Dewa duduk di pelataran gedung apartemen yang baru saja dia singgahi itu dengan lesu. Sekarang tujunya adalah antara rumah mertua ataukah rumah kedua orang tuanya.
Setelah berpikir beberapa saat, Dewa putuskan pergi ke rumah mertuanya terlebih dulu. Apapun hasil bertemu kedua orang tua Deasy itu, harapan Dewa adalah menuntaskan semua malam ini juga dengan pembicaraan secara baik-baik. Dua koper berukuran besar di letakkan Dewa di teras rumah berlantai 2 dan terletak di salah satu kawasan elit di Jakarta Selatan dengan gamang. Keadaan rumah sepi, selama 6 bulan dia tinggalkan kamar pengantinnya dan terbang menuju ke New York tanpa pernah merasakan jadi penghuni rumah seutuhnya. "Bapak sama Ibu sudah nunggu di ruang tengah, Mas." Dewa keluar dari lamunan sesaatnya saat seorang asisten rumah tangga membuka pintu utama dan memberitahukan soal sambutan sang tuan rumah. "Oke, Mbak." Dewa tinggalkan dua kopernya di teras, sedangkan tas ranselnya di kursi ruang tamu. Ruang tengah yang di maksud berada di sebelahnya. "Selamat malam, Pa ... Ma," sapa Dewa dengan sedikit membungkuk untuk tunjukkan rasa hormat. Bukan sambutan hangat yang Dewa terima, tapi berupa picingan mata di sertai bentakan keras. "Jangan karena kamu dari luar negeri, terus jadi naik kelas manggil kami papa sama mama ya. Pake kayak biasanya aja, bapak sama ibu!" Permintaan ketus dari Rara ini membuat Dewa menunduk. "Baik Bu." Dewa duduk di salah satu single sofa, berusaha berikan senyuman meski dalam hati kembali terluka. "Ehm ... saya ..." "To the point aja ngomongnya. Nggak usah belibet gitu!" sela Rara lagi dengan ketus. Melihat tingkah keras istrinya ini, tetap membuat sang suami, Billy, tak bergeming sama sekali, justru terlihat memang ada sebuah pembiaran. Jakung Dewa naik turun menelan kepahitan. "Maaf. Kedatangan saya ini untuk mencari penegasan. Tadi ... Deasy bilang akan mengajukan surat cerai dan akhiri pernikahan kami, karena itu saya ingin bicara baik-baik sama bapak ibu," ungkap Dewa dengan kegetiran. "Bukannya akan, tapi memang sudah di urus. Pengacara keluarga kami nanti yang jadi perwakilan kami dan Deasy. Rencananya akan segera di daftarkan setelah kamu datang. Maaf nggak beritahu kamu sebelumnya, tapi ini sudah keputusan final kami. Selamat bertemu di pengadilan." Kali ini Billy yang ambil alih jawaban, sekaligus berniat mengakhiri pembicaraan dengan bangkit dari duduk berniat meninggalkan ruangan. "Tapi, Pak," cegah Dewa ikut berdiri. "Apa alasannya? Apa salah saya? Selama saya tinggal magang, Deasy dapatkan nafkah materi , dan saya juga mencintainya, jadi ..." "Nafkah materi katamu?!" sela Rara untuk kesekian kalinya. "Uang 5 juta sebulan buat Deasy itu cuma cukup buat beli lipstick sama tusuk gigi!" lanjutnya meninggi. "Papanya kalau kasih uang jajan dia sebulan itu lebih dari 5 juta, masa kamu mampunya cuma bisa kasih segitu saja? Sadar diri dong. Deasy itu siapa, lha kamu juga siapa. Jangan mimpi hei anak miskin. Cuci muka dulu sana!" Dewa menghela napas panjang setelah mendapatkan makian Rara yang sungguh menusuk hati, tapi Dewa hanya bisa bersabar, karena secara realita apa yang di katakan Rara tersebut memanglah benar adanya. "Saya berjanji akan berusaha lebih keras lagi. Karier saya baru mulai, dan mendiang ..." "Jangan bawa-bawa Ayahku!" Selaan kali ini berasal dari Billy Tanu. "Ayahku sudah merasa hidupnya nggak akan lama lagi, jadi beliau lakukan itu semua cuma karena kasihan dan nggak mau punya utang jasa sama bapakmu. Sekarang