“Tuan Muda memanggilmu.”
Suara berat dengan nadanya yang rendah tiba-tiba saja berbunyi di balik punggungnya. Mala terkejut dan menoleh dan melihat ada asisten pribadi Adris, Kelon, di sana.
Di bawah guyuran hujan yang sama, pria dengan ekspresi datar dan tatapan tanpa emosi itu kini berdiri di belakangnya dengan sebuah payung, tapi tidak memayungi Mala, tidak pula membawakan payung.
“Tuan Muda sudah kembali dari perjalanan dinas?” tanya Mala seraya mengusap wajahnya dari air hujan.
“Menurutmu?” Suara Kelon yang datar cukup menjawab pertanyaan retoris Mala.
Mala mengangguk. “Saya ganti pakaian dulu.”
“Lima menit.” kata Kelon sebelum pria itu memutar tubuhnya dan meninggalkan Mala.
Huh, memangnya apa yang Mala harapkan dari orang-orang yang ada di mansion besar ini? Selain cacian, makian dan kekerasan hingga lebam-lebam menghiasi tubuhnya, Mala tidak mampu berharap lebih.
Tepat lima menit kemudian, Mala sudah tiba di depan pintu kamar Adris, suaminya, yang juga merupakan tuan muda di keluarga itu.
Rambutnya yang panjang sebahu dan masih setengah basah dibiarkan tergerai karena dia tidak punya waktu yang cukup untuk mengeringkan rambut. Kaos basahnya sudah berganti dengan seragam pelayan.
Adris sudah menunggu Mala di dalam sana, duduk pada kursi kerjanya yang berada di sudut kamar tidur yang besar itu. Matanya dingin menatap Mala yang melangkah masuk ke dalam kamarnya.
“Tuan memanggil saya?” Mala bertanya dengan hati-hati.
“Berapa yang kamu minta dari kakekku hari ini?” Pertanyaan Adris langsung mengundang kerutan pada kening Mala.
“Maaf, Tuan?”
“Jangan berpura-pura polos.” ujar Adris dengan nada datarnya. “Kamu baru saja keluar dari ruang kerjanya kan?” Adris melemparkan tablet di atas meja kerja.
Pada layar benda pipih itu, terlihat rekaman dari CCTV dimana Mala yang masuk ke dalam ruangan Tuan Besar dengan membawa sebuah amplop coklat, dan keluar dari ruangan itu lima menit kemudian tanpa membawa apa-apa.
“Kamu pikir aku tidak tau kalau kamu dibayar oleh Kakekku untuk menggantikan posisi Patricia sebagai pengantinku? Dan kali ini kamu pasti meminta tambahan bayaran.” tuduh Adris.
“Dibayar?” Mala semakin bingung.
Karena yang otaknya ingat adalah saat itu dia dipaksa dan diancam hingga dirinya tidak mempunyai pilihan lain selain menerima paksaan Tuan Besar untuk menjadi pengantin pengganti..
“Kamu jangan berpura-pura bodoh.”
Adris berdiri, tubuhnya yang tinggi itu bergerak mendekati Mala dengan sorot matanya yang tajam mengintimidasi.
Mala secara insting melindungi diri, kakinya bergerak mundur selangkah demi selangkah hingga punggungnya menyentuh dinding yang dingin.
Adris memang tampan dan membuat perempuan mana pun bisa langsung jatuh hati hanya dari parasnya, tapi Mala justru sebaliknya, dia merasa takut pada suami kontraknya itu.
Tubuh Mala yang kecil bisa langsung remuk jika Adris melakukan tindakan kekerasan seperti yang dilakukan para pelayan yang ada di mansion itu.
“Kamu pasti tidak begitu saja menerima permintaan Kakek untuk menjadi pengantinku. Jawab!” Adris berdiri tiga langkah di depan Mala.
Atmosfer disekitarnya mendadak berat hingga rasanya sesak..
