“Perlu bukti apa lagi untuk membuktikan kalau kamu memang serendah itu?”
Satu kalimat tanya yang tercetus dari bibir Adris sungguh menguliti hatinya, nyeri sekali dituduh seperti itu.
Jika bukan karena panti asuhan dan anak-anak panti, Mala lebih memilih hidup susah dengan penuh perjuangan yang berdarah dari pada menjalani pernikahan sandiwara yang hampir setiap harinya dia dirundung oleh sesama pelayan yang dengki kepadanya.
Belum lagi menghadapi Nyonya besar yang selalu memakinya dan menganggap Mala sebagai lintah yang menjijikan.
Ditambah suami yang membencinya dan selalu melihat Mala dengan sorot dingin dan acuh seolah Mala hanya sebuah patung tak bernilai apa-apa.
“Saya memang miskin dan yatim piatu, Tuan.” ujar Mala dengan suaranya yang mulai bergetar menahan tangis di ujung tenggorokannya. “Tapi saya masih punya harga diri.”
“Berapa? Aku bayar dua kali lipat dari harga yang diberikan Kakek untuk harga dirimu.” ucap Adris tanpa hati. Kedua tangannya masuk ke dalam saku dengan sikapnya yang arogan di depan Mala.
Setetes air mata pun akhirnya tak bisa dibendung oleh Mala dan jatuh membasahi pipi Mala yang tirus.
Mala mengangkat tangannya untuk mengusap air mata yang lolos itu. Tepat saat itu mata dingin Adris menangkap bayangan lebam biru pada lengan Mala yang bergerak cepat ketika mengusap air matanya.
Tapi tentu saja Adris tidak peduli, dia berpaling dan kembali duduk pada kursi kerjanya. Dia menyiapkan cek dan siap untuk menuliskan angka.
“Kalau begitu, Tuan Muda silahkan tanya ke Tuan Besar, berapa jumlah uang yang ada di kartu itu. Karena saya ga tau, saya ga pernah menggunakan kartu itu.”
Adris mengangkat wajahnya, menatap Mala dengan tatapan yang tak percaya. Apakah Adris terlalu buta untuk melihat bagaimana penampilan Mala?
Setelah berstatus sebagai istrinya dan mendapat kartu tanpa limit itu pun Mala masih menjadi pelayan rendahan di mansion itu. Tidak ada secuil pun niat Mala untuk menggunakan isi dari kartu yang diberikan Rasnad.
Ucapan Mala tentu sangat bertolak belakang dengan cerita yang sering disampaikan Sela kepada Adris.
Nyonya besar itu selalu melaporkan kepada Adris bahwa katanya Mala sering berfoya-foya, dan semenjak menikah dengan Adris, Mala menjadi besar kepala dan semena-mena pada pelayan lain.
Mala dianggap hanya berpura-pura terlihat menyedihkan di depan Adris untuk menarik rasa simpati Adris.
“Kamu pikir aku percaya dengan ucapanmu itu?” Adris menatap dingin. “Katakan berapa yang kamu mau?”
Mala menarik napas dalam-dalam, jika bukan demi panti dan anak-anak, Mala mungkin tidak akan sanggup bertahan.
Tapi kali ini sudah cukup dia menerima semua hinaan, fitnahan, pukulan untuk sesuatu yang tidak dia lakukan sama sekali.
Dari pertanyaan Adris itu, muncul sebuah ide gila dari kepala Mala, ia mencoba membasahi tenggorokannya yang kering.
Jantungnya berdebar sangat cepat sampai dia bisa merasakan benturannya di dada.
“Baik, kalau Tuan Muda ingin membayar saya lebih banyak dari Tuan Besar.” ucap Mala dengan nada yang sekuat tenaga dibuat tenang olehnya.
Padahal sesungguhnya, dia sudah sangat ketakutan, keringat dingin sudah bercucuran membasahi punggungnya.
Adris menyunggingkan senyum sinis, terlihat puas karena perempuan di depannya itu memang perempuan murahan tepat seperti apa dia pikirkan dan seperti apa yang selalu diceritakan ibunya.
“Berapa yang kamu inginkan untuk kamu angkat kaki dari sini?”
“Tiga kali lipat.” jawab Mala tanpa berpikir panjang.
Adris menaikkan sebelah alis matanya. Antara terkejut dengan keberanian Mala atau terkejut dengan ketidak tahumaluan Mala.
Bahkan Kelon yang sejak tadi diam tak bersuara pun sampai menaikkan kedua alis matanya.
Adris kembali berdiri dan mendekati Mala dengan langkahnya yang pelan-pelan seperti seekor singa yang mengintai mangsanya.
“Tiga kali lipat bukan jumlah yang sedikit, apa kau sadar itu?” Nada rendah dan dingin itu membuat sekujur tubuh Mala merinding.