kamu sudah ngerti, jadi jangan sok ke-PD an sama semua kebaikan kami," jelas Billy Tanu. "Sudah malam. Ambil barang-barangmu di kamar Deasy, lalu cepat pergi dari rumah ini!" perintah Billy Tanu sambil menaikkan tangan dengan jari telunjuk tertuju pada pintu penghubung ruangan sebagai penegasan akan sebuah pengusiran. Sebelum akhirnya mengikuti Billy Tanu, Rara sempatkan berbicara akan sesuatu yang baru di ingatnya. "Oh ya. Asal kamu tahu, barang-barangmu yang di kamar Deasy itu sudah ku suruh pembantu buang. Kok kesannya cuma barang rongsokan, Deasy juga jadi lama nggak mau tidur di kamarnya sendiri, malah milih tinggal di apartemen, jadi cepat keluar aja. Nggak ada yang tersisa di rumah ini buat kamu, bahkan kehormatanmu sebagai suami aja sudah nggak ada!" Kedua tangan Dewa mengepal, urat-urat di rahangnya juga menegang. Sebagai seorang laki-laki, tentu semua hinaan ini adalah hantaman keras di dada yang untuk saat ini sudah di niatkan Dewa untuk di pendam dan di tutupi dari kedua orang tua angkatnya bernama Surti dan Tejo Rungkad. "Bapakk ... anakmu datang, Pak!" teriakan kegirangan dari Surti tanpa menoleh meski tujuan orang yang di ajak bicara berada di belakangnya. Surti terlihat seperti takjub akan kedatangan Dewa yang datang tiba-tiba tanpa pemberitahuan. "Ibu." Dewa tak kalah bahagianya. Suasana penyambutan sangat bertolak belakang dengan apa yang sudah dia alami tak sampai satu jam lalu. "Aku kangen." Dewa membalas pelukan hangat dari ibunya, berharap bisa melepaskan kekecewaan di hatinya. Tejo kemudian menyeruak maju menuntut pelukan dari Dewa bergantian dengan istrinya. "Gimana kabarmu, Nak? Kamu bilangnya pulang minggu depan, tapi ini kok sudah sampe, ada apa? Apa ada hal buruk?" kekhawatiran Tejo setelah melepaskan pelukan. "Pengen kasih kejutan saja." Jawaban ini tak buat Tejo senang, menyadari telah ada gurat kesedihan yang di tunjukkan putranya itu. "Apa ... ini soal surat perceraianmu itu?" tanyanya kemudian. "Lho Bapak sudah tahu? Kenapa nggak kasih tahu aku?" tuntut Dewa yang sempat kaget, ternyata ayahnya ini sudah lebih tahu lebih dulu. "Kami baru di kasih tahu sama Mbak Rina tadi sore pas dia pulang dari rumahnya Deasy, sempetin mampir ke warung dan cerita soal itu." "Lho, Mbak Rina juga sudah tahu? Dia di kasih tahu siapa? Deasy atau Bu Rara?" tanya balasan Dewa menebak tentang wanita yang bekerja sebagai salah satu asisten rumah tangga di rumah keluarga Tanu tersebut. "Nggak. Bukan begitu. Mbak Rina di minta bapak sama ibunya Deasy buat kasih tahu kami soal itu, dan kami kira kamu sudah tahu. Baru aja mau niat hubungi kamu, lha kok kamunya sudah pulang duluan." Tejo Rungkad lalu memeluk salah satu pundak Dewa seraya mengusap-ngusapnya. "Kamu capek, Nak?" tanya Tejo di luar dugaan Dewa yang mengira ayahnya akan memulai bahasan soal perceraiannya. "Kalau sudah ngantuk, habis makan terus tidur sana, besok saja kita ngobrolnya." "Iya, aku capek," persetujuan Dewa dimana bukan hanya capek secara fisik, tapi juga batinnya. Namun baru saja akan masuk ke dalam kamar, terdengar suara mesin mobil di luar. Dewa dan Tejo bersamaan menuju ke depan lagi untuk melihat siapa yang datang. "Bapak ada janji sama orang?" sangka Dewa, berpikir ada orang yang sudah ada niatan pesan gorengan untuk suatu hajatan seperti biasanya. "Nggak. Lagian, mana mungkin ada orang mau pesen gorengan tapi pakai mobil mewah begitu. Malam-malam begini, lagi." Kerutan di dahi Dewa semakin jelas ketika dia menyetujui ucapan Ayahnya, di