“Sa-saya memang menerima persyaratan itu, tapi bu-bukan karena saya dibayar.”
“Oh ya?” Tatapan dingin itu pun berubah jadi tatapan dengan sorot yang penuh dengan kebencian.
“Lantas, apa karena kamu mempunyai hubungan dengan Kakekku?”
“Apa?!” Kedua mata Mala sampai membelalak tak percaya.
“Apa aku salah? Kamu menolak menandatangani surat cerai yang kuberikan, karena jika kita bercerai, maka kamu tidak lagi bisa menutupi hubungan terlarangmu dengan Kakekku. Dan kamu tidak akan bisa memeras kakekku lagi.” Tatapan mencela dilemparkannya kepada Mala.
Mala menggigit bibir bagian dalamnya, menahan sekuat tenaga segala emosi yang berkecamuk dalam dadanya.
Dihina dan dicaci sebagai yatim piatu yang hidup miskin bisa dia terima. Tapi dituduh sebagai perempuan yang tidak mempunyai harga diri, itu sudah sangat keterlaluan!
“Apakah karena saya seorang pelayan dan seorang yatim piatu jadi Tuan Muda menilai saya serendah itu?” Nada terluka begitu terasa dalam setiap kata yang terucap.
Tapi sepertinya hati Adris terlalu beku untuk menarik kembali tuduhannya.
Alih-alih menyesali tuduhannya, Adris malah semakin menusuk Mala dengan tatapannya yang seruncing anak panah yang panas.
“Kamu menerima kartu dari Kakek dengan limitnya yang tidak terbatas. Kamu pikir aku tidak tahu?” Nada tuduhan itu semakin membuat dada Mala sesak dan sakit luar biasa.
Mala mengatupkan bibirnya. Mala tentu ingat, satu hari setelah resepsi, selain melemparkan surat kontrak yang berisi aturan dan ancaman untuk Mala patuhi selama menjalani perannya sebagai istri kontrak untuk cucu Tuan Besar, dia juga diberikan black card dengan limitnya yang tak terbatas sebagai fasilitas menjalani perannya untuk meyakinkan media.
Kartu yang sampai detik ini tidak pernah Mala gunakan.
“Perlu bukti apa lagi untuk membuktikan kalau kamu memang serendah itu?”
“Perlu bukti apa lagi untuk membuktikan kalau kamu memang serendah itu?” Satu kalimat tanya yang tercetus dari bibir Adris sungguh menguliti hatinya, nyeri sekali dituduh seperti itu. Jika bukan karena panti asuhan dan anak-anak panti, Mala lebih memilih hidup susah dengan penuh perjuangan yang berdarah dari pada menjalani pernikahan sandiwara yang hampir setiap harinya dia dirundung oleh sesama pelayan yang dengki kepadanya. Belum lagi menghadapi Nyonya besar yang selalu memakinya dan menganggap Mala sebagai lintah yang menjijikan. Ditambah suami yang membencinya dan selalu melihat Mala dengan sorot dingin dan acuh seolah Mala hanya sebuah patung tak bernilai apa-apa.“Saya memang miskin dan yatim piatu, Tuan.” ujar Mala dengan suaranya yang mulai bergetar menahan tangis di ujung tenggorokannya. “Tapi saya masih punya harga diri.”“Berapa? Aku bayar dua kali lipat dari harga yang diberikan Kakek untuk harga dirimu.” ucap Adris tanpa hati. Kedua tangannya masuk ke dalam saku denga