Debaran jantungnya pun semakin ugal-ugalan begitu Adris berdiri hanya dengan jarak satu langkah kaki di hadapannya.
Mala tidak mampu menjawab.
Paru-parunya sibuk menarik oksigen untuk membuatnya tetap sadar dan tidak mati mendadak.
Aroma maskulin Adris yang terhidu cukup membuat Mala kehilangan konsentrasi, ditambah aura dingin yang membekukan itu membuat Mala sulit sekali untuk menatap balik sorot mata Adris yang berubah gelap.
“Untuk bayaran sebanyak itu, tidak gratis.” ujar Adris dengan nada rendah.
Mala berusaha membasahi tenggorokannya. “T-tapi saya gak punya apa-apa, Tuan.”
Adris menatap sinis Mala dari ujung rambut hingga ujung sepatu lusuhnya. “Kamu punya tubuhmu, bukan?”
Napas Mala tertahan sejenak.
Sorot mata penuh ketakutan terpancar jelas pada kedua matanya yang membulat.
“Tidak usah berpura-pura kaget.” sahut Adris. “Kamu juga sudah memberikan tubuhmu ke Kakek, rasanya tidak adil bukan jika aku yang membayarmu tiga kali lipat tidak mendapatkan apa yang Kakek dapatkan darimu.”
Mala refleks menggeleng.
Ia hendak melangkah untuk pergi, tapi lengan Adris yang panjang dan kekar itu langsung mengunci kedua sisi dinding dimana Mala tersudut. Sorot mata pria itu semakin gelap dan semakin membuat Mala ketakutan setengah mata.
“Kelon jaga di luar, jangan biarkan siapa pun masuk mengganggu.” titah Adris tanpa berpaling dari Mala.
Asistennya itu hanya mengangguk dan mengabaikan sorot mata permintaan tolong dari Mala.
Kelon terus melangkah hingga dia menutup pintu kamar itu, meninggalkan Mala bersama predator yang yang siap memangsanya.
“T-Tuan…apa yang mau Tuan lakukan?”
Tanpa menjawab pertanyaan Mala, pria itu langsung menarik lengan Mala dengan sangat kasar dan melemparkan Mala ke atas ranjang.
Ia tidak peduli dengan ketakutan yang terpancar dari kedua mata Mala, ia melihat Mala dengan sorot gelapnya yang mengerikan.
Mala berusaha untuk kabur, tapi dengan cepat Adris menangkap pergelangan kaki Mala dan menariknya lalu menindih Mala, mengunci gadis itu hingga tidak bisa lari kemana-mana.
“Kenapa kamu ingin kabur? Apa karena kamu hanya mau dengan Kakekku saja?”
Mala menggeleng cepat.
Dia berusaha melepaskan diri namun usahanya sia-sia. Di atasnya Adris sudah mulai melepaskan satu per satu kancing dari seragam pelayan yang dikenakan Mala.
“Jangan Tuan…jangan…”
“Aku sudah membayarmu tiga kali lipat, maka aku juga berhak mendapatkan apa yang kamu berikan ke Kakek.”
Lalu dengan sekali sentakan, seluruh kancing seragam Mala lepas berhamburan.
Mala sudah menangis, memohon, berusaha untuk menutupi tubuhnya yang diekspos oleh Adris. Sekuat apa pun Mala memberontak, ia tetap tidak bisa mengalahkan tenaga Adris.
Sialnya, semua gerakan yang Mala lakukan di bawah Adris membuat sesuatu bangkit dari tubuh Adris, dan pria itu semakin menggila.
Mala dapat melihat bagaimana tatapan penuh kabut gelap itu menghilangkan rasa kemanusiaan pada diri Adris.
“Tuan…saya mohon…jangan lakukan ini…” Mala terus memohon, tapi Adris tidak peduli.
Bibir Mala malah dilahap dengan rakus dan teramat kasar.
Tubuh Mala dijamah dengan sentuhan yang menyakitkan.
Lebam yang ada pada tubuh Mala menjadi berkali-kali lipat nyerinya, hingga puncaknya ketika Adris mulai memasuki tubuh Mala dengan cara memaksa yang sangat brutal.
Berteriak pun rasanya percuma.
Lima belas menit yang penuh dengan siksaan yang menyakitkan, bukan hanya tubuh tapi juga jiwanya hancur. Dia kehilangan mahkota yang selama ini sudah dijaga dengan segenap jiwa.
Adris melemparkan sebuah berkas dan selembar cek di atas ranjang, “Tandatangani surat cerai itu. Jangan pernah kamu muncul lagi di depan wajahku.”