tambah saat seseorang turun dari mobil tersebut dengan tampilan tak kalah mewahnya. Seorang wanita muda keluar setelah pintu di buka sang sopir. Dewa terperangah akan kecantikannya, terlebih setelah senyuman mengembang milik sang gadis itu tertuju ke arahnya. "Selamat malam. Pak Tejo ... Dewa ... Apa kabar? Rumah ini dari dulu nggak berubah ya." Kedipan beberapa kali Dewa lakukan, sebagai aksi berpikirnya secara cepat setelah mendengarkan pernyataan dari wanita cantik yang kini menyodorkan tangannya. "Masih ingat sama aku, kan? Masa sudah lupa, sih? Bagaimana kabarmu sekarang?" "Ki Ki Kirana?"Kirana Larasati.Satu nama yang sontak buat Dewa menganga tak percaya, bahkan masalahnya dengan Deasy jadi berangsur sirna untuk sesaat."Iya, ini aku Kirana. Teman SMA dulu. Aku ini yang dulu suka ngerecokin, nyusahin kamu." Untuk lebih meyakinkan Dewa, Kirana terpaksa ungkapkan istilah yang hanya mereka berdua ketahui. "Kamu adalah suami cadanganku. Ingat, kan?"Tejo ikut terperanjat, sampai kemudian lari memberitahukan Surti agar sekalian menyiapkan minuman untuk wanita yang sudah sejak dulu memang sudah dekat dengan mereka.Kirana adalah putri dari salah seorang jenderal polisi, sekaligus politikus ternama yang memiliki beberapa bisnis besar. Sebagai putri satu-satunya, Kirana selalu mendapatkan privelege terbaik dari Ayahnya, tapi tak membuat Kirana tumbuh jadi gadis sombong, tapi justru baik hati dan penuh empati."Tidak usah, Pak. Saya nggak bisa lama-lama. Tadi cuma pengen mampir buat mastiin saja kalau Dewa masih tinggal di sini.""Masuk Neng. Ibu kangen, lho." Surti tak lepa
Tak lama kemudian, beberapa pria tegap dan berpakaian serba hitam keluar dari mobil berjenis Range Rover, mereka berjalan berlarian mendekati Rizal Wijaya. "Tuan Wijaya. Maafkan saya ... Saya harus di hukum ... Maafkan saya lengah tidak menjaga Anda, Tuan." ucap salah satu pria dengan napas terengah-engah. "Tidak apa-apa. Ini bukan kesalahan kalian. Aku memang ingin pergi sendiri. Aku merasa sudah cukup kuat kalau sekedar jalan-jalan malam." Brukk!!! Dewa yang berada di belakang Rizal Wijaya sontak terkejut, dan secara refleks menjadikan tubuhnya sebagai tameng agar pria yang baru saja dia selamatkan itu tidak sampai terjatuh ke tanah. "Tuan. Anda tidak apa-apa?" pertanyaan panik Dewa, tidak kalah kaget seperti para pengawal Rizal Wijaya. "Tuan!" Panggilan dari pria yang di ketahui adalah sang kepala pengawal Rizal Wijaya. "Bawa Tuan Wijaya ke mobil!" perintahnya pada anak buahnya, seraya mengambil alih peran Dewa sebagai penopang untuk memapah Rizal Wijaya kembali masuk ke
"Kenapa kamu lakuin hal seperti itu lagi? Aku bisa atasi sendiri, yang di perlukan cuma negosiasi soal waktu. Uang itu akan aku bayar padamu segera, dan awas ya. Jangan di tolak!" Kirana semakin menyadari, Dewa telah tumbuh menjadi pria dewasa dan semakin terlihat sikap gentlemannya. "Iya iya, maaf. Belum juga siang, aku sudah lakuin 2 kesalahan di matamu, dan sekarang kamu jadi ngambek. Tapi aku lakuin itu semua bukan cuma karena aku peduli sama kalian, tapi aku nggak akan lupa sama kebaikan kalian dulu padaku." "Kami lakuin itu karena kamu juga baik pada kami." "Tidak juga, Dewa. Kalian itu apa-apanya tulus dari hati, dan tidak semua orang bisa seperti itu, terlebih sama aku. Tahu sendiri, dari dulu aku orangnya tipe pemberontak." "Tapi kayaknya sekarang lebih kalem? Dulukan agak tomboy," ucap Dewa, menelusuri sekilas penampilan Kirana yang jauh berbeda. "Tapi masih cantik, kan?" Dewa tersenyum malu dan spontan jadi kikuk. Kirana seperti telah membaca pikirannya. "Tap