Mala menandatangani berkas itu dengan tangannya yang gemetar, ia tak lagi peduli dengan ancaman yang baru pagi tadi diingatkan oleh Tuan Besar, ditangannya kini ada sejumlah uang yang akan digunakan untuk menyelamatkan panti asuhan dan anak-anak panti dari ancaman itu. Mala menyerahkan berkas yang sudah ditanda tanganinya kepada Adris. Kemudian, senyum sinis mengembang pada wajah pria itu. Matanya menatap jijik pada Mala setelah dia menyimpan berkas itu ke dalam laci meja kerjanya.Mala merapatkan bagian depan seragamnya yang tak lagi memiliki kancing untuk ditutup. Dia mengantongi selembar cek yang sudah diberikan ke dalam saku celananya.“Saya akan pergi malam ini, Tuan.” ucap Mala dengan suaranya yang lirih.“Bagus. Jangan pernah kembali lagi. Kamu membuatku muak.” Adris mengibaskan tangannya mengusir Mala seperti mengusir seekor kucing jalanan.Tanpa mengucapkan satu patah kata pun lagi, Mala meninggalkan kamar Adris dengan langkahnya yang tertatih-tatih, menahan semua rasa nyer
“Mengerti, Tuan.” jawab Mala. Ia sekilas melihat Adris menengokkan kepalanya pada Mala. Terserah apa yang ada di dalam pikiran pria itu, saat ini Mala harus terlihat patuh-patuh saja tanpa membantah. Dia tidak mungkin mengatakan tentang bayaran yang sudah diberikan Adris dan apa yang sudah dirinya tanda tangani kepada Rasnad, bukan? Jadi, jalan satu-satunya saat ini adalah menjawab apa yang ingin didengar oleh Tuan besar itu.Mala sangat tahu diri untuk tidak duduk di sana sampai makan malam selesai. Dia hanya duduk untuk menjawab permintaan Tuan Rasnad, setelahnya dia pamit untuk kembali bersama dengan para pelayan yang lainnya.Detik per detik dia tunggu dengan tidak sabar, gelisah menunggu hari semakin larut untuk menjalankan misinya yang sangat beresiko.Tiba-tiba saja rambutnya ditarik, siapa lagi jika bukan oleh salah seorang pelayan yang iri dan dengki pada Mala. Bukan tanpa alasan para pelayan itu tidak menyukai Mala. Pasalnya, Mala adalah pelayan yang baru saja bekerja
Adris tidak bisa tidur. Bahkan kantuk pun tidak kunjung datang sejak tadi, karena pikirannya selalu melayang ke adegan dia melempar Mala ke atas ranjangnya hari itu. Rasanya seperti ada sesuatu yang tertinggal di dalam dadanya, tapi ia tidak tahu apa. Tubuhnya selalu bereaksi aneh setiap kali sel-sel otaknya mengirimkan memori ketika tangannya menyentuh setiap permukaan tubuh Mala, dan parahnya dia menginginkannya lagi. Gila!Matanya kini dengan acuh melihat layar datar pada tablet yang ada di tangannya. Tampaknya, Mala dan Kelon berhasil melewati gerbang belakang tanpa hambatan, karena siluet mereka tidak lagi terpantau kamera CCTV.Adris lantas tanpa pikir panjang menghapus semua rekaman yang terjadi sejak Mala keluar dari kamar di area pelayan. Setelah memastikan semua beres, Adris beranjak menuju ranjang dan merebahkan dirinya ke atas kasur tempatnya mencumbu Mala hari itu. Anehnya aroma tubuh Mala masuk ke dalam indra penciumannya. Untuk sejenak, Adris memejamkan matanya,
Sial, Adris tidak bisa berpikir jernih saat ini. Dia mengusap wajahnya dengan gusar dan memutuskan untuk pergi ke kantor. Dia berusaha mengenyahkan segala perasaan aneh yang tiba-tiba datang menyerangnya setelah mendengar kalimat perintah Rasnad kepada tangan kanannya.Adris mendapati ibunya yang tengah mendebat Rasnad untuk tidak perlu mencari kemana perginya Mala tepat di depan ruang kerja Rasnad. Sela yang melihat kedatangan Adris langsung menahan lengan anak lelakinya itu untuk mendukungnya agar Rasnad tidak perlu membawa Mala kembali ke rumah ini.“Katakan pada Kakekmu, Ad, susah sekali bicara dengannya!” kata Sela setengah emosi. Sepertinya energi Nyonya sudah terkuras untuk mendebat Tuan Besar - Yang - Tidak - Bisa - Dibantah.“Sudah kukatakan, kehadiran perempuan itu dan Adris pada acara besok sangat penting untuk citra perusahaan.” ucap Rasnad tetap dengan pendirian yang menyebalkan.“Aku akan carikan perempuan lain untuk menggantikan pelayan rendahan itu!” balas Sela. “A
