujung tenggorokannya. “Tapi saya masih punya harga diri.”

“Berapa? Aku bayar dua kali lipat dari harga yang diberikan Kakek untuk harga dirimu.” ucap Adris tanpa hati. Kedua tangannya masuk ke dalam saku dengan sikapnya yang arogan di depan Mala.

Setetes air mata pun akhirnya tak bisa dibendung oleh Mala dan jatuh membasahi pipi Mala yang tirus.

Mala mengangkat tangannya untuk mengusap air mata yang lolos itu. Tepat saat itu mata dingin Adris menangkap bayangan lebam biru pada lengan Mala yang bergerak cepat ketika mengusap air matanya. 

Tapi tentu saja Adris tidak peduli, dia berpaling dan kembali duduk pada kursi kerjanya. Dia menyiapkan cek dan siap untuk menuliskan angka.

“Kalau begitu, Tuan Muda silahkan tanya ke Tuan Besar, berapa jumlah uang yang ada di kartu itu. Karena saya ga tau, saya ga pernah menggunakan kartu itu.”

Adris mengangkat wajahnya, menatap Mala dengan tatapan yang tak percaya. Apakah Adris terlalu buta untuk melihat bagaimana penampilan Mala?

Setelah berstatus sebagai istrinya dan mendapat kartu tanpa limit itu pun Mala masih menjadi pelayan rendahan di mansion itu. Tidak ada secuil pun niat Mala untuk menggunakan isi dari kartu yang diberikan Rasnad.

Ucapan Mala tentu sangat bertolak belakang dengan cerita yang sering disampaikan Sela kepada Adris.

Nyonya besar itu selalu melaporkan kepada Adris bahwa katanya Mala sering berfoya-foya, dan semenjak menikah dengan Adris, Mala menjadi besar kepala dan semena-mena pada pelayan lain.

Mala dianggap hanya berpura-pura terlihat menyedihkan di depan Adris untuk menarik rasa simpati Adris.

“Kamu pikir aku percaya dengan ucapanmu itu?” Adris menatap dingin. “Katakan berapa yang kamu mau?”

Mala menarik napas dalam-dalam, jika bukan demi panti dan anak-anak, Mala mungkin tidak akan sanggup bertahan.

Tapi kali ini sudah cukup dia menerima semua hinaan, fitnahan, pukulan untuk sesuatu yang tidak dia lakukan sama sekali. 

Dari pertanyaan Adris itu, muncul sebuah ide gila dari kepala Mala, ia mencoba membasahi tenggorokannya yang kering.

Jantungnya berdebar sangat cepat sampai dia bisa merasakan benturannya di dada.

“Baik, kalau Tuan Muda ingin membayar saya lebih banyak dari Tuan Besar.” ucap Mala dengan nada yang sekuat tenaga dibuat tenang olehnya.

Padahal sesungguhnya, dia sudah sangat ketakutan, keringat dingin sudah bercucuran membasahi punggungnya. 

Adris menyunggingkan senyum sinis, terlihat puas karena perempuan di depannya itu memang perempuan murahan tepat seperti apa dia pikirkan dan seperti apa yang selalu diceritakan ibunya.

“Berapa yang kamu inginkan untuk kamu angkat kaki dari sini?”

“Tiga kali lipat.” jawab Mala tanpa berpikir panjang.

Adris menaikkan sebelah alis matanya. Antara terkejut dengan keberanian Mala atau terkejut dengan ketidak tahumaluan Mala.

Bahkan Kelon yang sejak tadi diam tak bersuara pun sampai menaikkan kedua alis matanya.

Adris kembali berdiri dan mendekati Mala dengan langkahnya yang pelan-pelan seperti seekor singa yang mengintai mangsanya.

“Tiga kali lipat bukan jumlah yang sedikit, apa kau sadar itu?” Nada rendah dan dingin itu membuat sekujur tubuh Mala merinding.

Debaran jantungnya pun semakin ugal-ugalan begitu Adris berdiri hanya dengan jarak satu langkah kaki di hadapannya.

Mala tidak mampu menjawab.

Paru-parunya sibuk menarik oksigen untuk membuatnya tetap sadar dan tidak mati mendadak.