"Tidak untuk saat ini." Napas tertahan Sektetaris Li jadi endapan yang menyesak di dadanya. "Kenapa, Tuan? Bukankah ini akan menyulitkan Anda bila ingin lebih dekat dengan putra Anda?" "Awalnya aku juga berpikir seperti itu, tapi aku tidak mau ambil resiko besar lagi buat keselamatan jiwanya. Daniel semakin berharga bagiku sekarang." Sekretaris Li berikan anggukan hormat menyetujui. "Anda benar, Tuan. Setelah ini saya akan teruskan perintah Anda soal keberadaan makam Sari di mana tepatnya pada detektif Poltak." "Iya, dan juga dimana keberadaan surat Ayah yang di berikan padanya. Aku masih punya keyakinan kalau Sari sudah memberikannya pada seseorang tapi kita belum tahu itu siapa." "Benar. Tuan Anthony bukan hanya berikan surat biasa, tapi katanya ada beberapa dokumen yang terbawa Sari pada waktu kejadian itu. Sayang sekali Tuan Anthony sudah terkena stroke dan tidak bisa ceritakan pada kita." "Dewa ... Apa itu termasuk nama yang di inginkan Ayah sebagai pengganti identita
"Kamu ngomong apa? Aku nggak ngerti." Dewa letakkan berkas yang sempat dia baca pada bagian depannya saja, kemudian mendekati Deasy. Dewa raih tangan istrinya ini, tapi di tampik secara kasar oleh Deasy. "Apa sih, nggak usah pegang-pegang! Aku jijik!" bentak Deasy, semakin terlihat sifat aslinya. Sekretaris Li tertunduk trenyuh. Tidak ada dalam sejarah keluarga Wijaya, para prianya mendapat perlakuan seperti yang di lakukan Deasy ini, tapi untuk sementara ini Sekretaris Li hanya bisa terdiam. "Kita bicarakan ini nanti di tempat lain. Jangan di sini ya. Aku masih ada tamu." Dewa masih berusaha bersabar. "Malu." Ia berharap akan pengertian Deasy. "Tidak bisa!" bentak Deasy tak mau tahu, sehingga membuat Anjay merasa ikut turun tangan. "Bu Deasy. Saya antar keluar dulu ya." Anjay juga berusaha sopan, meski dalam hati sudah geregetan. "Pak Dewa nggak lama, kok." "Nggak usah!" balasan ketus Deasy. "Biar kliennya Dewa ini juga tahu, siapa orang yang akan dia ajak kerjasama ini."
"Iya, baiklah. Saya akan terima tawaran itu." Senyuman lebar Sekretaris Li mengembang. Dalam batin, seandainya bisa katakan siapa sebenarnya Dewa ini, maka seharusnya tak perlu proses seperti ini. Keputusan soal keamanan Dewa memang harus di ambil demi penerus keluarga Wijaya selanjutnya. "Kalau begitu, segera tanda tangani dokumen kesepakatan ini, Tuan Muda." "Tu tu tuan muda?" "Oh, maaf. Saking senangnya, sampai panggilan itu keluar begitu saja dari mulut saya. Tapi tak apa, kan? Tuan Besar Wijaya sangat menyukai Anda sejak bertemu pertama kali malam itu. Asal Anda tahu, Tuan besar tidak pernah merasa terkesan begitu besar pada seseorang seperti pada Anda, dan sekarang saya jadi tahu apa alasannya. Anda anak muda yang baik hati dan pantas dapat panggilan itu." "Tak apa, sih .... Tapi ...." Dewa jadi malu sendiri, garuk-garuk kepala meski tak gatal. Seumur-umur baru kali ini di perlakukan berbeda dari klien. "Deal!" ucap Sekretaris Li menyela. "Dokumen ini sudah Anda tand