Satu minggu berlalu sudah sejak Mala membawa pergi semua anak-anak panti dan pengurus panti asuhan Kejora pindah ke sebuah desa. Rencana yang disusun dengan otaknya yang sederhana itu dibantu oleh Faji, pria dengan senyumnya yang menenangkan jiwa.“Makasi ya, Mas Faji, kalo Mala ga dibantu Mas Faji, mungkin Mala masih terjebak di dalam rumah itu dan anak-anak masih akan dijadikan ancaman.” ucap Mala. Sembari memberikan secangkir teh manis hangat pada Faji yang duduk pada kursi teras dari rumah yang dia bantu sewakan sebagai tempat baru panti asuhan Kejora.“Aku juga kan dulu besar di panti ini, Mal, jadi sudah selayaknya aku turun tangan membantu kalo ada orang yang mau mengusik masa depan anak-anak.”Mala mengangguk. “Iya, semoga anak-anak ini nanti juga bisa seberuntung Mas Faji, diadopsi sama keluarga yang sayang sama mereka dan kaya raya.”Faji terkekeh kemudian menyeruput tehnya.“Beruntung itu cuma soal sudut pandang aja, kok, Mal. Mereka yang belum diadopsi, bukan berarti ga
Mala menyunggingkan senyumannya menatap bangunan di depannya saat ini.Lima hari sudah Mala bekerja di perusahaan milik keluarga yang telah mengadopsi Faji bertahun-tahun yang lalu. Rasanya masih sulit dipercaya, dia akhirnya bekerja sebagai karyawan kantoran.Karena sejak keluar dari panti karena usianya yang sudah cukup untuk mandiri, Mala bekerja tak tentu. Mulai dari penjaga konter handphone, lalu pelayan di kafe kecil, sampai akhirnya dia mendapatkan informasi menjadi seorang pelayan dengan gaji yang besar.Ternyata cobaan dan siksaannya juga besar.“Pagi!” Faji yang juga baru sampai menyapa Mala yang masih berdiri di depan pintu lobi.“Pagi, Mas!” Senyum Mala merekah seperti bunga yang sedang musimnya. “Aku perhatikan, kamu selalu berdiri lama di depan lobi sambil senyum-senyum gitu.”“Iya, masih ga nyangka aja, aku jadi karyawan kantoran karena Mas Faji.”“Tapi kinerja kamu memang baik kok, atasan kamu ngasih laporan ke aku kalo kamu cepat sekali belajar. Pertahankan ya.”“S
Baru saja Mala merasakan kebebasannya yang nyata, kini dia harus kembali berhadapan dengan seseorang yang telah memberikannya mimpi buruk.Faji berjalan tepat bersisian dengan Mala ketika mereka keluar dari mobil dan mendekat pada dua pria yang tengah menunggu kedatangan mereka di teras panti asuhan. Mala dapat merasakan kepalan tangannya digenggam oleh Faji.“Jangan takut, ada aku.” ujar Faji.Mala dapat melihat kedua mata Adris memicing sinis ketika Mala membalas genggaman tangan Faji.“Baru satu minggu, kamu langsung bergandengan dengan pria lain?” Suara datar Adris bertanya kepada Mala, namun matanya menatap dingin pada Faji yang mengangkat dagunya di depan Adris.“Kenapa memangnya? Saya, kan, perempuan murahan.” Tantang Mala. Suaranya berani, namun genggaman tangannya pada Faji semakin kuat.Adris mendengus. Ia mencoba mengalihkan pandangannya dari tautan tangan Mala dan Faji yang saling menggenggam. Mala dapat melihat bagaimana rahang Adris yang mengeras.Tenang Mala, tenang.