Mala menandatangani berkas itu dengan tangannya yang gemetar, ia tak lagi peduli dengan ancaman yang baru pagi tadi diingatkan oleh Tuan Besar, ditangannya kini ada sejumlah uang yang akan digunakan untuk menyelamatkan panti asuhan dan anak-anak panti dari ancaman itu. Mala menyerahkan berkas yang sudah ditanda tanganinya kepada Adris. Kemudian, senyum sinis mengembang pada wajah pria itu. Matanya menatap jijik pada Mala setelah dia menyimpan berkas itu ke dalam laci meja kerjanya.Mala merapatkan bagian depan seragamnya yang tak lagi memiliki kancing untuk ditutup. Dia mengantongi selembar cek yang sudah diberikan ke dalam saku celananya.“Saya akan pergi malam ini, Tuan.” ucap Mala dengan suaranya yang lirih.“Bagus. Jangan pernah kembali lagi. Kamu membuatku muak.” Adris mengibaskan tangannya mengusir Mala seperti mengusir seekor kucing jalanan.Tanpa mengucapkan satu patah kata pun lagi, Mala meninggalkan kamar Adris dengan langkahnya yang tertatih-tatih, menahan semua rasa nyer
“Mengerti, Tuan.” jawab Mala. Ia sekilas melihat Adris menengokkan kepalanya pada Mala. Terserah apa yang ada di dalam pikiran pria itu, saat ini Mala harus terlihat patuh-patuh saja tanpa membantah. Dia tidak mungkin mengatakan tentang bayaran yang sudah diberikan Adris dan apa yang sudah dirinya tanda tangani kepada Rasnad, bukan? Jadi, jalan satu-satunya saat ini adalah menjawab apa yang ingin didengar oleh Tuan besar itu.Mala sangat tahu diri untuk tidak duduk di sana sampai makan malam selesai. Dia hanya duduk untuk menjawab permintaan Tuan Rasnad, setelahnya dia pamit untuk kembali bersama dengan para pelayan yang lainnya.Detik per detik dia tunggu dengan tidak sabar, gelisah menunggu hari semakin larut untuk menjalankan misinya yang sangat beresiko.Tiba-tiba saja rambutnya ditarik, siapa lagi jika bukan oleh salah seorang pelayan yang iri dan dengki pada Mala. Bukan tanpa alasan para pelayan itu tidak menyukai Mala. Pasalnya, Mala adalah pelayan yang baru saja bekerja
Adris tidak bisa tidur. Bahkan kantuk pun tidak kunjung datang sejak tadi, karena pikirannya selalu melayang ke adegan dia melempar Mala ke atas ranjangnya hari itu. Rasanya seperti ada sesuatu yang tertinggal di dalam dadanya, tapi ia tidak tahu apa. Tubuhnya selalu bereaksi aneh setiap kali sel-sel otaknya mengirimkan memori ketika tangannya menyentuh setiap permukaan tubuh Mala, dan parahnya dia menginginkannya lagi. Gila!Matanya kini dengan acuh melihat layar datar pada tablet yang ada di tangannya. Tampaknya, Mala dan Kelon berhasil melewati gerbang belakang tanpa hambatan, karena siluet mereka tidak lagi terpantau kamera CCTV.Adris lantas tanpa pikir panjang menghapus semua rekaman yang terjadi sejak Mala keluar dari kamar di area pelayan. Setelah memastikan semua beres, Adris beranjak menuju ranjang dan merebahkan dirinya ke atas kasur tempatnya mencumbu Mala hari itu. Anehnya aroma tubuh Mala masuk ke dalam indra penciumannya. Untuk sejenak, Adris memejamkan matanya,
Sial, Adris tidak bisa berpikir jernih saat ini. Dia mengusap wajahnya dengan gusar dan memutuskan untuk pergi ke kantor. Dia berusaha mengenyahkan segala perasaan aneh yang tiba-tiba datang menyerangnya setelah mendengar kalimat perintah Rasnad kepada tangan kanannya.Adris mendapati ibunya yang tengah mendebat Rasnad untuk tidak perlu mencari kemana perginya Mala tepat di depan ruang kerja Rasnad. Sela yang melihat kedatangan Adris langsung menahan lengan anak lelakinya itu untuk mendukungnya agar Rasnad tidak perlu membawa Mala kembali ke rumah ini.“Katakan pada Kakekmu, Ad, susah sekali bicara dengannya!” kata Sela setengah emosi. Sepertinya energi Nyonya sudah terkuras untuk mendebat Tuan Besar - Yang - Tidak - Bisa - Dibantah.“Sudah kukatakan, kehadiran perempuan itu dan Adris pada acara besok sangat penting untuk citra perusahaan.” ucap Rasnad tetap dengan pendirian yang menyebalkan.“Aku akan carikan perempuan lain untuk menggantikan pelayan rendahan itu!” balas Sela. “A