Seperti biasanya, Dewa tak bisa menolak begitu saja permintaan dari Kirana. Kalau dulu menganggap kehadiran Kirana seperti saudara perempuan yang tidak pernah dia miliki, meski ada perasaan cinta terpendam, namun kini Dewa merasa sosok Kirana jadi seperti sesuatu berharga yang tak ingin hilang lagi dari hidupnya. "Jadi seperti itu. Cowok itu ngebet banget pengen ketemu berdua aja dulu, karena dia tahu aku nggak setuju sama perjodohan ini." Akhir cerita Kirana selama perjalanan. Walaupun harus terpecah dua konsentrasi dengan fokus menyetir motornya, tapi Dewa sudah paham kemana arah cerita Kirana. "Jadi kamu masih kekeh cari pacar settingan?" tanya Dewa, menoleh sedikit ke belakang. "Iya. Temen kamu ada kan? Atau pegawaimu tadi, atau siapa kek, cuman buat sekali dua kali momen aja, asal cowok itu tahu aku sudah punya pacar. Soalnya dia kayak nggak percaya, gitu." "Kita sampai," ucap Dewa sekaligus menghentikan laju motornya di depan sebuah gedung kantor. Dewa turun lantas memba
Setelah pembicaraan tanpa titik temu, karena Dewa masih kukuh tak bisa katakan pembicaraannya dengan Harry Tanu, Dewa memaksakan diri berpamitan, meski mendapatkan cacian dan makian berupa kata-kata merendahkan lagi. "Dewa. Kenapa kamu meski diam aja, sih waktu di kata-katain begitu?!" Justru Kirana yang berikan sikap tidak terima. "Seandainya tidak ada Aldi, aku sudah maki-maki balik tuh bapak sama anak. Mulutnya minta di karetin dua deh kayaknya, ngomongnya pedes banget!" Kirana hentikan langkah cepat Dewa sewaktu menuju ke lift. "Karena mereka memang benar." "Apanya?!" Nada bicara Kirana masih meninggi. "Aku nggak bisa bicara jujur karena janjiku sama Pak Harry Tanu, dan soal pengacara ingusan ... Itu memang aku yang masih terlalu idealis." "Terus maksudmu ajak aku masuk ke sana dan bilang statusku adalah pacarmu itu apa?" "Soal itu ... aku mengatakannya dengan ju ..." "Kirana!" panggilan dari pria muda yang merupakan adik Alex telah menghentikan ucapan Dewa dan membu
Setelah Anjasmara datang kembali ke kantor, ia masuk saja ke dalam ruangan Dewa setelah mendapati atasannya itu sedang merapikan penampilan. "Anda mau kemana, Pak?" tanya Anjasmara, penasaran dengan wajah dingin Dewa. Meskipun baru bekerja dengan Dewa, tapi Anjasmara sudah hafal akan sifat dan karakter kepribadian Dewa. "Janji ketemuan sama Pak Pramono baru nanti malam, kan?" "Sekretarisnya baru saja chat aku. Katanya, apa aku bisa datang sekarang juga." "Sekarang? Apa sepenting itu, Pak?" "Sepertinya gertakanku kemarin ada hasilnya, Jay." Dewa berikan seringai sembari memasukkan kancing kemeja bagian tangannya sebagai sentuhan akhir. "Kalau begitu saya temani, Pak." Anjasmara menyahut tas dokumen milik Dewa. "Takutnya nanti terjadi hal-hal yang di inginkan." "Apa maksudmu?" tanya Dewa dengan alis naik satu. "Kali aja Bapak mau di kasih uang, biar saya bantu bawain." Tawa Dewa menggema di ruangan. "Kamu kira aku akan semudah itu terima uang dari dia? Kalau menurutku s
"Nggak ... Aku tadi mengira Kakak orang yang aku kenal." "Itu berarti kamu melihatku sebelumnya. Emang seberapa persisnya aku sama orang yang kau kira itu?" "Cuma dari belakang miripnya, tapi waktu lihat ke depannya nggak sama ... Nggak mirip ... Maksudku." Mandapati jawaban gelagapan Lalita ini, membuat Dewa tak ingin lagi mengorek lebih jauh. "Oke kalau begitu. Tugasmu sudah selesai. Nggak ada yang perlu di beri catatan." "Kakak belum juga melihat berkeliling tapi sudah bilang semua oke?" "Kenapa kamu memanggilku kakak? Sorry, bagiku agak janggal." "Jadi nggak boleh panggil Kakak?" Kekecewaan terpancar jelas pada wajah Lalita. "Bukan begitu. Hanya saja dari awal kamu sudah memanggilku dengan Kakak. Tidak biasa di telingaku buat orang yang baru kenal." "Oh, maaf kalau lancang. Baiklah, aku panggil Tuan Muda saja." Sebenarnya Dewa merasa lebih tidak nyaman lagi dengan sebutan ini, tetapi karena yang di hadapi adalah seorang wanita yang baru di kenal, jadi dia tanggap