Tiga hari berlalu, Mala benar-benar ditemani oleh Sumi, dia tidak memungkiri, keberadaan Sumi cukup membantu masa pemulihannya setelah kejadian perundungan yang mengharuskannya untuk bedrest. Tapi, Mala cukup bosan hanya berdiam diri di rumah, apalagi dia merasa dirinya sudah pulih.Alhasil pagi ini dia berhasil pergi ke kantor dengan ojek online sebelum kedatangan Sumi. Karena kalau Sumi sudah datang, dia pasti akan menghalangi Mala atas perintah Adris.“Lho Mala?” Mala menengok begitu dia baru saja memasuki lobi, dimana Nia ada di sana. “Kok lo udah masuk aja? Bukannya masih harus bedrest?”“Aku udah pulih, kok.”“Yakin? Tapi muka lo masih kelihatan pucat gitu.”“Oh aku belum sempat pakai lip cream aja jadi kelihatan pucat.”Nia terlihat tidak percaya dan khawatir melihat Mala ada di sana. Bukan hanya mengkhawatirkan kesehatan Mala setelah kejadian itu, tapi juga karena ada…“Mala?” Suara dingin milik pria yang sejak pagi ini sudah membuat heboh kantor dengan kehadirannya yang sanga
Setelah Ayu pergi untuk bekerja pagi ini, Mala kembali ke kamar. Lagi-lagi pikirannya penuh dengan berbagai macam hal. Tentang Aning dan kroninya yang sudah merundungnya. Tentang kehamilannya. Tentang pernikahannya. Tentang Adris. Dan tentang perasaannya.Hal terakhir lah yang membuat isi kepalanya terasa begitu mumet. Ia begitu tidak mengerti dengan apa yang dia rasakan saat ini. Ada rasa yang baru dan asing yang menyelinap masuk. Perasaan yang membuatnya merasakan rindu pada seseorang yang seharusnya dia benci seumur hidupnya. Ada perasaan tidak terima jika dia harus hamil disaat dirinya baru saja ingin memulai karir yang selama ini dia impikan sebagai anak yatim piatu. Tapi juga ada perasaan sayang pada janin yang ada di dalam rahimnya kini.Lamunan Mala pun harus berakhir ketika ia mendengar suara ketukan pintu.“Selamat pagi, Nyonya muda.” Sapa seorang wanita yang terlihat rapi dengan senyum ramah khas seorang ibu-ibu yang mungkin berusia sama dengan ibu panti.Mala mengerutkan k
Ketika Adris sudah melepaskan ikatan dasinya di dalam mobil seraya membuang napas kasar dan memejamkan matanya, Kelon tahu Tuannya sedang tidak baik-baik saja. Sampai kedua matanya kembali terbuka dan menyorot Kelon melalui kaca spion tengah.“Apa ada yang bisa saya lakukan, Tuan?” tanya Kelon tanpa harus dipanggil.“Apa kamu pernah berurusan dengan wanita hamil sebelumnya?”Pertanyaan Adris tentu saja membuat kening Kelon mengerut samar.“Maaf Tuan?”Lagi, Adris menghela napas.“Apa wanita hamil memang begitu? Tidak jelas maunya apa.” Nada Adris antara gemas, sebal tapi juga khawatir.Ini adalah hal baru untuk Kelon dengar selama dia menjabat sebagai asisten Adris. Pria itu biasanya selalu terlihat dingin, tenang, bisa menyembunyikan keresahannya. Tapi kali ini, Adris mematahkan semua imej karakternya.“Apa Tuan mau saya cari tahu tentang bagaimana karakter wanita hamil secara umum?” tanya Kelon. Meski pun dia sendiri juga tidak yakin akan bisa menyimpulkan hasil risetnya tentang wan