Satu minggu berlalu sudah sejak Mala membawa pergi semua anak-anak panti dan pengurus panti asuhan Kejora pindah ke sebuah desa. Rencana yang disusun dengan otaknya yang sederhana itu dibantu oleh Faji, pria dengan senyumnya yang menenangkan jiwa.“Makasi ya, Mas Faji, kalo Mala ga dibantu Mas Faji, mungkin Mala masih terjebak di dalam rumah itu dan anak-anak masih akan dijadikan ancaman.” ucap Mala. Sembari memberikan secangkir teh manis hangat pada Faji yang duduk pada kursi teras dari rumah yang dia bantu sewakan sebagai tempat baru panti asuhan Kejora.“Aku juga kan dulu besar di panti ini, Mal, jadi sudah selayaknya aku turun tangan membantu kalo ada orang yang mau mengusik masa depan anak-anak.”Mala mengangguk. “Iya, semoga anak-anak ini nanti juga bisa seberuntung Mas Faji, diadopsi sama keluarga yang sayang sama mereka dan kaya raya.”Faji terkekeh kemudian menyeruput tehnya.“Beruntung itu cuma soal sudut pandang aja, kok, Mal. Mereka yang belum diadopsi, bukan berarti ga
Mala menyunggingkan senyumannya menatap bangunan di depannya saat ini.Lima hari sudah Mala bekerja di perusahaan milik keluarga yang telah mengadopsi Faji bertahun-tahun yang lalu. Rasanya masih sulit dipercaya, dia akhirnya bekerja sebagai karyawan kantoran.Karena sejak keluar dari panti karena usianya yang sudah cukup untuk mandiri, Mala bekerja tak tentu. Mulai dari penjaga konter handphone, lalu pelayan di kafe kecil, sampai akhirnya dia mendapatkan informasi menjadi seorang pelayan dengan gaji yang besar.Ternyata cobaan dan siksaannya juga besar.“Pagi!” Faji yang juga baru sampai menyapa Mala yang masih berdiri di depan pintu lobi.“Pagi, Mas!” Senyum Mala merekah seperti bunga yang sedang musimnya. “Aku perhatikan, kamu selalu berdiri lama di depan lobi sambil senyum-senyum gitu.”“Iya, masih ga nyangka aja, aku jadi karyawan kantoran karena Mas Faji.”“Tapi kinerja kamu memang baik kok, atasan kamu ngasih laporan ke aku kalo kamu cepat sekali belajar. Pertahankan ya.”“S
Baru saja Mala merasakan kebebasannya yang nyata, kini dia harus kembali berhadapan dengan seseorang yang telah memberikannya mimpi buruk.Faji berjalan tepat bersisian dengan Mala ketika mereka keluar dari mobil dan mendekat pada dua pria yang tengah menunggu kedatangan mereka di teras panti asuhan. Mala dapat merasakan kepalan tangannya digenggam oleh Faji.“Jangan takut, ada aku.” ujar Faji.Mala dapat melihat kedua mata Adris memicing sinis ketika Mala membalas genggaman tangan Faji.“Baru satu minggu, kamu langsung bergandengan dengan pria lain?” Suara datar Adris bertanya kepada Mala, namun matanya menatap dingin pada Faji yang mengangkat dagunya di depan Adris.“Kenapa memangnya? Saya, kan, perempuan murahan.” Tantang Mala. Suaranya berani, namun genggaman tangannya pada Faji semakin kuat.Adris mendengus. Ia mencoba mengalihkan pandangannya dari tautan tangan Mala dan Faji yang saling menggenggam. Mala dapat melihat bagaimana rahang Adris yang mengeras.Tenang Mala, tenang.
“Apa dia berbuat sesuatu, Mal?” tanya Faji, di sebelah Faji ada ibu panti.Mala menggeleng sambil matanya tetap melihat penuh kebencian pada mobil yang baru saja keluar dari halaman panti. Mala tidak membenci sedan mewah itu, ia membenci orang-orang yang ada di dalam mobil itu.“Untuk apa dia datang mencarimu, Mal?” tanya ibu dengan kekhawatiran yang teramat sangat dapat dirasakan oleh Mala.“Apa dia datang untuk mengancammu lagi?” timpal Faji.Mala membuang napas kemudian memaksakan seulas senyuman terbit pada wajahnya, ditatapnya Faji dan Ibu Neni bergantian. Hatinya risau tapi tidak dia tunjukkan.“Sepertinya aku ga bisa tinggal di panti lagi, Bu.” ucap Mala alih-alih menjawab pertanyaan-pertanyaan Faji dan Ibu Neni.“Loh kenapa? Bersama di sini akan lebih aman untumu, Mal.” sahut ibu Neni.“Iya benar, dia ga akan macam-macam padamu kalo kamu ada di sini.”“Bukan dia yang aku khawatirkan, Mas, Bu.” ucap Mala. “Tapi kakeknya.” Mala bergerak untuk duduk pada kursi kayu, begitu menyad