Walaupun konsentrasinya sempat terpecah, tapi pikiran refleks Dewa masih tanggap ketika membalaa usaha pria penyandera itu dengan luruskan satu kakinya sebagai senjata untuk menjatuhkan lawan. Suara debuman keras terdengar. Dewa tak menolak lengah dengan menghimpit tubuh pria yang sudah dijatuhkannya, lalu memlnarik dua tangannya menjadi satu ke belakang dan memegangnya dengan erat. "Jangan membuat keadaan semakin sulit. Tenangkan dirimu, Pak. Kita bicara baik-baik!" kesal Dewa di luapkan dalam nada bicara lantang. Pria itu menangis seperti anak kecil. Dewa kemudian membantunya berdiri dan di tuntun untuk duduk pada salah satu kursi kantor yang masih di tutupi plastik. Para pria petugas keamanan menghampiri segera mengelilingi pria penyandera itu dengan sikap sigap. "Tolong saya, Pak. Kami sekeluarga bingung. Anak kami nggak bersalah. Dia cuma di jebak," ucapnya dalam sesenggukan. "Biarkan kami bawa ke pos buat interogasi, Pak." Salah satu security memaksa dengan menarik ta
"MERUNDUK!" Anjasmara dan Rani spontan menuruti perintah Dewa. Tembakan memang tidak terdengar lagi, tapi perasaan was-was jadi bentuk kewaspadaan dua pria yang segera ambil posisi masing-masing di samping Rani. "Busyet!" umpat Anjasmara lirih. "Tadi apaan, Pak?" tanyanya pada Dewa yang sempat berposisi di paling depan. "Aku sempat lihat tadi ada wanita di dalam, terus ada pria bawa senjata sejenis pistol revolver, entah tipe glock ata apa, aku kaget terus langsung merunduk tadi," jelas Dewa lalu berjalan merembet masih dalam posisi jongkok. "Bapak mau kemana?" Anjasmara bergeser melewati Rani, lalu mengikuti Dewa. Dewa tempelkan jari ke bibirnya. Karena belum tahu apa yang terjadi, Dewa tidak mau menciptakan suara. "Siapa di situ?!" tanya seorang pria dalam bentakan. Ketegangan di mulai, terlebih terdengar suara isak tangis dari dekat pria tersebut dan menyebabkan Rani ikut terbawa suasana. "Pak. Saya takut," ujarnya. Dewa memberi kode tangan pada Anjasmara agar tetap
Dewa termenung dalam dilema. Kalau seandainya keadaan memaksanya untuk membenci Rizal Wijaya, tapi kenapa itu tidak di terima oleh hati nuraninya? "Apa sebenarnya rencanamu?" gumam Dewa dengan kepalan tangan di atas meja. Hiruk-pikuk di sekelilingnya jadi bahan pertimbangan akan keputusan yang harus dia ambil dalam waktu singkat ini. "Harusnya aku bisa menolak. Dokumen kesepakatan itu masih bisa di anggap tidak sah." Dewa berdiri menghampiri jendela dan memastikan ujaran Anjasmara memang benar adanya. Mobil yang di curigai sebagai pengawas itu masih ada di seberang jalan tak jauh dari kantor rukonya ini berada. "Pak. Bagaimana? Apa kita jadi pindah sekarang?" Dewa menoleh sebentar ke Anjasmara, lalu berbicara dengan tatapan ke arah luar. "Apa ada informasi lain lagi yang kamu dapatkan soal Rizal Wijaya?"tanyanya masih penasaran. "Hanya soal sepak terjangnya di bisnis. Banyak yang bersimpati padanya karena di balik kelemahan pada kondisi kakinya setelah kecelakaan itu, tap