“Aku akan bertanggung jawab atas anak ini.” Adris mengulangi dengan penuh kepastian. Tapi tidak dengan ekspresi pada wajah Mala.“Tuan akan bertanggung jawab atas anak ini?” Nada penuh keraguan dan tidak percaya terdengar jelas di udara.“Iya. Kenapa kamu terdengar tidak percaya?”“Tentu saja.” sahut Mala. “Atas dasar apa Tuan mau bertanggung jawab? Kenapa? Apa yang Tuan rencanakan lagi? Apa selamanya saya akan terus hidup bersama Tuan?”Pertanyaan-pertanyaan itu membuat kening Adris berkerut. “Apa aku terlihat sepicik itu di matamu?”Mala tidak menjawab, hanya menatap Adris dengan tatapan tidak rela.“Memangnya kenapa kalau kamu hidup bersamaku? Memangnya kamu tidak mau aku bertanggung jawab? Memangnya ada pria lain yang mau bertanggung jawab atas anak itu? Kalau ada, siapa orangnya? Faji?”“Ini ga ada hubungannya sama Mas Faji. Hanya saja, saya ga mencintai Tuan. Bagaimana mungkin saya harus hidup selamanya berdampingan dengan orang yang ga saya cintai. Begitu pun dengan Tuan.”“Mem
“Jawab!” Atmosfer di dalam rumah kontrakan Mala berubah menjadi tegang. Meski pun Adris terlihat pucat, namun aura dingin dan ketegasan dalam suaranya tidak hilang, bahkan Mala masih bisa merasakan betapa tajam tatapan mata pria itu.Dalam keadaan yang tegang dan penuh dengan tekanan seperti itu, Mala malah ingin menghambur ke dalam dekapan pria itu, dan menangis di sana, menumpahkan isi hatinya, dan melepaskan rasa takutnya.Padahal, rasa takut itu justru disebabkan oleh pria yang kini masih menunggu jawaban Mala.“Kalau kamu masih tidak menjawab, aku akan membawamu ke rumah sakit sekarang!”“Tunggu dulu!” Ayu melepaskan diri dari Kelon dan langsung berdiri di antara Mala dan Adris, melepaskan tangan pria itu dari lengan Mala. “Bapak ga bisa seenaknya begitu, dong!”“Minggir, jangan ikut campur!” ujar Adris dengan nada suaranya yang rendah.“Maaf, Pak, bukannya saya mau ikut campur atau apa, tapi, kondisi Mala memang ga boleh kemana-mana.Itu ga baik untuk jan…eh, kesehatan Mala!” Hu
Mala mendengar suara-suara, awalnya terdengar hanya samar-samar, namun semakin lama semakin jelas. Suara seperti orang-orang yang berbicara, suara mesin, benda. Kemudian dia menggerakkan kelopak matanya, perlahan cahaya dari lampu pada langit-langit ruangan yang dia tempati membuat matanya memicing setelah dia membukanya. Dia butuh beberapa saat untuk beradaptasi.“Kamu sudah sadar?” Suara Faji masuk ke dalam gendang telinganya. Mala mengerjap, melihat Faji berdiri di samping tempatnya berbaring.“Mas Faji? Ini dimana?”“Rumah sakit.” jawab Faji singkat. Ada yang aneh dalam jawaban yang diberikan Faji. Namun bukan jawabannya yang aneh, melainkan cara Faji melihat dan menjawab Mala.Ia terkesan begitu dingin.“Kenapa aku ada di rumah sakit?”“Kamu pingsan di dalam kamar mandi, untungnya ada orang yang menemukanmu.”“Oh…itu…” Mala terlihat menghindari tatapan Faji.“Sudah pernah kukatakan, kalau ada yang melakukan sesuatu padamu di kantor, katakan padaku.”“Aku hanya ga mau memperpanja