Aroma maskulin Adris yang terhidu cukup membuat Mala kehilangan konsentrasi, ditambah aura dingin yang membekukan itu membuat Mala sulit sekali untuk menatap balik sorot mata Adris yang berubah gelap.

“Untuk bayaran sebanyak itu, tidak gratis.” ujar Adris dengan nada rendah.

Mala berusaha membasahi tenggorokannya. “T-tapi saya gak punya apa-apa, Tuan.”

Adris menatap sinis Mala dari ujung rambut hingga ujung sepatu lusuhnya. “Kamu punya tubuhmu, bukan?”

Napas Mala tertahan sejenak.

Sorot mata penuh ketakutan terpancar jelas pada kedua matanya yang membulat.

“Tidak usah berpura-pura kaget.” sahut Adris. “Kamu juga sudah memberikan tubuhmu ke Kakek, rasanya tidak adil bukan jika aku yang membayarmu tiga kali lipat tidak mendapatkan apa yang Kakek dapatkan darimu.”

Mala refleks menggeleng.

Ia hendak melangkah untuk pergi, tapi lengan Adris yang panjang dan kekar itu langsung mengunci kedua sisi dinding dimana Mala tersudut. Sorot mata pria itu semakin gelap dan semakin membuat Mala ketakutan setengah mata.

“Kelon jaga di luar, jangan biarkan siapa pun masuk mengganggu.” titah Adris tanpa berpaling dari Mala. 

Asistennya itu hanya mengangguk dan mengabaikan sorot mata permintaan tolong dari Mala.

Kelon terus melangkah hingga dia menutup pintu kamar itu, meninggalkan Mala bersama predator yang yang siap memangsanya.

“T-Tuan…apa yang mau Tuan lakukan?”

Tanpa menjawab pertanyaan Mala, pria itu langsung menarik lengan Mala dengan sangat kasar dan melemparkan Mala ke atas ranjang.

Ia tidak peduli dengan ketakutan yang terpancar dari kedua mata Mala, ia melihat Mala dengan sorot gelapnya yang mengerikan.

Mala berusaha untuk kabur, tapi dengan cepat Adris menangkap pergelangan kaki Mala dan menariknya lalu menindih Mala, mengunci gadis itu hingga tidak bisa lari kemana-mana.

“Kenapa kamu ingin kabur? Apa karena kamu hanya mau dengan Kakekku saja?”

Mala menggeleng cepat.

Dia berusaha melepaskan diri namun usahanya sia-sia. Di atasnya Adris sudah mulai melepaskan satu per satu kancing dari seragam pelayan yang dikenakan Mala.

“Jangan Tuan…jangan…”

“Aku sudah membayarmu tiga kali lipat, maka aku juga berhak mendapatkan apa yang kamu berikan ke Kakek.”

Lalu dengan sekali sentakan, seluruh kancing seragam Mala lepas berhamburan.

Mala sudah menangis, memohon, berusaha untuk menutupi tubuhnya yang diekspos oleh Adris. Sekuat apa pun Mala memberontak, ia tetap tidak bisa mengalahkan tenaga Adris.

Sialnya, semua gerakan yang Mala lakukan di bawah Adris membuat sesuatu bangkit dari tubuh Adris, dan pria itu semakin menggila.

Mala dapat melihat bagaimana tatapan penuh kabut gelap itu menghilangkan rasa kemanusiaan pada diri Adris.

“Tuan…saya mohon…jangan lakukan ini…” Mala terus memohon, tapi Adris tidak peduli.

Bibir Mala malah dilahap dengan rakus dan teramat kasar.

Tubuh Mala dijamah dengan sentuhan yang menyakitkan.

Lebam yang ada pada tubuh Mala menjadi berkali-kali lipat nyerinya, hingga puncaknya ketika Adris mulai memasuki tubuh Mala dengan cara memaksa yang sangat brutal.

Berteriak pun rasanya percuma.

Lima belas menit yang penuh dengan siksaan yang menyakitkan, bukan hanya tubuh tapi juga jiwanya hancur. Dia kehilangan mahkota yang selama ini sudah dijaga dengan segenap jiwa. 

Adris melemparkan sebuah berkas dan selembar cek di atas ranjang, “Tandatangani surat cerai itu. Jangan pernah kamu muncul lagi di depan wajahku.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status