Dewa berbalik, sedikit menjauh dari Kirana untuk menghormati Deasy sebagai sesama wanita. "Bicaralah di sini saja. Tidak masalah kalau Kirana tahu." "Tapi ini soal intern perusahaan keluargaku." "Saat ini apa ada hal penting di perusahaan keluargamu selain masalah modal di pasar saham?" "Tak apa, Dewa. Aku ke kamar mandi dulu." Baru saja akan berpamitan, tapi Kirana merasakan genggaman di tangannya. "Kirana keburu mau ke kamar mandi, jadi katakan saja apa yang ingin kamu bicarakan denganku." Dewa bersikap dingin. Bagaimana dia bisa lupa akan kejadian malam dimana kepulangannya dari New York waktu itu. Wanita yang sudah di harapkan akan dia jaga dan jadi pendamping baik suka maupun duka, ternyata nyata-nyata berselingkuh dan sengaja menjatuhkan harga dirinya. Pipi Kirana bersemu merah jambu. Ia yakin Dewa melakukannya bukan semata karena ingin buat benteng akan sakit hatinya pada pengkhianatan Deasy, tapi juga validasi akan statusnya sebagai kekasih Dewa. "Ehmm ... hanya so
"Tidak mungkin!" Posisi di sebelah Billy Tanu, memudahkan Deasy mengambil daftar para pemegang saham itu dari hadapannya. Bersama dengan Alex, keduanya kemudian saling bertatapan tak percaya apa yang sudah di baca. "Siapa? Bisa cepat sebutkan. Siapa nama stockholder terbesar di sini?" Michael paling antusias sebagai wakil dari pemilik saham lain. "Anybody?" tatapannya bergantian pada Deasy dan Billy Tanu, sampai kemudian Michael dengan terpaksa meminta asistennya untuk mengambil kertas daftar tersebut untuk segera dia baca di hadapan yang lain. "Wijaya corp. yang di wakilkan pada legalnya, Dewa Gundala. Siapa itu Dewa Gundala? Mana dia? Kenapa belum datang? Pengacara macam apa itu?" sungut Michael, sedikit tegang setelah nama konglomerat itu tersebut di dalam daftar. Salah satu orang yang di buat terkejut adalah Kirana. Memang pagi tadi secara mendadak Dewa menjemputnya lebih awal dan bersikeras menemaninya dalam rapat penting ini, tapi ia sama sekali tak menyangka akan apa yang
"Dewa. Maafin ucapan Mamaku, ya." Dewa jeda pemakaian helmnya. Berikan senyuman palsu hanya demi Kirana, meski dalam batin ini seketika sesak. Masa pemulihan trauma akibat tiap ucapan dan perlakuan keluarga Deasy belum juga pulih, tapi kembali dia dapatkan hal sama justru dari ibunya Kirana. "Hei, tak apa. Ini hanya soal waktu. Ibumu sedang tidak bisa berdamai dengan kenyataan, dan aku akan mengatasi perasaan dan diriku sendiri." Dewa segera pasang helmnya dan berpamitan. "Sampai jumpa besok. Kaca kantorku baru mau di ganti, jadi aku bisa jemput kamu lebih pagi. Oke."Dewa tarik gas, sengaja tinggalkan Kirana sebelum berniat ajukan protes soal jemputan esok pagi. Salah satu kebiasaan Kirana adalah kemanapun pergi sendirian, tapi kali ini Dewa tak akan membiarkan hal itu sering di lakukan pujaan hatinya itu. Sampai keesokan paginya, Dewa bersiap untuk aktifitas hari ini. Penampilan rambut jadi yang terakhir saat panggilan dari ibunya terdengar untuk segera menuju ke beranda depan.
"Ceritanya jangan pake nangis, nanti omongannya jadi nggak jelas." Dewa jauhkan sapuan bibirnya, mengarahkan kedua tangannya menangkup kedua pipi untuk sesaat berucap. "Terima kasih, Kirana. Kamu simpan perasaan itu sampai datang tepat di waktu aku merasa jatuh." Getaran tangan itu dia gunakan sebagai kekuatan untuk menyatukan bibir mereka lagi hingga beberapa saat. "Kita pulang," ajaknya kemudian, setelah sebuah sorot lampu dari mobil melintas ke arah berlawanan. "Ban mobilku bagaimana?" Kirana masih enggan lepaskan diri dari pelukan Dewa, dan justru bergelayut manja. "Aku panggilkan dari montir servis kendaraan 24 jam, sekaligus minta membawa mobil penarik buat pindahin mobil ke rumahmu. Kamu naik motor sama aku." Setelah Kirana menyetujui, keduanya bersama menaiki motor di belakang mobil pesanan serta montir. Kirana tak pernah lepaskan pelukan dari belakang, sebagai penghangat dari angin malam yang menusuk kalbu. "Aku cinta pertama dan terakhirmu, kan Dewa?" jejak cemburu da