Dua hari berlalu semenjak malam itu.Rasanya tiba-tiba menjadi sangat canggung menatap mata Faji, karena kini Mala tahu Faji menatapnya dengan pandangan yang memiliki harapan lebih. Sementara, Mala tidak mampu mengisi harapan itu.Air dingin dari kran wastafel mengalir membasahi tangannya, sementara tatapannya kosong menatap pantulan dirinya pada cermin. “Wah, lihat nih ada karyawan kesayangan direktur.” Suara Aning muncul bersama dengan tiga dayang-dayangnya.Mala segera menyudahi waktu melamunnya, suasana tenang di dalam toilet pun sudah mulai tidak lagi nyaman untuk menyendiri.“Eh, mau kemana, buru-buru amat.” Erni menghalangi jalan Mala untuk menuju pintu. Sementara Winda dengan inisiatif langsung mengunci pintu dan mencabut kuncinya.Mala merasakan de javu. “Kalian mau apa?” tanya Mala, dengan sikapnya yang tenang.“Ga usah sok nantangin deh!” Aning tiba-tiba mendorong bahu Mala.“Aku ga nantangin. Aku cuma tanya, kalian mau apa?” kata Mala masih dengan sikapnya yang tenang.“
Mala berdiri, mengurungkan niatnya untuk ambil piring, dia melepaskan cekalan tangan Adris dari lengannya.“Mas Faji? Kenapa berdiri di sana?” Pertanyaan Mala sungguh membuat Adris ingin tertawa. Tentu saja, pria itu berdiri di sana karena melihat ada Adris.“Biarkan saja dia di sana.” ujar Adris. “Untuk apa dia mendatangi rumah istri orang malam-malam begini.”Mala mendelik pada Adris. “Siapa istri orang?”“Kamu lupa statusmu?”“Kalau begitu, sejak kapan status saya istri sungguhan? Tuan lupa, Tuan sendiri yang ga mau melihat saya lagi, kan?”Adris bangkit berdiri dibantu oleh Kelon. “Kenapa kamu terdengar jengkel, apa kamu kesal karena aku tidak mau bertemu denganmu?”“Saya memang jengkel, tapi bukan karena itu. Saya jengkel karena hidup saya yang udah tenang dan damai selama dua minggu ini harus diganggu lagi sekarang!” tantang Mala.“Jadi menurutmu, aku mengganggumu?” Nada dingin terlontar.“Iya! Jadi, kalo Tuan sudah kenyang, silahkan pergi. Dan kalau memang sakit, pergi ke rumah
Bab 26.Mala menggigit sempol ayam yang dia beli di pinggir jalan begitu turun dari angkutan umum. Padahal, dalam kantong kresek yang dibawanya, masih ada tahu bulat, batagor dan tahu jeletoy.Tapi kini, tangannya yang lain, ada sebungkus sempol ayam yang masih panas.Sambil bersenandung dia menelusuri jalanan yang agak menanjak menuju kontrakannya, sembari menikmati pemandangan alam yang tersaji di depan mata.“Tuan?” Langkahnya sempat berhenti begitu melihat mobil sedan terparkir di depan rumahnya. Tak hanya mobil yang Mala lihat, tapi juga dua pria yang sedang duduk di lantai terasnya. Yang satu terlihat pucat dan lemas, yang satu lagi terlihat sedang memijat pundak pria yang lemas.“Apa yang kalian lakukan?” Mala bertanya dengan nada bingung.Kelon yang terlihat lebih sehat pun berdiri, sementara Adris bersandar pada dinding pemisah antara rumah yang satu dengan rumah yang lainnya.“Tuan Muda sakit.” kata Kelon.“Ya terus? Kalo sakit kenapa dibawa ke rumah saya?” Mala melirik Adr